“Tuan, sudah sangat larut. Apakah Anda tidak sebaiknya pulang?” tanya Naina dengan nada hati-hati. Bagaimanapun, dia adalah wanita yang sudah berstatus istri. Jika orang lain melihat situasi ini, tentu akan menjadi bahan pembicaraan yang tidak menyenangkan. Marven yang tadinya sibuk dengan laptopnya langsung mendongak, menatap Naina yang duduk di ranjang. Tatapannya tenang, namun penuh otoritas. “Saya tidak masalah tidur di sofa,” jawabnya dengan nada datar namun tegas. “Jika kamu ingin tidur, maka tidurlah. Saya tidak akan mengganggu.” Naina menggigit bibirnya, merasa dilema. Bagian dari dirinya ingin bersikap profesional, namun situasi ini membuatnya merasa canggung. Apalagi, Marven tampak begitu santai, seolah keberadaannya di sini adalah hal yang biasa. “Baiklah, Tuan. Tapi... tolong jangan begadang terlalu lama,” gumamnya akhirnya, sebelum menarik selimut untuk menutupi dirinya, berusaha mengabaikan rasa canggung yang terus menghantuinya. Pada akhirnya Naina terlelap dalam t
Tiap lorong rumah sakit yang dilewati, jantung Naina berdetak kuat, seperti memberi isyarat akan sesuatu yang tak terduga. Perasaan was-was menyelimuti, semakin terasa saat mereka tiba di taman rumah sakit.“Wajahmu terlihat tegang. Apa kamu tidak nyaman?” tanya Marven, suaranya rendah namun penuh perhatian.Naina terkejut, buru-buru menggeleng. “Eh—tidak, Tuan. Saya cukup nyaman. Taman di rumah sakit ini dirawat dengan sangat baik,” jawabnya gugup, berusaha menutupi kegelisahannya.Marven mengangguk pelan. “Benar. Matahari pagi ini cukup hangat, bagus untuk pemulihanmu,” katanya sambil mendorong kursi roda Naina menuju kursi di tengah taman.Setelah memastikan Naina duduk nyaman, Marven juga mengambil tempat di kursi di dekatnya. Mereka menikmati pemandangan taman yang dihiasi hamparan bunga berwarna-warni.Tiba-tiba, Marven berkata, “Sebenarnya, saya tidak terlalu menyukai bunga.”Naina terdiam sejenak, sedikit kaku mendengar pernyataan itu. Dia melirik ke belakang, mencoba membaca
“Urus kakek. Saya sibuk,” ucap Marven dingin, suaranya datar namun tegas saat mendengar laporan dari asistennya.“Tapi, Tuan. Tuan besar sangat marah karena Anda menolak pertemuan ini,” kata Ben dengan nada was-was di seberang telepon, mencoba meyakinkan bosnya.“Bukan hal besar. Saya tidak peduli. Jika bukan hal penting, jangan hubungi saya lagi,” balas Marven dengan tegas sebelum menutup telepon tanpa menunggu tanggapan lebih lanjut.Saat ia berbalik, matanya bertemu dengan sosok Jake yang berdiri tepat di belakangnya. Wajah Jake tegang, matanya penuh dengan amarah dan rasa tidak terima.“Aku hanya memperingatkanmu satu hal,” Jake memulai dengan nada tajam, suaranya penuh ancaman. “Jangan dekati Naina, atau berharap dia bisa lepas dariku. Aku bisa menghancurkanmu jika perlu. Jangan lupa siapa aku—Jake Vesper. Keluarga Vesper adalah pengusaha berpengaruh di kota ini. Pria biasa sepertimu? Kau pasti akan habis!”Marven hanya menatap Jake dengan pandangan dingin, tanpa sedikit pun eksp
