"Baby, batalkan saja keputusanmu tadi." Raka langsung mendekati Angel ketika melihatnya datang. "Ayolah. Ini hanya sekedar permainan, Baby. Kamu tidak perlu sampai menjadikan dirimu sebagai taruhan."Sesaat Angel terdiam. Dia memandang lelaki yang kini menatapnya dengan cemas. Sejujurnya Angel mengakui bahwa dia bisa merasakan betapa besar perasaan Raka terhadapnya. Dia mungkin saja bisa benar-benar jatuh hati kepada lelaki ini, kalau saja tidak mengetahui cerita yang sebenarnya. Namun, tidak. Bayangan kakaknya yang sampai saat ini masih terbaring tidak sadarkan diri, tentu tidak bisa begitu saja enyah dari pikirannya. Lelaki inilah penyebabnya. Berdua bersama Lidia, istrinya, mereka adalah penyebab penderitaan yang dialami oleh Erin, kakaknya. Jadi, tidak. Angel tidak akan larut dan jatuh ke dalam perasaan bodohnya. Lelaki yang ada di hadapannya ini jelas harus menerima ganjaran atas semua perbuatannya kan?"Raka," ujarnya sambil menarik kedua sudut bibirnya membentuk segaris seny
Blackjack memang merupakan permainan kartu yang sederhana. Namun untuk memenangkannya tidak hanya membutuhkan keberuntungan atau kesempatan, tapi juga strategi. Waktu nyaris menunjukkan setengah sebelas malam, sewaktu Keynan dan Keke kembali memasuki kasino. Kedua orang itu datang bersamaan, bahkan sempat bergandengan tangan. Dari ujung matanya, Adam melihat cengiran lebar yang menghiasi wajah Keynan. Dia juga memperhatikan adanya beberapa bercak merah yang masih samar terlihat menghiasi leher Keke. "Sial!" gumamnya menahan kesal. "Aku sedang pusing di sini, dia malah asyik bersenang-senang."Tidak perlu dijelaskan pun Adam sudah bisa menebak hal apa yang baru saja Keynan lakukan bersama Keke. Lelaki itu berkali-kali mengingatkan dirinya agar tidak berlari ke seberang ruangan dan menghajar teman yang tidak tahu diri itu. "Sori," bisik Keynan buru-buru. Rupanya dia menyadari nafsu membunuh Adam terhadapnya. "Tadi ada hal yang perlu aku eh, lakukan."Adam masih sempat memandangnya t
"Pak, apakah Anda bisa melepaskan lengan saya?" Tidak ada jawaban. "Paling tidak, tolong pelankan jalan Anda, Pak. Kaki saya sakit karena harus berjalan terlalu cepat." Masih tidak ada jawaban, tapi lelaki yang berjalan di depannya itu tiba-tiba berhenti. Tak ayal, Angel pun menabraknya. "Aduh, Pak. Lain kali beri tanda dulu kalau mau berhenti. Jangan mendadak." Adam berbalik dan menghadapi perempuan cerewet yang sudah membuatnya pusing ini. Dia mengamati wajah Angel, yang sekarang sedang cemberut sambil mengomel sendiri. Syukurlah, batin Adam. Tadi dia sempat khawatir saat melihat betapa pucat wajah Angel sepanjang waktu permainan. Angel mungkin bisa tetap berpura-pura bersikap tenang, tapi ekspresi wajahnya tidak bisa mengelabui Adam. "Apakah kamu sudah tidak takut lagi?" tanyanya, meraih dagu Angel dan membuat perempuan itu mendongak menatapnya. "Apakah sekarang kamu sudah merasa lebih lega?" Angel hanya memandangnya. Dia lalu memegang tangan Adam dan berusaha melepas
