Sungguh pemandangan yang sangat mengharukan. Meskipun kata orang, lelaki pantang menangis. Tapi kata-kata itu tak berlaku bagi Roni saat ini. Roni tak bisa menutupi keharuan di hatinya. Semua yang ada di ruangan ini terharu melihat pemandangan yang ada di depan mata mereka .
"Maafkan Mas, Wiyah," kata Pak Darma penuh penyesalan. Dia lepas pelukannya dari adiknya yang tinggal seorang.
"Iya Mas, aku juga minta maaf Mas."
Beberapa saat mereka membiarkan Pak Darma dan Bu Wiyah larut dalam perasaan mereka masing-masing. Yang melepaskan rasa rindu dan penyesalan yang hanya tersimpan di hati mereka selama ini.
"Mas … Roni sudah tau semua," kata Bu Ipah. Saat dia lihat Pak Darma dan Bu Wiyah sudah m
"Roni akan membawanya ke sini Pak. Tadi Bulek sudah menceritakan pada Ustad Faruk, bagaimana kondisi terakhir Ibu. Ustad Faruk bersedia membantu kesembuhan Ibu. Mudah-mudahan Ibu masih hidup." Agak tercekat Roni mengatakannya. Roni takut, mereka hanya tinggal mendengar namanya saja bila tiba di kampung nanti."Yah, mudah-mudahan dia masih hidup. Dua puluh lapan tahun sudah kejadian itu. Kalau dia masih hidup, entah seperti apa kondisinya saat ini?" Pak Darma seakan bertanya pada dirinya sendiri."Sebaiknya jangan kalian saja yang kesana. Minta ditemani Ustad Faruk. Karena dulu, di kampung itu masih sangat banyak klenik. Tak tau sekarang bagaimana. Tapi buat jaga-jaga. Siapa tau, ada hal yang tak diinginkan terjadi.""Iya Pak. Iwan dan Solihin ikut juga. Sebenarny
"Dulu, penduduk di sini kurang sekali mengenal agama. Apa-apa selalu ke dukun. Sepertinya sampai sekarang juga seperti itu. Dulu ada seorang musafir yang datang ke kampung ini. Namanya Ustad Daud. Dia mengajar mengaji anak-anak di kampung ini. Termasuk Biyah, Bulekmu juga Widuri. Dia lah yang mendirikan surau ini, atas persetujuan kepala kampung. Awalnya penduduk tak masalah, biarpun enggan untuk datang ke surau ini," beber Bu Wiyah.Seraya mendengarkan cerita Bu Wiyah, mereka mulai membersihkan surau untuk melaksanakan sholat Ashar. Tak ada sapu, mereka terpaksa menggunakan kain pembatas yang sudah sangat usang untuk membersihkan lantainya.Iwan sudah mengecek keadaan air, syukurlah air dapat mengalir dengan baik. Airnya juga sangat jernih."Terus, kemana
"Keadaan Widuri pun semakin parah. Biasanya Ustad Daud yang selalu membuatnya tenang, dan selalu mengaji di dekatnya. Kalau mendengar Ustad Daud mengaji, Widuri bisa tertidur dengan pulas. Sejak kematian Ustad Daud, Widuri selalu histeris. Tak ada yang mampu menenangkan nya, termasuk Ki Agung. Makanya dia jadi dipasung. Karena selalu berusaha bunuh diri dan membunuh bayi dalam perutnya," cerita Biyah."Hei, siapa itu!" Tiba-tiba Iwan bangkit dan berlari menuju ke arah pintu surau. Membuat mereka semua reflek mengikutinya."Ada apa Wan?" tanya Roni."Ada yang mengendap-ngendap dekat jendela. Dia seperti menguping pembicaraan kita," kata Iwan. Matanya liar menyapu halaman luar surau. Mencari keberadaan orang yang dimaksud.
