"Mas Raka! Ya, Tuhan! Apa yang kamu lakukan?" Lidia berseru. Perempuan itu terlihat begitu terkejut ketika akhirnya menemukan suaminya. "Dari tadi aku terus mencarimu, Mas. Aku sama sekali tidak menyangka kalau kamu malah ada di sini dan—""Sudahlah, Lid. Ini sudah malam, tidak perlu membuat keributan. Lagi pula, kenapa kamu juga tiba-tiba datang ke sini?"Lidia mendekat ke arah suaminya yang sekarang sedang duduk di salah satu kursi berjemur, yang memang ada beberapa di pinggir kolam renang. "Bajumu basah kuyup, Mas," ujarnya dengan nada khawatir. "Kenapa bisa begini?""Kenapa lagi?" Raka menaikkan bahunya sekilas. "Aku baru saja berenang.""Kamu berenang, Mas?""Aku tidak bisa tidur, Lid. Jadi, aku ingin berenang sebentar.""Tapi kenapa kamu berenang dengan pakaian lengkap begini, Mas?"Raka mengerjap. Dalam hati dia memaki kebodohannya sendiri. Tadi sebelum Lidia datang, dia segera mengangkat Angel dan membantu kekasihnya itu keluar dari kolam renang. Lelaki itu masih sempat melih
Lidia merentangkan kedua tangannya dengan perlahan. Memejam dan melenguh lirih, perempuan cantik itu terlihat begitu menikmati suasana pagi hari yang begitu segar. "Siap untuk pulang?" Lidia sedikit terkejut, sewaktu Raka tiba-tiba saja datang dan langsung memeluknya. Lelaki yang menjadi suaminya itu juga lantas mendaratkan ciuman di dahi Lidia, membuatnya begitu bahagia. Sewaktu menoleh, ada rona merah yang menghiasi kedua pipinya. Raka baru saja mandi dan saat ini lelaki itu hanya mengenakan handuk, sehingga gurat tubuhnya bisa Lidia lihat dengan jelas. "Ah, Mas Raka. Mengagetkanku saja," ujarnya pura-pura menggerutu, meski nyatanya bibir perempuan itu terus tersenyum. "Makanya, jangan melamun. Memangnya apa sih, yang sedang kamu lamunkan pagi-pagi begini, hm?" "Aku hanya sedang berpikir, sayang sekali karena kita sudah harus pulang hari ini." "Bukankah sebelumnya kamu malah berniat untuk tidak ikut menemaniku, Lid? Lalu, kenapa sekarang kamu seperti enggan pulang?" Lidia
"Iya, Ayah. Aku tidak apa-apa kok." Satu jam kemudian, terlihat Angel melangkah memasuki lift apartemennya. Perempuan cantik itu sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Setelah sampai di dermaga tadi, mereka memang lantas berpisah. Raka beserta istrinya menaiki mobil sedan yang sudah menjemput mereka, sementara dia sendiri memutuskan untuk langsung pulang. Sebenarnya Angel tahu bahwa Raka pasti ingin menemuinya setelah ini. Namun, dengan cepat dia sudah mengirimkan sebuah pesan yang mengatakan bahwa Angel merasa begitu lelah. Kegiatan selama dua hari kemarin benar-benar menguras banyak tenaga, sehingga menemui Raka jelas tidak masuk ke dalam daftar keinginan Angel. Sekedar memikirkan untuk bertemu dengan lelaki itu saja sudah membuatnya capek. "Iya. Setelah ini aku akan langsung beristirahat," ujarnya, menekan tombol lantai di mana kamar apartemennya berada. "Iya, Ayah. Aku juga akan makan," imbuhnya, kali ini dengan memutar mata. "Ya ampun, Ayah. Kira-kira sampai