Dua hari berlalu, waktunya Naina pulang ke rumah. Jake yang hari ini entah mengapa tampak lebih perhatian dari sebelumnya.“Aku sudah merekrut pelayan untuk memasak dan membersihkan rumah, mulai sekarang kau tak perlu kelelahan lagi.” Kata Jake dengan lembut.Naina hanya diam dan berjalan pelan menuju ke kamarnya, dari lantai dua dia mendengar seruan Jake lagi. “Aku akan pergi ke kantor, jadi istirahatlah yang baik.” Katanya dengan keras namun tak dihiraukan Naina.“Apa gunanya berubah? Pasti ada sesuatu yang nanti dia minta seperti biasanya.”Gumam Naina kemudian masuk ke dalam kamarnya.Di dalam, dia lebih memilih membuka laptopnya. Entah apa yang membuatnya ingin membuka laptop lamanya kala kuliah.Kenangan foto-fotonya bersama Jake saat masih pacaran tampak begitu bahagia, “Bagaimana bisa orang bisa berubah dalam waktu satu tahun?” Gumam Naina, mengingat perubahan Jake tepat saat ulang tahun pernikahan mereka yang ke–1.Dan setelah itu hidupnya seperti di neraka, benar-benar menyi
Sampai pagi, Jake tak pulang ke rumahnya. Membuat Naina tak perlu beralasan untuk pergi bekerja hari ini. Dia juga sudah meminta pak Johan untuk menjemputnya di depan gang.“Selamat pagi pak.” Kata Naina dengan ramah.Pak Johan tersenyum, “Apa anda sudah sehat? Kata tuan jika anda masih sakit tidak perlu pergi bekerja hari ini.” Kata pak Johan dengan ramah.“Saya sudah sehat dan juga tidak pusing lagi. Dibanding terus di rumah saya lebih sehat bekerja.” Kata Naina.Pak Johan mengangguk lalu menjalankan mobilnya, “Saya sangat terkejut kala mendengar anda koma kemarin. Padahal saya mengantar anda dalam keadaan sehat. Apakah ada sesuatu yang terjadi?”Naina tersenyum tipis, “Ada insiden kecil, tidak parah kok, pak. Oh iya jangan lupa ke toko roti yang sebelumnya ya pak. Tuan, sangat suka rotinya di toko itu jadi saya berencana setiap hari membawakannya.”Pak Johan tersenyum mendengar permintaan Naina.”Baik.”Di sepanjang perjalanan, Naina memandang keluar jendela, menikmati pemandangan p
“Kamu berani menentang kakek, Marven?” Suara dingin itu memecah keheningan di ruangan khusus tamu perusahaan, menyelimuti atmosfer dengan ketegangan.Marven tetap tenang, lalu duduk di hadapan pria tua berumur lebih dari tujuh puluh lima tahun itu. “Saya tidak punya waktu untuk membahas hal-hal yang tidak penting, Kek. Jika kedatangan kakek hanya untuk membicarakan pernikahan bisnis, lebih baik kembali ke Jerman. Nikmati masa tua di kampung halaman,” ucap Marven dengan nada datar namun penuh ketegasan.Antony mengepalkan tangannya erat pada pegangan tongkat kayu yang dibawanya, ekspresi wajahnya mengeras. “Kamu semakin tidak tahu aturan! Kamu sudah tiga puluh tahun tapi masih lajang. Apakah kamu ingin keturunan Tuner berhenti di generasimu?!”Marven menghela napas panjang. Lagi-lagi masalah pernikahan dan keturunan—topik yang selalu menjadi fokus utama setiap pertemuan mereka. “Tahun depan, saya pastikan sudah menikah. Siapapun orangnya, Kakek tidak perlu ikut campur,” jawabnya tajam
“Apartemen ini, kan?” gumam Naina sambil memeriksa pesan dari Jake yang berisi alamat apartemen tempat mereka tinggal sementara di ibu kota.Dengan sedikit ragu, dia memasukkan pin berupa tanggal pernikahan mereka dan pintu pun terbuka. Naina melangkah masuk, mendapati apartemen itu kosong. Suasana sunyi menyelimuti, hanya barang-barang yang telah tertata seadanya yang menjadi tanda kehadiran Jake di sana.Dia menghela napas, merasa sedikit lega karena setidaknya tempat itu sudah siap dihuni. Tanpa membuang waktu, Naina mulai merapikan barang-barangnya dan juga milik Jake, menyusun pakaian ke dalam lemari dengan cekatan meski pikirannya melayang ke berbagai arah.“Apa aku sebaiknya memindahkan ayah ke rumah sakit di ibu kota saja?” gumamnya pelan, menghentikan aktivitasnya sejenak. Kekhawatiran menyelimuti hatinya; tidak ada yang bisa menjaga ayahnya jika terjadi sesuatu mendesak.Namun, pikiran itu segera dihadang oleh kenyataan. Dia menghela napas panjang. “Tapi aku masih harus mend
