Keenan merebut rokok yang tengah dihisap oleh Keke. "Jangan terlalu banyak merokok, Key," ujarnya sambil mematikan rokok tersebut ke asbak yang terletak di atas meja. Keke memberinya tatapan kesal. Dengan cuek perempuan cantik itu lantas mengambil sebatang rokok lagi, lalu menyalakannya. Namun, rupanya Keenan cukup keras kepala. Tanpa ragu lelaki itu kembali merebut rokok dari bibir Keke dan segera mematahkannya di asbak. Sebagai tambahan, Keenan juga mengambil sisa rokok dan juga korek Keke, lantas melemparkannya begitu saja ke dalam tempat sampah. "Enough, Key!" "Jangan ikut campur, Keenan!" "Aku tidak berniat ikut campur, aku hanya peduli padamu. Bagaimana pun kita adalah teman." "Teman di atas ranjang, maksudmu?" Keenan tidak menjawab dan hanya memandangnya sembari menghela napas panjang. "Lain kali, jaga sikapmu terhadap Adam," ujarnya dengan pandangan yang melembut. "Apalagi kalau dari awal dia sudah terlihat suntuk seperti itu. Kita harus lebih berhati-hati lagi bers
Tadinya Raka memang sempat berkata kalau dia tidak berminat dengan Lidia. Namun nyatanya, sekarang ini lelaki itu sedang sibuk naik turun menikmati tubuh istrinya. "Ah, Mas!" desah Lidia dengan mata yang terbuka lebar, terlihat jelas sangat menikmati gerakan memompa dari suaminya. "Mas Raka." Ada seringai di wajahnya. Raka merasa bangga karena selalu bisa membuat siapa pun partner ranjangnya merasa puas, bahkan kewalahan. Dengan sengaja lelaki itu malah memperkuat gerakannya, membuat Lidia semakin mengerang tidak karuan. Sampai kemudian ledakan gairah itu datang. Raka menyurukkan wajah di leher dan rambut Lidia, sementara dia membenamkan dalam-dalam miliknya. Dia bisa merasakan tubuh istrinya yang juga menegang, ketika mencapai puncak kenikmatannya lagi untuk ke sekian kali. Raka berguling di samping Lidia, lalu berbaring telentang. Napasnya masih terengah dan tidak lama kemudian, lelaki itu pun memejam. Dalam beberapa hari ini, Lina jelas tidak bisa menemaninya dan Raka pun ti
"Bagaimana?""Maaf karena sudah mengganggu waktu Anda, Pak, tapi—""Langsung saja, Dim. Tidak perlu bertele-tele," potong Adam. "Aku bahkan sudah meninggalkan kedua temanku begitu saja dan langsung datang setelah kamu telepon. Jadi, jangan buang-buang waktu lagi."Dimas mengangguk. Dia mempersilakan Adam untuk duduk di kursi kerjanya dan segera mengetikkan sesuatu di laptopnya. "Silakan Anda lihat dan cek langsung, Pak," ujarnya, memutar layar laptop ke arah Adam. "Sesuai dengan perintah Anda, kami sudah melakukan pengecekan mengenai proses penerimaan pengajuan kerja sama tersebut. Kami juga sudah menanyai langsung rekan-rekan dari Departemen Merchants and Partners (M&P), dan mereka menyatakan sudah melakukan semuanya berdasarkan SOP. Manager M&P sudah kami mintai pernyataan juga. Beliau memang tidak seratus persen yakin, mengingat ada begitu banyak perusahaan yang mengajukan tawaran untuk bekerja sama dengan CC, tapi beliau tidak ingat pernah memberikan approval untuk meloloskan San
