Roni sangat sulit memejamkan matanya, padahal kantuk sudah menyerang sejak tadi. Sudah tengah malam, hanya terdengar suara detik jam yang seakan berjalan sangat lambat.
Tik tik tik
Suaranya mengiringi lamunan Roni yang melayang memikirkan Ibunya.
Besok mereka akan berangkat ke kampung lama Pak Darma dan Bu Wati, untuk menemui Widuri, yang digadang-gadang sebagai Ibu kandungnya. Bagaimana keadaannya sekarang? Apa dia masih hidup? Pertanyaan itu tak lepas dari kepala Roni.
Hati Roni terasa teriris bila mengingat cerita Bu Ipah tentang kemalangan yang menimpa Ibunya. Roni merasa sangat terpukul, saat mengetahui ternyata dia bukanlah anak yang diinginkan. Dia terlahir karena hasil kebiadaban seseorang terhadap Ibunya.
"Sama Mas. Udah gak takut lagi. Sekarang saya gak mau lagi ninggalin sholat. Adem gitu, kalau udah sholat. Anak-anak saya di kampung juga saya suruh belajar ngaji sama sholat. Sama Ustad yang di sana. Tapi Mas …." jawab Pak Dirman."Tapi apa, Pak?""Tapi suka sepi kalau malam jaga sendirian. Bisa Pak Agus disuruh ke sini Mas. Biar ada temen ngobrol hehe," katanya cengengesan."Sepi apa takut?""Sepi Mas. Saya ngantuk jadinya.""Saya sudah bilang sama Pak Agus untuk ke sini nemeni Pak Dirman. Juga minta tolong, nanti rumah di cat lagi."" Baik Mas. Emang berapa h
Sungguh pemandangan yang sangat mengharukan. Meskipun kata orang, lelaki pantang menangis. Tapi kata-kata itu tak berlaku bagi Roni saat ini. Roni tak bisa menutupi keharuan di hatinya. Semua yang ada di ruangan ini terharu melihat pemandangan yang ada di depan mata mereka ."Maafkan Mas, Wiyah," kata Pak Darma penuh penyesalan. Dia lepas pelukannya dari adiknya yang tinggal seorang."Iya Mas, aku juga minta maaf Mas."Beberapa saat mereka membiarkan Pak Darma dan Bu Wiyah larut dalam perasaan mereka masing-masing. Yang melepaskan rasa rindu dan penyesalan yang hanya tersimpan di hati mereka selama ini."Mas … Roni sudah tau semua," kata Bu Ipah. Saat dia lihat Pak Darma dan Bu Wiyah sudah m
"Roni akan membawanya ke sini Pak. Tadi Bulek sudah menceritakan pada Ustad Faruk, bagaimana kondisi terakhir Ibu. Ustad Faruk bersedia membantu kesembuhan Ibu. Mudah-mudahan Ibu masih hidup." Agak tercekat Roni mengatakannya. Roni takut, mereka hanya tinggal mendengar namanya saja bila tiba di kampung nanti."Yah, mudah-mudahan dia masih hidup. Dua puluh lapan tahun sudah kejadian itu. Kalau dia masih hidup, entah seperti apa kondisinya saat ini?" Pak Darma seakan bertanya pada dirinya sendiri."Sebaiknya jangan kalian saja yang kesana. Minta ditemani Ustad Faruk. Karena dulu, di kampung itu masih sangat banyak klenik. Tak tau sekarang bagaimana. Tapi buat jaga-jaga. Siapa tau, ada hal yang tak diinginkan terjadi.""Iya Pak. Iwan dan Solihin ikut juga. Sebenarny
"Dulu, penduduk di sini kurang sekali mengenal agama. Apa-apa selalu ke dukun. Sepertinya sampai sekarang juga seperti itu. Dulu ada seorang musafir yang datang ke kampung ini. Namanya Ustad Daud. Dia mengajar mengaji anak-anak di kampung ini. Termasuk Biyah, Bulekmu juga Widuri. Dia lah yang mendirikan surau ini, atas persetujuan kepala kampung. Awalnya penduduk tak masalah, biarpun enggan untuk datang ke surau ini," beber Bu Wiyah.Seraya mendengarkan cerita Bu Wiyah, mereka mulai membersihkan surau untuk melaksanakan sholat Ashar. Tak ada sapu, mereka terpaksa menggunakan kain pembatas yang sudah sangat usang untuk membersihkan lantainya.Iwan sudah mengecek keadaan air, syukurlah air dapat mengalir dengan baik. Airnya juga sangat jernih."Terus, kemana
"Keadaan Widuri pun semakin parah. Biasanya Ustad Daud yang selalu membuatnya tenang, dan selalu mengaji di dekatnya. Kalau mendengar Ustad Daud mengaji, Widuri bisa tertidur dengan pulas. Sejak kematian Ustad Daud, Widuri selalu histeris. Tak ada yang mampu menenangkan nya, termasuk Ki Agung. Makanya dia jadi dipasung. Karena selalu berusaha bunuh diri dan membunuh bayi dalam perutnya," cerita Biyah."Hei, siapa itu!" Tiba-tiba Iwan bangkit dan berlari menuju ke arah pintu surau. Membuat mereka semua reflek mengikutinya."Ada apa Wan?" tanya Roni."Ada yang mengendap-ngendap dekat jendela. Dia seperti menguping pembicaraan kita," kata Iwan. Matanya liar menyapu halaman luar surau. Mencari keberadaan orang yang dimaksud.