“Kamera kecil dan penyadap suara ternyata mahal sekali.” Gumam Naina saat melihat marketplace yang ada di ponselnya.Pagi setelah bangun tidur dia sudah mencari-cari alat untuk dia jadikan bukti perselingkuhan Jake. Terlebih saat ini Jake berencana masuk ke ibukota, sudah pasti reputasi sangat penting untuk keluarganya.Tapi, masalahnya uangnya sama sekali tidak cukup karena terakhir kali dia sudah mentransfer uang ke rumah sakit untuk pengobatan ayahnya.Naina mendesah, merasa frustasi karena keterbatasan yang dia miliki.Ceklek!“Naina?” Tiba-tiba Jake muncul di balik pintu yang terbuka.Naina yang melihat itu langsung menyembunyikan ponselnya dan mengantonginya. “Ada apa?” Tanya Naina yang berusaha untuk tetap tenang.“Evelyn ingin makan bubur buatanmu, kau bisa membuatkannya kan?” Tanya Jake.Naina mengangguk dan keluar dari kamar, disana dia melihat Evelyn sudah datang dan menonton televisi disana.“Naina, aku ingin minum susu dulu. Jadi, sebelum membuatkan bubur buatkan susu unt
“Awas, hati-hati,” kata Marven saat membantu Naina turun dari mobil.Nyonya Sisca yang melihat itu tersenyum tipis,”Kalian membuatku iri saja.”“Terlambat, bibi sudah tidak laku di pasaran,” kata Marven dengan tenang sambil menggandeng tangan Naina.Nyonya Sisca langsung melotot tajam. “Hei, kurang ajar! Aku ini masih laku, tahu!” Marven hanya mengangkat bahu dengan santai. “Oh ya? Mana buktinya?” Naina menahan tawa melihat interaksi keduanya. “Bibi masih sangat cantik, pasti banyak yang tertarik,” katanya mencoba menenangkan suasana. Nyonya Sisca tersenyum bangga sambil melirik Marven. “Lihat? Naina saja tahu.” Marven mendengus pelan lalu kembali fokus menggandeng tangan Naina. “Baiklah, kalau bibi merasa masih laku, cepat cari pasangan supaya tidak mengganggu kami.” Nyonya Sisca terkekeh, lalu menggeleng. “Tidak semudah itu, Nak. Aku masih ingin melihat bagaimana kau menangani hubunganmu sendiri.” Naina tersenyum canggung, sementara Marven hanya mendesah pasrah. Perjalan
“Kenapa?” tanya Nyonya Sisca dengan santai, “lihat, Naina tampak tak keberatan jika menginap.”Marven mendengus, “Tidak boleh, dia harus pulang!”Rosana yang mendengar itu semakin kesal karena dua orang sedang memperebutkan wanita itu sedangkan dia diabaikan begitu saja.“Kak, biarkan saja Naina pergi. Lebih baik kakak temani aku untuk memilih kado untuk ulang tahun kakek yang sebentar lagi diadakan,” kata Rosana dengan lembut.Nyonya Sisca tersenyum miring, “Lihat, adikmu perlu ditemani jadi jangan ganggu bisnisku.”Marven melirik Rosana sekilas sebelum kembali menatap Naina. “Kalau begitu, saya ikut.” Naina mengerjap, sedikit terkejut. “Apa?” Rosana langsung merajuk, “Kak! Aku yang membutuhkanmu sekarang, bukan dia!” Marven tetap tenang, tapi suaranya penuh ketegasan. “Ben bisa menemanimu memilih hadiah. Saya akan pergi dengan Naina.” Rosana menggigit bibirnya, merasa semakin diabaikan. Nyonya Sisca tertawa kecil, menyesap tehnya dengan santai. “Kalau kau ikut, siapa yang
