"Keadaan Widuri pun semakin parah. Biasanya Ustad Daud yang selalu membuatnya tenang, dan selalu mengaji di dekatnya. Kalau mendengar Ustad Daud mengaji, Widuri bisa tertidur dengan pulas. Sejak kematian Ustad Daud, Widuri selalu histeris. Tak ada yang mampu menenangkan nya, termasuk Ki Agung. Makanya dia jadi dipasung. Karena selalu berusaha bunuh diri dan membunuh bayi dalam perutnya," cerita Biyah.
"Hei, siapa itu!" Tiba-tiba Iwan bangkit dan berlari menuju ke arah pintu surau. Membuat mereka semua reflek mengikutinya.
"Ada apa Wan?" tanya Roni.
"Ada yang mengendap-ngendap dekat jendela. Dia seperti menguping pembicaraan kita," kata Iwan. Matanya liar menyapu halaman luar surau. Mencari keberadaan orang yang dimaksud.
"Yakin Biyah?" tanya Roni."Iya, memang itu rumah Lek Warno. Bulek masih ingat. Gak ada yang berubah. Cuma pohon jatinya aja yang semakin besar ya Wiyah?" Bu Ipah ikut memastikan kalau mereka tak salah alamat."Iya Pah. Dulu pohon jati itu masih kecil," kata Bu Wiyah.Hampir tiga puluh tahun berlalu, tentu saja pohon jati yang mereka maksudkan terus bertumbuh hingga menjadi pohon besar yang meraksasa.Roni mengarahkan mobil mereka ke halaman rumah itu. Setelah memastikan mobil terparkir sempurna. Mereka semua turun. Dewi merasakan hembusan angin lembut menerpa wajahnya, menciptakan sensasi merinding di sekujur tubuhnya. Debaran di hatinya tak kunjung berhenti, malah semakin bertalu-talu.&n
Air mata Bu Ipah tak henti mengalir, membentuk sungai kecil tanpa riak di kedua pipinya."Widu–" Bu Ipah mencoba menyibakkan rambut Bu Widuri yang menutupi matanya. Bu Widuri langsung menepis tangan Bu Ipah. Sehingga Bu Ipah tak bisa melanjutkan kata-katanya.Bu Ipah memegangi pergelangan tangannya yang terasa sakit. Bu Widuri menepisnya dengan sangat kuat."Widuri, maafkan aku. Aku menyesal Wid. Kalau saja … dulu aku tak membiarkanmu pergi sendiri. Pasti kamu gak akan seper–""Pergi! Dia disini …." bisik Bu Widuri memotong kata-kata Bu Ipah, dia melihat kesana kemari dengan ekor matanya. Mereka semua terkejut mendengarnya, suasana desa yang hening membuat suara berbisik W
"Iyo, anak e Widuri sing biyen di gowo Mas Darma. Di jadikan anak e," kata Bu Wiyah, mengingatkan para Kek Warno tentang anak Widuri yang dibawa oleh Pak Darma.Tiba-tiba sorot mata Kek Warno yang tadinya sendu berubah marah."Anak setan kui. Sing dadike anakku dadi koyo ngono kui! Aku ra duwe putu!" hardik Kwk Warno menunjuk ke arah Bu Widuri yang masih saja melotot ke arah Roni dengan seringainya yang mengerikan.Hati Roni sangat sedih mendengarnya. Kakeknya menganggap, dia lah sumber malapetaka bagi Ibunya. Yang menyebabkan Ibunya kehilangan ingatan."Lek, ojo ngono. De e iki cah bagus. Anak e soleh, de e sing gowo kami mbrene. Pingin petuk biyunge, arak di gowo berobat. Iki kanca kancane sing insha Allah, iso ng
