Pagi itu Ratu Yang dan Pangeran Lin Jiang sedang duduk berhadapan sembari menikmati secangkir teh di taman istana. Keduanya tampak berbincang dan bercanda.Sebenarnya Pangeran Lin Jiang lebih pandai membuat hati Ratu Yang senang. Namun Lu Sicheng jauh lebih tampan dan membuat sang ratu sangat bergetar.Tapi sayang, pendekar dari Barat itu sangat kaku dan tidak pandai merayu wanita. Hh, andaikan Lu Sicheng bisa bersikap romantis seperti yang sering Pangeran Lin Jiang tunjukkan padanya, Ratu Yang menggerutu dalam hati.Sementara itu, Lu Sicheng yang sedang berdiri di tepi balkon istana hanya mengulas senyum tipis mendengar apa yang sang ratu ucapkan dalam hatinya.Ya, sepertinya dia harus belajar dari Pangeran Lin Jiang. Dia memang sangat kaku pada kekasihnya itu, dan bisa saja Ratu Yang merasa bosan padanya."Adik Lu, aku ingin bicara padamu," ucap Jenderal Chou sembari berdiri di belakang Lu Sicheng.Pria itu segera memutar tubuhnya untuk menoleh pada Jenderal Chou. "Silakan, Jenderal
Lu Sicheng dan Jenderal Chou sedang berjalan bersisian menuju asrama prajurit. Sepasang mata Lu Sihceng melihat Ratu Yang dan Pangeran Lin Jiang yang sedang berlatih pedang berdua.Pangeran Lin Jiang tampak mencari kesempatan untuk kontak fisik dengan Ratu Yang. Seperti yang sedang Lu Sicheng lihat saat ini. Pangeran Lin Jiang dengan sengaja memegang pinggul Ratu Yang.Darah Lu Sicheng segera mendidih dengan emosinya yang bergolak. Beraninya pangeran busuk itu menyentuh kekasihnya. Dia sangat murka dibuatnya.Perlahan ia mulai memainkan jari telunjuknya ke arah Pangeran Lin Jiang. Tak menunggu lama, tiba-tiba saja Pangeran Lin Jiang terpingkal-pingkal kesakitan sembari memegangi pinggangnya."Lin Jiang, apa yang terjadi padamu?!" tanya Ratu Yang tampak cemas dan heran melihat sang pangeran merintih kesakitan. Dia segera membuang pedangnya."Entahlah, Yang Zhu. Pinggangku terasa seperti terbakar api!" Pangeran Lin Jiang meringis menahan sakit tanpa melepaskan tangannya dari pinggangnya
Di kamar Pangeran Lin Jiang tampak banyak sekali orang. Erangan Pangeran Lin Jiang mengeluhkan rasa sakitnya membuat seisi istana panik. Perdana Menteri Han dan Penasehat Bai Jue tampak berjalan cepat menuju kamar Pangeran Lin Jiang.Sedangkan Menteri Ho dan beberapa orang mengikuti dari belakangnya. Langkah mereka tampak tergesa-gesa dengan wajah cemas bukan main. Sedangkan di kamar Pangeran Lin Jiang tampak para dayang dan para tabib istana. "Bertahanlah, Pangeran Agung!""Cepat tolong Pangeran Agung"Suara-suara itu bercampur baur dengan suara erangan Pangeran Lin Jiang menahan rasa sakitnya. Wajahnya sudah pucat, dengan tubuhnya yang menggelinjang menandakkan rasa sakit yang luar biasa."Lin Jiang! Bertahanlah!" Ratu Yang tampak menangis sembari meremas jemari Pangeran Lin Jiang. Tentu saja dirinya sangat mencemaskan teman kecilnya itu."Yang Mulia, semua obat ini tak ada yang bisa meringankan rasa sakit Pangera Agung Lin Jiang," ucap seorang tabib utama istana.Dia menunduk sesa
Malam semakin larut. Suasana di danau Taiyang semakin dingin. Ratu Yang dan Lu Sicheng masih berada di dalam gubuk kecil yang berada di atas sebuah perahu kayu.Ratu Yang tesentuh mendengar ucapan Lu Sicheng. Ya, dirinya memang bersalah. Tak seharusnya ia begitu perhatian pada Pangeran Lin Jiang. Pasti pemuda itu semakin berharap padanya sekarang."Suamiku, maafkan aku. Aku tidak bisa membiarkan seseorang sedang kesakitan, apalagi Lin Jiang. Dia adalah temanku." Ratu Yang menatap Lu Sicheng dengan lembut. Berharap hati batu es itu bisa ia luluhkan."Ada perbedaan yang besar antara cinta dan persahabatan. Harusnya kau bisa membedakkan dua hal itu, Yang Mulia." Dengan nada dingin Lu Sicheng berkata.Ratu Yang menggelengkan kepala dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Tidak, bukan begitu.Lu Sicheng sudah salah paham padanya."Suamiku, aku hanya simpati pada Lin Jiang karena dia temanku. Sedangkan hatiku ini murni hanya milikmu. Aku mohon percayalah padaku," lirih Ratu Yang semakin terpoj
