Semuanya sudah sesuai dengan yang Adam rencanakan. Permainan blackjack kali benar-benar dia kuasai. Paling tidak sudah tiga kali putaran permainan berjalan dan semuanya dia menangkan. "Winner!" seru dealer, kembali menyatakan Adam sebagai pemenang. Ada ekspresi angkuh di wajah Adam ketika tumpukan koin chip dipindahkan ke depannya. Lelaki itu dengan terang-terangan menatap Raka, yang balas memberinya pandangan menusuk. "Start?"Beberapa pemain memilih mundur, tapi segera berganti dengan orang-orang yang ingin bergabung. Sementara, Adam dan Raka masih tetap di tempat masing-masing. Dealer sudah hendak membagikan kartu, sewaktu Adam mengangkat sebelah tangannya. "Split," ujarnya, meminta agar kartu dipisahkan dan tawaran dinaikkan. "Ah, tunggu," sela Adam lagi. Dia lantas mendorong semua koin chipnya ke tengah meja, pertanda menyerahkan semua sebagai taruhan. "All in."Dari sudut matanya, Adam bisa melihat raut wajah Raka yang kesal. Lelaki itu sudah kehilangan banyak uangnya di me
"Apa yang sebenarnya ada di dalam kepalamu itu?"Angel baru saja berbelok di pojokan hendak ke kamar mandi, ketika sebuah tangan yang kuat memegang lengannya. "Tunggu!"Sesaat Angel menahan napas demi meredakan debaran jantungnya. Baik suara maupun sentuhan itu seolah mengirimkan sengatan ke tubuhnya. Angel menegakkan bahu, lalu berbalik untuk menatap lelaki keras kepala itu. Dia bermaksud untuk bersikap seperti biasanya, tapi ternyata itu bukanlah hal yang mudah. Ah, sialan. Dia memaki dalam hati. Kenapa lelaki ini terlihat lebih tampan, sih?"Apa mau Anda?" tanyanya sambil berusaha menarik lengannya dari cengkeraman lelaki itu. "Lepaskan saya, Pak Adam."Sebenarnya Angel sudah mengenakan sepatu hak, tapi tetap saja dia harus mendongak untuk menatap Adam. Dari jarak sedekat ini, dia bisa melihat kalau Adam terlihat lelah. Apakah atasannya ini tidak tidur semalaman?Sambil menyapukan tangan ke sela-sela rambutnya, Adam menoleh ke sekeliling dengan cepat. "Aku ingin bicara denganmu.
"Baby, batalkan saja keputusanmu tadi." Raka langsung mendekati Angel ketika melihatnya datang. "Ayolah. Ini hanya sekedar permainan, Baby. Kamu tidak perlu sampai menjadikan dirimu sebagai taruhan."Sesaat Angel terdiam. Dia memandang lelaki yang kini menatapnya dengan cemas. Sejujurnya Angel mengakui bahwa dia bisa merasakan betapa besar perasaan Raka terhadapnya. Dia mungkin saja bisa benar-benar jatuh hati kepada lelaki ini, kalau saja tidak mengetahui cerita yang sebenarnya. Namun, tidak. Bayangan kakaknya yang sampai saat ini masih terbaring tidak sadarkan diri, tentu tidak bisa begitu saja enyah dari pikirannya. Lelaki inilah penyebabnya. Berdua bersama Lidia, istrinya, mereka adalah penyebab penderitaan yang dialami oleh Erin, kakaknya. Jadi, tidak. Angel tidak akan larut dan jatuh ke dalam perasaan bodohnya. Lelaki yang ada di hadapannya ini jelas harus menerima ganjaran atas semua perbuatannya kan?"Raka," ujarnya sambil menarik kedua sudut bibirnya membentuk segaris seny
Blackjack memang merupakan permainan kartu yang sederhana. Namun untuk memenangkannya tidak hanya membutuhkan keberuntungan atau kesempatan, tapi juga strategi. Waktu nyaris menunjukkan setengah sebelas malam, sewaktu Keynan dan Keke kembali memasuki kasino. Kedua orang itu datang bersamaan, bahkan sempat bergandengan tangan. Dari ujung matanya, Adam melihat cengiran lebar yang menghiasi wajah Keynan. Dia juga memperhatikan adanya beberapa bercak merah yang masih samar terlihat menghiasi leher Keke. "Sial!" gumamnya menahan kesal. "Aku sedang pusing di sini, dia malah asyik bersenang-senang."Tidak perlu dijelaskan pun Adam sudah bisa menebak hal apa yang baru saja Keynan lakukan bersama Keke. Lelaki itu berkali-kali mengingatkan dirinya agar tidak berlari ke seberang ruangan dan menghajar teman yang tidak tahu diri itu. "Sori," bisik Keynan buru-buru. Rupanya dia menyadari nafsu membunuh Adam terhadapnya. "Tadi ada hal yang perlu aku eh, lakukan."Adam masih sempat memandangnya t
