"Kemarin mama sama Rio Mengunjungi anak-anak itu di kontrakannya." Rani menarik nafas panjang sebelum melanjutkan kata katanya. Wanita itu duduk di sebelah putra sulungnya di tepi ranjang setelah menyuruh Mayla yang wajahnya sedikit ketakutan mendengar teriakan Raka tadi padanya untuk meninggalkan kamarnya. "Kasihan mereka, Ka. Dia hidup berdua saja dengan adiknya di kontrakan sempit itu. Mereka sudah tidak punya siapa-siapa lagi sekarang. Apa salahnya kita bantu?" "Iya, tapi kenapa harus membawanya ke sini, Mah?" "Mayla masih harus melanjutkan sekolahnya, Nak. Bagaimana dia bisa sekolah jika dia harus merawat adiknya sendiri? Lagipula dia masih terlalu kecil untuk bisa bekerja sambil mengurus adiknya yang sekecil itu, Raka. Mama mohon, berbelas kasihanlah pada anak-anak itu." Ra
Setelah mengetahui bahwa anak anak mendiang papanya itu tinggal di rumah ibunya, Raka jadi sangat malas untuk berkunjung ke rumah itu. Padahal saat ini, perasaan manjanya pada sang ibu sedang kambuh. Kehilangan Ayu membuatnya ingin selalu dekat dengan wanita yang telah melahirkannya itu. "Adikmu akhirnya diterima kerja di perusahaan BUMN, Ka. Kita akan merayakannya malam ini. Kamu harus datang ya, Nak?" kata sang ibu saat mengabarkan melalui telepon bahwa Rio telah berhasil mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan bergengsi di negeri ini. Raka bersyukur karena akhirnya perjuangannya membiayai kuliah adiknya tidak sia sia. Ibunya terdengar sangat bangga saat mengatakan kabar itu padanya. Dulu saat kecil, sebenarnya Raka yang digadang-gadang untuk bisa menjadi seorang pegawai di salah satu BUMN atau bisa menjadi pegawai negeri sipil. Namun keinginan itu sepertinya telah pupus setelah pergin
Seorang lelaki berambut agak panjang yang diikat ke belakang berjalan tergesa menghampiri Ferry yang sedang duduk di sebuah sudut warung tenda pinggir jalan. Setelah membungkuk sedikit seperti memberi hormat, lelaki dengan jaket hitam itu duduk di hadapan Ferry dan mulai berbicara dengan serius setelah menyodorkan sebuah foto dua orang pengendara motor yang baru saja membuka helm full face mereka. "Mereka target kita, Capt," kata lelaki itu pada Ferry. "Sudah berapa lama mereka membuntuti?" tanya Ferry setelah mengamati sebentar gambar dalam foto itu. "Semingguan lebih, Capt. Sepertinya mereka sedang menunggu saat yang tepat dan sasaran mereka lengah." "Terus awasi! Jika perlu, tambah personel untuk bergantian menjaga umpan kita. Sepertinya kita sudah sangat dekat dengan target," jelas
"Mayla, nanti Ibu kabari keadaan adik kamu kalau sudah ketemu dokternya ya? Kamu sekolah aja yang tenang. Biar Ibu sama kak Rio yang ngurus Faya hari ini," kata Rani saat mereka selesai sarapan pagi itu. "Iya, Bu. Terima kasih banyak," kata Mayla seperti biasa, masih terlihat sangat sungkan dengan Rani. Lalu dia pun bangkit bermaksud membereskan peralatan makan mereka yang sudah terlihat kosong. "O iya, sama nanti kamu berangkat sekolahnya bareng kak Raka aja, sekalian kak Raka balik. Ya kan, Ka?" lanjut Rani. Raka yang mendengar itu, tidak berniat menjawab. Dia malah pura-pura sibuk menuang air putih ke dalam gelasnya. "Eee, enggak usah, Bu. Biar May naik angkot aja. Nggak akan telat kok masuk sekolahnya," sahut Mayla menanggapi tawaran Rani.
