“Setelah penderitaan itu..Kamu masih tak menceraikannya?” Amarah Marven langsung membuncah, seolah ingin menyadarkan wanita di depannya itu.“Naina, jika kamu takut. Saya bisa membalas semuanya untukmu. Bahkan jika harus membunuh Jake, saya akan lakukan. Ayahmu sudah tenang disana, tak ada hal yang bisa mengikatmu lebih lama.” Kata Marven serius, “Jadi.. bilang pada saya, mintalah pada saya. Jangan memendamnya sendirian.”Naina membeku, menatap Marven dengan mata yang masih dipenuhi air mata. Hatinya bergetar mendengar kata-kata pria itu.Membunuh Jake?Tidak. Itu bukan yang dia inginkan… tapi, di saat yang sama, dia tidak bisa menyangkal keinginannya untuk membalas semua rasa sakit yang telah dia alami.“Saya.. tak akan berpikiran seperti itu meskipun saya ingin sekali melihat Jake merasakan penderitaan saya.” Katanya dengan pelan.Marven menghela nafas, memegang kedua tangan Naina tanpa ragu. “Lalu, apa yang ingin kamu lakukan? Saya akan membantumu.” Katanya dengan lembut.Naina ter
“Mau saya antar pulang?” Tawar Marven dengan lembut. Saat ini mereka sudah tiba di bandara dan akan kembali, namun melihat jam yang sudah hampir malam membuat Naina menolak.“Jake pasti sudah pulang, saya tidak ingin anda berdebat dengan pria sepertinya.” Kata Naina sopan.Marven terkekeh, “Jika itu demi kamu sepertinya saya tidak masalah.”Naina menghela napas, berusaha menenangkan dirinya. "Terima kasih, tapi saya bisa sendiri, Tuan," ujarnya dengan suara lembut. Marven menatapnya dalam, seolah menimbang sesuatu. "Baiklah," katanya akhirnya. "Tapi jika sesuatu terjadi, hubungi saya." Naina mengangguk pelan. "Saya mengerti." Namun, ketika Marven mengulurkan tangan untuk menepuk lembut kepalanya, Naina sedikit terkejut. Sentuhan itu hangat dan terasa begitu menenangkan, membuatnya hampir lupa bahwa begitu sampai di rumah, dia akan kembali menghadapi neraka yang menunggunya. "Saya serius, Naina," suara Marven terdengar lebih dalam. "Jangan ragu untuk meminta bantuan." Naina t
“Jake, aku ingin anting berlian seperti Naina. Kenapa kau membelikannya sedangkan aku tidak?” Tanya Evelyn dengan merajuk saat mereka berada di dalam mobil.“Aku tak membelikannya, dia beli sendiri.” Kata Jake sambil fokus menyetir.Evelyn mengerutkan keningnya lalu dengan cepat dia mencari di internet tentang anting itu. Saat menemukan anting yang dia maksud, matanya langsung terbelalak melihat harga yang terpampang di layar.“Jake…” Suara Evelyn melemah, tangannya masih menggenggam ponselnya erat. “Anting itu… harganya lebih dari sembilan puluh ribu dolar?” Jake melirik sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. “Katanya dia membeli di pasar, mungkin itu bukan berlian asli” katanya santai. “Jake, aku memegangnya sendiri. Aku tahu berlian asli atau bukan.” Kata Evelyn dengan serius. Evelyn menggigit bibirnya, rasa tidak terima mulai menyusup ke dalam dadanya. “Tapi dari mana dia bisa punya uang sebanyak itu? Bukankah kau bilang dia tidak bekerja sebelumnya dan baru saja diterima ker