"Pakai ini." Kek Warno datang memberikan sebuah linggis berukuran besar pada Iwan.Mereka semua sedikit menjauh, saat Iwan akan memukul gembok yang mengunci pasungan Bu Widuri. Sekali dua kali hantaman, gembok tak terbuka. Gembok yang mengunci rantai pasungan Bu Widuri, lumayan besar dan kokoh. Wajar agak susah membukanya.Akhirnya setelah beberapa kali dipukul dengan linggis, gembok itu terbuka juga. Roni segera melepaskan kayu pasungan yang menahan kaki IbunyaTanpa ada yang mengetahui, dibalik sebuah pohon jati besar yang tak jauh dari kandang kambing itu. Ada seseorang yang mengintip mereka.★★★KARTIKA DEKA★★★Roni memegangi kedua kaki wanit
Dalam hati Widuri, sesungguhnya dia lah yang ingin bersimpuh memohon ampun pads Bapaknya. Karena telah mencoreng aib besar di wajah Bapaknya. Meski begitu, Bapaknya tetap saja menyayanginya. Kondisinya yang seperti itu pun, tak membuat kasih sayang Kek Warno berkurang padanya."Kek, izinkan Roni yang menggendong Ibu. Ini pertama kalinya Roni berbakti sebagai seorang anak, Kek. Tolong Kek," kata Roni menghiba. Kakek tetap tak menjawab.Roni menganggap diamnya Kek Warno adalah mengizinkan dia menggendong Bu Widuri. Segera digendong tubuh Ibunya yang kurus. 'Ya Allah … ringan sekali tubuhnya' batin Roni. Seperti menggendong anak kecil saja. Dia berpikir, pasti ibunya sangat kekurangan gizi. Roni berjanji pada dirinya sendiri, akan mengurus Bu Widuri sebaik-baiknya. Walaupun mungkin, Ibunya tak bisa menerima Roni juga nantin
"Bulek, ini tasnya," kata Roni dari luar bilik.Bu Ipah yang baru selesai menggosok badan Bu Widuri, langsung mengambil tas itu hanya dengan mengeluarkan tangannya dengan menyingkap sedikit pintu bilik.Mata Bu Ipah memindai setiap sudut di dalam bilik, mencari tempat untuk menyangkutkan tasnya. Bu Ipah menyangkutkan tas itu di salah satu tiang bambu yang ada di sudut bilik. Kulihat Bu Ipah mengambil sampo, handuk juga baju dari dalam tasnya."Wi, Bulek sampoin Ibumu, kamu siram pelan-pelan ya. Biar dia gak kaget. Wiyah, kamu gosok badan Widuri," instruksi Bu Ipah pada Dewi Dan Bu Wiyah.Mereka bertiga dengan telaten memandikan Bu Widuri. Butuh waktu yang lebih lama, karena kotoran yang sangat melekat di
"Eneng, sek tak jimok." Kek Warno bergegas masuk ke dapur, dengan langkah lebar.Dia dengan semangat mengambilkan nasi dari dalam periuk yang masih bertengger diatas tungku yang dibuatnya dengan susunan beberapa potong batu bata. Masih tampak bekas asap yang masih mengepul dari kayu yang baru dipadamkan.Diambilnya lauk kangkung yang hanya dia rebus saja. Kangkung hasil ngeramban dari pinggiran rawa yang tak jauh dari rumahnya. Sudah sangat lama dia tak lagi bekerja di kebun sawit. Dia bertahan hidup dari hasil kebun juga rawa yang banyak di sekitar desa itu. Sementara beras, dia dapatkan dari petani yang sudi memakai jasanya untuk membantu di saat panen tiba. Dengan imbalan beberapa kilogram beras. Yang sangat dia irit-irit memasaknya, hingga tiba masa panen lagi. Bila sedang beruntung, tidak hanya satu petani yang memakai jasanya.
