“Kopi anda, tuan.” Kata Naina dengan sopan kala menyajikan kopi untuk Marven.Marven yang sedang duduk di balkon kamarnya langsung mengangkat wajahnya kala melihat Naina.“Letakkan di sana.” Katanya sambil menunjuk ke arah meja di sampingnya.Naina mengangguk dan segera meletakkannya di meja dan ingin beranjak pergi.“Apa ada pekerjaan lain?” Tanya pria itu yang membuat Naina berhenti.“Tidak ada pekerjaan khusus, namun saya ingin membantu pelayan lain agar pekerjaannya cepat selesai. Apa anda masih membutuhkan sesuatu, tuan?” Kata Naina dengan sopan.“Kamu bukan pelayan. Jangan bantu pekerjaan mereka.” Kata Marven dengan dingin.Naina bingung, bukankah dia memang pelayan? Lebih tepatnya asisten rumah tangga?"Tapi, bukankah saya memang dipekerjakan untuk membantu di rumah ini, tuan?" tanya Naina dengan bingung. Marven menatapnya tajam, lalu menghela napas seolah sedang menahan kesabaran. "Kamu bukan pelayan biasa, Naina. Saya mempekerjakanmu sebagai asisten pribadi, bukan untuk men
“S-sembilan puluh juta?”Wajah Evelyn sangat terkejut kala dia mendengar harga gaun bekas yang dia jual mencapai harga fantastis. Bisa dibayangkan berapa harga gaun itu saat masih baru.“Ini edisi terbatas, tapi saya tak bisa menawar lebih tinggi lagi.” Kata penjaga toko itu dengan tenang.“S-saya menjualnya.” Kata Evelyn, dia juga tak merasa rugi sama sekali karena gaun ini milik Naina dan dia mendapatkan uang sebanyak itu hanya dengan menjual satu gaun.Evelyn hampir tidak bisa menahan senyumnya saat menerima bukti transaksi. Dengan tangan gemetar karena antusias, dia memasukkan kartu debitnya untuk menerima transferan uang. "Sembilan puluh juta…" gumamnya pelan, matanya berbinar penuh kegembiraan. Penjaga toko mengangguk sambil memasukkan gaun ke dalam bungkusan khusus. "Gaun ini memang sangat eksklusif. Pastikan Anda tidak menyesal menjualnya," katanya santai. Evelyn tertawa kecil. "Tentu saja tidak. Saya bahkan merasa seperti memenangkan lotre!" Dia keluar dari toko denga
“E-eh… A-ada apa ini?” Evelyn sangat terkejut kala mobilnya di hadang oleh mobil polisi.Salah seorang polisi mengetuk kaca mobilnya dengan wajah dingin, Evelyn yang ketakutan perlahan membuka kaca mobilnya perlahan.“Bisa saya lihat surat-surat dan identitas anda?” Tanya Polisi itu.Evelyn menelan ludah, tangannya sedikit gemetar saat merogoh tasnya dan mengeluarkan dompet. "A-ada masalah apa, Pak?" tanyanya dengan suara bergetar. Polisi itu tidak langsung menjawab, melainkan menerima surat-surat yang diberikan Evelyn dan mengeceknya sebentar. "Kami mendapat laporan mengenai dugaan transaksi barang curian. Kami perlu membawa Anda ke kantor untuk dimintai keterangan." "A-apa? Barang curian?!" Evelyn langsung panik. "Tidak mungkin! Saya hanya menjual gaun, itu milik saya!" Polisi itu tetap tenang. "Menurut laporan, gaun tersebut adalah barang pribadi yang dibuat khusus untuk seseorang dan tidak pernah diberikan atau dijual kepada Anda. Jika Anda tidak keberatan, silahkan ikut kam
