“Hidup dalam asumsi adalah hidup penuh resiko. Kita menentukan baik buruknya seseorang berdasar mindset dalam diri kita yang sebetulnya subyektif. Kita bisa salah. Lantas, jika kita menyadari begitu, kenapa kita nggak mau cukup humble dan berinisiatif untuk sebuah perdamaian.“ BJ berhenti bicara sesaat. Ia tak menyangka bahwa ucapannya sejauh ini tak dipotong oleh si angkuh di depannya. Ini membuatnya kembali melanjut ucapan. Tapi sebelum bersuara, Lichelle sudah menanggapi terlebih dulu.
“Masalahnya sepertinya bukan di Papa. Masalahnya di aku.“
“Baguslah kalau kamu berpikir begitu. Kamu tu dewasa sekali dengan punya pandangan begitu. Kamu melihat kekurangan Papamu tapi juga secara gentle mengakui kekuranganmu dan mau introspeksi diri.“
Terdengar panggilan dari dalam rumah memintanya untuk bersiap pergi. Bagi BJ, ia tahu waktunya di sana tinggal sesaat lagi.
“Papa itu kaku, J. Dia sebetuln
Dengan sedikit tersendat BJ menutup dengan satu pernyataan terakhir. Kali ini tidak ada lagi kata lu-gue di dalamnya. “Aku sudah pernah hidup dengan rasa bersalah terhadap orang lain, dalam hal ini orangtuaku, selama empat tahun, Lies. Buatku itu pelajaran hidup berharga, lebih dari cukup. Enough is enough.“ Hening kembali menyelimuti ketika Lichelle diam tak menjawab dan BJ pun tak merasa perlu mengejar jawaban. Benar-benar nyaris tak ada suara. Suara-suara alam di malam hari tak terdengar. Jangkrik membisu, kersik daun tak terdengar. Angin pun seolah letih berdesau. Keriuhan hanya terjadi dalam hati Lichelle ketika jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. BJ tak menyadari bahwa rentetan pertanyaan dan satu pernyataan terakhirnya tadi menimbulkan galau dalam diri Lichelle. Keangkuhan dalam diri Lichelle runtuh sudah. Menyisakan sesal mengapa ia gagal melihat secercah kebaikan BJ selama ini.
Saipul tidak segera menjawab karena tangannya sibuk menyalakan rokok. Ketika baru saja rokok dinyalakan, mendadak Apip bangun dari duduk. Melalui sela-sela pohon yang membatasi tempat itu dan sebuah koridor sekolah, ia melihat seseorang mendatangi tempat mereka. “Pak Mintarja! Gawat dia dateng ke sini! Bisa ke-gap nih!“ Saipul menoleh ke arah yang dilihat Apip untuk mengkonfirmasi. Apip tidak bohong. Dari balik sela-sela pohon ia melihat orang yang sama. Keduanya panik. Bagi Saipul pemilik nama itu lebih mengerikan daripada Lord Voldermort sedangkan bagi Apip lebih mengerikan daripada Mak Lampir. Guru yang merangkap wali kelas mereka sudah terlalu sering menangkap basah baik ketika mereka bolos, berkelahi, merokok, mencontek. Mereka kenyang didisiplin. Dan semakin hari mereka merasa pendisiplinan beliau semakin keras. Sekarang, Saipul menjadi pihak yang paling panik karena wali kelas mereka akan membuatnya tertangkap basah sedang merokok
“Bapak udah bosen pergokin kalian berdua merokok. Awas ya kalo kalian mengulang.“ “Nggak pak,“ Apip menjawab dengan percaya diri. “Oke pak. Siap pak. Kami pasti lakuin. Bye bye,“ jawab Saipul yang ingin sekali agar guru mereka pergi secepatnya. Jelas bahwa ia mengkhawatirkan nasib lembaran uang ratusan ribu di bungkus rokok yang terancam terbakar. “Merokok itu nggak baik buat kesehatan.“ “Iya pak. Saya sudah tau,“ Saipul bangkit dari duduknya bersikap sekolah hendak pergi. Apip juga ikut bangkit. Maksudnya jelas, meminta supaya Pak Mintarja ikut pergi. Sayangnya, harapan itu tak terwujud. Pak Mintarja malah meluangkan waktu lima menit sendiri untuk menjelaskan tentang bahaya merokok. Dan sementara guru mereka bercerita panjang lebar, Saipul makin merana melihat asap tipis di balik semak kini menebal. Asap itu menandakan api yang melahap bungkus rokok telah membesar. Untung juga arah angin berhembus ke lain arah se
