"Meeting sudah bisa dimulai, Bu. Semua manager sudah siap." Ayu baru saja akan menutup laptopnya saat Rania, sekretaris pribadinya, muncul di ruangannya untuk mengingatkan jadwal meeting menjelang akhir tahun. "Oke. Katakan pada mereka untuk menunggu sebentar lagi. Kita masih menunggu Pak Ferry dan Pak Vanno. Mereka akan datang dalam 10 menit," ucapnya pada sang sekretaris. "Baik, Bu." Rania pun segera berlalu dari hadapan atasannya untuk kembali ke ruang rapat. Seperti itulah hari-hari Ayu selama beberapa bulan terakhir. Dia kembali lagi ke perusahaan Adyatama, dan tetap dengan jabatannya sebagai direktur perusahaan itu. Ferry dan Vanno tiba 5 menit kemudian. Keduanya telah memakai pakaian formal hari itu. Setelan jas berwarna abu gelap dan dasi warna
Raka mendadak merasa seperti menjadi orang bodoh hari itu. Duduk di bangku paling belakang sebuah Sekolah Menengah Atas, memperhatikan dengan malas seorang guru wanita berjilbab lebar yang sedang memberi sambutan untuk orang tua dan wali murid. Tiba-tiba dia menyesal telah mengiyakan keinginan ibunya untuk menggantikannya ke sekolah Mayla hari itu untuk menjadi wali pengambilan buku laporan pendidikan. "Ka, bisa tolongin Mama nggak?" tanya ibunya lewat telepon beberapa jam sebelumnya, saat Raka masih menikmati kasurnya yang empuk dengan bertelanjang dada. "Kenapa, Mah?" tanya Raka masih dengan suara seraknya khas bangun tidur. "Ini, Ka. Hari ini kan Mayla penerimaan rapor. Mama lupa kalau Mama sudah ada jadwal check up Faya ke dokter. Kamu gantiin Mama ya, Sayang? Cuma ngambil rapor aja kok, trus pulang. Nggak
Makam telah kembali sepi saat tangan Ferry menyentuh pundak wanita yang masih bersimpuh di pusara sang ibu. Lelaki itu bisa merasakan bagaimana perih hatinya. Dan Ferry merasa bahwa dia turut andil dalam menyebabkan Ayu saat ini harus kehilangan ibunya untuk selamanya. Seandainya Ferry tidak menjebloskan Astuti ke penjara, mungkin Ayu masIh bersama dengan ibunya saat ini. Namun bagaimanapun, dia butuh keadilan. Astuti harus dihukum atas perbuatannya, meskipun anaknya tidak bersalah. "Ayo pulang," bisik lelaki itu di telinga sambil berjongkok di samping wanita yang sedang larut dalam air mata itu. Ayu menyentuh tangan kokoh yang saat ini sedang menempel di pundaknya. Menggenggamnya erat, seolah jiwa rapuhnya ingin berpegangan pada benda itu selamanya untuk menggantikan kekuatan yang kini telah pergi dari sisinya. Betapa dia sungguh terguncang karena bahkan ibunya p
"Raka?! Tumben pagi-pagi udah nyampe sini. Ada apa, Sayang?" Rani yang sedang asik menyirami tanaman di teras rumah bergegas menghampiri putra sulungnya yang baru turun dari mobil. Hari minggu, tidak biasanya Raka bisa bangun pagi. Tapi ini belum ada jam 8, anak itu bahkan sudah sampai di rumah ibunya. "Rio libur, Mah?" tanyanya setelah mencium punggung tangan ibunya. "Iya lah libur, minggu. Ada apa, Ka? Mau pergi jalan-jalan sama adik kamu? Tadi habis sholat subuh, Rio tidur lagi. Sana bangunin kalau mau pergi. Belum bangun juga tuh anak dari tadi." Rani menggelengkan kepalanya. Raka tersenyum tipis, lalu mengikuti langkah ibunya menuju ke dalam rumah. Memang bukan Rio yang ingin dia temui sebenarnya. Tapi untuk apa pagi tadi dia tiba-tiba ingin ke rumah ibunya pun, Raka tak mengerti. Karena saat bangun tadi, mendadak sa
"Aku akan menikah, Ka," ucap wanita itu. Raka tidak begitu terkejut mendengar itu. Beberapa bulan yang lalu sejak dirinya memutuskan untuk mundur, pemuda itu memang sudah membayangkan nantinya Ayu pasti akan segera menikah dengan seseorang. "Dengan siapa?" tanyanya. Ayu menatap Raka lekat, bimbang ingin mengucapkan nama seseorang. Siang itu Ayu menghubungi Raka untuk mengajaknya makan siang. Sebenarnya sudah sejak lama dia begitu rindu bersama dengan pemuda itu. Namun sepertinya Ayu tahu bahwa Raka memang sedang ingin menghindarinya. "Ferry," katanya akhirnya dengan sedikit terbata. "Ferry?" Dahi Raka mengernyit. Ada keraguan pada jawaban yang baru saja diucapkan wanita yang sedang duduk di hadapannya itu. "Bukannya kalian saudara?