Biarpun tetap bungkam, Kek Warno tetap bergegas masuk ke kamar. Dia mencari kain panjang di setiap lipatan baju yang ada di lemari yang tak lagi berpintu. Cepat dia balik lagi membawa kain panjang itu. Lalu menyerahkannya ke tangan Roni. Roni menerimanya, dan segera membalut tubuh Ibu dan mengikatnya tak terlalu kuat, agar tak menyakiti tubuh Ibunya."Apa gapapa, Mas?" tanya Dewi. Dia kasihan melihat Bu Widuri yang diikat begitu."Gapapa. Daripada terjadi hal yang tak diinginkan. Mas takut Ibu seperti tadi," jawab Roni. Dewi bergidik kala mengingat tubuh Bu Widuri yang melayang tadi.Bu Widuri masih terus menggeliat sambil mengerang, berusaha melepaskan ikatannya. Dia menghentak-hentakkan kepala dan kakinya. Beruntung ada bantal yang menyanggah kepalanya. Apa Ibu
"Oek oek oek!" Suara tangisan bayi yang sudah lama ditunggu akhirnya terdengar juga. Semua orang bernafas lega mendengarnya."Alhamdulillah." Mereka semua mengucap syukur dengan mengusap kedua telapak tangan di wajah masing-masing."Suaranya kenceng bener. Sehat cucu kita," kata Bu Ipah dengan mata berbinar."Cowok apa cewek ya. Nggak sabar aku, pengen lihat wajahnya." Bu Wiyah mondar mandir di luar kamar bersalin.Sementara di dalam kamar bersalin, Roni tak sanggup menahan tangisnya. Dipeluknya erat tubuh Dewi yang semakin lemah. Dewi mengalami pendarahan hebat, hal ini di luar prediksi. Karena selama kehamilan, tak ada masalah apapun. Kata Bidan yang memeriksanya, Dewi bisa melahirkan normal. Begitu pun saat
"Semua terserah pada Ibu. Maafkan Roni. Kali ini Roni gak bisa menuruti keinginan Ibu. Laki-laki yang tak bisa mengambil sikap, tak layak menjadi Imam." Widuri terdiam mendengar kata-kata Roni."Yang, tolong ambilkan makan Ibu," pinta Roni pada Dewi yang hanya mendengarkan dialog Ibu dan anak itu. Kali ini Dewi sama sekali tak berminat ikut campur.iDewi yang merasa kondisinya kurang fit segera bangkit, membuka rantang yang dibawa. Dan meletakkan sedikit nasi dan sup ikan pada piring makan Widuri. Setelah menyerahkan ke tangan Roni, tiba-tiba Dewi merasakan kepalanya sangat pusing."Yang, kamu gapapa?" tanya Roni melihat Dewi yang memegangi kepalanya. Dewi merasa, pandangannya seakan berputar hingga dia merasa mual. Dan ….
"Ibu baik-baik di sini ya. Pokoknya Roni dan kami semua akan menepati janji. Setiap hari akan menemani Ibu di sini." Roni berjongkok di hadapan Widuri, menggenggam tangannya dengan hangat. Widuri mengangguk, dia sudah sangat senang Roni menempatkannya di tempat yang sangat baik. Puluhan tahun dia tinggal di kandang kambing, dan terpisah dari anaknya. Kalau hanya menunggu beberapa saat lagi, hal itu masih bisa dia lakukan."Bu kami pamit ya. Besok kami datang lagi." Dewi memeluk tubuh Widuri. Widuri membelai lembut kepala wanita yang memakai pasmina berwarna pastel itu. Bu Ipah dan Bu Wiyah juga melakukan hal yang sama terhadap Widuri."Ndok, Bapak tinggal ya. Sesok Bapak teko meneh. Kowe sing apik berobatnya. Biar ndang sembuh." Kek Warno memeluk putri semata wayangnya itu. Baru kali ini dia akan berada jauh dari anaknya.
Hanya satu yang mengganjal di hati Widuri. Roni masih belum bisa menerima, kalau Surya lah ayah kandungnya. Kesalahan yang Surya lakukan memanglah teramat besar. Namun Widuri bisa memaklumi, saat itu Surya masih terlalu belia, untuk bisa mempertahankan yang seharusnya menjadi miliknya. Hatinya dan Surya telah menyatu sejak lama, sebab itu Widuri tau, Surya tulus meminta maaf dan benar menyesali kebodohannya di masa lalu. Sorot mata Surya menyiratkan penyesalan yang begitu besar dan pengharapan akan maaf dari putra biologisnya. Widuri melihat, tak ada kebohongan di mata Surya, sebab itu bersedia menerima Surya kembali. Pun rasa cintanya di masa remaja, masih melekat kuat di hatinya. Tak terkalahkan, meski puluhan tahun raganya dikuasai iblis laknat."Ibu jangan takut ya, disana juga ada Bapak." Alis mata Widuri bertaut mendengar yang Roni bilang barusan.