"Yakin Biyah?" tanya Roni."Iya, memang itu rumah Lek Warno. Bulek masih ingat. Gak ada yang berubah. Cuma pohon jatinya aja yang semakin besar ya Wiyah?" Bu Ipah ikut memastikan kalau mereka tak salah alamat."Iya Pah. Dulu pohon jati itu masih kecil," kata Bu Wiyah.Hampir tiga puluh tahun berlalu, tentu saja pohon jati yang mereka maksudkan terus bertumbuh hingga menjadi pohon besar yang meraksasa.Roni mengarahkan mobil mereka ke halaman rumah itu. Setelah memastikan mobil terparkir sempurna. Mereka semua turun. Dewi merasakan hembusan angin lembut menerpa wajahnya, menciptakan sensasi merinding di sekujur tubuhnya. Debaran di hatinya tak kunjung berhenti, malah semakin bertalu-talu.&n
Air mata Bu Ipah tak henti mengalir, membentuk sungai kecil tanpa riak di kedua pipinya."Widu–" Bu Ipah mencoba menyibakkan rambut Bu Widuri yang menutupi matanya. Bu Widuri langsung menepis tangan Bu Ipah. Sehingga Bu Ipah tak bisa melanjutkan kata-katanya.Bu Ipah memegangi pergelangan tangannya yang terasa sakit. Bu Widuri menepisnya dengan sangat kuat."Widuri, maafkan aku. Aku menyesal Wid. Kalau saja … dulu aku tak membiarkanmu pergi sendiri. Pasti kamu gak akan seper–""Pergi! Dia disini …." bisik Bu Widuri memotong kata-kata Bu Ipah, dia melihat kesana kemari dengan ekor matanya. Mereka semua terkejut mendengarnya, suasana desa yang hening membuat suara berbisik W
"Iyo, anak e Widuri sing biyen di gowo Mas Darma. Di jadikan anak e," kata Bu Wiyah, mengingatkan para Kek Warno tentang anak Widuri yang dibawa oleh Pak Darma.Tiba-tiba sorot mata Kek Warno yang tadinya sendu berubah marah."Anak setan kui. Sing dadike anakku dadi koyo ngono kui! Aku ra duwe putu!" hardik Kwk Warno menunjuk ke arah Bu Widuri yang masih saja melotot ke arah Roni dengan seringainya yang mengerikan.Hati Roni sangat sedih mendengarnya. Kakeknya menganggap, dia lah sumber malapetaka bagi Ibunya. Yang menyebabkan Ibunya kehilangan ingatan."Lek, ojo ngono. De e iki cah bagus. Anak e soleh, de e sing gowo kami mbrene. Pingin petuk biyunge, arak di gowo berobat. Iki kanca kancane sing insha Allah, iso ng
"Pakai ini." Kek Warno datang memberikan sebuah linggis berukuran besar pada Iwan.Mereka semua sedikit menjauh, saat Iwan akan memukul gembok yang mengunci pasungan Bu Widuri. Sekali dua kali hantaman, gembok tak terbuka. Gembok yang mengunci rantai pasungan Bu Widuri, lumayan besar dan kokoh. Wajar agak susah membukanya.Akhirnya setelah beberapa kali dipukul dengan linggis, gembok itu terbuka juga. Roni segera melepaskan kayu pasungan yang menahan kaki IbunyaTanpa ada yang mengetahui, dibalik sebuah pohon jati besar yang tak jauh dari kandang kambing itu. Ada seseorang yang mengintip mereka.★★★KARTIKA DEKA★★★Roni memegangi kedua kaki wanit
Dalam hati Widuri, sesungguhnya dia lah yang ingin bersimpuh memohon ampun pads Bapaknya. Karena telah mencoreng aib besar di wajah Bapaknya. Meski begitu, Bapaknya tetap saja menyayanginya. Kondisinya yang seperti itu pun, tak membuat kasih sayang Kek Warno berkurang padanya."Kek, izinkan Roni yang menggendong Ibu. Ini pertama kalinya Roni berbakti sebagai seorang anak, Kek. Tolong Kek," kata Roni menghiba. Kakek tetap tak menjawab.Roni menganggap diamnya Kek Warno adalah mengizinkan dia menggendong Bu Widuri. Segera digendong tubuh Ibunya yang kurus. 'Ya Allah … ringan sekali tubuhnya' batin Roni. Seperti menggendong anak kecil saja. Dia berpikir, pasti ibunya sangat kekurangan gizi. Roni berjanji pada dirinya sendiri, akan mengurus Bu Widuri sebaik-baiknya. Walaupun mungkin, Ibunya tak bisa menerima Roni juga nantin