Angel baru saja turun dari mobil yang mengantarkannya pulang dari kantor. Secara kebetulan, pada saat yang sama itu ponselnya pun berdering. Sekilas dia melirik, sekedar memastikan bahwa itu bukan panggilan telepon dari Raka. Angel merasa malas menerima, kalau semisal memang lelaki itulah yang menelepon. Namun kemudian, senyuman merekah di bibir perempuan itu. Ternyata, ada panggilan masuk dari Ayahnya. "Iya, Ayah. Ini aku baru saja sampai kok. Iya. Lemburnya tidak sampai terlalu malam. Ini juga masih jam sembilan." Perempuan itu terdiam sejenak, mendengarkan ucapan Ayahnya di ujung telepon. "Belum, Yah. Aku belum makan malam. Soal itu gampang sajalah. Aku bisa makan nanti sesampainya di apartemen." Suara Ayahnya kembali terdengar. Rupanya, lelaki itu tidak terlalu percaya kalau Angel benar-benar akan makan malam. "Aduh, Ayah." Angel tertawa kecil. "Apa aku ini seperti anak kecil? Bahkan untuk makan saja harus terus menerus diingatkan. Justru yang mesti jaga kesehatan itu Ay
Diperlukan pengendalian diri yang besar bagi Adam untuk saat ini. Perempuan yang berada di depannya ini sekarang tidak ada ubahnya seperti kucing kecil yang ketakutan. Sepasang mata yang melebar memandang ke arahnya, bibir yang digigit dengan gugup, lalu kedua tangan yang kini menekan dadanya dengan gemetar. Sial! Adam memaki dalam hati, sebab tidak ada hal lain yang dia inginkan saat ini kecuali menerkam sekretarisnya sendiri. Menggertakkan rahang kuat-kuat, dia berusaha untuk tidak kehilangan kendali. Paling tidak, Adam berusaha untuk tidak menyerah kalah terhadap semua pikiran-pikiran liarnya. Masih ada masalah soal itu yang perlu dia mintakan kejelasannya kepada Angel. Fokus, Adam. Fokus! Demi Tuhan, kamu bukan binatang buas! Jadi, gunakan akal sehatmu. Namun, akal sehat yang masih coba Adam bujuk untuk segera datang rupanya nyaris menyerah. Itu semua karena suara lirih bernada ketakutan yang justru membuatnya hampir lepas kendali. "Ppak— Apa yang sedang Anda lakukan
Saat tiba di kantor keesokan paginya, Angel menabrak Yasmin dalam perjalanan menuju lift. Dia mencoba tidak menghiraukan pandangan heran teman kerjanya itu dan berusaha mengalihkan perhatian dengan sebuah janji makan siang bersama pada hari Minggu depan. Di dalam lift, Angel masih berusaha untuk tetap bersikap tenang. Setidaknya, dia berhasil membuat Yasmin tidak lagi curiga. Angel mengucapkan selamat tinggal dengan sedikit terlalu bersemangat, sewaktu mereka berpisah ketika lift berhenti di lantai kantor Yasmin. Namun, tidak dengan saat setibanya dia di lantai sembilan belas. Berada di lantai tempatnya bekerja ini, membuat Angel bisa merasakan betapa rasa gelisahnya mulai menguar dengan kuat. Rupanya, usaha dia sejak semalam untuk bisa membujuk dirinya agar tetap bersikap biasa, sekarang menjadi sia-sia saja.Di setiap langkahnya, sekarang Angel menyadari betapa dia merasa semakin gugup. Mendekati ruang kantornya, dia pun bertambah ingin melarikan diri saja. Ya, Tuhan. Bagaimana
Sudah lama rasanya dia tidak merasa sesenang ini. Lidia mendesah bahagia, sembari menepuk-nepukkan cairan serum perawatan kecantikan yang mahal ke seluruh permukaan wajahnya. Perempuan itu sekarang duduk di depan meja rias dan tengah memakai make up, sedangkan senyuman tidak juga lepas dari bibirnya. "Menyenangkan sekali," gumamnya, menatap pantulan wajahnya di cermin yang terlihat begitu berseri-seri. "Dua hari ini benar-benar menyenangkan." Selama dua hari kemarin Lidia merasa seperti menjadi pengantin baru saja. Entah berapa kali sudah dia melakukan seks bersama suaminya dalam dua hari tersebut. Lidia seperti merasa seperti perempuan yang begitu haus akan seks, dia bahkan selalu merasa tidak sabar menunggu kedatangan Raka pulang dari kantor. "Heran, kenapa aku merasa begitu bergairah, ya? Seolah tidak ada puasnya. Bahkan di tengah hari pun, aku sampai bermimpi sedang melakukan seks bersama Mas Raka." Kedua pipi Lidia merona bila teringat soal kejadian kemarin siang. Bahkan
