"Iya, berondolan sekarung nanti Bapak bawa," jawab suaminya. GERRRR, sontak banyak yang tertawa. Di saat genting seperti ini, memang perlu ada yang menghibur sedikit. Biar tak terlalu tegang dan stres.
Ustad Sidik geleng-geleng kepala melihatnya, tapi juga tak tahan untuk tak mengembangkan senyum di bibirnya.
"Sudah. Sudah selesai ... siapa lagi yang mau nitip oleh-oleh. Biar saya catat, takut suaminya lupa," kata Ustad Sidik. Para warga berusaha menyembunyikan tawa mereka.
"Kalau gak ada lagi, kita berangkat sekarang." Ustad Sidik berjalan paling depan. Memulai pencarian Dewi. Tasbih tetap berada di genggamannya. Hatinya terus memanggil nama Allah, seiring dengan biji tasbih yang ditarik satu persatu.
Sementara itu, Dewi lamat-lamat mendengar ada suara bising. Suaranya masih terdengar samar. Suara itu semakin terdengar jelas di telinga Dewi. Bahkan dia mendengar ada yang memanggil-manggil namanya. Suaranya sangat dikenal oleh Dewi. Seperti suara suaminya.Susah payah Dewi bangkit, untuk mendengarkan lebih jelas suara itu. "Itu benar suara Mas Roni," gumam Dewi, dengan senyum merekah di bibirnya. Hatinya senang sekali, akhirnya suaminya mencarinya."Bu, itu suami saya Bu," katanya pada Ibu itu.Ibu itu diam saja memperhatikan Dewi. Tanpa berniat untuk membantu Dewi jalan. Padahal Dewi sangat membutuhkan bantuannya. Namun untuk meminta pun, Dewi sungkan. Dipegangi dinding tepas rumah ini dengan hati-hati, Dewi takut rumah ini rubuh, kalau dia terlalu kuat memega
"Ustad, lihat itu!" teriak salah seorang warga. Sontak mereka melihat ke arah yang ditunjuknya.Mereka melihat ada sebuah gubuk terbuat dari tepas beratap nipah. Bentuknya sudah sangat reot, sampai-sampai sudah miring. Roni merasa aneh, sepertinya mereka beberapa kali melewati daerah itu, tapi baru kali ini melihat ada gubuk.Ustad Sidik berjalan menuju ke arah gubuk itu, mereka semua mengikutinya dari belakang. Mereka menyoroti gubuk itu dengan sinar dari senter yang mereka bawa. Semakin dekat ke gubuk, semakin jelas terlihat kalau gubuk ini jelas tak berpenghuni. Kondisinya sangat memprihatinkan, tanpa ada penerangan. Siapa orang yang sudi tinggal di tempat seperti itu.Perlahan Ustad Sidik membuka pintu itu, karena reyotnya, hingga pintu itu terlepas saat dibu
"Ketemu! Dewi sudah ketemu!" teriak seorang bocah usia sepuluh tahun yang berlari-lari girang. mengabarkan kabar gembira ke sekeliling kampung.Dia selalu rajin menunggu orang-orang yang mencari Dewi, di depan rumahnya. Rumahnya tepat berhadapan dengan jalan masuk dan keluar hutan sawit. Jalan yang dilalui rombongan yang mencari Dewi. Dia sangat ingin ikut ke dalam hutan sawit, tapi Bapaknya melarangnya. Setiap malam, dia selalu rajin menunggu Bapaknya pulang, dan membawa kabar gembira. Bila hari sudah beranjak semakin malam, Ibunya akan menyuruhnya masuk. Jam sebelas, dia tak boleh lagi menunggu. Besoknya dia tetap harus sekolah. Karena gurunya pun tak akan memaklumi, kalau dia bolos sekolah karena begadang menunggu Bapaknya yang mencari orang hilang.Dan malam ini, di saat Ibunya baru menyuruhnya masuk ke dalam rumah. Samar-s