"Yakin Biyah?" tanya Roni."Iya, memang itu rumah Lek Warno. Bulek masih ingat. Gak ada yang berubah. Cuma pohon jatinya aja yang semakin besar ya Wiyah?" Bu Ipah ikut memastikan kalau mereka tak salah alamat."Iya Pah. Dulu pohon jati itu masih kecil," kata Bu Wiyah.Hampir tiga puluh tahun berlalu, tentu saja pohon jati yang mereka maksudkan terus bertumbuh hingga menjadi pohon besar yang meraksasa.Roni mengarahkan mobil mereka ke halaman rumah itu. Setelah memastikan mobil terparkir sempurna. Mereka semua turun. Dewi merasakan hembusan angin lembut menerpa wajahnya, menciptakan sensasi merinding di sekujur tubuhnya. Debaran di hatinya tak kunjung berhenti, malah semakin bertalu-talu.&n
Air mata Bu Ipah tak henti mengalir, membentuk sungai kecil tanpa riak di kedua pipinya."Widu–" Bu Ipah mencoba menyibakkan rambut Bu Widuri yang menutupi matanya. Bu Widuri langsung menepis tangan Bu Ipah. Sehingga Bu Ipah tak bisa melanjutkan kata-katanya.Bu Ipah memegangi pergelangan tangannya yang terasa sakit. Bu Widuri menepisnya dengan sangat kuat."Widuri, maafkan aku. Aku menyesal Wid. Kalau saja … dulu aku tak membiarkanmu pergi sendiri. Pasti kamu gak akan seper–""Pergi! Dia disini …." bisik Bu Widuri memotong kata-kata Bu Ipah, dia melihat kesana kemari dengan ekor matanya. Mereka semua terkejut mendengarnya, suasana desa yang hening membuat suara berbisik W
"Iyo, anak e Widuri sing biyen di gowo Mas Darma. Di jadikan anak e," kata Bu Wiyah, mengingatkan para Kek Warno tentang anak Widuri yang dibawa oleh Pak Darma.Tiba-tiba sorot mata Kek Warno yang tadinya sendu berubah marah."Anak setan kui. Sing dadike anakku dadi koyo ngono kui! Aku ra duwe putu!" hardik Kwk Warno menunjuk ke arah Bu Widuri yang masih saja melotot ke arah Roni dengan seringainya yang mengerikan.Hati Roni sangat sedih mendengarnya. Kakeknya menganggap, dia lah sumber malapetaka bagi Ibunya. Yang menyebabkan Ibunya kehilangan ingatan."Lek, ojo ngono. De e iki cah bagus. Anak e soleh, de e sing gowo kami mbrene. Pingin petuk biyunge, arak di gowo berobat. Iki kanca kancane sing insha Allah, iso ng
"Oek oek oek!" Suara tangisan bayi yang sudah lama ditunggu akhirnya terdengar juga. Semua orang bernafas lega mendengarnya."Alhamdulillah." Mereka semua mengucap syukur dengan mengusap kedua telapak tangan di wajah masing-masing."Suaranya kenceng bener. Sehat cucu kita," kata Bu Ipah dengan mata berbinar."Cowok apa cewek ya. Nggak sabar aku, pengen lihat wajahnya." Bu Wiyah mondar mandir di luar kamar bersalin.Sementara di dalam kamar bersalin, Roni tak sanggup menahan tangisnya. Dipeluknya erat tubuh Dewi yang semakin lemah. Dewi mengalami pendarahan hebat, hal ini di luar prediksi. Karena selama kehamilan, tak ada masalah apapun. Kata Bidan yang memeriksanya, Dewi bisa melahirkan normal. Begitu pun saat