Hampir dua jam Ben dan Naina mencari dokumen yang hilang, meskipun seharusnya Naina sudah memasuki jam pulang tapi dia tetap profesional membantu Ben mencari.Ben mengusap wajahnya dengan frustasi. “Sudah hampir dua jam, tapi masih belum ketemu juga…” Naina duduk sejenak di kursi, mencoba mengingat kembali segala sesuatu yang terjadi hari ini. Dia tidak mungkin masuk ke ruang kerja Marven tanpa izin, dan setahunya, hanya beberapa orang tertentu yang bisa mengakses ruangan itu. “Tadi pagi, siapa saja yang masuk ke ruangan Tuan Marven?” tanya Naina, mencoba berpikir logis. Ben menghela napas, mencoba mengingat. “Saya, Pak Johan, dan seorang staf kebersihan. Tapi staf kebersihan tidak mungkin mengambil dokumen penting, mereka hanya membersihkan ruangan.” Naina memiringkan kepalanya. “Tunggu… staf kebersihan?” Ben menatapnya dengan serius. “Iya, kenapa?” “Kita tidak bisa mengesampingkan siapa pun,” kata Naina tegas. “Apakah ada rekaman CCTV di sekitar ruangan itu?” Ben tampa
“Kamu menyuruhnya mengikuti pencuri itu?!” Amarah Marven langsung memuncak kala mendengar jika Ben kehilangan jejak Naina selama mengejar pencuri dokumen itu.Ben langsung menunduk merasa bersalah, “Maafkan saya, tuan. Saya tidak tahu jika akan kehilangan jejak Nyonya.”Marven mengepalkan tangannya, matanya menajam penuh kemarahan. “Cari dia! Saya tidak peduli bagaimana caranya, temukan Naina sekarang juga!” Ben segera mengangguk dan memberi instruksi kepada timnya. Sementara itu, Marven mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang. “Nyalakan semua kamera lalu lintas di sekitar lokasi terakhirnya. Saya ingin laporan dalam lima menit.” Pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan. Apakah Naina baik-baik saja? Apakah pria yang dia kejar berbahaya? Marven menatap jam tangannya, waktu terasa berjalan sangat lambat. Satu menit, dua menit… hingga akhirnya ponselnya kembali bergetar. “Tuan, kami menemukan rekaman CCTV. Nyonya Naina terlihat memasuki gang sempit, lalu menghil
“T-tuan, bisakah anda menurunkan saya? Sekarang para pelayan sedang melihat kita.” Cicit Naina kala Marven terus memeluknya dalam gendongannya.Marven hanya melirik sekilas ke arah para pelayan yang berdiri terpSaya di depan mansion, beberapa bahkan tampak terkejut melihat bos mereka yang biasanya dingin kini menggendong seorang wanita dengan penuh perhatian. “Biar saja,” jawabnya singkat, tetap melangkah masuk ke dalam rumah tanpa niat menurunkannya. “Tapi… Tuan…” Naina menggigit bibirnya, wajahnya mulai memanas karena tatapan penasaran dari para pelayan. “Diam.” Marven memotong dengan nada otoritatif, tetapi tangannya justru semakin mengeratkan pelukan di sekitar tubuh Naina. Begitu masuk ke dalam mansion, Marven langsung menuju ke kamarnya. Dia menendang pintu hingga terbuka dan membaringkan Naina di atas tempat tidurnya dengan hati-hati. “Jangan keluar sebelum Saya bilang boleh,” katanya tegas sambil melepas jasnya. Naina menatapnya dengan bingung. “Kenapa?” Marven m
“Dia tidak pulang, Jake?” Tanya Evelyn saat Jake sejak tadi mondar mandir di depan pintu apartemen.Jake yang sejak tadi kesal berusaha menelpon Naina, namun nomor teleponnya selalu tidak aktif.“Dimana dia?” Gumamnya dengan penuh amarah.Evelyn yang melihat itu langsung berdiri dan menghampiri Jake, “Sejak Naina bekerja dia selalu pulang telat bahkan baru beberapa hari kerja sudah diajak dinas diluar kota. Jake, apa kau tidak curiga?” Tanya Evelyn seolah menambah bumbu kemarahan Jake.“Apa maksudmu?” Tanyanya dengan serius.“Apa kau tidak sadar, Naina memiliki barang-barang mahal sedangkan kau tak pernah memberikannya. Apa sebenarnya dia menjadi seorang simpanan? Secara logika Naina tak mungkin mampu membeli barang itu.” Kata Evelyn dengan wajah terkejut.Jake mengepalkan tangannya kuat-kuat, rahangnya mengeras mendengar kata-kata Evelyn. Kata ‘simpanan’ yang keluar dari mulut wanita itu membuat amarahnya semakin memuncak. “Tidak mungkin,” gumam Jake, mencoba menyangkal. “Naina buk
