"OMG! Your mouth itu lho, Angel!" Yasmin berseru dengan mata terbelalak. "Itu mulut kenapa ember banget, sih? Tumben." "Yas, please. Sudah deh," gerutu Angel dengan wajah merengut. "Aku sendiri juga heran, kenapa kemarin sampai tiba-tiba menyeletuk seperti itu." Terlihat Yasmin yang sudah membuka mulut, tapi rupanya dia urung bersuara. Sebagai gantinya, dia memandang Aldi yang hanya mengangkat bahunya sekilas. Mereka bertiga tidak sengaja bertemu di lobi dan karena masih ada banyak waktu sebelum jam kerja, maka ketiga orang itu pun lantas memutuskan untuk pergi ke pantry. Yah, sekedar untuk menikmati segelas kopi instan sekaligus mengobrol. Ah, lebih tepatnya, membicarakan kebodohan Angel kemarin. "Untung saja kamu tidak ketahuan," ujar Yasmin lagi disertai desahan napas. "Bayangkan, saat beliau baru saja datang eh, malah ada yang memakinya." "Aku tidak memakinya, Yas. Kemarin itu aku hanya kelepasan saja. Sepertinya kemarin adalah hari sialku, sebab sejak pagi aku sudah sial me
Sepertinya, lain kali Angel tidak boleh begitu saja mengiyakan permintaan tolong dari orang lain, sebelum dia memastikan dulu pekerjaan yang dimiliki. Menghela napas panjang, Angel menatap muram ke beberapa catatan yang ditulis di sticky note dan sekarang menempel berjejer di atas komputernya. "Tabel status proyek Beaumont, Saffron dan tunggu, apakah aku salah lihat? Sandira Enterprise juga?"Mata Angel melebar melihatnya. Benarkah tumpukan pekerjaan yang sudah menyambutnya ini? Dengan hati yang sedikit menciut, dia lantas duduk dan menghidupkan komputernya. Dalam hati Angel berharap bahwa data yang diminta oleh Dimas tadi bukanlah sesuatu yang akan membuat pikirannya berasap. "Oh, hebat," gumamnya menggerutu. "Laporan keuangan Littman, dan aku sudah terlanjur menjanjikannya selesai paling lambat setelah jam makan siang."Dengan begitu banyak hal yang harus dikerjakan sekarang, Angel melirik ke arah jam tangannya dan sekali lagi mengeluh."Kalau aku melewatkan jam makan siang, mak
"Apa Anda sudah gila, Pak?" Bukan Angel, melainkan Dimaslah yang baru saja membuka keras-keras pintu ruang kantor Adam dan langsung berteriak. "Sebenarnya, apa yang ada dalam pikiran Anda?" "Halo, Dim. Bagaimana kalau kamu tutup dulu pintunya dengan benar, sebelum mulai bicara?" Berbeda dengan wakil direkturnya yang baru saja datang dan seketika marah-marah, sikap Adam justru terkesan begitu santai. "Kalau mau jujur, aku lebih suka kalau kamu menutup pintunya dari luar, sih?" imbuhnya, memasang cengiran saat melihat ekspresi wajah Dimas saat ini. "Apa Anda ingin mengusir saya lagi?" "Memangnya, kapan aku pernah mengusirmu?" "Tadi pagi—" "Ah, iya. Tadi pagi," potong Adam, masih dengan sikap santainya. "Ngomong-ngomong, tadi pagi aku berkata apa? Bukankah aku hanya memberi tahu soal di mana letak pintu ruang kerjaku?" Mendengar jawaban yang semacam itu, jelas membuat Dimas tidak terima. Lelaki itu masih terlihat seperti hendak membalas omongan Adam, tapi untunglah tersadar p
Angel ingat betul bahwa Ayahnya selalu berkata bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Namun, bukan berarti semua pengalaman itu harus dia alami sendiri. Perhatikan dan ambil pelajaran dari pengalaman orang lain. Lalu, untuk bisa sampai di posisi puncak, maka Angel harus memulai segalanya dari bawah. "Jadilah orang yang paling dibutuhkan dan dihargai." Angel masih bisa mengingat dengan jelas tiap kata yang Ayahnya ucapkan. "Buat para atasanmu berpikir bahwa mereka sangat membutuhkanmu. Selalu kuasai kemampuan, minimal satu tingkat di atas posisimu saat ini. Pelajari dunia mereka. Amati dengan betul-betul. Maka akan tiba masanya mereka akan begitu bergantung kepadamu, sehingga tidak akan mungkin melepaskanmu. Malah, mereka akan saling berebut untuk bisa mendapatkanmu." Terdengar helaan napas berat dari bibirnya. Entah berapa kali sudah dia membatin, betapa beratnya hari ini. Bukan hanya fisik, tapi pikiran perempuan itu pun terasa penat. "Apa-apaan sebenarnya semua ini?" gumam