"Semua terserah pada Ibu. Maafkan Roni. Kali ini Roni gak bisa menuruti keinginan Ibu. Laki-laki yang tak bisa mengambil sikap, tak layak menjadi Imam." Widuri terdiam mendengar kata-kata Roni."Yang, tolong ambilkan makan Ibu," pinta Roni pada Dewi yang hanya mendengarkan dialog Ibu dan anak itu. Kali ini Dewi sama sekali tak berminat ikut campur.iDewi yang merasa kondisinya kurang fit segera bangkit, membuka rantang yang dibawa. Dan meletakkan sedikit nasi dan sup ikan pada piring makan Widuri. Setelah menyerahkan ke tangan Roni, tiba-tiba Dewi merasakan kepalanya sangat pusing."Yang, kamu gapapa?" tanya Roni melihat Dewi yang memegangi kepalanya. Dewi merasa, pandangannya seakan berputar hingga dia merasa mual. Dan ….
"Ibu baik-baik di sini ya. Pokoknya Roni dan kami semua akan menepati janji. Setiap hari akan menemani Ibu di sini." Roni berjongkok di hadapan Widuri, menggenggam tangannya dengan hangat. Widuri mengangguk, dia sudah sangat senang Roni menempatkannya di tempat yang sangat baik. Puluhan tahun dia tinggal di kandang kambing, dan terpisah dari anaknya. Kalau hanya menunggu beberapa saat lagi, hal itu masih bisa dia lakukan."Bu kami pamit ya. Besok kami datang lagi." Dewi memeluk tubuh Widuri. Widuri membelai lembut kepala wanita yang memakai pasmina berwarna pastel itu. Bu Ipah dan Bu Wiyah juga melakukan hal yang sama terhadap Widuri."Ndok, Bapak tinggal ya. Sesok Bapak teko meneh. Kowe sing apik berobatnya. Biar ndang sembuh." Kek Warno memeluk putri semata wayangnya itu. Baru kali ini dia akan berada jauh dari anaknya.
Hanya satu yang mengganjal di hati Widuri. Roni masih belum bisa menerima, kalau Surya lah ayah kandungnya. Kesalahan yang Surya lakukan memanglah teramat besar. Namun Widuri bisa memaklumi, saat itu Surya masih terlalu belia, untuk bisa mempertahankan yang seharusnya menjadi miliknya. Hatinya dan Surya telah menyatu sejak lama, sebab itu Widuri tau, Surya tulus meminta maaf dan benar menyesali kebodohannya di masa lalu. Sorot mata Surya menyiratkan penyesalan yang begitu besar dan pengharapan akan maaf dari putra biologisnya. Widuri melihat, tak ada kebohongan di mata Surya, sebab itu bersedia menerima Surya kembali. Pun rasa cintanya di masa remaja, masih melekat kuat di hatinya. Tak terkalahkan, meski puluhan tahun raganya dikuasai iblis laknat."Ibu jangan takut ya, disana juga ada Bapak." Alis mata Widuri bertaut mendengar yang Roni bilang barusan.