Suara erangan sekali lagi lolos dari sepasang bibir merah tersebut. Kali ini bukan karena hentakan demi hentakan yang dia terima dan nikmati sejak tadi, tapi karena berpisahnya kedua milik mereka di bawah sana. "Sudah selesai?" "Kalau menuruti keinginanku, kita bisa di atas tempat tidur terus sampai pagi." "Aku tidak keberatan." "Aku tidak ingin membuatmu terlalu lelah. Ingat, ini malam terakhir kita di sini. Kamu juga tidak lupa kan, kalau besok sudah ada pekerjaan besar yang menanti?" Keke cemberut, tapi tidak bertahan lama. Dia beranjak duduk, lalu menarik selimut hingga sebatas dada. "Kamu akan tidur di sini atau—" Dia tidak meneruskan ucapannya. Keke terpaksa harus menggigit bibir saat melihat ke arah Keynan. Lelaki itu dengan santainya turun dari tempat tidur, tanpa mengenakan apa-apa. Keynan lantas berjalan ke arah kamar mandi, tapi kemudian berhenti dan menoleh. "Tentu saja aku akan tidur di sini. Memangnya, aku akan tidur di mana lagi, Ke?" Rasanya ada sesuatu yang
Rumah sakit di pinggir kota itu biasanya memang tidak terlalu ramai. Apalagi pada pagi hari seperti ini. Suasana yang ada terasa lebih lengang. "Selamat pagi, Dok," sapa seorang perawat ketika dokter Brian melintas di area lobi. "Apakah Anda akan segera pulang?"Sebelumnya, dokter Brian memang mendapatkan giliran jaga shift malam. Lelaki itu melirik sekilas ke jam tangannya, lalu mengangguk."Sebentar lagi," ujarnya disertai senyuman. "Masih ada sisa waktu dua puluh menit. Saya akan memeriksa beberapa pasien dulu, baru akan bersiap-siap pulang."Perawat tersebut sebenarnya masih berniat mengajak dokter Brian mengobrol, tapi urung. Ada sesuatu yang lebih menarik perhatiannya saat ini. Sebuah mobil sedan mewah berwarna putih baru saja memasuki di pelataran rumah sakit. Mobil itu berhenti di area parkir di dekat pintu masuk area lobi, yang dinding-dinding depannya terdiri dari kaca. "Siapa itu?" gumamnya bertanya. Dahi dokter Brian berkerut. Lelaki itu kemudian menggeleng, sama tidak
Pemandangan yang menyambut Adam, cukup menyesakkan. Ruang ICU ini merupakan ruangan VIP, sehingga hanya berisi satu pasien.Lelaki itu berdiri diam selama sesaat. Dia bisa melihat ada banyak alat medis yang digunakan di ruangan tersebut. Sekilas pandangannya menangkap gerakan naik turun ventilator yang memompa udara. Suara dari mesin EKG terdengar teratur senada dengan denyut jantung. Di salah satu sudut meja juga terdapat alat defibrilator yang siap digunakan untuk memacu jantung. Adam menarik napas dalam-dalam. Sekedar berada di dalam ruang ICU ini saja sudah membuatnya begitu tertekan. Rasanya begitu suram, seolah harapan tidak lebih dari sekedar sebuah tali tipis yang bisa putus kapan saja. "Angel, ini—""Itu kakak saya, Pak.""Apa? Kakak? Tapi bukankah kamu—"Angel berjalan mendekati tempat tidur pasien. Perempuan itu terdiam dan menunduk selama beberapa saat, baru kemudian memandang Adam sambil mengulas senyuman. "Perkenalkan, Pak. Ini kakak saya, Erin Hurem.""Hurem," ulang
"Apakah kamu yakin?"Angel seketika terdiam dan terlihat waspada. Tadi dia baru saja keluar dari kamar mandi, lalu sekarang sedang mencuci tangan. Namun kemudian ada sebuah suara, yang tiba-tiba saja menyapanya. "Ayah?" serunya. Dia merasa lega sekaligus heran, saat menyadari sosok lelaki yang terpantul di cermin wastafel. "Kenapa Ayah ada di sini? Apakah Ayah ingin menjemputku?"Tanpa menunggu lama, Angel segera menghambur ke dalam pelukan ayahnya. Usia lelaki itu sekitar empat puluh tahunan dengan kumis berwarna hitam yang melintang. Jalu Pradhita balas memeluk putrinya sembari tersenyum. Angel memang bukan putri kandungnya, tapi lelaki itu benar-benar menyayanginya dengan tulus. "Kalau Ayah memang datang untuk menjemputmu, lalu apakah kamu akan benar-benar mau ikut pulang?" tanyanya, kali ini menepuk-nepuk kepala Angel seperti yang kerap dia lakukan sejak perempuan ini kecil. "Ayah." Angel cemberut dan bersikap merajuk. "Ayah tahu kan, kalau aku belum bisa pulang selama semua i
