Bayu kecewa. Padahal ia ingin sekali menghabiskan malam itu bersama Lichelle. Mendadak dari dalam rumah terdengar suara Mbak Wati, pembantu mereka, memekik kecil. Penasaran dengan apa yang terjadi Lichelle masuk ke dalam. Meninggalkan Bayu dengan ibunya di teras.
“Sudah lama shekali kamu eee tidak datang ke shini, Bayu.”
“Iya nih. Bantuin Papa terus soalnya,” jawab Bayu yang memang cukup mengenal orangtua Lichelle itu. “Tante lagi sibuk?”
“Nggak. Cuma sirrram ini kembang,” katanya sambil menuntaskan pekerjaan. “Eee apakah Bayu sorrre ini ada kegiachan?”
“Nggak ada sih, Tante,” ucap Bayu yang masih memendam kecewa karena tidak bisa bersama Lichelle malam itu. “Kenapa? Mau pergi?”
“Cuma dekat-dekat sini aja. Ke salon di XF mall.”
Pikir Bayu, karena sedang mempersiapkan acara nanti malam, mestinya yang merasa perlu ke sal&
BJ nekad. Pemberesan masalah dengan ayah dan rekan-rekan band-nya sudah selesai. Kini tinggal masalahnya dengan Lichelle. BJ berpikir bahwa pemberesan – apapun harganya – harus ia selesaikan secepat mungkin. Pertimbangan lain adalah bahwa ia perlu membujuk Lichelle kembali untuk menjadi vokalis. Untuk alasan terakhir, BJ sebetulnya tak berharap banyak. Tapi pikirnya, setidaknya ia telah mencoba dan itu menjadi tanggung jawab moralnya di depan Happy, Charlie dan Dedot.Itu sebabnya pada malam itu, tak peduli walau Lichelle tak pernah membalas pesan-pesan apalagi membalas panggilan telponnya, ia mendatangi rumah gadis itu. Seperti biasa, Mbak Wati yang membukakan pintu. Setelah menunggu di teras beberapa lama Lichelle menampakkan diri. Mengenakan kardigan warna cream dan sneakers serta sedikit makeup, BJ tahu Lichelle sedang bersiap pergi.“Yes?““Gue mau minta maaf,“ ucap BJ tanpa basa-basi.
BJ tersenyum kecut. Ia merasa itu sudah hasil maksimal yang bisa ia capai bersama Lichelle. Adapun hal buruk lain mengenai Bayu ia putuskan untuk tetap tidak perlu diungkap. Setidaknya untuk saat ini.“Gue hargai keputusan lu, Lichelle. Thanks. Gue pamit pulang.“ Saat BJ bangkit dan mulai beranjak pergi, Lichelle menyadari sesuatu. “Kaki lu kenapa?“ “Nggak apa-apa.“ Mendengar jawaban BJ yang dingin dan kaku Lichelle hanya mengangkat bahu. “Ya udah. Bye.“Saat BJ belum sepenuhnya pergi, ponsel Lichelle di atas meja bergetar menandakan ada telpon masuk. BJ semp
“Foto profil Bayu yang tadi ada di hape lu. Boleh gue liat?“Malas-malasan, Lichelle menyentuh beberapa kali layar ponsel sebelum menunjukkan sebuah gambar. BJ menyambut dari tangan Lichelle. Gadis itu dengan segera bisa melihat keterkejutan dan kemarahan pada wajah BJ ketika melihat gambar profil ponsel Bayu. Bukan hanya itu, telapak BJ juga sedikit bergetar ketika menatap gambar di layar. Lebih dari dua menit BJ melihati seksama tanpa menyadari bahwa Lichelle melihat perubahan pada raut wajahnya.“Gambar ini di-desain khusus,“ kata BJ sambil mengembalikan ponsel ke pemiliknya. “Gambar Hulk dengan gigi tonggos dan lidah terjulur a la penyanyi Mick Jagger. Cuma Bayu yang punya gambar seperti ini. Iya kan?“Asumsi itu di-iya-kan Lichelle. “Dia pake jasa di Fiverr sebelum gambar dibuat jadi sticker.““Sticker?““Sticker mobil.““Ditempel d
“Sialan, lu ragu dengan kepinteran gue? Gue ranking satu terus, J.““Iya, iya, lu pinter. Tapi kenapa diem?““Buktinya kurang kuat. Gue mungkin nggak dapat semua info utuh. Tapi dari keping-keping kejadian yang ada gue bisa menebak rangkaian cerita soal Bayu dan cewek-ceweknya. Tentang proyek, gue udah menduga.“Lichelle menenangkan diri sebelum bercerita secara runut.“Hubungan gue dengan Papa itu akrab, J. Saat ngobrol-ngobrol dengan Papa kemarin, nggak sengaja ketauan kalo salah satu calon kontraktor itu direkturnya punya anak yang satu sekolah sama gue. Gue sampe tracing di macem-macem medsos. Begitu dirunut melalui FB, ketauan kalo orang itu adalah bokapnya Bayu. Terus, soal SPG juga gue udah menduga. Agak panjang ceritanya tapi ya begitulah yang terjadi. Orang itu ternyata.... ah! Ceritanya lebih nyakitin. Begitu juga soal Maya. Pokoknya gue udah dari dulu m
