"Jangan terlalu lebay!" "Tapi, Mas—" "Sekarang terserah kamu, Lid. Mau pulang ke rumah Ibumu dan mengurusi adikmu itu, atau ikut berlibur denganku?" Lidia seketika terdiam. Jawaban yang Raka berikan tersebut sama sekali tidak dia kira. Tadi, setelah menerima telepon dari Ibunya, dia segera berlari menemui suaminya. Lidia langsung menceritakan semua hal yang tadi disampaikan oleh Ibunya, sehubungan dengan keadaan adik perempuannya, Lina. "Lina sudah tidak pulang selama dua hari, Mas," ujarnya lagi, masih mencoba untuk membujuk Raka. Dia berharap hati suaminya bisa sedikit melembut, sebab setahu Lidia, Raka juga sangat menyayangi keluarganya. "Lalu tadi pagi-pagi sekali dia pulang." "Nah, bagus kan? Lina sudah pulang, lalu sekarang apa lagi yang perlu dikhawatirkan?" sahut Raka bertanya. "Lagi pula, Lina itu kan, memang masih muda, Lid. Dia seorang mahasiswi. Jadi, wajar saja kalau dia masih lebih suka bersenang-senang." "Tapi Lina pulang dalam keadaan yang berantakan, Mas. Sep
Meski Lidia bersikap begitu yakin sekalipun, bukan berarti dia tidak menaruh curiga. Dia tahu. Lidia tidak bodoh. Paling tidak, perempuan itu menyadari betapa tampan suaminya ini dan bahwa ada begitu banyak perempuan yang berharap untuk bisa menggoda. Oleh karena itulah, sejak tadi dia terus mengawasi Angel. Segala gerak-gerik perempuan itu seolah tidak pernah luput dari perhatiannya. Bagaimana pun, Lidia ingin membuktikan sendiri bahwa perempuan murahan itulah yang sudah berusaha merayu suami tercintanya."Awas saja kalau sampai dia berani-berani menggoda Mas Raka," gumamnya, menatap curiga ke arah Angel, yang kini sedang duduk sembari menikmati hembusan angin laut. "Dasar perempuan rendah. Cantik sedikit saja, sudah langsung bergaya ingin menggoda suami orang."Namun meski Lidia sudah bertekad untuk bisa menangkap tangan sekalipun, nyatanya tidak ada yang terjadi. Baik Angel maupun Raka, kedua orang itu bersikap seolah tidak ada spesial di antara mereka. Paling tidak, Lidia tidak
Aroma percintaan menguar dengan kuat, sementara hawa di dalam kamar itu pun terasa panas dan lembab. Seakan alat pendingin udara tidak lagi bisa bekerja dengan maksimal, nyatanya tubuh kedua orang itu kini diselimuti oleh keringat. "Mas." Suara erangan Lidia terdengar semakin lemah, meski bibirnya masih juga berdesis. Dia begitu terlena oleh tusukan-tusukan kenikmatan yang terus menerus diterimanya. Namun sayangnya, saat ini tubuhnya sudah sedemikian lemas. Jangankan untuk membalas serangan suaminya, sekedar mengangkat tangan pun Lidia sudah merasa tidak mampu. Sekarang ini dia hanya bisa berbaring pasrah, sementara lelaki yang menjadi suaminya itu masih terus memacu diri di atas tubuhnya. "Ah, Mas Raka," erangnya, terlonjak-lonjak sesaat ketika sekali lagi meraih puncak kenikmatan. Lidia juga bisa merasakan tubuh Raka yang menegang. Lalu, sambil meremas kuat sepasang buah dadanya, lelaki itu menyemburkan cairan hangat yang kini memenuhi bagian terdalam dirinya. "Tidurlah,"
Suara dengusan Raka terdengar untuk yang ke sekian kali. Lelaki itu memandang ke sekitarnya dengan gusar. Paling tidak, sudah lima belas menit berlalu sejak dia pergi mencari Angel dan belum menemukannya."Baby masih belum mengangkat teleponnya," gumamnya risau. "Ada di mana dia? Aku datangi ke kamarnya, juga tidak ada."Mengacak-acak rambutnya, Raka terlihat semakin gelisah. "Sial! Padahal aku sudah sengaja membuat Lidia tertidur, tapi Baby malah tidak bisa aku temui seperti ini."Dalam hati dia mengeluh. Sebisa mungkin Raka tidak ingin bertanya kepada staf penginapan soal keberadaan Angel, sebab bagaimana pun dia tidak ingin menarik perhatian orang lain atas hubungan di antara mereka. "Tapi kalau begini, aku jadi susah," gerutunya. "Jangan katakan kalau aku harus mengelilingi pulau ini demi bisa menemukannya. Ya ampun, Baby. Kamu benar-benar membuatku kesusahan."Menarik napas dan membuangnya dengan kasar, lelaki itu memutuskan untuk mencari Angel sekali lagi. Dia bersikap santai,
