BJ mendegut ludah. Wajahnya memerah luar biasa. Dan entah mengapa selama Lichelle jadian dengan BJ, ini adalah yang paling lucu alias paling imut yang ia pernah lihat. Berkali-kali Lichelle merasa ucapan dan tindakannya sering membuat BJ tersipu seperti tadi. Dan setelah mengalami berulang kali sepertinya ia jadi menikmati dan ingin hal itu terjadi lagi dan lagi. Entahlah, ia merasa sikap BJ itu sebetulnya tak lebih merupakan ekspresi kekaguman atas dirinya. Dan kekaguman seperti itu pantas dihargai.
“Liat apa?” tanya Lichelle sedikit menaikkan suara tanpa menimbulkan kesan menyampaikan kemarahan atau kejengkelan.
“Aku liat.... anu...”
“Ha? Kamu liat anuku?”
BJ menjawab panik. “B-b-bukan! Bukan! Bukan itu maksudku.”
Dalam hati Lichelle tergawa geli. Kekagetan yang ia tunjukan pada BJ tadi sebetulnya tak lebih daripada sebuah drama kecil. Seperti sudah disampaikan sebelumya, ia sekarang suka menggoda
“Jujur iya. Awalnya ngerasa gitu. Karena menurutku, Papa itu… banyak salah. Banyak bikin aku dan mama sakit hati. Papa… terlalu sibuk dengan pekerjaan, sibuk dengan bisnis sampai nggak tahu kapan aku ulang tahun. Nggak inget kapan hari pernikahan…. yang seharusnya dirayain bareng Mama. Waktu ditegur, Papa… malah ngeles. Sampai akhirnya…. Papa tempeleng aku. Ini bikin aku…” Melihat bahwa Lichelle mulai tersendat-sendat bicara, wajahnya memerah serta mulai terisak, secepat mungkin ia menawarkan sekotak tisyu yang memang selalu ada di konter toko. “Kejadian Papa tempeleng aku bener-bener nyakitin,” Lichelle melap ujung hidungnya yang mulai basah dengan tisyu. “Aku susah lupain kasus itu.” Sepuluh menit berikut ternyata diisi Lichelle dengah curhat atas buruknya hubungan ayahnya dengan dirinya. Melihat betapa mengalirnya Lichelle bercerita, BJ jadi merasa kasihan. Apakah seperti itu gambaran remaja di kota besar dimana mereka memenda
“Kalau itu sih Emak sudah paham, iyo ndak. Tapi tadi kan Nyai dengar sendiri kalo Abah ini akan lama di sano. Bisa dua bulan atau tiga bulan ndak pulang-pulang. Macan mano ini. Maksudku, dengan terpisah begitu lama apo Abah akan kuat….. maksud aku, apakah Abah anu….” “Abah pasti kuat,” Nyai memotong. “Yang ndak kuat sepertinya kamu. Kuat ndak berpisah sama suamimu?” “Iiiiih, Nyai!” Muka Emak merah menahan malu. Tapi Nyai mengerling dan berkomentar nakal. “Sudahlah, jangan kamu lupo kalo Nyai ini orangtuamu. Dah tau aku akan sifatmu, yo ndak?” * Mengenai undangan ulang tahun, sebetulnya ada sebuah pemikiran pada diri BJ. Dan pemikiran atau tepatnya ganjalan itu segera ia tanyakan langsung ke Lichelle. “Soal acara ultah kamu itu, mmmm…. Apakah… Bayu diundang?” tanya BJ hati-hati. Sambil melipat ta
Dalam suatu kunjungan ke rumahnya, Happy kaget melihat Charlie berjalan tertatih setengah mati. „Kaki lu kenapa?“ „Ssssh.... Keram,“ Charlie mendesis. Mimiknya menunjukkan rasa perih karena menahan sakit. „Kenapa bisa kram?“ „Ketarik urat.“ „Ya ampun,“ rekannya menunjukkan mimik prihatin. „Kenapa nggak diurut aja? Diurut itu penting lho buat kesehatan.“ „Gue juga maunya gitu,“ kata Charlie dengan badannya yang terbuka karena kondisi di dalam rumah memang panas. „Dulu gue gak jago ngurut lho.“ „Sekarang?“ „Tetap gak bisa.“ Menyebalkan. Tak lama kemudian Charlie menjerit karena sengatan kram. „Gue sekarang bisa ngurut tapi nggak jago. Gue bantu lu ngurut deh,“ akhirnya Happy tidak tega juga. Charlie jelas tidak punya pilihan lain. Ia menyetujui usulan itu dan menunjukkan dimana bisa mendapatkan minyak kelapa dan miny
