Pagi menjelang, kabut masih terlihat di sekitar rumah Bu Yanti ketika wanita itu mulai menyapu halaman. Suasana desa yang sepi dan terpencil, membuat nya bertambah sedih kala mengingat dan merindukan ketiga anaknya.
Niko anak pertama sudah tinggal di kota dengan istri dan keluarganya. Rahma anak kedua sedang bekerja di luar kota dan masih single. Terakhir, Hanum anak bungsu yang juga kerja di kota."Eh Bu Yanti pagi-pagi sudah bersih-bersih?" Sapa Bu Indri yang hendak pergi belanja sayur. Karna pasar sayur juga tak terlalu jauh dari rumah Bu Yanti."Iya Bu Indri." Senyum wanita baya itu tersungging, melihat Bu Indri dan anak menantunya yang terlihat begitu akur berjalan bersama menuju ke pasar. Beda sekali dengannya, Raya tak seakrab seperti menantu Bu Indri, Humairah."Oh ya, saya lihat anak-anaknya Bu Yanti tidak pernah pulang? Apa Mas Niko sangat sibuk ya kerja di pabriknya? Terus itu si Hanum sama si Rahma kakaknya juga jarang terlihat pulang. Sebentar lagi puasa loh bu, kalau puasa kita semua berkumpul dan megengan." Ucap Bu Indri lagi.Deg!Mendengar apa yang dikatakan oleh Bu Indri, rasa sesak di dalam hati Bu Yanti begitu terasa. Jujur wanita tua itu snagat merindukan ketiga anak-anaknya. Bahkan dari ketiganya, sepertinya mulai lupa dengan dirinya yang sudah mulai renta di desa. Air matanya langsung menetes membasahi kedua pipi keriputnya."Bu maaf ya Bu, saya tidak bermaksud mengingatkan Bu Yanti pada anak-anak Bu Yanti yang tidak pernah pulang. Ya, mungkin saja mereka sibuk atau tidak punya uang Bu untuk pulang ke desa. Jadi Bu Yanti sabar saja ya?" ucap Bu Indri mendekati Bu Yanti yang menangis terisak, dan meletakkan sapunya. Lalu wanita itu duduk di bawah pohon rambutan dengan perasaan yang begitu sedih."Nggak apa-apa kok Bu Indri. Saya memang sangat merindukan anak-anak saya, tapi mungkin mereka memang sedang sibuk semua kerja di kota." Ucapnya lirih sambil menyeka air matanya."Iya iya, tapi Bu Yanti harus sabar kalau misalnya mereka sudah mulai melupakan ibunya yang sudah tua ya. Karena biasanya kalau kerja di kota itu, kena pengaruh teman-temannya dan pengaruh perkembangan zaman itu yang membuat terkadang lupa loh bu. Semoga saja tidak ya, anak-anak Bu Yanti ingat sama keluarganya yang ada di desa." Entah apa maksud Bu Indri berkata seperti itu, apakah untuk memanas-manas bu Yanti atau memang kenyataannya seperti itu. Namun, benar-benar mampu membuat wanita tua itu semakin sedih. Di dalam hati lubuk terdalamnya, Bu Yanti memang benar-benar mengkhawatirkan ketikmga anaknya, khawatir kalau sampai lupa dengannya. Bahkan kalau bisa berharap, ingin sekali di sisa usianya ini, wanita tua itu bisa berkumpul, bercanda dengan anak dan cucunya di desa. Meski dengan segala keterbatasan tanpa materi yang berlimpah."Bu Yanti jangan nangis lagi, kalau gitu ya udah saya pamit dulu ya?" Pamit Bu Indri yang kemudian berjalan dengan Humairah, meninggalkan Bu Yanti yang masih terisak dalam tangisnya. Sayur sayur sayur, tin tin tin...Tak lama setelahnya, terdengar suara tukang sayur di depan rumah Bu Yanti. Wanita yang sedang menyapu halaman belakang rumah itu kemudian langsung beranjak dan meninggalkan pekerjaannya untuk ke depan."Wah Bu Yanti mau masak apa nih?" Si Kohar tukang sayur keliling menyapa."Tempe dan tahu saja mang."Kohar kemudian mengambilkan satu papan tempe dan tahu, lalu diserahkan pada Bu Yanti."Oh ya Bu, tiga hari lagi kita megengan lho. Memangnya anak-anak Ibu nggak pulang semua?"Lagi dan lagi, pertanyaan dari si Kohar mengingatkannya pada ketiga anaknya yang sudah hampir 3 bulan tak memberi kabar. Wajah wanita itu begitu sedih