"Bagaimana?""Maaf karena sudah mengganggu waktu Anda, Pak, tapi—""Langsung saja, Dim. Tidak perlu bertele-tele," potong Adam. "Aku bahkan sudah meninggalkan kedua temanku begitu saja dan langsung datang setelah kamu telepon. Jadi, jangan buang-buang waktu lagi."Dimas mengangguk. Dia mempersilakan Adam untuk duduk di kursi kerjanya dan segera mengetikkan sesuatu di laptopnya. "Silakan Anda lihat dan cek langsung, Pak," ujarnya, memutar layar laptop ke arah Adam. "Sesuai dengan perintah Anda, kami sudah melakukan pengecekan mengenai proses penerimaan pengajuan kerja sama tersebut. Kami juga sudah menanyai langsung rekan-rekan dari Departemen Merchants and Partners (M&P), dan mereka menyatakan sudah melakukan semuanya berdasarkan SOP. Manager M&P sudah kami mintai pernyataan juga. Beliau memang tidak seratus persen yakin, mengingat ada begitu banyak perusahaan yang mengajukan tawaran untuk bekerja sama dengan CC, tapi beliau tidak ingat pernah memberikan approval untuk meloloskan San
Angel baru saja turun dari mobil yang mengantarkannya pulang dari kantor. Secara kebetulan, pada saat yang sama itu ponselnya pun berdering. Sekilas dia melirik, sekedar memastikan bahwa itu bukan panggilan telepon dari Raka. Angel merasa malas menerima, kalau semisal memang lelaki itulah yang menelepon. Namun kemudian, senyuman merekah di bibir perempuan itu. Ternyata, ada panggilan masuk dari Ayahnya. "Iya, Ayah. Ini aku baru saja sampai kok. Iya. Lemburnya tidak sampai terlalu malam. Ini juga masih jam sembilan." Perempuan itu terdiam sejenak, mendengarkan ucapan Ayahnya di ujung telepon. "Belum, Yah. Aku belum makan malam. Soal itu gampang sajalah. Aku bisa makan nanti sesampainya di apartemen." Suara Ayahnya kembali terdengar. Rupanya, lelaki itu tidak terlalu percaya kalau Angel benar-benar akan makan malam. "Aduh, Ayah." Angel tertawa kecil. "Apa aku ini seperti anak kecil? Bahkan untuk makan saja harus terus menerus diingatkan. Justru yang mesti jaga kesehatan itu Ay
Diperlukan pengendalian diri yang besar bagi Adam untuk saat ini. Perempuan yang berada di depannya ini sekarang tidak ada ubahnya seperti kucing kecil yang ketakutan. Sepasang mata yang melebar memandang ke arahnya, bibir yang digigit dengan gugup, lalu kedua tangan yang kini menekan dadanya dengan gemetar. Sial! Adam memaki dalam hati, sebab tidak ada hal lain yang dia inginkan saat ini kecuali menerkam sekretarisnya sendiri. Menggertakkan rahang kuat-kuat, dia berusaha untuk tidak kehilangan kendali. Paling tidak, Adam berusaha untuk tidak menyerah kalah terhadap semua pikiran-pikiran liarnya. Masih ada masalah soal itu yang perlu dia mintakan kejelasannya kepada Angel. Fokus, Adam. Fokus! Demi Tuhan, kamu bukan binatang buas! Jadi, gunakan akal sehatmu. Namun, akal sehat yang masih coba Adam bujuk untuk segera datang rupanya nyaris menyerah. Itu semua karena suara lirih bernada ketakutan yang justru membuatnya hampir lepas kendali. "Ppak— Apa yang sedang Anda lakukan
Saat tiba di kantor keesokan paginya, Angel menabrak Yasmin dalam perjalanan menuju lift. Dia mencoba tidak menghiraukan pandangan heran teman kerjanya itu dan berusaha mengalihkan perhatian dengan sebuah janji makan siang bersama pada hari Minggu depan. Di dalam lift, Angel masih berusaha untuk tetap bersikap tenang. Setidaknya, dia berhasil membuat Yasmin tidak lagi curiga. Angel mengucapkan selamat tinggal dengan sedikit terlalu bersemangat, sewaktu mereka berpisah ketika lift berhenti di lantai kantor Yasmin. Namun, tidak dengan saat setibanya dia di lantai sembilan belas. Berada di lantai tempatnya bekerja ini, membuat Angel bisa merasakan betapa rasa gelisahnya mulai menguar dengan kuat. Rupanya, usaha dia sejak semalam untuk bisa membujuk dirinya agar tetap bersikap biasa, sekarang menjadi sia-sia saja.Di setiap langkahnya, sekarang Angel menyadari betapa dia merasa semakin gugup. Mendekati ruang kantornya, dia pun bertambah ingin melarikan diri saja. Ya, Tuhan. Bagaimana