“Kopi anda, tuan.” Kata Naina dengan sopan kala menyajikan kopi untuk Marven.Marven yang sedang duduk di balkon kamarnya langsung mengangkat wajahnya kala melihat Naina.“Letakkan di sana.” Katanya sambil menunjuk ke arah meja di sampingnya.Naina mengangguk dan segera meletakkannya di meja dan ingin beranjak pergi.“Apa ada pekerjaan lain?” Tanya pria itu yang membuat Naina berhenti.“Tidak ada pekerjaan khusus, namun saya ingin membantu pelayan lain agar pekerjaannya cepat selesai. Apa anda masih membutuhkan sesuatu, tuan?” Kata Naina dengan sopan.“Kamu bukan pelayan. Jangan bantu pekerjaan mereka.” Kata Marven dengan dingin.Naina bingung, bukankah dia memang pelayan? Lebih tepatnya asisten rumah tangga?"Tapi, bukankah saya memang dipekerjakan untuk membantu di rumah ini, tuan?" tanya Naina dengan bingung. Marven menatapnya tajam, lalu menghela napas seolah sedang menahan kesabaran. "Kamu bukan pelayan biasa, Naina. Saya mempekerjakanmu sebagai asisten pribadi, bukan untuk men
“S-sembilan puluh juta?”Wajah Evelyn sangat terkejut kala dia mendengar harga gaun bekas yang dia jual mencapai harga fantastis. Bisa dibayangkan berapa harga gaun itu saat masih baru.“Ini edisi terbatas, tapi saya tak bisa menawar lebih tinggi lagi.” Kata penjaga toko itu dengan tenang.“S-saya menjualnya.” Kata Evelyn, dia juga tak merasa rugi sama sekali karena gaun ini milik Naina dan dia mendapatkan uang sebanyak itu hanya dengan menjual satu gaun.Evelyn hampir tidak bisa menahan senyumnya saat menerima bukti transaksi. Dengan tangan gemetar karena antusias, dia memasukkan kartu debitnya untuk menerima transferan uang. "Sembilan puluh juta…" gumamnya pelan, matanya berbinar penuh kegembiraan. Penjaga toko mengangguk sambil memasukkan gaun ke dalam bungkusan khusus. "Gaun ini memang sangat eksklusif. Pastikan Anda tidak menyesal menjualnya," katanya santai. Evelyn tertawa kecil. "Tentu saja tidak. Saya bahkan merasa seperti memenangkan lotre!" Dia keluar dari toko denga
“E-eh… A-ada apa ini?” Evelyn sangat terkejut kala mobilnya di hadang oleh mobil polisi.Salah seorang polisi mengetuk kaca mobilnya dengan wajah dingin, Evelyn yang ketakutan perlahan membuka kaca mobilnya perlahan.“Bisa saya lihat surat-surat dan identitas anda?” Tanya Polisi itu.Evelyn menelan ludah, tangannya sedikit gemetar saat merogoh tasnya dan mengeluarkan dompet. "A-ada masalah apa, Pak?" tanyanya dengan suara bergetar. Polisi itu tidak langsung menjawab, melainkan menerima surat-surat yang diberikan Evelyn dan mengeceknya sebentar. "Kami mendapat laporan mengenai dugaan transaksi barang curian. Kami perlu membawa Anda ke kantor untuk dimintai keterangan." "A-apa? Barang curian?!" Evelyn langsung panik. "Tidak mungkin! Saya hanya menjual gaun, itu milik saya!" Polisi itu tetap tenang. "Menurut laporan, gaun tersebut adalah barang pribadi yang dibuat khusus untuk seseorang dan tidak pernah diberikan atau dijual kepada Anda. Jika Anda tidak keberatan, silahkan ikut kam
Hampir dua jam Ben dan Naina mencari dokumen yang hilang, meskipun seharusnya Naina sudah memasuki jam pulang tapi dia tetap profesional membantu Ben mencari.Ben mengusap wajahnya dengan frustasi. “Sudah hampir dua jam, tapi masih belum ketemu juga…” Naina duduk sejenak di kursi, mencoba mengingat kembali segala sesuatu yang terjadi hari ini. Dia tidak mungkin masuk ke ruang kerja Marven tanpa izin, dan setahunya, hanya beberapa orang tertentu yang bisa mengakses ruangan itu. “Tadi pagi, siapa saja yang masuk ke ruangan Tuan Marven?” tanya Naina, mencoba berpikir logis. Ben menghela napas, mencoba mengingat. “Saya, Pak Johan, dan seorang staf kebersihan. Tapi staf kebersihan tidak mungkin mengambil dokumen penting, mereka hanya membersihkan ruangan.” Naina memiringkan kepalanya. “Tunggu… staf kebersihan?” Ben menatapnya dengan serius. “Iya, kenapa?” “Kita tidak bisa mengesampingkan siapa pun,” kata Naina tegas. “Apakah ada rekaman CCTV di sekitar ruangan itu?” Ben tampa