“Hidup dalam asumsi adalah hidup penuh resiko. Kita menentukan baik buruknya seseorang berdasar mindset dalam diri kita yang sebetulnya subyektif. Kita bisa salah. Lantas, jika kita menyadari begitu, kenapa kita nggak mau cukup humble dan berinisiatif untuk sebuah perdamaian.“ BJ berhenti bicara sesaat. Ia tak menyangka bahwa ucapannya sejauh ini tak dipotong oleh si angkuh di depannya. Ini membuatnya kembali melanjut ucapan. Tapi sebelum bersuara, Lichelle sudah menanggapi terlebih dulu. “Masalahnya sepertinya bukan di Papa. Masalahnya di aku.“ “Baguslah kalau kamu berpikir begitu. Kamu tu dewasa sekali dengan punya pandangan begitu. Kamu melihat kekurangan Papamu tapi juga secara gentle mengakui kekuranganmu dan mau introspeksi diri.“ Terdengar panggilan dari dalam rumah memintanya untuk bersiap pergi. Bagi BJ, ia tahu waktunya di sana tinggal sesaat lagi. “Papa itu kaku, J. Dia sebetuln
Dengan sedikit tersendat BJ menutup dengan satu pernyataan terakhir. Kali ini tidak ada lagi kata lu-gue di dalamnya. “Aku sudah pernah hidup dengan rasa bersalah terhadap orang lain, dalam hal ini orangtuaku, selama empat tahun, Lies. Buatku itu pelajaran hidup berharga, lebih dari cukup. Enough is enough.“ Hening kembali menyelimuti ketika Lichelle diam tak menjawab dan BJ pun tak merasa perlu mengejar jawaban. Benar-benar nyaris tak ada suara. Suara-suara alam di malam hari tak terdengar. Jangkrik membisu, kersik daun tak terdengar. Angin pun seolah letih berdesau. Keriuhan hanya terjadi dalam hati Lichelle ketika jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. BJ tak menyadari bahwa rentetan pertanyaan dan satu pernyataan terakhirnya tadi menimbulkan galau dalam diri Lichelle. Keangkuhan dalam diri Lichelle runtuh sudah. Menyisakan sesal mengapa ia gagal melihat secercah kebaikan BJ selama ini.
Saipul tidak segera menjawab karena tangannya sibuk menyalakan rokok. Ketika baru saja rokok dinyalakan, mendadak Apip bangun dari duduk. Melalui sela-sela pohon yang membatasi tempat itu dan sebuah koridor sekolah, ia melihat seseorang mendatangi tempat mereka. “Pak Mintarja! Gawat dia dateng ke sini! Bisa ke-gap nih!“ Saipul menoleh ke arah yang dilihat Apip untuk mengkonfirmasi. Apip tidak bohong. Dari balik sela-sela pohon ia melihat orang yang sama. Keduanya panik. Bagi Saipul pemilik nama itu lebih mengerikan daripada Lord Voldermort sedangkan bagi Apip lebih mengerikan daripada Mak Lampir. Guru yang merangkap wali kelas mereka sudah terlalu sering menangkap basah baik ketika mereka bolos, berkelahi, merokok, mencontek. Mereka kenyang didisiplin. Dan semakin hari mereka merasa pendisiplinan beliau semakin keras. Sekarang, Saipul menjadi pihak yang paling panik karena wali kelas mereka akan membuatnya tertangkap basah sedang merokok
“Bapak udah bosen pergokin kalian berdua merokok. Awas ya kalo kalian mengulang.“ “Nggak pak,“ Apip menjawab dengan percaya diri. “Oke pak. Siap pak. Kami pasti lakuin. Bye bye,“ jawab Saipul yang ingin sekali agar guru mereka pergi secepatnya. Jelas bahwa ia mengkhawatirkan nasib lembaran uang ratusan ribu di bungkus rokok yang terancam terbakar. “Merokok itu nggak baik buat kesehatan.“ “Iya pak. Saya sudah tau,“ Saipul bangkit dari duduknya bersikap sekolah hendak pergi. Apip juga ikut bangkit. Maksudnya jelas, meminta supaya Pak Mintarja ikut pergi. Sayangnya, harapan itu tak terwujud. Pak Mintarja malah meluangkan waktu lima menit sendiri untuk menjelaskan tentang bahaya merokok. Dan sementara guru mereka bercerita panjang lebar, Saipul makin merana melihat asap tipis di balik semak kini menebal. Asap itu menandakan api yang melahap bungkus rokok telah membesar. Untung juga arah angin berhembus ke lain arah se