Suara dengusan Raka terdengar untuk yang ke sekian kali. Lelaki itu memandang ke sekitarnya dengan gusar. Paling tidak, sudah lima belas menit berlalu sejak dia pergi mencari Angel dan belum menemukannya."Baby masih belum mengangkat teleponnya," gumamnya risau. "Ada di mana dia? Aku datangi ke kamarnya, juga tidak ada."Mengacak-acak rambutnya, Raka terlihat semakin gelisah. "Sial! Padahal aku sudah sengaja membuat Lidia tertidur, tapi Baby malah tidak bisa aku temui seperti ini."Dalam hati dia mengeluh. Sebisa mungkin Raka tidak ingin bertanya kepada staf penginapan soal keberadaan Angel, sebab bagaimana pun dia tidak ingin menarik perhatian orang lain atas hubungan di antara mereka. "Tapi kalau begini, aku jadi susah," gerutunya. "Jangan katakan kalau aku harus mengelilingi pulau ini demi bisa menemukannya. Ya ampun, Baby. Kamu benar-benar membuatku kesusahan."Menarik napas dan membuangnya dengan kasar, lelaki itu memutuskan untuk mencari Angel sekali lagi. Dia bersikap santai,
"Mas Raka! Ya, Tuhan! Apa yang kamu lakukan?" Lidia berseru. Perempuan itu terlihat begitu terkejut ketika akhirnya menemukan suaminya. "Dari tadi aku terus mencarimu, Mas. Aku sama sekali tidak menyangka kalau kamu malah ada di sini dan—""Sudahlah, Lid. Ini sudah malam, tidak perlu membuat keributan. Lagi pula, kenapa kamu juga tiba-tiba datang ke sini?"Lidia mendekat ke arah suaminya yang sekarang sedang duduk di salah satu kursi berjemur, yang memang ada beberapa di pinggir kolam renang. "Bajumu basah kuyup, Mas," ujarnya dengan nada khawatir. "Kenapa bisa begini?""Kenapa lagi?" Raka menaikkan bahunya sekilas. "Aku baru saja berenang.""Kamu berenang, Mas?""Aku tidak bisa tidur, Lid. Jadi, aku ingin berenang sebentar.""Tapi kenapa kamu berenang dengan pakaian lengkap begini, Mas?"Raka mengerjap. Dalam hati dia memaki kebodohannya sendiri. Tadi sebelum Lidia datang, dia segera mengangkat Angel dan membantu kekasihnya itu keluar dari kolam renang. Lelaki itu masih sempat melih
Lidia merentangkan kedua tangannya dengan perlahan. Memejam dan melenguh lirih, perempuan cantik itu terlihat begitu menikmati suasana pagi hari yang begitu segar. "Siap untuk pulang?" Lidia sedikit terkejut, sewaktu Raka tiba-tiba saja datang dan langsung memeluknya. Lelaki yang menjadi suaminya itu juga lantas mendaratkan ciuman di dahi Lidia, membuatnya begitu bahagia. Sewaktu menoleh, ada rona merah yang menghiasi kedua pipinya. Raka baru saja mandi dan saat ini lelaki itu hanya mengenakan handuk, sehingga gurat tubuhnya bisa Lidia lihat dengan jelas. "Ah, Mas Raka. Mengagetkanku saja," ujarnya pura-pura menggerutu, meski nyatanya bibir perempuan itu terus tersenyum. "Makanya, jangan melamun. Memangnya apa sih, yang sedang kamu lamunkan pagi-pagi begini, hm?" "Aku hanya sedang berpikir, sayang sekali karena kita sudah harus pulang hari ini." "Bukankah sebelumnya kamu malah berniat untuk tidak ikut menemaniku, Lid? Lalu, kenapa sekarang kamu seperti enggan pulang?" Lidia
"Iya, Ayah. Aku tidak apa-apa kok." Satu jam kemudian, terlihat Angel melangkah memasuki lift apartemennya. Perempuan cantik itu sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Setelah sampai di dermaga tadi, mereka memang lantas berpisah. Raka beserta istrinya menaiki mobil sedan yang sudah menjemput mereka, sementara dia sendiri memutuskan untuk langsung pulang. Sebenarnya Angel tahu bahwa Raka pasti ingin menemuinya setelah ini. Namun, dengan cepat dia sudah mengirimkan sebuah pesan yang mengatakan bahwa Angel merasa begitu lelah. Kegiatan selama dua hari kemarin benar-benar menguras banyak tenaga, sehingga menemui Raka jelas tidak masuk ke dalam daftar keinginan Angel. Sekedar memikirkan untuk bertemu dengan lelaki itu saja sudah membuatnya capek. "Iya. Setelah ini aku akan langsung beristirahat," ujarnya, menekan tombol lantai di mana kamar apartemennya berada. "Iya, Ayah. Aku juga akan makan," imbuhnya, kali ini dengan memutar mata. "Ya ampun, Ayah. Kira-kira sampai