“Sudah satu jam, sepertinya Marven tidur disana,” gumam Naina pelan.Akhirnya dia tak menunggu lagi, dengan cepat dia mematikan lampu kamar dan menutupi dirinya dengan selimut tebal.Namun, baru saja Naina mencoba memejamkan mata, pintu kamar terbuka dengan pelan. Marven masuk dengan langkah tenang, lalu menutup pintunya kembali. Suara kunci yang diputar membuat Naina yang berpura-pura tidur langsung sadar. Dia merasakan ranjang di sebelahnya sedikit tenggelam ketika Marven duduk di sana. “Kamu pura-pura tidur?” suara beratnya terdengar di kegelapan. Naina tidak menjawab, tetap diam di bawah selimutnya. Marven tersenyum tipis, lalu dengan santai menarik selimut itu hingga wajah Naina terlihat. “Saya tidak tidur di sana. Saya hanya menunggu sampai dia tertidur.” Naina mengerjapkan mata, menatap Marven dalam cahaya redup. “Kamu tidak perlu menjelaskannya,” katanya pelan. “Tapi saya ingin,” balas Marven dengan suara rendah, lalu berbaring di sampingnya. Pria itu langsung ik
“Kamu lupa itu sudah menjadi kamar Rosana?” Tiba-tiba suara Marven terdengar kala Naina ingin masuk ke kamar yang biasa dia gunakan.“Ah– maaf, saya akan tidur di mess pelayan,” kata Naina dengan cepat lalu berbalik.Namun, tangannya langsung di cekal oleh Marven, “Kamu marah?”Naina menatap tangan Marven yang mencengkeram pergelangannya, lalu mengalihkan pandangan ke wajah pria itu. Matanya yang biasanya tenang kini menunjukkan sedikit kekecewaan.“Kenapa saya harus marah?” tanyanya, suaranya terdengar datar.Marven menghela napas, menatapnya dalam. “Kalau kamu tidak marah, kenapa ingin tidur di mess pelayan? Tempatmu di sini, bukan di sana.”Naina tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Karena kamar ini sudah ditempati Rosana.”Marven yang mendengar itu langsung menarik Naina ke kamar yang ada di depan kamar tersebut lalu dengan cepat dia menutup dan menguncinya.Tubuh Naina langsung di himpit oleh tubuh besar itu di depan pintu.“Bukankah ini jadi kesempatan kit
“Ini makanan penutup malam ini, tapi hari ini hanya sempat membuat puding saja.” Kata Naina sambil menaruh puding di depan Marven dan tak lupa juga memberikan untuk Rosana.“Puding? Kau tak tahu jika kakak tidak suka makanan manis?” kata Rosana dengan ketus.Naina menatap bingung adik tiri Marven itu, dia tak tahu jika Marven tak menyukai makanan manis. Tapi, dulu Marven sendiri yang bilang dia menyukainya. Yang benar yang mana?Marven menatap puding di depannya, lalu mengangkat sendok dan mengambil sesendok kecil.“Saya tidak suka makanan manis?” Marven mengulang ucapan Rosana sambil melirik ke arahnya. “Sejak kapan kamu tahu selera saya?”Rosana terdiam, wajahnya seketika tegang. “Aku… aku hanya ingat dulu kakak jarang makan makanan manis.”Marven tidak menjawab, ia hanya melanjutkan makan puding buatan Naina tanpa ragu. “Pudingnya enak,” katanya santai, membuat Naina tersenyum kecil.Rosana mengepalkan tangannya di bawah meja. Keakraban ini membuatnya semakin tidak nyaman.Hingga s
“Aku dengar Rosana kembali.” Suara Nyonya Sisca membuat Naina yang sebelumnya sedang fokus pada dokumen yang diberikan padanya sedikit buyar.“Benar, bibi.” Katanya dengan singkat namun jelas.“Yah, anak itu memang sedikit manja. Tapi, kau harus hati-hati dengannya.” Kata Nyonya Sisca dengan tenang.Naina menatap Nyonya Sisca dengan sedikit bingung. "Kenapa, Bibi?"Nyonya Sisca menyilangkan tangan di depan dadanya, ekspresinya sulit ditebak. "Rosana itu tidak sebodoh kelihatannya. Dia tahu bagaimana mendapatkan apa yang dia inginkan, dan biasanya dia tidak peduli siapa yang harus disingkirkan untuk itu."Naina terdiam untuk beberapa saat, namun dia sepertinya tak perlu mengurus hal ini.“Terima kasih atas peringatannya, bibi. Tapi sepertinya Rosana tak mungkin menganggap saya saingannya yang harus disingkirkan. Bukankah kita akan menjadi keluarga?”Nyonya Sisca tersenyum kecil, tapi ada kilatan tajam di matanya. “Keluarga, ya? Ya semoga begitu.” Katanya sambil pergi meninggalkan Nain