dan hampa semenjak suaminya meninggal dunia 10 tahun yang lalu.'Niko dan anak istrinya sibuk di kota mang, terus si Hanum juga mungkin belum bisa pulang kalau tidak diijinkan majikannya.""Dan si Rahma itu Bu, dia itu malah jarang sekali pulang kayaknya ya? kalau si Hanum kan baru beberapa bulan kerja di kota?" Lanjut Kohar lagi."Iya Rahma lebih dari setahun nggak pulang, dan terakhir pulang saat lebaran 2 tahun yang lalu.""Terus Bu Yanti juga nggak ingin gitu menengok cucunya di kota? anaknya Mas Niko kan sudah dua, apa Ibu tidak kangen dengan kedua cucunya?" Tanya Kohar lagi menatap sendu dan merasa begitu kasihan pada wanita tua itu."Saya sebenarnya ingin ke kota ke rumah Niko, tapi kalau tidak diajak ke sana ya mana mungkin saya berani naik angkot dan bus sendirian mang? Takutnya nyasar," ujarnya lagi dengan nada lirih dan sedih."Ya, kasihan juga ya Bu. Dan kalau mau saya antar, saya juga nggak bisa Bu. Jarak sini ke kota sudah kayak minggat, hampir 7 jam perjalanan naik bus, Bu."Bu Yanti mengangguk, setelahnya membayar sejumlah uang untuk membeli tempe dan tahu itu. Bu Yanti kemudian masuk lagi ke dalam rumah dan duduk di bangku kayu yang ada di ruang tamu. Pagi ini sudah dua orang yang menanyakan anak-anaknya yang tidak pulang lama.Dalam isak tangisnya, Bu Yanti hanya berharap dan berdoa semoga umurnya dipanjangkan agar saat lebaran nanti, masih bisa memeluk anak-anak dan juga cucunya.Uhuk uhuk...Bu Yanti terbatuk dan segera menuangkan air ke dalam gelas, lalu menekuknya sampai tandas. Akhir-akhir ini kondisi kesehatannya menurun dan drop, sering merasakan sakit di dadanya. Kalaupun ingin memberitahu anak-anaknya, dia juga tak punya ponsel untuk menelponnya. Dan bahkan Hanum yang berjanji akan memberikannya ponsel, tinggal janji. Sudah 3 bulan lebih anak bungsunya itu tidak memberi kabar sama sekali.Pagi-pagi sekali, Monica sudah bangun dan bersiap untuk jogging. Mumpung mereka memang ambil cuti, jadi bisa lebih lama tinggal di rumah Bu Rita Ibu mertuanya. Saat membuka mata, Monica masih melihat Ardi sang suami terlelap. Wanita cantik itu menatap pada sang suami dan mengelus pelan pucuk rambutnya. 'Terima kasih ya Mas sudah selalu ada untukku. Terima kasih juga untuk kesabarannya selama ini. Semoga Allah segera ijabah doa-doa kita dan mendapatkan titipan amanah Nya.'Setelahnya Monica bangun dan menuju ke kamar mandi yang ada di dalam kamar. Suara orang beraktivitas di dapur rumah Ibu mertuanya mulai terdengar. Ardi yang baru membuka mata mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar dan tak nampak sang istri. Namun dari kamar mandi terdengar suara gemericik air, yang berarti Monica ada di dalam.Ardi mengucek matanya dan sesekali menguap, lalu menyandarkan punggungnya di sandaran head—board.Ceklek...Pintu kamar mandi terbuka dan nampak Monica keluar dengan rambut yang basah. "
Monica memejamkan matanya ketika mendengar Bu Rita mengucapkan kalimat seperti itu. Meskipun sudah terbiasa mendengarnya, namun setiap kali wanita paruh baya yang sudah melahirkan suaminya itu menyindirnya, tetap saja Monica merasa sakit hati. Berusaha untuk menahan air matanya agar tak jatuh, dan membuat mood sarapan pagi mereka semua hancur."Ma, kok pagi-pagi sudah ngomong seperti itu lagi sih?" Ardi selalu menjadi pembela untuk istrinya."Lohh memangnya kenapa sayang, kan apa yang mama katakan benar? ngapain kalian susah-susah jogging 5 tahun lebih tapi nggak juga hamil."Bu Rita berkata seenaknya, meskipun dia sendiri tahu ikhtiar seperti apa yang tengah Ardi dan Monica jalani selama ini. Namun sepertinya wanita paruh baya itu seperti tutup mata tak peduli dengan perjuangan mereka berdua.Hanum dan bik Lastri hanya mendengar dari dapur. Mereka berdua saling berpandangan. "Ya seperti itu Bu Rita sama mbak Monica!" Ucap bibi Lastri mengatupkan bibirnya. Membuat Hanum menganggukkan