"Aku bisa membantumu." Angel terdiam. Perempuan itu sedikit menundukkan kepala dan tetap tidak memberi jawaban, meski beberapa waktu telah berlalu. "Angel," ujar Adam lagi, kali ini dia bahkan menggenggam tangan sekretarisnya. "Aku bisa membantumu." Angel masih saja terdiam. Dia beberapa kali menarik napas dalam, sebelum kemudian memaksakan segaris senyuman. "Lalu, apa?" tanyanya sembari menoleh dan memandang Adam. Saat ini mereka sedang berada dalam mobil Adam. Atasannya itu duduk di bangku pengemudi, sementara Angel mengambil tempat di sebelahnya. Sebenarnya, mereka berdua sudah sampai di area parkiran apartemen. Namun baik Angel maupun Adam, masih tetap berada di dalam mobil. Rasanya aneh apabila dipikirkan, sebab mereka seolah tidak ingin untuk berpisah satu sama lain. "Anda belum menjawab pertanyaan saya, Pak," ujar Angel. Suaranya terdengar begitu pelan, seakan dia sendiri pun sudah merasa lelah. "Sebab aku tidak mengerti." Adam menyahutinya. "Apa maksud pertanyaan
Halo, Para pembaca. Kisah Adam dan Angel berakhir sampai di sini. Terima kasih atas kesediannya untuk mengikuti kisah ini dan mohon maaf karena sempat vakum cukup lama. Ada satu dan lain hal yang menjadi penyebab, termasuk masalah kesehatan. Semoga kita semua selalu sehat & bahagia, ya. Saya menyadari bahwa karya ini sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu, komentar, masukan, dan saran dari Kakak sekalian sangat saya nanti dan hargai. Sampai bertemu di kisah yang lain. Apabila berkenan, silakan mampir di igeh saya: Rae_1243. Apabila ingin berhubungan melalui wa dengan saya, silakan dm saja. Sekali lagi, terima kasih. Salam sayang, ~Rae~
"Tahanan 2673, silakan ke sini."Lidia berjalan dengan kepala tertunduk. Setelah berada di penjara selama nyaris tiga tahun, kini dia sudah terbiasa dengan panggilan tersebut. Namun langkahnya tiba-tiba saja terhenti, saat dia melihat siapa orang yang datang mengunjunginya."Kamu lagi. Bukankah sudah aku katakan, agar tidak mengunjungiku lagi? Tapi kenapa kamu masih juga datang terus?""Kak Lidia, ish! Jangan bersikap sekasar itu dong. Lihat, Raline jadi kaget.""Kamu juga sih, Lin. Kenapa membawa anak kecil ke penjara?""Memangnya, kenapa? Raline ini juga kan, keponakan Kakak. Lagi pula, nanti juga Kakak akan tinggal bersamanya kan?"Sejenak Lidia terdiam, lalu membuang muka. "Tidak perlu. Lupakan saja omonganmu tadi. Lagi pula, dia pasti malu karena mempunyai bibi mantan napi seperti aku ini.""Siapa bilang? Memangnya, Kakak berpikir aku akan membesarkan putriku seperti apa?""Tapi—""Tujuh tahun lagi Kakak akan bebas. Pada saat itu, aku dan Raline akan datang menjemput Kakak. Titik