Jangan panik! Itu adalah dua kata yang Angel teriakkan di dalam hati. Mengerjap, perempuan itu lantas sengaja menurunkan tatapannya. Paling tidak, agar dia tidak berpandangan langsung dengan Adam. Meski Angel masih belum bisa mengerti apa penyebabnya, tapi yang jelas dia merasakan adanya bahaya di sepasang mata dengan warna yang berlainan tersebut. "Ehm, Pak," gumamnya, memusatkan perhatian ke arah kerah kemeja Adam. Pilihan yang buruk, sebab saat ini lelaki itu tidak mengancingkan semua kancing kemejanya. Sekarang Angel mendapati dirinya tengah menelusuri dada Adam melalui pandangan. Sial. Bosnya ini kenapa seksi sekali, sih? "Ehm, kenapa Anda berada di sini, Pak?""Menunggumu.""Ya?""Aku sedang menunggumu."Angel terperangah mendengarnya, membuatnya tanpa sadar mendongak dan menatap Adam yang kini juga sedang menatapnya balik. "Apakah Anda sedang menunggu saya, Pak?""Ya.""Bukankah seharusnya sekarang Anda sedang bekerja? Ini—" Angel melirik ke arah arloji yang melingkar di
"Tunggu, Pak. Apa Anda benar-benar yakin untuk melakukan ini?""Kenapa kamu masih juga bertanya? Tentu saja aku yakin. Memangnya kamu pikir untuk apa aku berada di sini?""Sekarang, Pak?""Iya. Sekarang.""Serius?""Aku ingin kita melakukannya sekarang, Miss Angel. Jadi, jangan banyak tanya lagi. Ingat aturan nomor satu."Angel memutar matanya sambil menggerutu. Dia memandang kesal ke arah lelaki yang sekarang sedang duduk di sofa di dalam kamar apartemennya. Tadi Adam menemuinya dengan alasan ingin meminta laporan soal kegiatan entertainment-nya selama dua hari kemarin. Lalu seakan tidak menerima penolakan, lelaki yang menjadi atasannya itu bahkan sampai ikut masuk ke kamar apartemennya. "Siapa saja yang sudah pernah datang ke apartemenmu?""Pak, bagaimana kalau nanti laporannya saya kirimkan via email saja?"Hening sejenak. Kedip. Kedip. Angel mengedip beberapa kali sembari berpikir. "Ehm," gumamnya, mencoba memecahkan keheningan yang canggung ini. "Saya mau bersih-bersih dulu,
Angel duduk meringkuk di atas sofa dengan tampang bersalah. Tidak lagi mengenakan handuk yang mudah melorot dan berpotensi menimbulkan hal-hal yang berbahaya, perempuan itu kini tenggelam dalam selimut bulunya yang lebar. Paling tidak, dengan begini Angel bisa merasa lebih yakin kalau kejadian heboh tadi tidak akan terulang kembali. "Maaf, Pak," ujarnya lirih, dengan hanya wajahnya saja yang menyembul dari dalam selimut yang menyelubunginya ini. "Tadi itu saya spontan melakukannya."Adam memberinya lirikan mematikan, sambil mengusap pipi kirinya yang sedikit memerah. Seumur-umur, baru kali ini ada orang yang berani menamparnya."Jadi sekarang, apa yang akan kamu lakukan?" tanyanya dengan nada menggerutu. "Tunggu! Mau ke mana lagi kamu?" Adam sedikit terkejut karena Angel yang sudah turun dari sofa dan berjalan menghampirinya. Sebenarnya perempuan itu hendak mengambil ponsel dari dalam tas tangannya, yang kebetulan saja ada di atas meja di dekat Adam berdiri.Namun tentu saja, lelak
Seumur-umur, rasanya tidak pernah wajah Angel secemberut sekarang. "Jadi, ini tempat yang tadi Anda katakan ingin membawa saya, Pak?" tanyanya, disertai tatapan paling kejam yang bisa dia berikan. "Di apartemen Anda!" "Iya." Kali ini bibir Angel mengerucut. Mendengar jawaban singkat Adam tadi jelas tidak membuatnya merasa puas. "Saya cari hotel di sekitar sini saja," ujarnya, segera membalikkan tubuh. "Terima kasih atas tawaran luar biasanya, Pak. Sampai bertemu dua hari lagi." "Satu langkah saja keluar dari apartemenku dan aku akan benar-benar memecatmu, Miss Angel." Langkah Angel seketika terhenti. Dia menoleh dan memandang Adam yang sekarang memasang tampang puas. "Aku atasanmu," ujar lelaki itu dengan penuh keyakinan. "Jadi, seharusnya kamu bisa lebih menghargai diriku dan juga menuruti perintah—" "Pecat saja. Saya pergi. Permisi." Ha? Pikiran Adam membutuhkan waktu beberapa detik untuk bisa memproses informasi tersebut. Lelaki itu lantas mengejar Angel yang sudah memb