"Jangan terlalu lebay!" "Tapi, Mas—" "Sekarang terserah kamu, Lid. Mau pulang ke rumah Ibumu dan mengurusi adikmu itu, atau ikut berlibur denganku?" Lidia seketika terdiam. Jawaban yang Raka berikan tersebut sama sekali tidak dia kira. Tadi, setelah menerima telepon dari Ibunya, dia segera berlari menemui suaminya. Lidia langsung menceritakan semua hal yang tadi disampaikan oleh Ibunya, sehubungan dengan keadaan adik perempuannya, Lina. "Lina sudah tidak pulang selama dua hari, Mas," ujarnya lagi, masih mencoba untuk membujuk Raka. Dia berharap hati suaminya bisa sedikit melembut, sebab setahu Lidia, Raka juga sangat menyayangi keluarganya. "Lalu tadi pagi-pagi sekali dia pulang." "Nah, bagus kan? Lina sudah pulang, lalu sekarang apa lagi yang perlu dikhawatirkan?" sahut Raka bertanya. "Lagi pula, Lina itu kan, memang masih muda, Lid. Dia seorang mahasiswi. Jadi, wajar saja kalau dia masih lebih suka bersenang-senang." "Tapi Lina pulang dalam keadaan yang berantakan, Mas. Sep
Halo, Para pembaca. Kisah Adam dan Angel berakhir sampai di sini. Terima kasih atas kesediannya untuk mengikuti kisah ini dan mohon maaf karena sempat vakum cukup lama. Ada satu dan lain hal yang menjadi penyebab, termasuk masalah kesehatan. Semoga kita semua selalu sehat & bahagia, ya. Saya menyadari bahwa karya ini sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu, komentar, masukan, dan saran dari Kakak sekalian sangat saya nanti dan hargai. Sampai bertemu di kisah yang lain. Apabila berkenan, silakan mampir di igeh saya: Rae_1243. Apabila ingin berhubungan melalui wa dengan saya, silakan dm saja. Sekali lagi, terima kasih. Salam sayang, ~Rae~
"Tahanan 2673, silakan ke sini."Lidia berjalan dengan kepala tertunduk. Setelah berada di penjara selama nyaris tiga tahun, kini dia sudah terbiasa dengan panggilan tersebut. Namun langkahnya tiba-tiba saja terhenti, saat dia melihat siapa orang yang datang mengunjunginya."Kamu lagi. Bukankah sudah aku katakan, agar tidak mengunjungiku lagi? Tapi kenapa kamu masih juga datang terus?""Kak Lidia, ish! Jangan bersikap sekasar itu dong. Lihat, Raline jadi kaget.""Kamu juga sih, Lin. Kenapa membawa anak kecil ke penjara?""Memangnya, kenapa? Raline ini juga kan, keponakan Kakak. Lagi pula, nanti juga Kakak akan tinggal bersamanya kan?"Sejenak Lidia terdiam, lalu membuang muka. "Tidak perlu. Lupakan saja omonganmu tadi. Lagi pula, dia pasti malu karena mempunyai bibi mantan napi seperti aku ini.""Siapa bilang? Memangnya, Kakak berpikir aku akan membesarkan putriku seperti apa?""Tapi—""Tujuh tahun lagi Kakak akan bebas. Pada saat itu, aku dan Raline akan datang menjemput Kakak. Titik
