“Dokter, apa kata abang saya?”“Hah?”“Dokter mengautopsi jenazah abang saya kan? Dokter tau penyebab kematiannya kan? Saya liat berita berita di TV dan medsos, dokter berhasil mengungkap pembunuhan berantai karena racun arsenik. Apa di tubuh abang saya ada arsenik juga dokter?”“Maaf, Mbak. Hasil autopsinya belum keluar, dan nanti kalau sudah keluar bukan saya yang berhak menyampaikan hasilnya, tapi ketua tim forensik dan pihak kepolisian. Jadi mohon ditunggu saja sampai prosesnya selesai,” Dirga menjawab dengan hati hati.“Tapi abang saya beneran dibunuh kan? Bukan meninggal bunuh diri? Nggak mungkin abang saya masuk sendiri ke ruangan pendingin terus mengurung diri di sana. Abang saya itu orang baik, dok. Nggak punya masalah hidup. Istri dan anaknya cakep cakep, keluarga harmonis, uang ada hutang nggak ada, aneh aja kalau dia bunuh diri di situ. Lagian mana ada orang bunuh diri memilih mati beku di freezer itu? Iya kan dok?”Dirga menghela nafas dan tak menjawab. Dari kemarin sosok
“Hah? Kejepit karena mau ngambil HP?”“Iya. Diperkirakan korban sedang ingin mengambil ponselnya yang terjatuh di belakang freezer box, tapi kemudian terjepit dan meninggal karena hipotermia akibat suhu udara yang terlalu rendah.”“Nggak mungkin dokter! Pasti ada yang meracuni abang saya sebelum masuk ke cooler storage!”“Hasil rekaman CCTV terlihat korban masuk ke ruang pendingin pukul 21 lewat 25 menit. Lalu tidak keluar lagi. Dan korban masuk ke sana seorang diri. Kondisi restoran sudah tutup. Menurut keterangan saksi, korban memang sering mempersiapkan bahan makanan untuk keesokan paginya di malam hari setelah semua karyawan restoran pulang lebih dulu. Kemungkinan besar saat mempersiapkan bahan, ponsel korban terjatuh di belakang freezer box, karena ponsel korban ditemukan di sana dalam kondisi mati. Lalu posisi korban juga terjepit dalam kondisi sedikit membungkuk seperti akan menjangkau ponsel yang jatuh. Tapi tidak bisa keluar. Kemungkinan korban berteriak minta tolong, tapi ko
“Rumah sakit Healthy Life?” tanya Dirga.“Iya. Sudah tiga tahun kerja di sana. Tapi di manajemen rumah sakit, nggak praktek.” Selina menyibak rambutnya saat menjelaskan pada Dirga. Bibirnya yang dipulas satin lipstick warna peach yang membuatnya terlihat sangat cantik dan elegan.“Ooh, jadi di manajemen. Kenapa nggak lanjut Sel? Katanya waktu itu mau ambil bedah syaraf?” tanya Dirga penasaran. Sepuluh tahun yang lalu, Dirga yang sedang bersiap ke program internship iseng iseng bertanya pada Selina yang saat itu masih mahasiswi tahun pertama di fakultas kedokteran. Selina bilang dia nantinya akan melanjutkan ke spesialis bedah syaraf. Tapi ternyata sekarang malah ke manajemen rumah sakit.“Ceritanya panjang. Intinya sih semua gara gara Mas Dirga,” rutuk Selina dengan nada manja.“Loh? Kok gara gara aku? Kenapa aku?” tanya Dirga dengan jari telunjuk mengarah ke dirinya sendiri.“Iya gara gara Mas Dirga. Dulu kan aku maunya bareng sama Mas Dirga di bedah syaraf, kata Mas Dirga dulu mau l
“Itu … Tadi …”“Itu Dinaya, anakku.” Akhirnya Dirga memutuskan untuk melepas bebannya dan berterus terang pada Selina tentang statusnya yang seorang ayah.“Mas Dirga sudah punya anak? Tapi kata Kak Elga dan Bang Farez, Mas Dirga belum menikah?” tanya Selina bingung. Ada gurat kekecewaan yang jelas terbaca di matanya.“Aku belum menikah lagi setelah berpisah dengan ibunya Dinaya. Dulu Dinaya tinggal dengan ibunya, tapi beberapa minggu yang lalu Ibunya meninggal dunia dan Dinaya tinggal denganku, Sel.” Dirga menjelaskan dengan lancar. Ia tak ingin lagi menutupi tentang Dinaya dari siapapun.Dirga sadar, tujuannya saat ini adalah mencari istri, dan Selina adalah kandidat pertama. Dirga sudah trauma dengan perempuan perempuan seperti Cindy yang hanya melihat satu sisi dirinya saja. Padahal dirinya punya sisi lain yang harus diketahui calon istrinya kelak. Dirga tak ingin membuang waktu lagi, ia memutuskan untuk menjelaskan sejak awal tentang Dinaya. Kalau Selina bisa menerima keadaannya,