“Kakak!”Suara melengking itu membuat mansion yang biasanya tenang langsung pecah, Naina yang tadinya membantu pelayan menyiapkan sarapan seperti biasa langsung menoleh.“Siapa dia?” Tanya Naina pada pelayan di sampingnya.“Oh, itu Nona Rosana. Adik tiri tuan Marven, Nyonya.” Kata pelayan itu dengan ramah.Naina yang mendengar itu mengangguk, dia benar-benar belum tahu anggota keluarga besar Tuner dan sepertinya mulai sekarang dia harus mencari tahu agar bisa menyambut mereka jika datang.Dengan cepat dia langsung menghampiri wanita itu, dan tersenyum ramah.Namun, saat Naina mendekat Rosana langsung menatapnya sinis. “Kau pelayan baru? Dimana kakak, apa masih tidur? Sepertinya aku akan membangunkannya.” Naina terdiam sejenak, tapi senyumnya tidak luntur. Dia bisa merasakan ketidaksukaan dalam nada bicara Rosana, tapi memilih untuk tetap tenang.“Dia masih mandi, mungkin sekarang sudah selesai.” Katanya dengan lembut.Rosana langsung melirik tajam, “Kenapa kau begitu tahu? Dan bagaim
“Marven, dengarkan saya dulu.”“Apa, Naina? Saya benar-benar tak ingin kamu mengikuti jejak bibi. Saya bisa memberikan semua yang kamu butuhkan, harta, status dan juga jabatan yang kamu inginkan. Apalagi yang kurang?” Kata Marven dengan serius.Naina menatap Marven dengan sorot yang sulit diartikan. Hatinya terasa sesak mendengar kata-kata itu.“Marven, saya tidak butuh harta, status, atau jabatan dari kamu,” katanya pelan, tapi tegas.”Tapi saya ingin pantas. Pantas berada disisimu tanpa direndahkan oleh orang lain.”Marven terdiam, tatapannya melembut saat melihat ketulusan di mata Naina. “Kamu tidak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun, Naina,” katanya lirih. Naina menggeleng, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Bukan untuk mereka, Marven. Tapi untuk saya sendiri. Saya ingin berdiri di sampingmu sebagai seseorang yang setara, bukan hanya sebagai wanita yang berlindung di balik namamu.” Marven mengepalkan tangannya, berusaha menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya.
Nyonya Sisca langsung buru-buru mendekati Marven, dia takut jika ponakannya itu mengacaukan semuanya.“Marven, kau datang.” katanya dengan ramah, berusaha meredakan aura kemarahan yang tiba-tiba muncul.Marven mengabaikan Nyonya Sisca begitu saja, tapi wanita itu langsung memegang tangannya dan menggeleng.“Biarkan dia menyelesaikan sambutannya dulu.” katanya penuh permohonan, karena ini juga demi kebaikan mereka.Marven menatap Nyonya Sisca dengan tajam, rahangnya mengeras. Namun, setelah beberapa detik, dia menarik napas dalam dan menoleh ke arah podium. Naina masih berdiri di sana, berbicara dengan percaya diri di hadapan para tamu. Dia terlihat anggun dalam balutan gaun mewah itu, suaranya tenang namun penuh wibawa. Marven mengepalkan tangannya. ‘Seharusnya dia yang melindungi Naina, bukan membiarkan wanita itu menghadapi semua ini sendirian.’Di sampingnya, Nyonya Sisca berbisik pelan, “Aku tahu kau marah, tapi lihatlah dia, Marven. Naina bukan wanita lemah. Dia bisa menghada