Lima menit pertama Angel mengedarkan pandangan. Dia masih berusaha untuk menangkap, apa sebenarnya yang sedang terjadi.Ada Ayahnya, yang berdiri di sebelah Erin. Angel juga bisa melihat teman-teman Ayahnya, yang sebagian besar dulunya merupakan orang-orang yang salah jalan. Lalu juga ada beberapa rekan kerjanya yang dulu seperti Yasmin, Aldi, dan bahkan Pak Dimas. Kemudian Keynan serta Keke.Tidak ada terlalu banyak orang di sana, kemungkinan tidak lebih dari seratus orang. Namun, suasanya begitu meriah.Dekorasi yang ada memang mewah, tapi tidak berlebihan. Ribuan bunga yang menghiasi seluruh penjuru ruangan luas ini dan bahkan sampai menjuntai dari langit-langit, membuat Angel seolah tiba-tiba saja masuk ke sebuah negeri dongeng.Kemudian, kerlip-kerlip apa itu? Terlihat seolah ada jutaan permata yang bersembunyi di balik hiasan bunga.Bahkan sampai ada banyak kupu-kupu yang berterbangan kian kemari. Seekor kupu-kupu berwarna hijau toska kemudian terbang mendekat dan hinggap di at
Terdengar suara desahan dari sepasang bibir Angel.Perempuan itu lebih dalam menyandarkan punggung ke kursi tempatnya duduk, sembari melemparkan pandangan ke arah jendela yang ada di sampingnya. Angel mengamati hamparan awan putih mendominasi. Seketika pikirannya pun kembali melayang ke segala hal yang telah terjadi. Tidak terasa, waktu tiga tahun pun sudah berlalu. "Padahal, rasanya seperti baru kemarin," gumamnya, mendesah. "Tapi syukurlah, setidaknya aku tidak perlu lagi bertemu dengan orang-orang itu."Raka sudah divonis penjara seumur hidup. Dari kabar terakhir yang Angel dengar, lelaki itu terlibat dalam kerusuhan yang terjadi di dalam penjara sampai mengalami luka parah.Namun, ada kabar lain lagi yang lebih mengerikan. Angel mendengar bahwa Raka sampai harus kehilangan kejantanannya. Kejantanan milik lelaki itu rupanya mengalami luka dan infeksi yang didapat dari insiden kerusuhan, sehingga akhirnya terpaksa dipotong. "Ya, Tuhan." Angel berbisik. "Aku tidak bisa membayang
Raka berteriak marah. Sejak tadi dia terus menendang-nendang jeruji besi tempatnya ditahan dan baru berhenti ketika dibentak balik oleh petugas jaga. "Brengsek!" Dia mengumpat, segera setelah petugas jaga pergi. "Kenapa semuanya jadi seperti ini? Kenapa?"Lelaki itu meremas-remas rambut dengan frustrasi. Dia teringat kembali dengan kejadian yang dialaminya tiga hari lalu.Waktu itu dia baru saja hendak pulang kerja, sewaktu dua orang lelaki yang tidak dikenal datang. Napasnya seketika tercekat, saat salah satu dari mereka menunjukkan surat penangkapan untuknya. Rasanya benar-benar memalukan ketika dia digelandang keluar dari gedung perusahaannya sendiri. Ditambah lagi dengan pandangan para karyawan yang ada, membuat Raka begitu ingin mengubur dirinya sendiri kala itu. "Sialan! Padahal tinggal sedikit lagi semua rencanaku bisa beres." Dia menggerutu. "Tapi kenapa malah jadi begini?"Sekarang Raka benar-benar tidak bisa berkutik. Dia tidak dapat mengelak sewaktu polisi menemukan boto
"Angel, tunggu!" Mobil yang Jalu kendarai masih belum sepenuhnya berhenti, tapi Angel sudah langsung membuka pintu dan meloncat keluar. Perempuan itu seolah tidak ingin membuang waktu dan segera menyeberangi pelataran parkir. "Angel! Tunggu, Nak!" Jalu berseru percuma. Putrinya itu sekarang berlari memasuki rumah sakit tanpa menoleh sedikit pun. Dengan menggerutu, Jalu berusaha mencari tempat untuk memarkirkan mobilnya. Lelaki itu pun segera berlari, menyusul ke arah putrinya. "Pak Jalu! Terima kasih karena sudah datang secepatnya." Dokter Brian berseru, sambil berlari-lari menyongsong Jalu. "Ada keadaan mendesak yang—" "Saya paham, Dok," potong Jalu segera. "Sebenarnya, apa yang terjadi?" "Ah, itu—" "Ayah!" seru Angel. Dia menarik-narik tangan Ayahnya dengan panik. "Ayah! Ada apa dengan Kak Erin? Kenapa sekarang Kak Erin dipindahkan ke ruang ICU? Lalu, kenapa aku tidak boleh masuk dan melihatnya?" "Angel, tenang dulu. Tenang ya, Nak." "Tapi, Ayah—" "Maaf karena saya menye