Mata Maura berbinar-binar saat membuka ponselnya. Di antara delapan sampai sembilan pesan dari orang berbeda-beda yang masuk, matanya langsung tertuju kepada pesan yang datang dari seseorang. Sebuah pesan yang ia paling tunggu-tunggu kalau datang dari orang itu. Itu adalah sebuah balasan dari sebuah chat yang sebelumnya Maura kirimkan. Balasan yang masuk tadi tak memuat kalimat atau bahkan kata apapun. Hanya sebuh icon jempol. Menandakan si pengirim, yaitu BJ, menyetujui apa yang ia sampaikan. Balasan pesan chat itu sebetulnya tak memiliki arti apa-apa kalau saja pengirimnya bukan pria itu. Maura telah meminta waktu bertemu secara khusus di sebuah restoran kecil pada tanggal dan jam tertentu. Dan atas permintaan itu BJ telah menyetujui. Hati Maura berdetak lebih keras dari biasanya. Sudah makin sulit baginya untuk bersembunyi dari kenyataan bahwa ia tertarik pada pria itu. Dala
Sebagaimana laiknya orang yang sudah uzur biasanya banyak maunya, sikap Nyai juga seperti itu. Nyai jadi manja dan maunya menang sendiri. Salah satu contoh adalah klaim beliau soal umurnya. Satu keluarga sudah tahu bahwa umur Nyai itu 68 tahun. Tapi entah karena faktor apa atau mungkin dengan info dari rekan-rekan seangkatannya, Nyai lebih suka meng-klaim bahwa umurnya 70 tahun. Hal ini pun Nyai terapkan di rumah dan ia meminta mulai dari Abah, Emak, maupun BJ akan mengatakan bahwa umurnya adalah 70 tahun. Lompatnya usia Nyai dari 68 ke 70 tahun belakangan membuat dirinya sedih. Emak dan Abah sedang sibuk melakukan ini-itu ketika tiba-tiba saja Nyai menangis seperti anak kecil yang makanan ikan kesayangannya di meja digondol kucing nakal. „Kenapa nangis, Nyai?“ “Tenang, tenang, ada apa? Nyai jangan takut.“ Abah dan Emak bersatu padu membujuk beliau. Sempat berkurang sedikit, suaranya tangisannya yang menjengkel 
Sementara Maura mulai mengambil lembar menu dan memeriksa, BJ membantu waiter resto yang membersihkan sisa makanan dan minuman di meja dimana selama itu otaknya dipenuhi aneka pikiran. BJ tidak mau ge-er alias gede rasa alias over confident bahwa Maura menaksir dirinya. Tapi pemikiran itu muncul bukan tanpa sebab. Pemikiran pertama, undangan makan siang dari Maura pada awalnya diterima tanpa tendensi apa-apa. Belakangan undangan makan siang diganti jadi undangan makan malam. Jadi, jelas bahwa acara ini adalah acara dinner yang telah disetup. Pemikiran kedua, posisi meja dimana mereka berada itu lokasinya sangat mojok alias di sudut dan tertutup vas bunga serta merupakan jalan buntu. Artinya mereka yang berdua di sana benar-benar memiliki kebebasan penuh. Sebuah bangku yang sangat privacy. Pemikiran ketiga, atas dasar hal-hal di atas tadi, bisa jadi inilah saatnya diman
Malu-malu, ia lalu mengikuti saran Maura dengan menatap wajahnya. Menatapi keindahan pada mata berbinar dengan celak biru, alis mata, serta bibir merah merekah di depannya. Betapa kecantikan gadis kota memang berbeda. Maura tampil amat memukau. Tapi BJ benar-benar tidak kuat bertatapan mata seperti tadi. Malu-malu, ia menurunkan pandangan dan akibatnya ia kini jadi melihat tubuh Maura dari leher ke bawah. Saat itulah baru BJ menyadari betapa ia sangat cuwek dan tidak peduli pada lingkungan sekitar. Ia baru sadar bahwa Maura malam itu tampil tak hanya dengan riasan penuh dan juga rok mini. Bukan hanya itu saja.... blus yang dikenakan pun BJ anggap seronok. “Kamu kenapa? Hmm? Risih ya jalan sama aku?“ BJ lebih menunduk lagi. Akibatnya ia jadi melihati lagi deretan makanan dalam daftar menu yang kini tergeletak di atas meja di depannya. “Iya, aku.... risih...“ “Risih karena....?“ “Kamu.... montok.“
Antara gemas dan jengkel, Maura mengulurkan tangan dan langsung mencubit lengan BJ.“Elu tuh ye. Orang lagi terharu, nangis, eh lu masih sempat-sempatnya bercanda. Mau ngomong tapi-tapi berapa kali?““T-tapi...““Sekali lagi ngomong ‚tapi‘ gue cubit lagi lebih keras.“Lah? BJ heran dengan gadis itu. ‚Cengeng dengan galaknya nyatu!‘“Ya, gue sih terhormat banget elo bisa punya perhatian seperti itu. Gue tersanjung tapi.... lu yakin?““Yakin.““Nggak PHP?““Nggak.“BJ mengulurkan tangan dan dengan enaknya menaruh punggung lengan tangan di kening Maura. “Kamu nggak lagi sakit kan?““Nggaaaakk...“Maura sepertinya tidak bohong. Buktinya keningnya tidak hangat. Kening Maura terasa adem.„Jidatmu ternyata adem. Nggak anget.&ldquo