"Gimana Ko, panen beberapa hari ini, apa sudah lebih baik?" tanya Roni pada Joko, salah satu orang yang dipercaya mengurus kebun milik Pak Darma."Masih belum ada perubahan yang signifikan Mas. Tapi sudah sedikit lebih baik dari beberapa hari lalu," jawab Joko yang berjalan mengikuti di samping Roni. Roni ingin melihat langsung, kondisi pohon-pohon sawit yang ada di kebun milik Pak Darma. Yang sekarang sudah diserahkan padanya."Oh iya. Kenalin, ini Kakek saya." Roni memperkenalkan Kek Warno pada Joko. Joko dengan sopan menyalami Kek Warno. Mereka lanjut lagi berkeliling kebun."Tapi biaya operasional bisa di atasikan?""Alhamdulillah, bisa Mas. Bahkan dua hari ini, bisa menambah isi kas, biarpun sedikit
"Mungkin karena belum terbiasa dengan rumah ini Bulek," kata Dewi. Tangannya terus mengaduk nasi yang sudah mulai menjadi bubur. Sementara Bik Jum membantu menyiapkan bahan pelengkap untuk bubur ayam.Hati Dewi sebenarnya sedikit ragu akan kata-katanya sendiri, tapi dia tak mau membuat Bu Ipah khawatir. Hal yang dia dan Widuri bisa rasakan, sangat sulit untuk dijelaskan."Bulek bawakan teh ini dulu ke depan ya. Tadi sepertinya Roni sama Lek Warno keluar.""Paling di halaman depan, Bulek. Kata Mas Roni, dia mau olahraga sedikit.""Ya sudah, Bulek antar ke teras. Bik, tolong ambilkan biskuit," kata Bu Ipah pada Bik Jum.Bik Jum membuka salah satu
Alangkah terkejutnya mereka, melihat Bu Ipah dan Bu Wiyah berusaha mengangkat Widuri yang tergeletak di lantai. Roni langsung bergerak cepat mengangkat tubuh Widuri ke atas ranjang. Dewi langsung ke dapur, mencari kotak P3K yang ada di lemari dapur. Dengan langkah lebar dia kembali lagi ke kamar bersama kotak P3K di tangannya."Kok Ibu bisa jatuh?" tanya Dewi, sembari tangannya terampil membersihkan luka di dahi Widuri dengan kapas yang sudah diberi alkohol. Lalu Dewi teteskan antiseptic dan menutupnya dengan perban dan plaster.Widuri tak menjawab, bukan tak mau. Tapi dia belum bisa mengeluarkan kosa kata yang banyak dari pita suaranya. Widuri tadi seperti melihat ada siluet orang dari jendela kamar, karena panik Widuri lupa, kalau kakinya belum kuat untuk berjalan. Hingga akhirnya dia terjatuh dari atas ranjang.
TIN TIN TINPak Dirman berlari-lari kecil menuju gerbang ketika mendengar suara klakson mobil majikannya. Buru-buru dibukanya pintu gerbang dengan lebar, agar mobil majikannya bisa segera masuk ke halaman. Pak Dirman terus melihat ke arah mobil Roni. Dia merasa sedikit heran, karena melihat orang tak dikenal bersama dengan Roni duduk di depan.Segera ditutupnya kembali pintu gerbang setelah mobil Roni masuk dengan sempurna dan berhenti di halaman rumah. Semua orang yang ada di dalam mobil langsung turun. Bik Jum yang juga keluar dari dalam rumah ketika mendengar suara klakson mobil Roni, segera membantu mengangkat semua barang dari dalam mobil."Ron angkat Ibumu," titah Bu Ipah."Iya Bulek." Roni gegas menggendong Wid
Roni hanya menatapi Kakeknya dan anggota keluarga yang lain saling berbasa basi dengan para tetangga untuk sekedar berpamitan, karena mereka akan pergi cukup lama dari kampung itu. Bahkan mungkin tak akan kembali lagi. Roni melihat Surya menggendong tubuh ringkih Widuri. Hatinya sangat sakit melihat itu, sedianya tadi, dia yang hendak menggendong Widuri. Tapi rasa kesal di dadanya tak mampu dia sembunyikan, meski hanya dengan seulas senyum kepalsuan."Kenapa Kakek dan Ibu mudah sekali memaafkan dia!" gumam Roni dengan gigi gemeletuk.Dewi mengiringi di belakang Surya yang menggendong Widuri, bergegas menyiapkan bantal buat bersandar Widuri agar merasa lebih nyaman di dalam mobil. Roni hanya diam, tanpa sedikitpun menoleh. Dia terpaku oleh rasa sakit di hati. Padahal dia baru saja mengetahui kebenaran tentang dirinya. Tapi rasa