Suasana di meja makan menjadi sangat canggung. Diamnya Naina setelah Marven menanyakan soal apakah pria itu pantas atau tidak membuatnya bingung.“Tuan, saya wanita yang sudah bersuami.” Kata Naina dengan pelan.Marven adalah pria tampan dan mempunyai status tinggi, dia pantas mendapatkan wanita yang lebih dari dirinya. Tak ada celah dari Marven untuk mendapatkan wanita yang sempurna untuk menduduki posisi Nyonya Tuner.“Saya bisa menunggu.” Kata Marven dengan serius.Naina menegang. Jawaban Marven begitu tenang, tapi berat di hatinya. Dia tidak tahu harus menjawab apa.“Tuan, saya tidak bisa memberikan harapan,” katanya akhirnya, suaranya hampir seperti bisikan.Marven tersenyum kecil, tapi matanya tetap tajam. “Saya tidak butuh harapan, Naina. Saya hanya ingin kamu tahu bahwa Saya di sini. Dan Saya tidak akan ke mana-mana.”Naina menunduk, menatap tangannya yang menggenggam sendok dengan erat. Hatinya berperang—antara rasa takut, ragu, dan sesuatu yang lain yang enggan dia akui.Sej
Beberapa bulan kemudian, suasana mewah dan hangat menyelimuti ballroom utama di mansion keluarga Tuner. Dekorasi elegan dipenuhi bunga putih dan ungu, selaras dengan tema pernikahan Rosana dan Andrian. Para tamu duduk tenang menyaksikan dua sejoli yang kini berdiri di altar, saling menatap dengan mata berbinar.Rosana terlihat anggun dalam gaun putih panjang yang menjuntai lembut, sementara Andrian tampak gagah dengan setelan jas hitam elegan. Di tengah keheningan yang khidmat, suara pendeta pun terdengar lantang dan syahdu:“Silakan ucapkan janji suci pernikahan kalian.”Andrian mengambil tangan Rosana dengan mantap. Suaranya terdengar tenang, namun penuh emosi.“Aku, Andrian, berjanji untuk mencintaimu, Rosana, di setiap hari baik maupun buruk. Aku akan menjadi rumah tempatmu pulang, pelindung saat kau lelah, dan sahabat yang selalu ada. Hari ini, aku tidak hanya menikahi wanita yang kucintai… aku juga menikahi masa depanku.”Rosana menarik napas pelan, matanya berkaca-kaca. Ia meng
“Baby boy datang….” Nyonya Sisca membawa box bayi dengan semangat.Naina yang terbaring di ranjang tersenyum bahagia karena ini adalah pertama kalinya dia melihat putranya setelah beberapa hari dalam perawatan.Nyonya Sisca meletakkan box bayi itu dengan hati-hati di samping ranjang Naina. “Lihatlah, dia sudah membuka matanya tadi pagi. Seperti sedang mencari-cari ibunya,” ujarnya dengan mata yang berkaca-kaca karena haru.Naina mengangkat tangannya pelan, matanya sudah basah melihat sosok mungil di dalam box itu. “Sayang… sini, peluk mama,” bisiknya lirih.Marven dengan hati-hati mengangkat bayi itu dan meletakkannya di dada Naina. Tangis kecil si bayi langsung mereda saat merasakan dekapan ibunya.“Raynar Elric Tuner,” gumam Naina sambil mencium kening putranya. “Selamat datang di dunia, nak…”Marven berdiri di samping mereka, mengelus lembut kepala istrinya dan putranya. “Keluarga kita lengkap sekarang…” ucapnya pelan, penuh rasa syukur.Rosana yang menyaksikan dari pintu hanya ter