Dengan langkah tergopoh, Bu Yanti tersenyum ketika mendapat kabar dari Bu Ira tetangganya bahwa Hanum menelpon. Maklum wanita tua itu tak mempunyai ponsel seperti kebanyakan orang. Jadi ketika mendapat kabar, Hanum anak bungsunya yang sekarang sedang bekerja di kota, dia begitu bahagia.Keringat yang mengucur deras di dahinya tak dirasakan, demi cepat sampai di rumah Bu Ira sang juragan di desanya. Sebuah desa yang terpencil dan jauh dari kota. Bu Ira adalah seseorang yang begitu kaya raya, di juluki sebagai juragan tanah. Dan tidak ada yang boleh melebihi kekayaan nya."Cepetan Bu Yanti! lelet amat sih!" sentak Bu Ira dengan mata melotot menoleh ke arah belakang di mana bu Yanti dengan sedikit tergesa, berusaha untuk mensejajari Bu Ira"I—iya Bu, maafkan saya selalu merepotkan Bu Ira." Ucap Bu Yanti lirih yang berjalan di belakang Bu Ira.Sampai di rumah Bu Ira, ponsel Bu Ira pun berbunyi."Jangan lama-lama, nanti baterai saya cepat habis! lagian ya orang miskin kok nggak ada habis-h
Hanum langsung berkaca—kaca ketika di bentak oleh Bu Rita sang majikan. "Maafkan saya nyonya." Ucapnya lirih meminta maaf.Sementara itu bibi Lastri hanya diam menatap Hanum yang di omeli dan dimarahi Bu Rita. Tak ada keinginan untuk membela asisten baru itu."Ya sudah, untuk kali ini kamu aku maafkan!" Ucap Bu Rita lalu meninggalkan Hanum dan bibi Lastri di ruang setrika. Perasaan Hanum lega ketika Bu Rita berkenan memaafkannya dan tak memecatnya."Bibi, maafkan saya. Saya tadi memang benar-benar ingat kalau setrika itu sudah saya lepas, tapi kenapa malah setrikanya justru masih menyala.""Makanya lain kali hati-hati!" Hardik asisten senior itu kemudian meninggalkan Hanum sendirian di sana. Tidak ada perasaan curiga apapun pada wanita paru baya itu. Hanum harus bisa menempatkan posisi, kalau dia memang baru di sana. Mungkin gadis itu memang lupa belum mematikan dan mencabut setrika saat akan meninggalkan nya.***Hari berganti dan bulan berlalu. Sudah tiga bulan Hanum bekerja di rum
Monica memejamkan matanya ketika mendengar Bu Rita mengucapkan kalimat seperti itu. Meskipun sudah terbiasa mendengarnya, namun setiap kali wanita paruh baya yang sudah melahirkan suaminya itu menyindirnya, tetap saja Monica merasa sakit hati. Berusaha untuk menahan air matanya agar tak jatuh, dan membuat mood sarapan pagi mereka semua hancur."Ma, kok pagi-pagi sudah ngomong seperti itu lagi sih?" Ardi selalu menjadi pembela untuk istrinya."Lohh memangnya kenapa sayang, kan apa yang mama katakan benar? ngapain kalian susah-susah jogging 5 tahun lebih tapi nggak juga hamil."Bu Rita berkata seenaknya, meskipun dia sendiri tahu ikhtiar seperti apa yang tengah Ardi dan Monica jalani selama ini. Namun sepertinya wanita paruh baya itu seperti tutup mata tak peduli dengan perjuangan mereka berdua.Hanum dan bik Lastri hanya mendengar dari dapur. Mereka berdua saling berpandangan. "Ya seperti itu Bu Rita sama mbak Monica!" Ucap bibi Lastri mengatupkan bibirnya. Membuat Hanum menganggukkan
