Mayang kembali ke hotel melati tempatnya menghabiskan beberapa malam terakhir setelah pengusiran dirinya oleh Andi dari rumah mewah lelaki itu. Hidupnya benar benar berbalik 180 derajat sekarang. Uang yang dibawanya hasil dari menjual rumah mewahnya yang diberikan Romi untuknya sudah berpindah ke tangan lelaki licik bernama Andi itu. Dan sekarang dia terbuang dengan kondisi sangat menyedihkan. Andi hanya menyisakan sedikit saja uang di rekeningnya dan hanya cukup untuk hidupnya beberapa waktu ke depan. Lebih tragis lagi, saat sore tadi dia mencoba menghubungi Romi, lelaki yang masih berstatus suami sahnya karena belum adanya ketuk palu dari pengadilan agama itu justru menolak keinginannya untuk bertemu dengan anak anaknya. Hancurlah hidup Mayang sekarang. Romi yang dulu sangat memuja mujanya bahkan tidak mau lagi memaafkannya. Tidak mau lagi memberi kesempatan untuknya.
Seorang lelaki paruh baya berjalan cepat meninggalkan kantor tempatnya bekerja setelah beberapa saat sebelumnya dia menerima pesan dari istrinya bahwa dia telah membawa anak-anaknya pergi dari rumah kontrakan mereka. Dengan wajah panik, sambil terus berjalan ke arah motornya yang masih terparkir di pelataran kantor, lelaki itu terus saja mencoba menghubungi ponsel sang anak gadis untuk memastikan bahwa pesan yang tadi dia terima itu benar adanya. Namun, beberapa kali dia melakukan panggilan ke ponsel putrinya, tetap tidak ada nada sambung yang terdengar. Ponsel Mayla tidak aktif. Apa yang terjadi pada anak-anaknya? Apa yang telah dilakukan istrinya yang tidak waras itu pada mereka? Romi mulai cemas, takut jika Mayang akan melakukan hal-hal yang membahayakan anak-anak mereka. Di tengah putus asanya lelaki itu tak bisa menghubungi po
Rani yang malam itu mengenakan sweater tebal warna maroon duduk di apit dua putranya. Rio sesekali memegang bahu sang ibu yang terlihat begitu sedih. Sementara Raka sedikit jengah melihat raut muka ibunya yang seperti itu. Dia sangat benci melihat wanita yang wajahnya sudah semakin banyak dihiasi guratan penuaan itu justru merasakan kesedihan dengan apa yang menimpa mantan suaminya. Seharusnya dia senang ayahnya mendapatkan ganjaran yang setimpal atas perbuatannya di masa lalu. Namun, ibunya justru sebaliknya. Di sebelah kanan sang ibu, Raka hanya duduk menyandarkan diri di kursi tunggu dengan malas. Satu jam sebelumnya, saat dia masih berada di ruang kerjanya bersama beberapa karyawannya saat tiba-tiba ibu dan adiknya datang. Melihat mereka berdua sama-sama mengenakan baju hangat, membuat Raka yakin jika keduanya berniat pergi ke suatu tempat.  