“Kamu menyuruhnya mengikuti pencuri itu?!” Amarah Marven langsung memuncak kala mendengar jika Ben kehilangan jejak Naina selama mengejar pencuri dokumen itu.Ben langsung menunduk merasa bersalah, “Maafkan saya, tuan. Saya tidak tahu jika akan kehilangan jejak Nyonya.”Marven mengepalkan tangannya, matanya menajam penuh kemarahan. “Cari dia! Saya tidak peduli bagaimana caranya, temukan Naina sekarang juga!” Ben segera mengangguk dan memberi instruksi kepada timnya. Sementara itu, Marven mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang. “Nyalakan semua kamera lalu lintas di sekitar lokasi terakhirnya. Saya ingin laporan dalam lima menit.” Pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan. Apakah Naina baik-baik saja? Apakah pria yang dia kejar berbahaya? Marven menatap jam tangannya, waktu terasa berjalan sangat lambat. Satu menit, dua menit… hingga akhirnya ponselnya kembali bergetar. “Tuan, kami menemukan rekaman CCTV. Nyonya Naina terlihat memasuki gang sempit, lalu menghil
“Bagaimana? Apakah dia hamil?”Marven langsung menembak pertanyaan saat dokter keluarga memeriksa Naina setelah kembali ke mansion.“Hamil?” Dokter keluarga itu mengerutkan dahi, menatap Marven sejenak sebelum kembali memeriksa hasil catatannya.“Tidak, dia tidak hamil,” jawabnya dengan nada datar namun meyakinkan. “Tekanan darahnya sedikit rendah dan lambungnya iritasi, mungkin karena kelelahan dan pola makan yang tidak teratur. Itu saja.”Marven menarik napas lega, namun tak sempat menyembunyikan ekspresi lega yang langsung terlihat oleh Naina yang duduk di sisi ranjang.“Kenapa kamu curiga aku hamil?” tanya Naina dengan bingung.Marven menatap Naina beberapa detik, seolah memilih kata-kata yang tepat. Ia lalu duduk di tepi ranjang, tak mengalihkan pandangannya darinya.“Karena kamu tiba-tiba mual, pucat… dan kamu terlihat tidak seperti biasanya,” ujarnya dengan tenang. “Dan… bibi Sisca juga langsung menebaknya.”Naina mengerutkan kening, “Jadi kamu percaya omongan bibi Sisca?”Marv
Brak!Suara ponsel yang hancur ke lantai menggema di ruangan kamar itu. Rosana yang melihat sosial media bibinya langsung mendidih karena melihat kemesraan Naina dan Marven.Dia menggigit kuku jarinya dengan gelisah, hingga suara ketukan kaca dari arah balkon membuatnya menoleh.Dengan cepat dia bangkit dan menghampiri orang itu dengan semangat, “Bagaimana? kau sudah menemukan rahasia wanita itu?”Pria dengan masker hitam itu mengangguk, “ternyata dia wanita yang sudah menikah, dan baru saja bercerai.”Mendengar itu Rosana menyeringai, “licik juga dia, pasti kakak tidak tahu jika dia seorang janda!’Pria itu menyerahkan sebuah map berisi dokumen. “Ini salinan surat perceraiannya. Lengkap dengan data mantan suaminya.”Rosana membuka map itu dengan antusias, matanya berbinar saat membaca setiap lembarannya. “Ini... ini sempurna,” gumamnya. “Dengan ini, aku bisa membuat kakak membencinya. Seorang Tuner tak mungkin bersama janda!”Dia terkekeh pelan, namun nada tawanya dipenuhi kebencian.
