Ada sesuatu yang aneh dengan atasannya ini. "Apa yang sedang kamu lakukan, Miss Angel?" Angel terlonjak. Dia baru saja selesai menelepon Raka sewaktu Adam tiba-tiba saja datang dan mengejutkannya. "Siapa yang baru saja kamu hubungi?" "Eh? Ini, Pak, saya tadi—" "Peraturan nomor lima, Miss Angel," potong Adam dengan nada menggeram. "Tidak boleh menelepon atau menerima telepon untuk urusan pribadi selama bekerja, kecuali bila ada keadaan yang urgent." "Tapi, Pak, saya sebenarnya tadi—" "Tidak ada perdebatan, Miss Angel. Ingat aturan nomor tiga." "Tapi saya menelepon tadi memang untuk urusan pekerjaan, Pak!" Angel terpaksa bicara dengan nada yang sedikit berseru, sebelum Adam memotong ucapannya lagi. "Saya tadi baru saja menghubungi Pak Raka, untuk memberi tahu bahwa sayalah yang akan menangani jamuan entertainment perusahaan beliau." "Apa?" "Kalau tidak percaya, Anda bisa menghubungi beliau saja dan mengonfirmasi langsung hal tersebut." Adam menggertakkan rahang dan langsu
Adam tahu bahwa dia harus segera pergi dari sini atau dia akan benar-benar gila."Apa yang sudah aku lakukan?" keluhnya sembari meremas rambut karena saking kesalnya. "Padahal tidak seharusnya aku berbuat begini. Nanti yang ada, dia justru akan semakin sengit padaku."Namun, mau bagaimana lagi? Mendengar Angel yang sedang berbicara di telepon dengan nada manja seperti tadi, seolah berhasil memercikkan api di dalam diri Adam. Seperti ada semburan panas yang mengalir di seluruh nadi, membuatnya nyaris saja terbakar habis. Hal yang terjadi setelah itu malah lebih parah.Selama tiga puluh menit terakhir Adam mendapati bahwa dirinya ternyata tidak sedang bekerja, melainkan justru asyik mengamati tingkah laku Angel dari CCTV. Padahal lelaki itu tahu persis bahwa masih ada banyak pekerjaannya yang sudah menumpuk dan perlu untuk diselesaikan sesegera mungkin.Bukankah ini sudah gila?"Tapi memang lumayan menyenangkan saat melihat ekspresi kesalnya." Adam masih sempat tertawa kecil, sebelum
Keenan merebut rokok yang tengah dihisap oleh Keke. "Jangan terlalu banyak merokok, Key," ujarnya sambil mematikan rokok tersebut ke asbak yang terletak di atas meja. Keke memberinya tatapan kesal. Dengan cuek perempuan cantik itu lantas mengambil sebatang rokok lagi, lalu menyalakannya. Namun, rupanya Keenan cukup keras kepala. Tanpa ragu lelaki itu kembali merebut rokok dari bibir Keke dan segera mematahkannya di asbak. Sebagai tambahan, Keenan juga mengambil sisa rokok dan juga korek Keke, lantas melemparkannya begitu saja ke dalam tempat sampah. "Enough, Key!" "Jangan ikut campur, Keenan!" "Aku tidak berniat ikut campur, aku hanya peduli padamu. Bagaimana pun kita adalah teman." "Teman di atas ranjang, maksudmu?" Keenan tidak menjawab dan hanya memandangnya sembari menghela napas panjang. "Lain kali, jaga sikapmu terhadap Adam," ujarnya dengan pandangan yang melembut. "Apalagi kalau dari awal dia sudah terlihat suntuk seperti itu. Kita harus lebih berhati-hati lagi bers
Tadinya Raka memang sempat berkata kalau dia tidak berminat dengan Lidia. Namun nyatanya, sekarang ini lelaki itu sedang sibuk naik turun menikmati tubuh istrinya. "Ah, Mas!" desah Lidia dengan mata yang terbuka lebar, terlihat jelas sangat menikmati gerakan memompa dari suaminya. "Mas Raka." Ada seringai di wajahnya. Raka merasa bangga karena selalu bisa membuat siapa pun partner ranjangnya merasa puas, bahkan kewalahan. Dengan sengaja lelaki itu malah memperkuat gerakannya, membuat Lidia semakin mengerang tidak karuan. Sampai kemudian ledakan gairah itu datang. Raka menyurukkan wajah di leher dan rambut Lidia, sementara dia membenamkan dalam-dalam miliknya. Dia bisa merasakan tubuh istrinya yang juga menegang, ketika mencapai puncak kenikmatannya lagi untuk ke sekian kali. Raka berguling di samping Lidia, lalu berbaring telentang. Napasnya masih terengah dan tidak lama kemudian, lelaki itu pun memejam. Dalam beberapa hari ini, Lina jelas tidak bisa menemaninya dan Raka pun ti