Adam menemukan Angel yang sudah tertidur ketika dia kembali. Ada gelombang kelegaan yang menerpa karena sekretarisnya itu benar-benar tidak pergi dari apartemennya. "Bagaimana bisa dia tertidur dengan posisi yang seperti ini?" gumamnya, tersenyum sendiri melihat gaya tidur Angel yang meringkuk. "Seperti kucing kecil saja." Semula Adam hanya sedikit membungkuk untuk menyibakkan beberapa helai rambut Angel. Namun lelaki itu kemudian mendapati bahwa dirinya sudah duduk berjongkok dan mengamati Angel yang sedang tertidur, entah untuk waktu yang sudah berapa lama. "Apa yang sudah kamu lakukan kepadaku?" bisiknya, dengan ujung jari yang dengan ringan menelusuri garis wajah Angel. "Apa kamu tidak tahu, betapa besar usahaku untuk bisa mengeluarkanmu dari pikiranku?" Tatapan Adam melayang ke arah bibir Angel dan ya Tuhan, dia begitu ingin menciumnya. Dia menginginkan kendali penuh atas perempuan ini, seakan tidak ada apa pun di dunia yang lebih dia inginkan selain Angel. Gila. Adam tahu
Halo, Para pembaca. Kisah Adam dan Angel berakhir sampai di sini. Terima kasih atas kesediannya untuk mengikuti kisah ini dan mohon maaf karena sempat vakum cukup lama. Ada satu dan lain hal yang menjadi penyebab, termasuk masalah kesehatan. Semoga kita semua selalu sehat & bahagia, ya. Saya menyadari bahwa karya ini sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu, komentar, masukan, dan saran dari Kakak sekalian sangat saya nanti dan hargai. Sampai bertemu di kisah yang lain. Apabila berkenan, silakan mampir di igeh saya: Rae_1243. Apabila ingin berhubungan melalui wa dengan saya, silakan dm saja. Sekali lagi, terima kasih. Salam sayang, ~Rae~
"Tahanan 2673, silakan ke sini."Lidia berjalan dengan kepala tertunduk. Setelah berada di penjara selama nyaris tiga tahun, kini dia sudah terbiasa dengan panggilan tersebut. Namun langkahnya tiba-tiba saja terhenti, saat dia melihat siapa orang yang datang mengunjunginya."Kamu lagi. Bukankah sudah aku katakan, agar tidak mengunjungiku lagi? Tapi kenapa kamu masih juga datang terus?""Kak Lidia, ish! Jangan bersikap sekasar itu dong. Lihat, Raline jadi kaget.""Kamu juga sih, Lin. Kenapa membawa anak kecil ke penjara?""Memangnya, kenapa? Raline ini juga kan, keponakan Kakak. Lagi pula, nanti juga Kakak akan tinggal bersamanya kan?"Sejenak Lidia terdiam, lalu membuang muka. "Tidak perlu. Lupakan saja omonganmu tadi. Lagi pula, dia pasti malu karena mempunyai bibi mantan napi seperti aku ini.""Siapa bilang? Memangnya, Kakak berpikir aku akan membesarkan putriku seperti apa?""Tapi—""Tujuh tahun lagi Kakak akan bebas. Pada saat itu, aku dan Raline akan datang menjemput Kakak. Titik