Lima hari sudah Raka terbaring lemah di rumah sakit. Dokter menyatakan cideranya memang tidak terlalu serius, tapi dia masih belum boleh terlalu banyak melakukan aktifitas. Dan saat dokter akhirnya mengijinkannya pulang siang hari itu, Rani dan Rio memutuskan untuk membawa Raka ke rumah. Lalu untuk sementara menyerahkan bisnis Raka pada sahabatnya, Radit. "Raka pulang ke ruko aja, Mah. Raka udah sehat kok," kata pemuda itu saat mereka akhirnya sampai di rumah sang ibu. "Jangan bandel, Ka. Kamu butuh istirahat, Sayang. Kata dokter minimal Kamu masih harus di tempat tidur semingguan lagi. Jangan beraktifitas dulu," jelas sang ibu panjang lebar. "Ah, dokternya aja yang terlalu lebay, Mah. Raka udah sehat kok, nggak apa-apa," katanya tetap menggerutu. "Udaaah. Pokoknya sekarang kamu
Suasana rumah Rani nampak sedikit ramai malam itu. Satu bulan setelah kesembuhan Raka, Mayla lulus dari Sekolah Menengah Pertamanya. Rani membuatkan syukuran kecil-kecilan untuk Mayla. Wanita berhati emas itu semakin hari semakin menyukai Mayla seperti anak perempuannya sendiri. Dia bahkan sepertinya lupa, anak siapa Mayla itu. Begitu pun dengan Rio, yang merasa sangat senang karena ada sosok seorang adik perempuan dalam keluarganya. Dan sepertinya memang hanya Raka yang tidak nyaman dengan kehadiran Mayla. Meskipun sikapnya terlihat sudah tidak sebenci sebelumnya, namun tetap saja masih ada kesan dingin dan ketus saat sedang berinteraksi dengan anak gadis remaja itu. Saat acara selesai dan rumah kembali nampak sepi, Mayla yang duduk bersebelahan dengan Rani tiba-tiba berkata pelan pad
"Apa ibu sudah siap?" Ferry menghadapkan tubuh ibunya ke arahnya. Wajah lelaki itu begitu bahagia saat ini. Dia yakin hari ini adalah hari dimana wanita iblis Adyatama itu menerima pembalasan atas perbuatannya. Sang ibu yang beberapa saat yang lalu telah didandani dengan rapi oleh suster yang merawatnya, hari ini terlihat lebih segar. Dan untuk pertama kalinya selama beberapa tahun terakhir, wanita tua itu mengembangkan senyum sambil menatap ke wajah putra semata wayangnya. Mata Ferry mendadak perih. Ada rasa sedih bercampur bahagia di dalam hatinya saat ini. Setelah sekian puluh tahun, akhirnya dia akan bisa menyelesaikan tugasnya. Mengembalikan kebahagiaan ibunya yang telah direnggut paksa. "Sudah siap, Kak?" Vanno muncul di pintu kamar perawatan Wanda. Pemuda itu tersenyum bahagia melihat ibu angkatnya berpenampi
Ayu sedang duduk termenung di dekat jendela apartemennya saat Raka datang. Sudah ketiga kalinya dalam seminggu lelaki itu menyaksikan pemandangan yang sama. Ayu Nindya Adyatama, wanita yang biasanya selalu bersemangat itu kini terlihat seperti manusia yang kehilangan nyawanya. Tidak hanya ibunya, sekarang dia bahkan kehilangan perusahaan yang selama beberapa tahun ini dia pimpin. Meskipun uang bukan menjadi masalah buat Ayu saat ini, karena dia pastilah sudah memiliki tabungan dan deposito pribadi yang cukup besar selama menjadi putri Adyatama dan memimpin perusahaaan keluarga itu. Namun, berubahnya kehidupan Ayu 180 derajat membuatnya seperti orang yang kehilangan arah. Beberapa hari ini Ayu mulai kehilangan nafsu makannya. Bayangan sang ibunda berada dalam penjara yang jauh dari kemewahan membuatnya sangat sedih. Berjam jam di ruang apartemenny