"Bagaimana?""Maaf karena sudah mengganggu waktu Anda, Pak, tapi—""Langsung saja, Dim. Tidak perlu bertele-tele," potong Adam. "Aku bahkan sudah meninggalkan kedua temanku begitu saja dan langsung datang setelah kamu telepon. Jadi, jangan buang-buang waktu lagi."Dimas mengangguk. Dia mempersilakan Adam untuk duduk di kursi kerjanya dan segera mengetikkan sesuatu di laptopnya. "Silakan Anda lihat dan cek langsung, Pak," ujarnya, memutar layar laptop ke arah Adam. "Sesuai dengan perintah Anda, kami sudah melakukan pengecekan mengenai proses penerimaan pengajuan kerja sama tersebut. Kami juga sudah menanyai langsung rekan-rekan dari Departemen Merchants and Partners (M&P), dan mereka menyatakan sudah melakukan semuanya berdasarkan SOP. Manager M&P sudah kami mintai pernyataan juga. Beliau memang tidak seratus persen yakin, mengingat ada begitu banyak perusahaan yang mengajukan tawaran untuk bekerja sama dengan CC, tapi beliau tidak ingat pernah memberikan approval untuk meloloskan San
Angel baru saja turun dari mobil yang mengantarkannya pulang dari kantor. Secara kebetulan, pada saat yang sama itu ponselnya pun berdering. Sekilas dia melirik, sekedar memastikan bahwa itu bukan panggilan telepon dari Raka. Angel merasa malas menerima, kalau semisal memang lelaki itulah yang menelepon. Namun kemudian, senyuman merekah di bibir perempuan itu. Ternyata, ada panggilan masuk dari Ayahnya. "Iya, Ayah. Ini aku baru saja sampai kok. Iya. Lemburnya tidak sampai terlalu malam. Ini juga masih jam sembilan." Perempuan itu terdiam sejenak, mendengarkan ucapan Ayahnya di ujung telepon. "Belum, Yah. Aku belum makan malam. Soal itu gampang sajalah. Aku bisa makan nanti sesampainya di apartemen." Suara Ayahnya kembali terdengar. Rupanya, lelaki itu tidak terlalu percaya kalau Angel benar-benar akan makan malam. "Aduh, Ayah." Angel tertawa kecil. "Apa aku ini seperti anak kecil? Bahkan untuk makan saja harus terus menerus diingatkan. Justru yang mesti jaga kesehatan itu Ay
Diperlukan pengendalian diri yang besar bagi Adam untuk saat ini. Perempuan yang berada di depannya ini sekarang tidak ada ubahnya seperti kucing kecil yang ketakutan. Sepasang mata yang melebar memandang ke arahnya, bibir yang digigit dengan gugup, lalu kedua tangan yang kini menekan dadanya dengan gemetar. Sial! Adam memaki dalam hati, sebab tidak ada hal lain yang dia inginkan saat ini kecuali menerkam sekretarisnya sendiri. Menggertakkan rahang kuat-kuat, dia berusaha untuk tidak kehilangan kendali. Paling tidak, Adam berusaha untuk tidak menyerah kalah terhadap semua pikiran-pikiran liarnya. Masih ada masalah soal itu yang perlu dia mintakan kejelasannya kepada Angel. Fokus, Adam. Fokus! Demi Tuhan, kamu bukan binatang buas! Jadi, gunakan akal sehatmu. Namun, akal sehat yang masih coba Adam bujuk untuk segera datang rupanya nyaris menyerah. Itu semua karena suara lirih bernada ketakutan yang justru membuatnya hampir lepas kendali. "Ppak— Apa yang sedang Anda lakukan
Saat tiba di kantor keesokan paginya, Angel menabrak Yasmin dalam perjalanan menuju lift. Dia mencoba tidak menghiraukan pandangan heran teman kerjanya itu dan berusaha mengalihkan perhatian dengan sebuah janji makan siang bersama pada hari Minggu depan. Di dalam lift, Angel masih berusaha untuk tetap bersikap tenang. Setidaknya, dia berhasil membuat Yasmin tidak lagi curiga. Angel mengucapkan selamat tinggal dengan sedikit terlalu bersemangat, sewaktu mereka berpisah ketika lift berhenti di lantai kantor Yasmin. Namun, tidak dengan saat setibanya dia di lantai sembilan belas. Berada di lantai tempatnya bekerja ini, membuat Angel bisa merasakan betapa rasa gelisahnya mulai menguar dengan kuat. Rupanya, usaha dia sejak semalam untuk bisa membujuk dirinya agar tetap bersikap biasa, sekarang menjadi sia-sia saja.Di setiap langkahnya, sekarang Angel menyadari betapa dia merasa semakin gugup. Mendekati ruang kantornya, dia pun bertambah ingin melarikan diri saja. Ya, Tuhan. Bagaimana