Lima menit pertama Angel mengedarkan pandangan. Dia masih berusaha untuk menangkap, apa sebenarnya yang sedang terjadi.Ada Ayahnya, yang berdiri di sebelah Erin. Angel juga bisa melihat teman-teman Ayahnya, yang sebagian besar dulunya merupakan orang-orang yang salah jalan. Lalu juga ada beberapa rekan kerjanya yang dulu seperti Yasmin, Aldi, dan bahkan Pak Dimas. Kemudian Keynan serta Keke.Tidak ada terlalu banyak orang di sana, kemungkinan tidak lebih dari seratus orang. Namun, suasanya begitu meriah.Dekorasi yang ada memang mewah, tapi tidak berlebihan. Ribuan bunga yang menghiasi seluruh penjuru ruangan luas ini dan bahkan sampai menjuntai dari langit-langit, membuat Angel seolah tiba-tiba saja masuk ke sebuah negeri dongeng.Kemudian, kerlip-kerlip apa itu? Terlihat seolah ada jutaan permata yang bersembunyi di balik hiasan bunga.Bahkan sampai ada banyak kupu-kupu yang berterbangan kian kemari. Seekor kupu-kupu berwarna hijau toska kemudian terbang mendekat dan hinggap di at
Terdengar suara desahan dari sepasang bibir Angel.Perempuan itu lebih dalam menyandarkan punggung ke kursi tempatnya duduk, sembari melemparkan pandangan ke arah jendela yang ada di sampingnya. Angel mengamati hamparan awan putih mendominasi. Seketika pikirannya pun kembali melayang ke segala hal yang telah terjadi. Tidak terasa, waktu tiga tahun pun sudah berlalu. "Padahal, rasanya seperti baru kemarin," gumamnya, mendesah. "Tapi syukurlah, setidaknya aku tidak perlu lagi bertemu dengan orang-orang itu."Raka sudah divonis penjara seumur hidup. Dari kabar terakhir yang Angel dengar, lelaki itu terlibat dalam kerusuhan yang terjadi di dalam penjara sampai mengalami luka parah.Namun, ada kabar lain lagi yang lebih mengerikan. Angel mendengar bahwa Raka sampai harus kehilangan kejantanannya. Kejantanan milik lelaki itu rupanya mengalami luka dan infeksi yang didapat dari insiden kerusuhan, sehingga akhirnya terpaksa dipotong. "Ya, Tuhan." Angel berbisik. "Aku tidak bisa membayang
Raka berteriak marah. Sejak tadi dia terus menendang-nendang jeruji besi tempatnya ditahan dan baru berhenti ketika dibentak balik oleh petugas jaga. "Brengsek!" Dia mengumpat, segera setelah petugas jaga pergi. "Kenapa semuanya jadi seperti ini? Kenapa?"Lelaki itu meremas-remas rambut dengan frustrasi. Dia teringat kembali dengan kejadian yang dialaminya tiga hari lalu.Waktu itu dia baru saja hendak pulang kerja, sewaktu dua orang lelaki yang tidak dikenal datang. Napasnya seketika tercekat, saat salah satu dari mereka menunjukkan surat penangkapan untuknya. Rasanya benar-benar memalukan ketika dia digelandang keluar dari gedung perusahaannya sendiri. Ditambah lagi dengan pandangan para karyawan yang ada, membuat Raka begitu ingin mengubur dirinya sendiri kala itu. "Sialan! Padahal tinggal sedikit lagi semua rencanaku bisa beres." Dia menggerutu. "Tapi kenapa malah jadi begini?"Sekarang Raka benar-benar tidak bisa berkutik. Dia tidak dapat mengelak sewaktu polisi menemukan boto
"Angel, tunggu!" Mobil yang Jalu kendarai masih belum sepenuhnya berhenti, tapi Angel sudah langsung membuka pintu dan meloncat keluar. Perempuan itu seolah tidak ingin membuang waktu dan segera menyeberangi pelataran parkir. "Angel! Tunggu, Nak!" Jalu berseru percuma. Putrinya itu sekarang berlari memasuki rumah sakit tanpa menoleh sedikit pun. Dengan menggerutu, Jalu berusaha mencari tempat untuk memarkirkan mobilnya. Lelaki itu pun segera berlari, menyusul ke arah putrinya. "Pak Jalu! Terima kasih karena sudah datang secepatnya." Dokter Brian berseru, sambil berlari-lari menyongsong Jalu. "Ada keadaan mendesak yang—" "Saya paham, Dok," potong Jalu segera. "Sebenarnya, apa yang terjadi?" "Ah, itu—" "Ayah!" seru Angel. Dia menarik-narik tangan Ayahnya dengan panik. "Ayah! Ada apa dengan Kak Erin? Kenapa sekarang Kak Erin dipindahkan ke ruang ICU? Lalu, kenapa aku tidak boleh masuk dan melihatnya?" "Angel, tenang dulu. Tenang ya, Nak." "Tapi, Ayah—" "Maaf karena saya menye