Lin Cangyi mengikat tali kudanya di batang pohon yang berdiri di tepi sungai. Perjalanan menuju istana Selatan cukup melelahkan. Namun kini dirinya sudah berada di pertengahan antara kerajaan Dong Taiyang dan kerajaan Selatan.Pria dengan hanbok hitam itu berjongkok di tepi sungai. Benar, kerongkongannya sangat kering. Dengan kedua telapak tangan ia segera meraih air sungai, lantas menyesapnya.Segar kini ia rasakan. Sepasang netranya memindai sekitar sungai. Dia melihat seorang gadis yang sedang berdiri di atas sebuah batu besar tepatnya di atas air terjun.Siapa gadis itu?Apa yang sedang ia lakukan?Sembari memperhatikan gerak-gerik gadis tersebut, Cangyi bertanya-tanya dalam hati.Ah, tidak. Gadis itu tampaknya ingin terjun ke sungai. Sial! Cangyi segera melesat menangkap tubuh gadis itu yang sudah melompat menuju air terjun."Nona, apa yang kau lakukan?!" Cangyi berhasil menolongnya dan menyeret gadis itu ke tepi sungai."Kau? Siapa dirimu dan untuk apa menolongku?" sergah wanita
Sore itu angin berhembus kencang disertai rintikkan salju yang mulai turun. Begitu indah bak butiran mutiara dari istana langit. Ratu Yang dan Pangeran Lin Jiang sedang duduk berhadapan di serambi istana. Keduanya tampak asik menikmati secangkir teh Ara sembari bermain domino.Teh Ara atau Ara Chi jenis tumbuhan yang biasa tumbuh di tebing gunung Huan Zhu. Para petani yang biasa memetik daunnya dan mengolahnya menjadi teh kering.Ara Chi sendiri hanya tumbuh menjelang musim dingin pada pertengahan musim semi di Timur. Setelah salju turun tumbuhan ini membusuk dan mati. Namun Ara Chi akan tumbuh kembali setelah musim dingin berakhir.Teh Ara sendiri hanya disajikan untuk para bangsawan dan keturunan kerajaan. Bukan hanya karena proses pengolahannnya yang panjang, tapi juga teh Ara ini diharamkan bagi rakyat biasa untuk menikmatinya.Meski para petani yang mengolahnya, namun tak satu pun dari mereka mengetahui seberapa nikmat rasa teh Ara tersebut. Lu Sicheng tampak berdiri sembari men
Lu Sicheng membulatkan sepasang matanya melihat sebujur tubuh yang terbaring pada ranjang di kamar itu.Seorang wanita sekitar umur empat puluh enam tahun. Tubuhnya sangat kurus dengan kulitnya yang terkelupas mengeluarkan cairan putih berbau busuk yang menyengat. Sedangkan kedua matanya menatap hampa ke atas langit-langit kamar. Entah apa yang sedang dilihatnya. Mulutnya tampak mengangah dengan napasnya yang tidak teratur.Menyedihkan, keadaan ibunya Hong Ri sungguh membuat Lu Sicheng sampai menitikan air mata. Wanita itu sedang memohon kematian pada Dewa. Begitu yang Lu Sicheng dengar dari suara hati ibunya Hong Ri. Tidak, belum saatnya wanita ini mati. Lu Sicheng segera duduk di tepi ranjang kecil itu.Hong Ri menatapnya heran. Apa yang akan Lu Sicheng lakukan pada ibunya? Apakah mengobatinya? Pemuda itu hanya diam mematung.Sedangkan Lu Shiceng mulai memejamkan sepasang matanya. Mengarahkan telapak tangan kanan pada wajah ibunya Hong Ri.Sinar jingga terang tiba-tiba terpancar dar
Paginya Ratu Yang sedang berjalan bersisian dengan Yihua. Pagi yang dingin ini ia ingin menemui Ibu Suri. Benar, hari pernikahannya dengan Pangeran Lin Jiang hanya tinggal menghitung hari.Ratu Yang sedang kesal pada Lu Sicheng. Hh, pemuda itu tampak biasa saja, sedangkan dirinya dan Pangeran Lin Jiang akan segera menikah. Apakah si batu es itu tidak takut kehilangan dirinya? Ratu Yang sangat kesal sampai-sampai terus mengoceh dalam hatinya.Lu Sicheng yang sedang berdiri di tepi teras istana hanya tersenyum tipis mendengar suara hati Ratu Yang. Siapa bilang dirinya tidak takut kehilangan kekasihnya itu. Tentu saja Lu Sicheng pun memikirkannya. Dia sedang mencari cara agar bisa menerobos aula istana saat acara ritual tarian nanti.Sedangkan Lu Sicheng tahu, para petinggi istana bahkan sudah wanti-wanti memintanya untuk memperketat pejagaan saat Ratu Yang menari nanti. Sepertinya dia harus meminta tolong pada Jenderal Chou kali ini. Ya, hanya Jenderal Chou yang bisa membantunya.Ratu Y