"Mas Raka! Ya, Tuhan! Apa yang kamu lakukan?" Lidia berseru. Perempuan itu terlihat begitu terkejut ketika akhirnya menemukan suaminya. "Dari tadi aku terus mencarimu, Mas. Aku sama sekali tidak menyangka kalau kamu malah ada di sini dan—""Sudahlah, Lid. Ini sudah malam, tidak perlu membuat keributan. Lagi pula, kenapa kamu juga tiba-tiba datang ke sini?"Lidia mendekat ke arah suaminya yang sekarang sedang duduk di salah satu kursi berjemur, yang memang ada beberapa di pinggir kolam renang. "Bajumu basah kuyup, Mas," ujarnya dengan nada khawatir. "Kenapa bisa begini?""Kenapa lagi?" Raka menaikkan bahunya sekilas. "Aku baru saja berenang.""Kamu berenang, Mas?""Aku tidak bisa tidur, Lid. Jadi, aku ingin berenang sebentar.""Tapi kenapa kamu berenang dengan pakaian lengkap begini, Mas?"Raka mengerjap. Dalam hati dia memaki kebodohannya sendiri. Tadi sebelum Lidia datang, dia segera mengangkat Angel dan membantu kekasihnya itu keluar dari kolam renang. Lelaki itu masih sempat melih
Lidia merentangkan kedua tangannya dengan perlahan. Memejam dan melenguh lirih, perempuan cantik itu terlihat begitu menikmati suasana pagi hari yang begitu segar. "Siap untuk pulang?" Lidia sedikit terkejut, sewaktu Raka tiba-tiba saja datang dan langsung memeluknya. Lelaki yang menjadi suaminya itu juga lantas mendaratkan ciuman di dahi Lidia, membuatnya begitu bahagia. Sewaktu menoleh, ada rona merah yang menghiasi kedua pipinya. Raka baru saja mandi dan saat ini lelaki itu hanya mengenakan handuk, sehingga gurat tubuhnya bisa Lidia lihat dengan jelas. "Ah, Mas Raka. Mengagetkanku saja," ujarnya pura-pura menggerutu, meski nyatanya bibir perempuan itu terus tersenyum. "Makanya, jangan melamun. Memangnya apa sih, yang sedang kamu lamunkan pagi-pagi begini, hm?" "Aku hanya sedang berpikir, sayang sekali karena kita sudah harus pulang hari ini." "Bukankah sebelumnya kamu malah berniat untuk tidak ikut menemaniku, Lid? Lalu, kenapa sekarang kamu seperti enggan pulang?" Lidia
"Iya, Ayah. Aku tidak apa-apa kok." Satu jam kemudian, terlihat Angel melangkah memasuki lift apartemennya. Perempuan cantik itu sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Setelah sampai di dermaga tadi, mereka memang lantas berpisah. Raka beserta istrinya menaiki mobil sedan yang sudah menjemput mereka, sementara dia sendiri memutuskan untuk langsung pulang. Sebenarnya Angel tahu bahwa Raka pasti ingin menemuinya setelah ini. Namun, dengan cepat dia sudah mengirimkan sebuah pesan yang mengatakan bahwa Angel merasa begitu lelah. Kegiatan selama dua hari kemarin benar-benar menguras banyak tenaga, sehingga menemui Raka jelas tidak masuk ke dalam daftar keinginan Angel. Sekedar memikirkan untuk bertemu dengan lelaki itu saja sudah membuatnya capek. "Iya. Setelah ini aku akan langsung beristirahat," ujarnya, menekan tombol lantai di mana kamar apartemennya berada. "Iya, Ayah. Aku juga akan makan," imbuhnya, kali ini dengan memutar mata. "Ya ampun, Ayah. Kira-kira sampai
Jangan panik! Itu adalah dua kata yang Angel teriakkan di dalam hati. Mengerjap, perempuan itu lantas sengaja menurunkan tatapannya. Paling tidak, agar dia tidak berpandangan langsung dengan Adam. Meski Angel masih belum bisa mengerti apa penyebabnya, tapi yang jelas dia merasakan adanya bahaya di sepasang mata dengan warna yang berlainan tersebut. "Ehm, Pak," gumamnya, memusatkan perhatian ke arah kerah kemeja Adam. Pilihan yang buruk, sebab saat ini lelaki itu tidak mengancingkan semua kancing kemejanya. Sekarang Angel mendapati dirinya tengah menelusuri dada Adam melalui pandangan. Sial. Bosnya ini kenapa seksi sekali, sih? "Ehm, kenapa Anda berada di sini, Pak?""Menunggumu.""Ya?""Aku sedang menunggumu."Angel terperangah mendengarnya, membuatnya tanpa sadar mendongak dan menatap Adam yang kini juga sedang menatapnya balik. "Apakah Anda sedang menunggu saya, Pak?""Ya.""Bukankah seharusnya sekarang Anda sedang bekerja? Ini—" Angel melirik ke arah arloji yang melingkar di