Pagi-pagi sekali, Monica sudah bangun dan bersiap untuk jogging. Mumpung mereka memang ambil cuti, jadi bisa lebih lama tinggal di rumah Bu Rita Ibu mertuanya. Saat membuka mata, Monica masih melihat Ardi sang suami terlelap. Wanita cantik itu menatap pada sang suami dan mengelus pelan pucuk rambutnya. 'Terima kasih ya Mas sudah selalu ada untukku. Terima kasih juga untuk kesabarannya selama ini. Semoga Allah segera ijabah doa-doa kita dan mendapatkan titipan amanah Nya.'Setelahnya Monica bangun dan menuju ke kamar mandi yang ada di dalam kamar. Suara orang beraktivitas di dapur rumah Ibu mertuanya mulai terdengar. Ardi yang baru membuka mata mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar dan tak nampak sang istri. Namun dari kamar mandi terdengar suara gemericik air, yang berarti Monica ada di dalam.Ardi mengucek matanya dan sesekali menguap, lalu menyandarkan punggungnya di sandaran head—board.Ceklek...Pintu kamar mandi terbuka dan nampak Monica keluar dengan rambut yang basah. "
Pagi menjelang, kabut masih terlihat di sekitar rumah Bu Yanti ketika wanita itu mulai menyapu halaman. Suasana desa yang sepi dan terpencil, membuat nya bertambah sedih kala mengingat dan merindukan ketiga anaknya. Niko anak pertama sudah tinggal di kota dengan istri dan keluarganya. Rahma anak kedua sedang bekerja di luar kota dan masih single. Terakhir, Hanum anak bungsu yang juga kerja di kota."Eh Bu Yanti pagi-pagi sudah bersih-bersih?" Sapa Bu Indri yang hendak pergi belanja sayur. Karna pasar sayur juga tak terlalu jauh dari rumah Bu Yanti."Iya Bu Indri." Senyum wanita baya itu tersungging, melihat Bu Indri dan anak menantunya yang terlihat begitu akur berjalan bersama menuju ke pasar. Beda sekali dengannya, Raya tak seakrab seperti menantu Bu Indri, Humairah."Oh ya, saya lihat anak-anaknya Bu Yanti tidak pernah pulang? Apa Mas Niko sangat sibuk ya kerja di pabriknya? Terus itu si Hanum sama si Rahma kakaknya juga jarang terlihat pulang. Sebentar lagi puasa loh bu, kalau p
Hanum langsung berkaca—kaca ketika di bentak oleh Bu Rita sang majikan. "Maafkan saya nyonya." Ucapnya lirih meminta maaf.Sementara itu bibi Lastri hanya diam menatap Hanum yang di omeli dan dimarahi Bu Rita. Tak ada keinginan untuk membela asisten baru itu."Ya sudah, untuk kali ini kamu aku maafkan!" Ucap Bu Rita lalu meninggalkan Hanum dan bibi Lastri di ruang setrika. Perasaan Hanum lega ketika Bu Rita berkenan memaafkannya dan tak memecatnya."Bibi, maafkan saya. Saya tadi memang benar-benar ingat kalau setrika itu sudah saya lepas, tapi kenapa malah setrikanya justru masih menyala.""Makanya lain kali hati-hati!" Hardik asisten senior itu kemudian meninggalkan Hanum sendirian di sana. Tidak ada perasaan curiga apapun pada wanita paru baya itu. Hanum harus bisa menempatkan posisi, kalau dia memang baru di sana. Mungkin gadis itu memang lupa belum mematikan dan mencabut setrika saat akan meninggalkan nya.***Hari berganti dan bulan berlalu. Sudah tiga bulan Hanum bekerja di rum
Dengan langkah tergopoh, Bu Yanti tersenyum ketika mendapat kabar dari Bu Ira tetangganya bahwa Hanum menelpon. Maklum wanita tua itu tak mempunyai ponsel seperti kebanyakan orang. Jadi ketika mendapat kabar, Hanum anak bungsunya yang sekarang sedang bekerja di kota, dia begitu bahagia.Keringat yang mengucur deras di dahinya tak dirasakan, demi cepat sampai di rumah Bu Ira sang juragan di desanya. Sebuah desa yang terpencil dan jauh dari kota. Bu Ira adalah seseorang yang begitu kaya raya, di juluki sebagai juragan tanah. Dan tidak ada yang boleh melebihi kekayaan nya."Cepetan Bu Yanti! lelet amat sih!" sentak Bu Ira dengan mata melotot menoleh ke arah belakang di mana bu Yanti dengan sedikit tergesa, berusaha untuk mensejajari Bu Ira"I—iya Bu, maafkan saya selalu merepotkan Bu Ira." Ucap Bu Yanti lirih yang berjalan di belakang Bu Ira.Sampai di rumah Bu Ira, ponsel Bu Ira pun berbunyi."Jangan lama-lama, nanti baterai saya cepat habis! lagian ya orang miskin kok nggak ada habis-h