Jangan panik! Itu adalah dua kata yang Angel teriakkan di dalam hati. Mengerjap, perempuan itu lantas sengaja menurunkan tatapannya. Paling tidak, agar dia tidak berpandangan langsung dengan Adam. Meski Angel masih belum bisa mengerti apa penyebabnya, tapi yang jelas dia merasakan adanya bahaya di sepasang mata dengan warna yang berlainan tersebut. "Ehm, Pak," gumamnya, memusatkan perhatian ke arah kerah kemeja Adam. Pilihan yang buruk, sebab saat ini lelaki itu tidak mengancingkan semua kancing kemejanya. Sekarang Angel mendapati dirinya tengah menelusuri dada Adam melalui pandangan. Sial. Bosnya ini kenapa seksi sekali, sih? "Ehm, kenapa Anda berada di sini, Pak?""Menunggumu.""Ya?""Aku sedang menunggumu."Angel terperangah mendengarnya, membuatnya tanpa sadar mendongak dan menatap Adam yang kini juga sedang menatapnya balik. "Apakah Anda sedang menunggu saya, Pak?""Ya.""Bukankah seharusnya sekarang Anda sedang bekerja? Ini—" Angel melirik ke arah arloji yang melingkar di
"Tunggu, Pak. Apa Anda benar-benar yakin untuk melakukan ini?""Kenapa kamu masih juga bertanya? Tentu saja aku yakin. Memangnya kamu pikir untuk apa aku berada di sini?""Sekarang, Pak?""Iya. Sekarang.""Serius?""Aku ingin kita melakukannya sekarang, Miss Angel. Jadi, jangan banyak tanya lagi. Ingat aturan nomor satu."Angel memutar matanya sambil menggerutu. Dia memandang kesal ke arah lelaki yang sekarang sedang duduk di sofa di dalam kamar apartemennya. Tadi Adam menemuinya dengan alasan ingin meminta laporan soal kegiatan entertainment-nya selama dua hari kemarin. Lalu seakan tidak menerima penolakan, lelaki yang menjadi atasannya itu bahkan sampai ikut masuk ke kamar apartemennya. "Siapa saja yang sudah pernah datang ke apartemenmu?""Pak, bagaimana kalau nanti laporannya saya kirimkan via email saja?"Hening sejenak. Kedip. Kedip. Angel mengedip beberapa kali sembari berpikir. "Ehm," gumamnya, mencoba memecahkan keheningan yang canggung ini. "Saya mau bersih-bersih dulu,
Angel duduk meringkuk di atas sofa dengan tampang bersalah. Tidak lagi mengenakan handuk yang mudah melorot dan berpotensi menimbulkan hal-hal yang berbahaya, perempuan itu kini tenggelam dalam selimut bulunya yang lebar. Paling tidak, dengan begini Angel bisa merasa lebih yakin kalau kejadian heboh tadi tidak akan terulang kembali. "Maaf, Pak," ujarnya lirih, dengan hanya wajahnya saja yang menyembul dari dalam selimut yang menyelubunginya ini. "Tadi itu saya spontan melakukannya."Adam memberinya lirikan mematikan, sambil mengusap pipi kirinya yang sedikit memerah. Seumur-umur, baru kali ini ada orang yang berani menamparnya."Jadi sekarang, apa yang akan kamu lakukan?" tanyanya dengan nada menggerutu. "Tunggu! Mau ke mana lagi kamu?" Adam sedikit terkejut karena Angel yang sudah turun dari sofa dan berjalan menghampirinya. Sebenarnya perempuan itu hendak mengambil ponsel dari dalam tas tangannya, yang kebetulan saja ada di atas meja di dekat Adam berdiri.Namun tentu saja, lelak
Seumur-umur, rasanya tidak pernah wajah Angel secemberut sekarang. "Jadi, ini tempat yang tadi Anda katakan ingin membawa saya, Pak?" tanyanya, disertai tatapan paling kejam yang bisa dia berikan. "Di apartemen Anda!" "Iya." Kali ini bibir Angel mengerucut. Mendengar jawaban singkat Adam tadi jelas tidak membuatnya merasa puas. "Saya cari hotel di sekitar sini saja," ujarnya, segera membalikkan tubuh. "Terima kasih atas tawaran luar biasanya, Pak. Sampai bertemu dua hari lagi." "Satu langkah saja keluar dari apartemenku dan aku akan benar-benar memecatmu, Miss Angel." Langkah Angel seketika terhenti. Dia menoleh dan memandang Adam yang sekarang memasang tampang puas. "Aku atasanmu," ujar lelaki itu dengan penuh keyakinan. "Jadi, seharusnya kamu bisa lebih menghargai diriku dan juga menuruti perintah—" "Pecat saja. Saya pergi. Permisi." Ha? Pikiran Adam membutuhkan waktu beberapa detik untuk bisa memproses informasi tersebut. Lelaki itu lantas mengejar Angel yang sudah memb