Warga langsung bubar, pulang ke rumahnya masing-masing. Meski mungkin saja, masih banyak yang penasaran atas apa yang Dewi alami."Siapa Sarkum, Bulek?" tanya Roni pada Bu Ipah. Dia tak sabar ingin tau soal Sarkum yang dimaksud warga. Bu Ipah lagi mengelap kaki dan tangan Dewi dengan kain lembab. Dewi sangat kotor, tapi tak mungkin memandikannya sekarang. Hari sudah sangat malam.Bu Ipah menghela nafasnya. Tak menyangka kalau Roni akan bertanya tentang Sarkum.Sarkum adalah bagian dari masa lalu kelam di kampung itu. Korban dari kabar burung yang tak bisa dibuktikan kebenarannya. Sudah lama mereka mencoba melupakan tentangnya. Ada rasa bersalah bila mengingat tentang Sarkum."Sarkum itu dulu warga sini j
Kresek kresekSuara sangat pelan pun akan langsung tertangkap gendang telinga. Sudah hampir jam dua dini hari. Jam dimana banyak orang sudah dibuai mimpi. Roni mengarahkan senter ke arah pohon rambutan yang tak terlalu tinggi di samping rumah Bu Ipah. Ternyata hanya tupai yang mencoba menikmati rambutan pentil yang masih kelat, lalu mencampakkan ternyata rambutan sama sekali tak enak dimakan. Geraknya lincah menghindari sorot lampu senter Roni.Tak ada hal lain.yang mencurigakan, Roni langsung masuk ke dalam rumah Bu Ipah. Tak di sorotinya ke pohon jambu air, ada sosok yang bertengger disana."Ini Bulek, daunnya." Roni menyerahkan daun itu ke Bu Ipah. Bu Ipah menerimanya dan langsung ke dapur lagi."Yang, kamu ganti baju du
"Ya, kamu dibawa ke alam Jin. Tapi mereka tak membawamu ke alam mereka yang sebenarnya. Begitulah, mereka pandai memanipulasi waktu." Dewi manggut-manggut, tanda dia mengerti maksud dari perkataan Ustad Sidik."Setelah ini, kamu akan sering melihat mereka. Karena mata bathin kamu sudah terbuka tanpa disengaja," kata Ustad Sidik. Dewi terperanjat mendengarnya.Dia ngeri kalau harus selalu melihat makhluk-makhluk dengan wajah dan tampilan yang menyeramkan, seperti dilihatnya semalam. Dia bergidik sendiri mengingatnya."Saya takut Ustad, penampakan mereka sangat mengerikan.""Ya jelas. Kalau cantik dan tampan, itu penampakan artis." Dewi ingin tertawa mendengarnya. Tapi tetap saja ada rasa sungkan.
"Kalau batin, ya ruh kita. Kalau kita sudah meninggal, ruh kita akan dibawa ke alam illiyin, bagi orang yang amalannya baik. Kalau orang yang amalannya buruk, ruhnya dibawa ke alam Sijjin. Jadi gak ada itu ceritanya, yang udah meninggal jadi gentayangan, mau bagaimanapun caranya meninggal," lanjut Ustad Sidik."Jadi Ustad. Kenapa sering beredar kabar, misalnya ada yang meninggal karena kecelakaan. Pasti ada orang yang lihat arwahnya bergentayangan, karena penasaran?" tanya Dewi."Hehehe, kebanyakan nonton film horor kamu." Dewi tersipu malu juga mendengar jawabannya."Ya itulah si Jin qorin, orang yang sudah meninggal itu. Walaupun kita sudah meninggal, jin qorin tak akan pernah mati sampai hari kiamat. Kan dia tugasnya menyesatkan manusia. Sekarang kembali ke kitanya. Mau apa gak disesatkan sama jin," jelas Ustad Sidik. Mereka semua manggut-manggut tanda mengerti maksudnya.
Syukurlah alhamdulillah. Banyak-banyak istighfar juga bersyukur. Allah selalu melindungi kamu."Obrolan mereka terus berlanjut, penyampaian Ustad Sidik yang terkesan ringan, mudah difahami oleh siapa pun yang mendengarnya. Kicau burung semakin riuh, laksan alunan nada indah di pagi hari."Saya pamit dulu ya, sudah siang. Maaf, saya masih pagi-pagi sekali sudah bertamu," kata Ustad Sidik seraya bangkit dari duduknya. Dia menjabat tangan Roni.Ustad menangkupkan tangan ke arah Dewi juga Bu Ipah. Mereka juga membalas dengan hal yang sama."Gak papa Ustad. Malah kami senang dan sangat berterima kasih, sudah dapat siraman qolbu pagi-pagi," sahut Roni. Dia antar Ustad Sidik sampai keluar halaman rumah.&n