Lima menit pertama Angel mengedarkan pandangan. Dia masih berusaha untuk menangkap, apa sebenarnya yang sedang terjadi.Ada Ayahnya, yang berdiri di sebelah Erin. Angel juga bisa melihat teman-teman Ayahnya, yang sebagian besar dulunya merupakan orang-orang yang salah jalan. Lalu juga ada beberapa rekan kerjanya yang dulu seperti Yasmin, Aldi, dan bahkan Pak Dimas. Kemudian Keynan serta Keke.Tidak ada terlalu banyak orang di sana, kemungkinan tidak lebih dari seratus orang. Namun, suasanya begitu meriah.Dekorasi yang ada memang mewah, tapi tidak berlebihan. Ribuan bunga yang menghiasi seluruh penjuru ruangan luas ini dan bahkan sampai menjuntai dari langit-langit, membuat Angel seolah tiba-tiba saja masuk ke sebuah negeri dongeng.Kemudian, kerlip-kerlip apa itu? Terlihat seolah ada jutaan permata yang bersembunyi di balik hiasan bunga.Bahkan sampai ada banyak kupu-kupu yang berterbangan kian kemari. Seekor kupu-kupu berwarna hijau toska kemudian terbang mendekat dan hinggap di at
Terdengar suara desahan dari sepasang bibir Angel.Perempuan itu lebih dalam menyandarkan punggung ke kursi tempatnya duduk, sembari melemparkan pandangan ke arah jendela yang ada di sampingnya. Angel mengamati hamparan awan putih mendominasi. Seketika pikirannya pun kembali melayang ke segala hal yang telah terjadi. Tidak terasa, waktu tiga tahun pun sudah berlalu. "Padahal, rasanya seperti baru kemarin," gumamnya, mendesah. "Tapi syukurlah, setidaknya aku tidak perlu lagi bertemu dengan orang-orang itu."Raka sudah divonis penjara seumur hidup. Dari kabar terakhir yang Angel dengar, lelaki itu terlibat dalam kerusuhan yang terjadi di dalam penjara sampai mengalami luka parah.Namun, ada kabar lain lagi yang lebih mengerikan. Angel mendengar bahwa Raka sampai harus kehilangan kejantanannya. Kejantanan milik lelaki itu rupanya mengalami luka dan infeksi yang didapat dari insiden kerusuhan, sehingga akhirnya terpaksa dipotong. "Ya, Tuhan." Angel berbisik. "Aku tidak bisa membayang
Raka berteriak marah. Sejak tadi dia terus menendang-nendang jeruji besi tempatnya ditahan dan baru berhenti ketika dibentak balik oleh petugas jaga. "Brengsek!" Dia mengumpat, segera setelah petugas jaga pergi. "Kenapa semuanya jadi seperti ini? Kenapa?"Lelaki itu meremas-remas rambut dengan frustrasi. Dia teringat kembali dengan kejadian yang dialaminya tiga hari lalu.Waktu itu dia baru saja hendak pulang kerja, sewaktu dua orang lelaki yang tidak dikenal datang. Napasnya seketika tercekat, saat salah satu dari mereka menunjukkan surat penangkapan untuknya. Rasanya benar-benar memalukan ketika dia digelandang keluar dari gedung perusahaannya sendiri. Ditambah lagi dengan pandangan para karyawan yang ada, membuat Raka begitu ingin mengubur dirinya sendiri kala itu. "Sialan! Padahal tinggal sedikit lagi semua rencanaku bisa beres." Dia menggerutu. "Tapi kenapa malah jadi begini?"Sekarang Raka benar-benar tidak bisa berkutik. Dia tidak dapat mengelak sewaktu polisi menemukan boto
"Angel, tunggu!" Mobil yang Jalu kendarai masih belum sepenuhnya berhenti, tapi Angel sudah langsung membuka pintu dan meloncat keluar. Perempuan itu seolah tidak ingin membuang waktu dan segera menyeberangi pelataran parkir. "Angel! Tunggu, Nak!" Jalu berseru percuma. Putrinya itu sekarang berlari memasuki rumah sakit tanpa menoleh sedikit pun. Dengan menggerutu, Jalu berusaha mencari tempat untuk memarkirkan mobilnya. Lelaki itu pun segera berlari, menyusul ke arah putrinya. "Pak Jalu! Terima kasih karena sudah datang secepatnya." Dokter Brian berseru, sambil berlari-lari menyongsong Jalu. "Ada keadaan mendesak yang—" "Saya paham, Dok," potong Jalu segera. "Sebenarnya, apa yang terjadi?" "Ah, itu—" "Ayah!" seru Angel. Dia menarik-narik tangan Ayahnya dengan panik. "Ayah! Ada apa dengan Kak Erin? Kenapa sekarang Kak Erin dipindahkan ke ruang ICU? Lalu, kenapa aku tidak boleh masuk dan melihatnya?" "Angel, tenang dulu. Tenang ya, Nak." "Tapi, Ayah—" "Maaf karena saya menye