"May! Itu ... itu kakak Kamu kan?" kata salah seorang gadis berseragam putih abu abu di dekatnya setengah berteriak. Mayla yang sedang berjalan sambil bercanda dengan teman temannya keluar dari gerbang sekolah, seketika menoleh ke arah yang ditunjuk. "Kakak?" Mulutnya bergumam lirih. Dilihatnya Raka sedang berdiri bersandar di bodi mobilnya melihat ke arahnya. Apa kakaknya itu sedang menjemputnya? "Sebentar ya?" pamitnya pada teman temannya, lalu bergegas menghampiri sang kakak. Dia bahkan tidak mempedulikan teriakan berceloteh dari teman temannya tentang sang kakak. "Kakak jemput Mayla?" tanyanya saat sampai di depan Raka. Raka yang gelagapan dengan pertanyaan tak terduga itu sontak memerah wajahnya. "Lewat tadi, sekalian aja ke sini pas lihat sudah ada siswa yang k
"Yo, Kamu lagi sibuk? Mama boleh ngobrol?" Rani muncul di kamar Rio malam itu saat dilihatnya kamar Mayla sudah tertutup rapat. "Nggak sibuk kok, Mah. Ada apa?" Rio menutup laptopnya saat dilihatnya wajah ibunya nampak serius. Rani melangkah mendekat, lalu mendudukkan diri di tepi ranjang Rio. Sementara Rio memutar kursinya menghadap sang ibu. "Kakak nggak cerita apa apa sama kamu?" "Cerita soal apa, Mah?" Rio bingung dengan pertanyaan ibunya. "Gini ... akhir-akhir ini mama kok ngerasa aneh ya. Kakak sekarang jadi sering datang ke sini lho, nggak kayak dulu." "Lha bagus dong, Mah. Kenapa malah jadi heran? Bukannya mama harusnya seneng sekarang kak Raka sering ke sini?"
Sebelum sampai di rukonya, Raka membelokkan mobilnya ke layanan drive thru di sebuah restoran fast food ternama. Dia memesan banyak porsi makanan untuk dibawanya pulang. Mayla yang melihat itu sampai membelalakkan mata. "Kok banyak banget, Kak?" tanyanya saat mobil kembali berjalan menyusuri jalanan kota. "Buat anak anak di ruko," jawabnya singkat. Saat tiba di ruko, Raka pun segera membawa Mayla naik ke lantai 3 setelah meninggalkan 2 bungkus besar plastik berisi makanan untuk para karyawannya di lantai dua. Melihat Raka datang bersama seorang anak berseragam SMA, segera saja banyak bisik-bisik di lantai itu. Apalagi setelah Raka mengajak Mayla ke lantai atas. Radit, Iqbal, dan Fahri pun hanya saling mengedikkan bahu seolah berkata 'entahlah'.