"Gimana Ko, panen beberapa hari ini, apa sudah lebih baik?" tanya Roni pada Joko, salah satu orang yang dipercaya mengurus kebun milik Pak Darma."Masih belum ada perubahan yang signifikan Mas. Tapi sudah sedikit lebih baik dari beberapa hari lalu," jawab Joko yang berjalan mengikuti di samping Roni. Roni ingin melihat langsung, kondisi pohon-pohon sawit yang ada di kebun milik Pak Darma. Yang sekarang sudah diserahkan padanya."Oh iya. Kenalin, ini Kakek saya." Roni memperkenalkan Kek Warno pada Joko. Joko dengan sopan menyalami Kek Warno. Mereka lanjut lagi berkeliling kebun."Tapi biaya operasional bisa di atasikan?""Alhamdulillah, bisa Mas. Bahkan dua hari ini, bisa menambah isi kas, biarpun sedikit
"Mungkin karena belum terbiasa dengan rumah ini Bulek," kata Dewi. Tangannya terus mengaduk nasi yang sudah mulai menjadi bubur. Sementara Bik Jum membantu menyiapkan bahan pelengkap untuk bubur ayam.Hati Dewi sebenarnya sedikit ragu akan kata-katanya sendiri, tapi dia tak mau membuat Bu Ipah khawatir. Hal yang dia dan Widuri bisa rasakan, sangat sulit untuk dijelaskan."Bulek bawakan teh ini dulu ke depan ya. Tadi sepertinya Roni sama Lek Warno keluar.""Paling di halaman depan, Bulek. Kata Mas Roni, dia mau olahraga sedikit.""Ya sudah, Bulek antar ke teras. Bik, tolong ambilkan biskuit," kata Bu Ipah pada Bik Jum.Bik Jum membuka salah satu
Alangkah terkejutnya mereka, melihat Bu Ipah dan Bu Wiyah berusaha mengangkat Widuri yang tergeletak di lantai. Roni langsung bergerak cepat mengangkat tubuh Widuri ke atas ranjang. Dewi langsung ke dapur, mencari kotak P3K yang ada di lemari dapur. Dengan langkah lebar dia kembali lagi ke kamar bersama kotak P3K di tangannya."Kok Ibu bisa jatuh?" tanya Dewi, sembari tangannya terampil membersihkan luka di dahi Widuri dengan kapas yang sudah diberi alkohol. Lalu Dewi teteskan antiseptic dan menutupnya dengan perban dan plaster.Widuri tak menjawab, bukan tak mau. Tapi dia belum bisa mengeluarkan kosa kata yang banyak dari pita suaranya. Widuri tadi seperti melihat ada siluet orang dari jendela kamar, karena panik Widuri lupa, kalau kakinya belum kuat untuk berjalan. Hingga akhirnya dia terjatuh dari atas ranjang.
TIN TIN TINPak Dirman berlari-lari kecil menuju gerbang ketika mendengar suara klakson mobil majikannya. Buru-buru dibukanya pintu gerbang dengan lebar, agar mobil majikannya bisa segera masuk ke halaman. Pak Dirman terus melihat ke arah mobil Roni. Dia merasa sedikit heran, karena melihat orang tak dikenal bersama dengan Roni duduk di depan.Segera ditutupnya kembali pintu gerbang setelah mobil Roni masuk dengan sempurna dan berhenti di halaman rumah. Semua orang yang ada di dalam mobil langsung turun. Bik Jum yang juga keluar dari dalam rumah ketika mendengar suara klakson mobil Roni, segera membantu mengangkat semua barang dari dalam mobil."Ron angkat Ibumu," titah Bu Ipah."Iya Bulek." Roni gegas menggendong Wid
Roni hanya menatapi Kakeknya dan anggota keluarga yang lain saling berbasa basi dengan para tetangga untuk sekedar berpamitan, karena mereka akan pergi cukup lama dari kampung itu. Bahkan mungkin tak akan kembali lagi. Roni melihat Surya menggendong tubuh ringkih Widuri. Hatinya sangat sakit melihat itu, sedianya tadi, dia yang hendak menggendong Widuri. Tapi rasa kesal di dadanya tak mampu dia sembunyikan, meski hanya dengan seulas senyum kepalsuan."Kenapa Kakek dan Ibu mudah sekali memaafkan dia!" gumam Roni dengan gigi gemeletuk.Dewi mengiringi di belakang Surya yang menggendong Widuri, bergegas menyiapkan bantal buat bersandar Widuri agar merasa lebih nyaman di dalam mobil. Roni hanya diam, tanpa sedikitpun menoleh. Dia terpaku oleh rasa sakit di hati. Padahal dia baru saja mengetahui kebenaran tentang dirinya. Tapi rasa