“Awas, hati-hati,” kata Marven saat membantu Naina turun dari mobil.Nyonya Sisca yang melihat itu tersenyum tipis,”Kalian membuatku iri saja.”“Terlambat, bibi sudah tidak laku di pasaran,” kata Marven dengan tenang sambil menggandeng tangan Naina.Nyonya Sisca langsung melotot tajam. “Hei, kurang ajar! Aku ini masih laku, tahu!” Marven hanya mengangkat bahu dengan santai. “Oh ya? Mana buktinya?” Naina menahan tawa melihat interaksi keduanya. “Bibi masih sangat cantik, pasti banyak yang tertarik,” katanya mencoba menenangkan suasana. Nyonya Sisca tersenyum bangga sambil melirik Marven. “Lihat? Naina saja tahu.” Marven mendengus pelan lalu kembali fokus menggandeng tangan Naina. “Baiklah, kalau bibi merasa masih laku, cepat cari pasangan supaya tidak mengganggu kami.” Nyonya Sisca terkekeh, lalu menggeleng. “Tidak semudah itu, Nak. Aku masih ingin melihat bagaimana kau menangani hubunganmu sendiri.” Naina tersenyum canggung, sementara Marven hanya mendesah pasrah. Perjalana
“Kenapa?” tanya Nyonya Sisca dengan santai, “lihat, Naina tampak tak keberatan jika menginap.”Marven mendengus, “Tidak boleh, dia harus pulang!”Rosana yang mendengar itu semakin kesal karena dua orang sedang memperebutkan wanita itu sedangkan dia diabaikan begitu saja.“Kak, biarkan saja Naina pergi. Lebih baik kakak temani aku untuk memilih kado untuk ulang tahun kakek yang sebentar lagi diadakan,” kata Rosana dengan lembut.Nyonya Sisca tersenyum miring, “Lihat, adikmu perlu ditemani jadi jangan ganggu bisnisku.”Marven melirik Rosana sekilas sebelum kembali menatap Naina. “Kalau begitu, saya ikut.” Naina mengerjap, sedikit terkejut. “Apa?” Rosana langsung merajuk, “Kak! Aku yang membutuhkanmu sekarang, bukan dia!” Marven tetap tenang, tapi suaranya penuh ketegasan. “Ben bisa menemanimu memilih hadiah. Saya akan pergi dengan Naina.” Rosana menggigit bibirnya, merasa semakin diabaikan. Nyonya Sisca tertawa kecil, menyesap tehnya dengan santai. “Kalau kau ikut, siapa yang a
“Sudah satu jam, sepertinya Marven tidur disana,” gumam Naina pelan.Akhirnya dia tak menunggu lagi, dengan cepat dia mematikan lampu kamar dan menutupi dirinya dengan selimut tebal.Namun, baru saja Naina mencoba memejamkan mata, pintu kamar terbuka dengan pelan. Marven masuk dengan langkah tenang, lalu menutup pintunya kembali. Suara kunci yang diputar membuat Naina yang berpura-pura tidur langsung sadar. Dia merasakan ranjang di sebelahnya sedikit tenggelam ketika Marven duduk di sana. “Kamu pura-pura tidur?” suara beratnya terdengar di kegelapan. Naina tidak menjawab, tetap diam di bawah selimutnya. Marven tersenyum tipis, lalu dengan santai menarik selimut itu hingga wajah Naina terlihat. “Saya tidak tidur di sana. Saya hanya menunggu sampai dia tertidur.” Naina mengerjapkan mata, menatap Marven dalam cahaya redup. “Kamu tidak perlu menjelaskannya,” katanya pelan. “Tapi saya ingin,” balas Marven dengan suara rendah, lalu berbaring di sampingnya. Pria itu langsung ik
“Kamu lupa itu sudah menjadi kamar Rosana?” Tiba-tiba suara Marven terdengar kala Naina ingin masuk ke kamar yang biasa dia gunakan.“Ah– maaf, saya akan tidur di mess pelayan,” kata Naina dengan cepat lalu berbalik.Namun, tangannya langsung di cekal oleh Marven, “Kamu marah?”Naina menatap tangan Marven yang mencengkeram pergelangannya, lalu mengalihkan pandangan ke wajah pria itu. Matanya yang biasanya tenang kini menunjukkan sedikit kekecewaan.“Kenapa saya harus marah?” tanyanya, suaranya terdengar datar.Marven menghela napas, menatapnya dalam. “Kalau kamu tidak marah, kenapa ingin tidur di mess pelayan? Tempatmu di sini, bukan di sana.”Naina tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Karena kamar ini sudah ditempati Rosana.”Marven yang mendengar itu langsung menarik Naina ke kamar yang ada di depan kamar tersebut lalu dengan cepat dia menutup dan menguncinya.Tubuh Naina langsung di himpit oleh tubuh besar itu di depan pintu.“Bukankah ini jadi kesempatan kit