Di luar ruang operasi, ketiganya tampak berdoa masing-masing menunggu kabar baik.Setelah beberapa jam telah terlewati, mereka mendengar suara tangis bayi di dalam.Nyonya Sisca dan Rosana langsung menoleh, senyum mereka akhirnya merekah.“Bayinya selamat!” Ucap Nyonya Sisca bahagia.Namun Marven sama sekali tak merasa lega, karena dia belum melihat dokter keluar dan bagaimana keadaan istrinya di dalam.Marven berdiri perlahan, tubuhnya kaku seperti batu. Suara tangis bayi yang seharusnya menjadi kabar bahagia justru terasa menggantung baginya. Matanya tak lepas dari pintu ruang operasi yang masih tertutup rapat.Rosana berdiri di sampingnya, ikut terdiam saat menyadari ekspresi kakaknya tak berubah. Nyonya Sisca, yang sebelumnya tersenyum lega, kini ikut dilanda cemas lagi.Beberapa menit kemudian, pintu ruang operasi akhirnya terbuka.Seorang dokter keluar, wajahnya tampak lelah, namun tetap menunjukkan sikap profesional. Marven langsung menghampirinya dengan langkah tergesa.“Dok,
“Sayang, hati-hati!”Suara Marven menggema cukup keras dari balik balkon, namun Naina yang sedang berjalan santai dari arah taman tidak terlalu mendengarnya. Fokusnya tertuju pada burung kecil yang bertengger di pagar, membuat langkahnya sedikit melambat.Namun tiba-tiba kakinya menginjak batu kecil yang tertanam tak rata di jalan setapak. Dalam sekejap, tubuh Naina kehilangan keseimbangan. Dia terjatuh ke samping, dan suara benturan tubuhnya di tanah disertai ringisan kesakitan langsung membuat jantung Marven seakan berhenti berdetak.“Naina!”Ia langsung berlari menuruni anak tangga tanpa pikir panjang. Beberapa pelayan yang melihat kejadian itu pun ikut panik.“Aaahh… Marven… perutku…” suara Naina lirih namun penuh ketakutan, tangannya menggenggam erat perutnya yang besar.Ketika Marven sampai di sisinya, ia melihat noda darah mulai merembes dari balik gaun Naina. Wajahnya langsung pucat. “B-Ben! Siapkan mobil sekarang! Cepat! Kita ke rumah sakit!” teriaknya tanpa menoleh.Ben yang
“Di lamar?!” Marven dan Naina langsung menoleh bersamaan saat mendengar hal itu.Rosana menundukkan kepalanya malu, “Iya kak,”Naina langsung menjerit kecil penuh antusias sambil memeluk adiknya, “Aaaa! Ros, selamat! Ya ampun, kamu akhirnya dilamar juga! Aku seneng banget!”Marven hanya menghela napas panjang lalu menatap Andrian tajam tapi dengan nada menggoda, “Kau berani-beraninya melamar adikku tanpa izin? Minimal kasih kode dulu”Andrian mengangkat tangan seperti menyerah, “Sumpah, tuan Marven, saya niatnya baik dan serius. Dan cincin itu bukan cuma simbol, saya juga sudah siapkan semuanya untuk langkah selanjutnya.”Naina menoleh ke Marven sambil tersenyum penu
“Wow cantik sekali, pilihanku memang tak pernah salah,” puji Andrian saat melihat Rosana keluar dengan gaun hijau cantik namun tak berlebihan.Rosana menahan senyumnya sambil memukul lengan pria itu, “jangan menggodaku!”Andrian tertawa ringan sambil merapikan jasnya, lalu membuka pintu mobil untuk Rosana. “Aku hanya jujur, kok. Lagipula, malam ini sepertinya aku yang beruntung bisa pergi dengan wanita secantik kamu.”Rosana tersipu, tapi tetap gengsi untuk mengakuinya. “Huh, bisa aja kamu. Ayo jalan, sebelum aku berubah pikiran.”Andrian mengangguk sambil menahan senyum puas. “Baik, nona Rosana. Tapi kalau kamu berubah pikiran dan memutuskan untuk mencintaiku sekarang juga, aku nggak keberatan.”Rosana hanya mendecak pelan, “Dasar kamu…,” lalu masuk ke mobil dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan.Dan saat mereka sampai di sebuah restoran yang menyajikan makanan ala timur tengah, Rosana masuk dengan dibantu oleh Andrian yang setia menggandengnya.“Selamat datang, tuan dan nona. M