“Oooh, jadi Pak Dokter ini ayahnya Dinaya?”“Iya Bu Sabeumnim ... eh … Bu Guru … eh … Mbak Reisha. Aduh saya bingung harus panggil apa.”“Panggil Miss Rei aja, Pa. Semua orang tua temen temen aku panggil Miss Rei,” Dinaya yang menjawab diikuti anggukan Reisha.“Oh iya, Miss Rei.”Aduh! Kenapa harus diajak ke sini Nayaaa! Gimana kalau dia kumat lagi jiwa jiwa absudnya dan aku disuruh jadi cenayang yang ngobrol sama almarhum abangnya lagi! Gawat! Capek capek menghindar, malah si Naya yang ngundang ke sini! Batin Dirga frustrasi.“Oh iya Pak Dokter, maaf ya waktu itu saya sering maksain Pak Dokter buat bicara sama jenazah abang saya. Setelah saya ketemu sama ustadzah, katanya ruh orang yang sudah meninggal itu sudah terputus hubungan komunikasi dengan manusia di dunia ini kecuali lewat do’a.” Tiba tiba Reisha menjelaskan sekaligus meminta maaf sambil tersenyum salah tingkah.Ah! Alhamdulillah! Akhirnya dia sadar kalau aku bukan cenayang! Batin Dirga merasa lega sekali.“Mmm … Sudah malam
“Nay … Kamu nggak apa apa kan kalau papa menikah?”Dinaya yang sedang menyiapkan sarapan mendadak melepas sendoknya dan meletakkan benda itu asal asalan. Dia langsung berjalan cepat ke arah meja makan dan menarik kursi persis di depan Dirga. Raut wajahnya sumringah, matanya berbinar, dan wajahnya mendadak berseri seri.“Papa mau menikah lagi? Eh, maaf papa belum pernah menikah ya? Maksudnya papa mau menikah? Nggak apa apa banget Pa. Aku setuju dan malah support banget kalau papa mau nikah lagi.” Dinaya menjawab dengan nada ceria.“Akhirnya Papa udah ketemu calon yang tepat kan? Papa beneran tertarik? Atau jatuh cinta pada pandangan pertama? Mau kuajak ke sini lagi biar papa bisa pedekate?” Dinaya terlalu antusias sampai lanjutan kalimatnya membuat Dirga nyaris merosot dari kursinya.“Hah? Ntar dulu! Ntar dulu! Jatuh cinta pada pandangan pertama? Maksudnya gimana nih?” tanya Dirga panik.“Iya, Pa. Love at the first sight sama Miss Rei kan? Atau baru tadi malem papa jatuh cinta sama Mis
Dirga berjalan terburu buru ke arah restoran cepat saji yang berjarak tak jauh dari rumahnya. Di sana Selina sudah menunggu sambil mengaduk secangkir kopi dalam gelas yang baru saja diletakkan pramusaji di atas meja.“Hai Sel, udah lama ya? Maaf aku agak telat. Tadi nggak sengaja numpahin kopi dan bajuku kena noda, jadi terpaksa ganti baju lagi,” jelas Dirga dengan nada menyesal.“Nggak apa apa, Mas. Aku juga baru datang kok,” jawab Selina sambil tersenyum tipis. Tapi terlihat jelas kalau senyum itu dipaksakan.“Ada apa Sel? Kenapa kok pagi pagi banget udah ngajak ketemu di sini?” tanya Dirga tanpa basa basi. Biasanya Dirga adalah tipe orang yang selalu hati hati saat berbicara dan kadang berbasa basi dulu sebelum mengutarakan maksudnya. Tapi kali ini, rasa penasarannya mengalahkan sikap santun yang biasa ia tunjukkan.“Mmm … Mas, kemarin Mas Dirga bilang, Mas Dirga mau aku ketemu sama anaknya Mas Dirga ya?” tanya Selina. Sama seperti Dirga, Selina pun tak lagi berbasa basi. Ia juga l
“Nay ayo temenin papa jalan jalan, makan, main, pokoknya kita happy happy. Ayo buruan ganti baju. Papa hari ini libur.” Dirga menarik tangan Dinaya yang baru saja bangun tidur dan sedang duduk di sofa dengan mata setengah terpejam.“Papaaa, ini baru setengah lima! Adzan subuh aja belum. Mana ada mall buka pagi pagi gini,” protes Dinaya.“Kita bukan mau ke mall. Ayo kita ke Bandung.”“Hah? Ngapain ke jauh jauh ke Bandung?”“Ya jalan jalan lah. Kamu belum pernah ke Bandung kan? Ayo kita ke Bandung, kita kulineran, terus nanti kita ke distro distro, beli baju baru buat kamu. Ayooo siap siap, kelar sholat subuh kita jalan. Ayo Nayaaa!” Dirga berteriak di telinga Dinaya dan membuat putrinya itu mau tak mau beranjak dari sofa, lalu menyeret langkah ke kamarnya.“Pokoknya Papa pulang dari masjid, kamu udah harus siap yaaa!”“Papa! Aku belum mandi!”“Makanya buruan mandi sana!”Dirga terus meneriaki Dinaya dan gadis itu mandi sambil bersungut sungut. Dinaya tak habis pikir, entah apa yang ada