Sudah lama rasanya dia tidak merasa sesenang ini. Lidia mendesah bahagia, sembari menepuk-nepukkan cairan serum perawatan kecantikan yang mahal ke seluruh permukaan wajahnya. Perempuan itu sekarang duduk di depan meja rias dan tengah memakai make up, sedangkan senyuman tidak juga lepas dari bibirnya. "Menyenangkan sekali," gumamnya, menatap pantulan wajahnya di cermin yang terlihat begitu berseri-seri. "Dua hari ini benar-benar menyenangkan." Selama dua hari kemarin Lidia merasa seperti menjadi pengantin baru saja. Entah berapa kali sudah dia melakukan seks bersama suaminya dalam dua hari tersebut. Lidia seperti merasa seperti perempuan yang begitu haus akan seks, dia bahkan selalu merasa tidak sabar menunggu kedatangan Raka pulang dari kantor. "Heran, kenapa aku merasa begitu bergairah, ya? Seolah tidak ada puasnya. Bahkan di tengah hari pun, aku sampai bermimpi sedang melakukan seks bersama Mas Raka." Kedua pipi Lidia merona bila teringat soal kejadian kemarin siang. Bahkan
"Jangan terlalu lebay!" "Tapi, Mas—" "Sekarang terserah kamu, Lid. Mau pulang ke rumah Ibumu dan mengurusi adikmu itu, atau ikut berlibur denganku?" Lidia seketika terdiam. Jawaban yang Raka berikan tersebut sama sekali tidak dia kira. Tadi, setelah menerima telepon dari Ibunya, dia segera berlari menemui suaminya. Lidia langsung menceritakan semua hal yang tadi disampaikan oleh Ibunya, sehubungan dengan keadaan adik perempuannya, Lina. "Lina sudah tidak pulang selama dua hari, Mas," ujarnya lagi, masih mencoba untuk membujuk Raka. Dia berharap hati suaminya bisa sedikit melembut, sebab setahu Lidia, Raka juga sangat menyayangi keluarganya. "Lalu tadi pagi-pagi sekali dia pulang." "Nah, bagus kan? Lina sudah pulang, lalu sekarang apa lagi yang perlu dikhawatirkan?" sahut Raka bertanya. "Lagi pula, Lina itu kan, memang masih muda, Lid. Dia seorang mahasiswi. Jadi, wajar saja kalau dia masih lebih suka bersenang-senang." "Tapi Lina pulang dalam keadaan yang berantakan, Mas. Sep
Meski Lidia bersikap begitu yakin sekalipun, bukan berarti dia tidak menaruh curiga. Dia tahu. Lidia tidak bodoh. Paling tidak, perempuan itu menyadari betapa tampan suaminya ini dan bahwa ada begitu banyak perempuan yang berharap untuk bisa menggoda. Oleh karena itulah, sejak tadi dia terus mengawasi Angel. Segala gerak-gerik perempuan itu seolah tidak pernah luput dari perhatiannya. Bagaimana pun, Lidia ingin membuktikan sendiri bahwa perempuan murahan itulah yang sudah berusaha merayu suami tercintanya."Awas saja kalau sampai dia berani-berani menggoda Mas Raka," gumamnya, menatap curiga ke arah Angel, yang kini sedang duduk sembari menikmati hembusan angin laut. "Dasar perempuan rendah. Cantik sedikit saja, sudah langsung bergaya ingin menggoda suami orang."Namun meski Lidia sudah bertekad untuk bisa menangkap tangan sekalipun, nyatanya tidak ada yang terjadi. Baik Angel maupun Raka, kedua orang itu bersikap seolah tidak ada spesial di antara mereka. Paling tidak, Lidia tidak
Aroma percintaan menguar dengan kuat, sementara hawa di dalam kamar itu pun terasa panas dan lembab. Seakan alat pendingin udara tidak lagi bisa bekerja dengan maksimal, nyatanya tubuh kedua orang itu kini diselimuti oleh keringat. "Mas." Suara erangan Lidia terdengar semakin lemah, meski bibirnya masih juga berdesis. Dia begitu terlena oleh tusukan-tusukan kenikmatan yang terus menerus diterimanya. Namun sayangnya, saat ini tubuhnya sudah sedemikian lemas. Jangankan untuk membalas serangan suaminya, sekedar mengangkat tangan pun Lidia sudah merasa tidak mampu. Sekarang ini dia hanya bisa berbaring pasrah, sementara lelaki yang menjadi suaminya itu masih terus memacu diri di atas tubuhnya. "Ah, Mas Raka," erangnya, terlonjak-lonjak sesaat ketika sekali lagi meraih puncak kenikmatan. Lidia juga bisa merasakan tubuh Raka yang menegang. Lalu, sambil meremas kuat sepasang buah dadanya, lelaki itu menyemburkan cairan hangat yang kini memenuhi bagian terdalam dirinya. "Tidurlah,"