Rupanya, Adam yang menelepon. Lelaki itu memberi kabar bahwa Lidia telah memasukkan tuntutan kepada Rama ke meja hijau. Ternyata Lidia memaksa pulang paksa dari rumah sakit adalah demi mencari barang bukti. Hasilnya, dia menemukan beberapa bungkus permen aneh yang seperti beberapa kali pernah dia konsumsi, serta sebotol kecil obat pil yang bisa larut dalam air dengan cepat. "Lalu?" tanya Angel dengan hati berdebar. Berita yang disampaikan Adam kepadanya ini cukup membuatnya tegang. "Dia menghubungiku dan meminta tolong agar semua temuannya itu diperiksa. Hasilnya—" Dari ujung telepon, tarikan napas Adam terdengar begitu jelas. "Apa?" desak Angel. "Hasilnya bagaimana, Adam?" Adam masih sempat menyergah napas, sebelum menjawab, "Permen itu mengandung sejenis zat adiktif, yang apabila dikonsumsi maka akan memberikan efek ketagihan. Namun, ada beberapa zat lain yang juga terdapat di dalamnya. Untuk singkatnya, permen itu bisa dikatakan sebagai obat perangsang." "Obat, apa?" Angel
"Ayah, sudah aku katakan kalau aku baik-baik saja!"Angel merajuk. Dia terlihat sebal dan merasa tidak suka dengan segala hal yang sekarang terpaksa dia jalani. "Lagi pula, apa-apaan sih, semua ini?""Ini untuk berjaga-jaga, Angel," ujar Jalu, dengan sabar mencoba membujuk putrinya. "Jadi, sabar dulu, ya?""Berjaga-jaga bagaimana? Lidia yang pingsan, kenapa aku juga ikut-ikutan diperiksa seperti ini?""Tetap saja, Ayah khawatir, Angel. Apalagi setelah hasil pemeriksaan Lidia akhirnya keluar. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu?"Angel memukul dahinya. Perempuan itu sekarang sedikit menyesali pertemuannya dengan Lidia tadi siang. Tidak berselang lama setelah Lidia melihat bukti yang disodorkan Adam kepadanya, perempuan itu tiba-tiba saja pingsan. Entah apa yang dia lihat, tapi apa pun itu yang pasti cukup membuat Lidia shok.Mereka tentu merasa panik. Jalu dengan segera membawa Lidia ke rumah sakit terdekat, diikuti oleh Angel dan juga Adam. Sampai kemudian hasil pemeriksaan Lidi
Angel sama sekali tidak percaya dengan hal yang baru saja didengarnya. "Jangan berbohong!" serunya. "Kakakku tidak mungkin melakukan hal yang semacam itu!""Apa kamu kira Kakakmu itu perempuan baik-baik, ha?" Lidia membalas disertai tawa. "Kalau kamu tidak percaya, tanyakan saja langsung kepada Raka. Yang terlebih dulu merebut Raka itu adalah Erin! Jadi, tidak salah kan, kalau aku mengambil kembali apa yang menjadi milikku?"Angel memegang kepalanya yang mendadak pusing. Hal yang diceritakan Lidia ini benar-benar di luar dugaannya. "Aku dan Raka sudah bertunangan dan sebentar lagi kami akan menikah," ujar Lidia lagi. "Lalu Kakakmu tiba-tiba datang dan merusak semuanya. Dia memaksa Raka memutuskan pertunangan kami dan otomatis pernikahan kami pun batal. Saat mendengar soal itu, penyakit jantung Ayahku kumat dan beliau meninggal seketika itu juga. Harta keluargaku habis, sampai aku pun terpaksa melakukan pekerjaan haram demi menghidupi Ibu dan adikku. Keluarga dan kebahagiaanku hancur