Rupanya, Adam yang menelepon. Lelaki itu memberi kabar bahwa Lidia telah memasukkan tuntutan kepada Rama ke meja hijau. Ternyata Lidia memaksa pulang paksa dari rumah sakit adalah demi mencari barang bukti. Hasilnya, dia menemukan beberapa bungkus permen aneh yang seperti beberapa kali pernah dia konsumsi, serta sebotol kecil obat pil yang bisa larut dalam air dengan cepat. "Lalu?" tanya Angel dengan hati berdebar. Berita yang disampaikan Adam kepadanya ini cukup membuatnya tegang. "Dia menghubungiku dan meminta tolong agar semua temuannya itu diperiksa. Hasilnya—" Dari ujung telepon, tarikan napas Adam terdengar begitu jelas. "Apa?" desak Angel. "Hasilnya bagaimana, Adam?" Adam masih sempat menyergah napas, sebelum menjawab, "Permen itu mengandung sejenis zat adiktif, yang apabila dikonsumsi maka akan memberikan efek ketagihan. Namun, ada beberapa zat lain yang juga terdapat di dalamnya. Untuk singkatnya, permen itu bisa dikatakan sebagai obat perangsang." "Obat, apa?" Angel
"Ayah, sudah aku katakan kalau aku baik-baik saja!"Angel merajuk. Dia terlihat sebal dan merasa tidak suka dengan segala hal yang sekarang terpaksa dia jalani. "Lagi pula, apa-apaan sih, semua ini?""Ini untuk berjaga-jaga, Angel," ujar Jalu, dengan sabar mencoba membujuk putrinya. "Jadi, sabar dulu, ya?""Berjaga-jaga bagaimana? Lidia yang pingsan, kenapa aku juga ikut-ikutan diperiksa seperti ini?""Tetap saja, Ayah khawatir, Angel. Apalagi setelah hasil pemeriksaan Lidia akhirnya keluar. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu?"Angel memukul dahinya. Perempuan itu sekarang sedikit menyesali pertemuannya dengan Lidia tadi siang. Tidak berselang lama setelah Lidia melihat bukti yang disodorkan Adam kepadanya, perempuan itu tiba-tiba saja pingsan. Entah apa yang dia lihat, tapi apa pun itu yang pasti cukup membuat Lidia shok.Mereka tentu merasa panik. Jalu dengan segera membawa Lidia ke rumah sakit terdekat, diikuti oleh Angel dan juga Adam. Sampai kemudian hasil pemeriksaan Lidi
Angel sama sekali tidak percaya dengan hal yang baru saja didengarnya. "Jangan berbohong!" serunya. "Kakakku tidak mungkin melakukan hal yang semacam itu!""Apa kamu kira Kakakmu itu perempuan baik-baik, ha?" Lidia membalas disertai tawa. "Kalau kamu tidak percaya, tanyakan saja langsung kepada Raka. Yang terlebih dulu merebut Raka itu adalah Erin! Jadi, tidak salah kan, kalau aku mengambil kembali apa yang menjadi milikku?"Angel memegang kepalanya yang mendadak pusing. Hal yang diceritakan Lidia ini benar-benar di luar dugaannya. "Aku dan Raka sudah bertunangan dan sebentar lagi kami akan menikah," ujar Lidia lagi. "Lalu Kakakmu tiba-tiba datang dan merusak semuanya. Dia memaksa Raka memutuskan pertunangan kami dan otomatis pernikahan kami pun batal. Saat mendengar soal itu, penyakit jantung Ayahku kumat dan beliau meninggal seketika itu juga. Harta keluargaku habis, sampai aku pun terpaksa melakukan pekerjaan haram demi menghidupi Ibu dan adikku. Keluarga dan kebahagiaanku hancur