“Ini makanan penutup malam ini, tapi hari ini hanya sempat membuat puding saja.” Kata Naina sambil menaruh puding di depan Marven dan tak lupa juga memberikan untuk Rosana.“Puding? Kau tak tahu jika kakak tidak suka makanan manis?” kata Rosana dengan ketus.Naina menatap bingung adik tiri Marven itu, dia tak tahu jika Marven tak menyukai makanan manis. Tapi, dulu Marven sendiri yang bilang dia menyukainya. Yang benar yang mana?Marven menatap puding di depannya, lalu mengangkat sendok dan mengambil sesendok kecil.“Saya tidak suka makanan manis?” Marven mengulang ucapan Rosana sambil melirik ke arahnya. “Sejak kapan kamu tahu selera saya?”Rosana terdiam, wajahnya seketika tegang. “Aku… aku hanya ingat dulu kakak jarang makan makanan manis.”Marven tidak menjawab, ia hanya melanjutkan makan puding buatan Naina tanpa ragu. “Pudingnya enak,” katanya santai, membuat Naina tersenyum kecil.Rosana mengepalkan tangannya di bawah meja. Keakraban ini membuatnya semakin tidak nyaman.Hingga s
“Aku dengar Rosana kembali.” Suara Nyonya Sisca membuat Naina yang sebelumnya sedang fokus pada dokumen yang diberikan padanya sedikit buyar.“Benar, bibi.” Katanya dengan singkat namun jelas.“Yah, anak itu memang sedikit manja. Tapi, kau harus hati-hati dengannya.” Kata Nyonya Sisca dengan tenang.Naina menatap Nyonya Sisca dengan sedikit bingung. "Kenapa, Bibi?"Nyonya Sisca menyilangkan tangan di depan dadanya, ekspresinya sulit ditebak. "Rosana itu tidak sebodoh kelihatannya. Dia tahu bagaimana mendapatkan apa yang dia inginkan, dan biasanya dia tidak peduli siapa yang harus disingkirkan untuk itu."Naina terdiam untuk beberapa saat, namun dia sepertinya tak perlu mengurus hal ini.“Terima kasih atas peringatannya, bibi. Tapi sepertinya Rosana tak mungkin menganggap saya saingannya yang harus disingkirkan. Bukankah kita akan menjadi keluarga?”Nyonya Sisca tersenyum kecil, tapi ada kilatan tajam di matanya. “Keluarga, ya? Ya semoga begitu.” Katanya sambil pergi meninggalkan Nain
“Kakak!”Suara melengking itu membuat mansion yang biasanya tenang langsung pecah, Naina yang tadinya membantu pelayan menyiapkan sarapan seperti biasa langsung menoleh.“Siapa dia?” Tanya Naina pada pelayan di sampingnya.“Oh, itu Nona Rosana. Adik tiri tuan Marven, Nyonya.” Kata pelayan itu dengan ramah.Naina yang mendengar itu mengangguk, dia benar-benar belum tahu anggota keluarga besar Tuner dan sepertinya mulai sekarang dia harus mencari tahu agar bisa menyambut mereka jika datang.Dengan cepat dia langsung menghampiri wanita itu, dan tersenyum ramah.Namun, saat Naina mendekat Rosana langsung menatapnya sinis. “Kau pelayan baru? Dimana kakak, apa masih tidur? Sepertinya aku akan membangunkannya.” Naina terdiam sejenak, tapi senyumnya tidak luntur. Dia bisa merasakan ketidaksukaan dalam nada bicara Rosana, tapi memilih untuk tetap tenang.“Dia masih mandi, mungkin sekarang sudah selesai.” Katanya dengan lembut.Rosana langsung melirik tajam, “Kenapa kau begitu tahu? Dan bagaim