Seperti sebuah keajaiban, Angel berhasil menyelesaikan laporan keuangan Littman tepat waktu. Pukul tiga sore kurang lima menit, Dimas datang dengan berlari-lari. Dia terlihat seolah ada pembunuh berdarah dingin yang tengah mengejar dan menghampiri Angel seperti perempuan itulah satu-satunya penyelamat baginya. "Miss Angel, apakah—" "Laporannya baru saja saya kirimkan ke email Anda tiga detik yang lalu, Pak." "Jadi, itu berarti—" "Saya juga sudah mencetak laporan tersebut. Silakan dicek terlebih dulu, apakah ada kesalahan dalam laporan saya tersebut atau mungkin hal-hal lain yang tidak sesuai?" Dimas membaca cepat tiga lembar kertas laporan yang disodorkan padanya dan tidak menemukan kesalahan apa pun meski hanya satu angka. Tidak bisa dipungkiri, betapa lelaki itu kini merasa terharu. "Saya berhutang banyak terhadap Anda, Miss, dan saya pasti akan membalasnya," ujar Dimas dengan sungguh-sungguh. "Tapi sekarang saya harus segera pergi. Ada rapat yang sudah menunggu." Sepeningg
Ini sudah hampir pasti disengaja. Ah, bukan. Bukan seperti itu, tapi ini memang benar-benar disengaja. Angel bisa merasakan panas dari tangan Adam yang seolah berhasil menembus rok hingga kulitnya. Otot-otot di tubuhnya pun menegang, tapi anehnya seolah ada sesuatu yang berada di dalam dirinya yang kini meleleh. Hanya dengan satu sentuhan itu, kenapa bisa sampai membuatnya begitu terbakar seperti ini, sih? Bahkan setiap sentuhan yang Raka lakukan padanya pun tidak pernah membuat Angel merasa sampai seperti ini. Pikirannya memang berteriak agar dia segera menyingkirkan tangan yang sudah seenaknya saja menyentuhnya itu, tapi tubuh Angel seolah memiliki sebuah gagasan lain. Sial. "Kenapa?" Lagi, suara yang menyebalkan itu berhasil membuat jantung Angel berdebar lebih keras. Angel bahkan sampai harus bertanya-tanya, apakah dadanya tidak akan jebol kalau jantungnya terus menerus berdetak dengan kencang seperti ini? "Beri tahu aku, kenapa, Miss Angel?" Kenapa? Angel mengulang pe
Angel masih ingat betapa dia sampai terhuyung ketika berjalan keluar kantor. Perempuan itu benar-benar berharap agar kedua kakinya bisa diajak bekerja sama dan tidak berkhianat.Dia tidak sanggup memikirkan soal apa pun saat ini, kecuali secepatnya pulang. Meski sialnya, Angel masih harus kembali ke departemen kerjanya, mematikan komputer, lalu menyambar tasnya begitu saja."Ya, Tuhan. Apa-apaan itu tadi?" gumamnya, sembari bersandar di dinding marmer yang dingin sementara dia menunggu kedatangan lift.Tadi dia meninggalkan Adam begitu saja di ruang kantor lelaki itu. Angel bahkan tidak menoleh sekali pun, seolah khawatir apabila dia harus menghadapi atasannya lagi. "Semoga dia tidak keburu pulang," gumamnya, berkali-kali menatap panel lift dengan rasa tidak sabar. "Semoga dia tetap mendekam di dalam kantornya. Setidaknya, sampai aku aku pergi."Rasa-rasanya baru kali ini Angel merasa kalau lift yang ditunggunya datang terlalu lama. Dia bahkan nyaris memutuskan untuk menggunakan tang
Angel meringis menahan nyeri ketika Raka menekan password apartemennya, membuka pintu dengan kasar, lalu menyeretnya masuk. "Raka, lepas," rengeknya, menahan diri agar tidak segera menarik lepas tangannya begitu saja. "Sakit, Raka. Jangan ditarik terlalu keras."Sebenarnya, bila dibandingkan dengan sewaktu Raka menyeret Lidia keluar dari gedung kantornya dulu, maka cekalan yang dia lakukan terhadap Angel saat ini masih belum ada apa-apanya. Meski sedang marah sekalipun, tapi lelaki itu masih bisa ingat betapa lembut kekasihnya ini. "Rakaa, sakiiit. Iihh." Angel terus-terusan merengek. Perempuan cantik itu juga memasang ekspresi wajah seolah ingin menangis. "Rakaa."Ya, Tuhan. Kalau saja bukan karena rasa cemburunya, mungkin Raka sudah akan memeluk dan menciumi kekasihnya itu. Lagi pula, suara rengekan bernada manja itu benar-benar terdengar begitu menggairahkan. Namun, sial! Aroma parfum lelaki lain yang terdapat di tubuh Angel, sungguh membuat hati dan pikiran Raka begitu panas. R