"Pak, apakah Anda bisa melepaskan lengan saya?" Tidak ada jawaban. "Paling tidak, tolong pelankan jalan Anda, Pak. Kaki saya sakit karena harus berjalan terlalu cepat." Masih tidak ada jawaban, tapi lelaki yang berjalan di depannya itu tiba-tiba berhenti. Tak ayal, Angel pun menabraknya. "Aduh, Pak. Lain kali beri tanda dulu kalau mau berhenti. Jangan mendadak." Adam berbalik dan menghadapi perempuan cerewet yang sudah membuatnya pusing ini. Dia mengamati wajah Angel, yang sekarang sedang cemberut sambil mengomel sendiri. Syukurlah, batin Adam. Tadi dia sempat khawatir saat melihat betapa pucat wajah Angel sepanjang waktu permainan. Angel mungkin bisa tetap berpura-pura bersikap tenang, tapi ekspresi wajahnya tidak bisa mengelabui Adam. "Apakah kamu sudah tidak takut lagi?" tanyanya, meraih dagu Angel dan membuat perempuan itu mendongak menatapnya. "Apakah sekarang kamu sudah merasa lebih lega?" Angel hanya memandangnya. Dia lalu memegang tangan Adam dan berusaha melepas
Suara erangan sekali lagi lolos dari sepasang bibir merah tersebut. Kali ini bukan karena hentakan demi hentakan yang dia terima dan nikmati sejak tadi, tapi karena berpisahnya kedua milik mereka di bawah sana. "Sudah selesai?" "Kalau menuruti keinginanku, kita bisa di atas tempat tidur terus sampai pagi." "Aku tidak keberatan." "Aku tidak ingin membuatmu terlalu lelah. Ingat, ini malam terakhir kita di sini. Kamu juga tidak lupa kan, kalau besok sudah ada pekerjaan besar yang menanti?" Keke cemberut, tapi tidak bertahan lama. Dia beranjak duduk, lalu menarik selimut hingga sebatas dada. "Kamu akan tidur di sini atau—" Dia tidak meneruskan ucapannya. Keke terpaksa harus menggigit bibir saat melihat ke arah Keynan. Lelaki itu dengan santainya turun dari tempat tidur, tanpa mengenakan apa-apa. Keynan lantas berjalan ke arah kamar mandi, tapi kemudian berhenti dan menoleh. "Tentu saja aku akan tidur di sini. Memangnya, aku akan tidur di mana lagi, Ke?" Rasanya ada sesuatu yang
Rumah sakit di pinggir kota itu biasanya memang tidak terlalu ramai. Apalagi pada pagi hari seperti ini. Suasana yang ada terasa lebih lengang. "Selamat pagi, Dok," sapa seorang perawat ketika dokter Brian melintas di area lobi. "Apakah Anda akan segera pulang?"Sebelumnya, dokter Brian memang mendapatkan giliran jaga shift malam. Lelaki itu melirik sekilas ke jam tangannya, lalu mengangguk."Sebentar lagi," ujarnya disertai senyuman. "Masih ada sisa waktu dua puluh menit. Saya akan memeriksa beberapa pasien dulu, baru akan bersiap-siap pulang."Perawat tersebut sebenarnya masih berniat mengajak dokter Brian mengobrol, tapi urung. Ada sesuatu yang lebih menarik perhatiannya saat ini. Sebuah mobil sedan mewah berwarna putih baru saja memasuki di pelataran rumah sakit. Mobil itu berhenti di area parkir di dekat pintu masuk area lobi, yang dinding-dinding depannya terdiri dari kaca. "Siapa itu?" gumamnya bertanya. Dahi dokter Brian berkerut. Lelaki itu kemudian menggeleng, sama tidak
Pemandangan yang menyambut Adam, cukup menyesakkan. Ruang ICU ini merupakan ruangan VIP, sehingga hanya berisi satu pasien.Lelaki itu berdiri diam selama sesaat. Dia bisa melihat ada banyak alat medis yang digunakan di ruangan tersebut. Sekilas pandangannya menangkap gerakan naik turun ventilator yang memompa udara. Suara dari mesin EKG terdengar teratur senada dengan denyut jantung. Di salah satu sudut meja juga terdapat alat defibrilator yang siap digunakan untuk memacu jantung. Adam menarik napas dalam-dalam. Sekedar berada di dalam ruang ICU ini saja sudah membuatnya begitu tertekan. Rasanya begitu suram, seolah harapan tidak lebih dari sekedar sebuah tali tipis yang bisa putus kapan saja. "Angel, ini—""Itu kakak saya, Pak.""Apa? Kakak? Tapi bukankah kamu—"Angel berjalan mendekati tempat tidur pasien. Perempuan itu terdiam dan menunduk selama beberapa saat, baru kemudian memandang Adam sambil mengulas senyuman. "Perkenalkan, Pak. Ini kakak saya, Erin Hurem.""Hurem," ulang