"Kemarin mama sama Rio Mengunjungi anak-anak itu di kontrakannya." Rani menarik nafas panjang sebelum melanjutkan kata katanya. Wanita itu duduk di sebelah putra sulungnya di tepi ranjang setelah menyuruh Mayla yang wajahnya sedikit ketakutan mendengar teriakan Raka tadi padanya untuk meninggalkan kamarnya. "Kasihan mereka, Ka. Dia hidup berdua saja dengan adiknya di kontrakan sempit itu. Mereka sudah tidak punya siapa-siapa lagi sekarang. Apa salahnya kita bantu?" "Iya, tapi kenapa harus membawanya ke sini, Mah?" "Mayla masih harus melanjutkan sekolahnya, Nak. Bagaimana dia bisa sekolah jika dia harus merawat adiknya sendiri? Lagipula dia masih terlalu kecil untuk bisa bekerja sambil mengurus adiknya yang sekecil itu, Raka. Mama mohon, berbelas kasihanlah pada anak-anak itu." Ra
Setelah mengetahui bahwa anak anak mendiang papanya itu tinggal di rumah ibunya, Raka jadi sangat malas untuk berkunjung ke rumah itu. Padahal saat ini, perasaan manjanya pada sang ibu sedang kambuh. Kehilangan Ayu membuatnya ingin selalu dekat dengan wanita yang telah melahirkannya itu. "Adikmu akhirnya diterima kerja di perusahaan BUMN, Ka. Kita akan merayakannya malam ini. Kamu harus datang ya, Nak?" kata sang ibu saat mengabarkan melalui telepon bahwa Rio telah berhasil mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan bergengsi di negeri ini. Raka bersyukur karena akhirnya perjuangannya membiayai kuliah adiknya tidak sia sia. Ibunya terdengar sangat bangga saat mengatakan kabar itu padanya. Dulu saat kecil, sebenarnya Raka yang digadang-gadang untuk bisa menjadi seorang pegawai di salah satu BUMN atau bisa menjadi pegawai negeri sipil. Namun keinginan itu sepertinya telah pupus setelah pergin
Seorang lelaki berambut agak panjang yang diikat ke belakang berjalan tergesa menghampiri Ferry yang sedang duduk di sebuah sudut warung tenda pinggir jalan. Setelah membungkuk sedikit seperti memberi hormat, lelaki dengan jaket hitam itu duduk di hadapan Ferry dan mulai berbicara dengan serius setelah menyodorkan sebuah foto dua orang pengendara motor yang baru saja membuka helm full face mereka. "Mereka target kita, Capt," kata lelaki itu pada Ferry. "Sudah berapa lama mereka membuntuti?" tanya Ferry setelah mengamati sebentar gambar dalam foto itu. "Semingguan lebih, Capt. Sepertinya mereka sedang menunggu saat yang tepat dan sasaran mereka lengah." "Terus awasi! Jika perlu, tambah personel untuk bergantian menjaga umpan kita. Sepertinya kita sudah sangat dekat dengan target," jelas
"Mayla, nanti Ibu kabari keadaan adik kamu kalau sudah ketemu dokternya ya? Kamu sekolah aja yang tenang. Biar Ibu sama kak Rio yang ngurus Faya hari ini," kata Rani saat mereka selesai sarapan pagi itu. "Iya, Bu. Terima kasih banyak," kata Mayla seperti biasa, masih terlihat sangat sungkan dengan Rani. Lalu dia pun bangkit bermaksud membereskan peralatan makan mereka yang sudah terlihat kosong. "O iya, sama nanti kamu berangkat sekolahnya bareng kak Raka aja, sekalian kak Raka balik. Ya kan, Ka?" lanjut Rani. Raka yang mendengar itu, tidak berniat menjawab. Dia malah pura-pura sibuk menuang air putih ke dalam gelasnya. "Eee, enggak usah, Bu. Biar May naik angkot aja. Nggak akan telat kok masuk sekolahnya," sahut Mayla menanggapi tawaran Rani.
Lima hari sudah Raka terbaring lemah di rumah sakit. Dokter menyatakan cideranya memang tidak terlalu serius, tapi dia masih belum boleh terlalu banyak melakukan aktifitas. Dan saat dokter akhirnya mengijinkannya pulang siang hari itu, Rani dan Rio memutuskan untuk membawa Raka ke rumah. Lalu untuk sementara menyerahkan bisnis Raka pada sahabatnya, Radit. "Raka pulang ke ruko aja, Mah. Raka udah sehat kok," kata pemuda itu saat mereka akhirnya sampai di rumah sang ibu. "Jangan bandel, Ka. Kamu butuh istirahat, Sayang. Kata dokter minimal Kamu masih harus di tempat tidur semingguan lagi. Jangan beraktifitas dulu," jelas sang ibu panjang lebar. "Ah, dokternya aja yang terlalu lebay, Mah. Raka udah sehat kok, nggak apa-apa," katanya tetap menggerutu. "Udaaah. Pokoknya sekarang kamu