Rupanya, Adam yang menelepon. Lelaki itu memberi kabar bahwa Lidia telah memasukkan tuntutan kepada Rama ke meja hijau. Ternyata Lidia memaksa pulang paksa dari rumah sakit adalah demi mencari barang bukti. Hasilnya, dia menemukan beberapa bungkus permen aneh yang seperti beberapa kali pernah dia konsumsi, serta sebotol kecil obat pil yang bisa larut dalam air dengan cepat. "Lalu?" tanya Angel dengan hati berdebar. Berita yang disampaikan Adam kepadanya ini cukup membuatnya tegang. "Dia menghubungiku dan meminta tolong agar semua temuannya itu diperiksa. Hasilnya—" Dari ujung telepon, tarikan napas Adam terdengar begitu jelas. "Apa?" desak Angel. "Hasilnya bagaimana, Adam?" Adam masih sempat menyergah napas, sebelum menjawab, "Permen itu mengandung sejenis zat adiktif, yang apabila dikonsumsi maka akan memberikan efek ketagihan. Namun, ada beberapa zat lain yang juga terdapat di dalamnya. Untuk singkatnya, permen itu bisa dikatakan sebagai obat perangsang." "Obat, apa?" Angel
"Ayah, sudah aku katakan kalau aku baik-baik saja!"Angel merajuk. Dia terlihat sebal dan merasa tidak suka dengan segala hal yang sekarang terpaksa dia jalani. "Lagi pula, apa-apaan sih, semua ini?""Ini untuk berjaga-jaga, Angel," ujar Jalu, dengan sabar mencoba membujuk putrinya. "Jadi, sabar dulu, ya?""Berjaga-jaga bagaimana? Lidia yang pingsan, kenapa aku juga ikut-ikutan diperiksa seperti ini?""Tetap saja, Ayah khawatir, Angel. Apalagi setelah hasil pemeriksaan Lidia akhirnya keluar. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu?"Angel memukul dahinya. Perempuan itu sekarang sedikit menyesali pertemuannya dengan Lidia tadi siang. Tidak berselang lama setelah Lidia melihat bukti yang disodorkan Adam kepadanya, perempuan itu tiba-tiba saja pingsan. Entah apa yang dia lihat, tapi apa pun itu yang pasti cukup membuat Lidia shok.Mereka tentu merasa panik. Jalu dengan segera membawa Lidia ke rumah sakit terdekat, diikuti oleh Angel dan juga Adam. Sampai kemudian hasil pemeriksaan Lidi
Angel sama sekali tidak percaya dengan hal yang baru saja didengarnya. "Jangan berbohong!" serunya. "Kakakku tidak mungkin melakukan hal yang semacam itu!""Apa kamu kira Kakakmu itu perempuan baik-baik, ha?" Lidia membalas disertai tawa. "Kalau kamu tidak percaya, tanyakan saja langsung kepada Raka. Yang terlebih dulu merebut Raka itu adalah Erin! Jadi, tidak salah kan, kalau aku mengambil kembali apa yang menjadi milikku?"Angel memegang kepalanya yang mendadak pusing. Hal yang diceritakan Lidia ini benar-benar di luar dugaannya. "Aku dan Raka sudah bertunangan dan sebentar lagi kami akan menikah," ujar Lidia lagi. "Lalu Kakakmu tiba-tiba datang dan merusak semuanya. Dia memaksa Raka memutuskan pertunangan kami dan otomatis pernikahan kami pun batal. Saat mendengar soal itu, penyakit jantung Ayahku kumat dan beliau meninggal seketika itu juga. Harta keluargaku habis, sampai aku pun terpaksa melakukan pekerjaan haram demi menghidupi Ibu dan adikku. Keluarga dan kebahagiaanku hancur