“Kematian pada ibu hamil memang beberapa terjadi tuan, tapi itu hanya sebagian kecil dari ibu yang selamat,” jelas dokter saat diundang langsung diruang kerja Marven.Marven sejak kemarin terus dihantui oleh rasa ketakutan istrinya sampai menyuruh Ben mengundang ahli kandungan untuk berkonsultasi sendiri.Dokter yang duduk dengan tenang di hadapan Marven menatap pria muda itu dengan bijak. “Saya paham kekhawatiran Anda, Tuan Marven. Kecemasan seperti ini sangat wajar, apalagi bagi suami yang sangat mencintai istrinya dan calon anaknya. Tapi izinkan saya memberikan sedikit ketenangan…”Marven, yang duduk bersandar dengan tangan saling menggenggam di depan mulutnya, hanya mengangguk pelan. Matanya tampak lelah—bukan karena kurang tidur, tapi karena dihantui ketakutan sejak Naina mengungkapkan kekhawatirannya.“Pertama, kondisi nyonya Naina sejauh ini sangat baik. Tensi, detak jantung janin, pertumbuhan, semua dalam batas normal dan sehat. Tak ada indikasi bahaya seperti preeklampsia, pl
“Sejak kapan perutmu sudah sebesar ini, sayang?” Marven terkejut saat bangun tidur mendapati perut istrinya membuncit dan ada gerakan kecil disana.Naina dengan kesal langsung memukul pelan suaminya itu, “ini sudah hampir tujuh bulan, wajar jika perutku besar.”Marven terkekeh pelan, “Sebentar lagi kita akan bertemu baby boy,” gumamnya sambil menciumi perut istrinya dengan gemas namun langsung ditendang oleh anaknya dari dalam.Marven terperanjat kecil saat perut istrinya menendang balik tepat di pipinya. “Wah! Ini anakmu atau petarung MMA, sih?” ucapnya sambil tertawa geli, masih memegang pipinya yang baru saja ‘disentuh’ oleh calon buah hatinya.Naina ikut tertawa, meski sedikit meringis karena tendangan itu memang cukup kuat. “Dia aktif banget, apalagi kalau dengar suara kamu. Mungkin dia tahu ayahnya cerewet.”Marven menyipitkan mata berpura-pura tersinggung. “Cerewet demi anak dan istri tercinta, oke? Lagian, suara ayahnya ini yang bikin kamu nyaman di perut sana, ya kan, Nak?” k
“Bagaimana keadaan istri saya dok? apakah dia dan calon anak saya baik-baik saja?” tanya Marven dengan wajah kalut penuh ketakutan dan merasa bersalah karena melakukannya dengan keras hingga istrinya kesakitan.Dokter terlihat tenang, menatap Marven dan Naina yang duduk di ranjang rumah sakit. Naina sudah berbaring dengan infus di tangan, sementara Marven masih menggenggam jemarinya erat-erat.“Untung kalian cepat datang,” ucap dokter sambil mengecek data di tablet-nya. “Istri Anda mengalami kontraksi ringan akibat tekanan fisik yang terlalu intens. Tapi tenang, kondisi janinnya masih stabil, tidak ada tanda bahaya besar. Namun…”Marven menegakkan tubuhnya, wajahnya menegang. “Namun…?”Dokter menatap Marven dalam-dalam. “Dia harus benar-benar beristirahat dan menghindari aktivitas fisik yang terlalu berat, termasuk… hubungan suami istri. Setidaknya sampai trimester pertamanya benar-benar aman. Saya akan beri obat pereda kram, dan nanti ada vitamin tambahan juga.”Marven menghela napas