„Oh ini Papa lagi pijit. Kasihan Mamamu dia perlu dipijit.“ „Masa?“ „Iya. Bener.“ “Lichelle bukan anak kecil lagi. Itu bekas lipstik Mama ada dimana-mana di muka Papa. Tunggu keq. Sebentar lagi kan sampe di rumah.“ Ketiganya tertawa terbahak dan mobil pun mulai beranjak pergi. Keindahan malam itu agak sedikit terusik bagi Lichelle gara-gara sebuah postingan di sebuah medsos. Postingan gambar yang menunjukkan BJ dan Maura tengah dinner bersama yang ternyata mereka pernah lakukan. Ini bikin Maura mikir apakah BJ ternyata jadian dengan Maura? Ia jelas galau. Apakah BJ mengerjainya? Ia jealous juga. Panas. Tapi pantaskah ia bersikap begitu sementara hubungan keduanya belum sepenuhnya mereka resmi sebagai sepasang kekasih? Ataukah ia untuk sementara ini menunggu saja dulu? Betul. Semua perasaan itu sebetulnya terjadi karena sikap ‚penge
BJ manggut-manggut. Minel di pelukannya sudah mulai mengantuk dan sebentar lagi tertidur. Sempat mengatur nafas sesaat, Lichelle kemudian mulai berbicara. “Ada alasan lain kenapa aku main ke sini. Ada yang perlu aku omongin.” Ketika Lichelle ber-aku-dan-kamu, BJ tahu ada hal penting yang mau disampaikan. “Apa itu?” “Pertama,” Lichelle menarik nafas. “Soal Maura. Gue lihat dia posting gambar waktu dinner. Dinner dengan.... lu.” BJ tersenyum. Lebar. “It’s nothing. Aku diajak makan dan sulit untuk nolak.” “Tapi.... kamu.... you know.... Apakah kamu ada.... hati?” Senyum BJ melebar. “Nggak.” “Jawab jujur.” “Memang nggak.” “Kenapa? Dia manis. Lebih manis dari gue.” “Itu karena sedang menununggu jawaban doa dari Tuhan untuk seorang gadis yang lain.” Ganti kini Lichelle yang tersenyum lebar. “Hal kedua yang gue mau sampein adalah ini.”
“Izinkan aku, Lichelle. Izinkanku mencintaimu dengan segala ketulusan yang kumiliki. Memperbaiki kesalahan yang telah kulakukan karena menyakitimu.“ „I trust you, BJ.“ Lichelle makin tak tahan. “I trust you.“ “Permisiiiii,“ sebuah suara merdu terdengar dari depan rumah merangkap toko itu. Emak yang berjaga di sana melangkah ke depan toko untuk melihat siapa yang datang. Meyakini bahwa Lichelle sungguh-sungguh dengan ucapannya, BJ mendekatkan diri dan mengecup kening dalam gerakan paling hati-hati dan sopan yang ia pernah lakukan seumur hidupnya. Kembali, nuansa bahagia mengalir ke setiap relung hati Lichelle seiring mendaratnya kecupan nan lembut tadi. „Thank you, Lies. Kamu terlalu banyak membantu. Abah pun kamu bantu untuk jadi interpreter di proyek Papamu.“ „Karena kamu bicara soal proyek Papa, aku mau sampaikan perkembangan terbaru. Aku sama Mama juga sepakat, kami gak setuju Papa deal bisnis
„Mereka pernah kencan?“ „Gue pernah gak sengaja dengar omongan BJ. Sama Lichelle, iya. Pernah. Tapi sama Maura nggak tau tuh.“ „Sama Maura sih BJ pernah dinner bareng. Gue pernah liat status medsos Maura. Jadi, BJ pasti sekarang di simpang jalan. Dia belum milih siapa yang jadi ceweknya lho. Dan mendadak, di saat mau nyatain isi hati ke Lichelle, mendadak muncul pilihan kedua.“ „Oh gitu?“ Dedot dan Happy mengangguk-angguk. „Beruntung banget si BJ. Lantas kapan kita-kita juga punya gebetan?“ „Gue sih nggak mikir gitu,“ kata Dedot. „Apa yang lu pikir?“ „Yang ada dalam pikiran gue adalah, cara untuk dapet muntahannya. Kalo BJ udah milih salah satu, mau deh gue dapetin yang lagi patah hati. Teknik meraih hati gadis yang habis di-PHP harus gue kuasain. Hehe....“ Walau disampaikan seorang Dedot yang mereka tahu IQ-nya terkadang w
„Ya udah, supaya berimbang elo jangan ceritain pengalaman gue juga“ „Pengalaman? Yang mana?“ „Satu-satunya pengalaman buruk gue yang elo udah tau itu lho.“ „Satu-satunya pengalaman buruk elo? Mmmm.... yang mana ya?“ „Koq bisa lupa?“ „Oooohhh.... waktu elo nge-gap gue nyium Mak Romlah?“ „Bukan.“ „Nyium nyai Munaroh?“ „Bukan.“ „Mbok Surti?“ „Bukan.“ „Encim Acui?“ „Bukan.“ „Eyang Oni?“ „Bukan.“ „Oma Fani?“ „Bukan.“ „Nyerah.“ „Yang sama Mbah Uti.“ „Ohhh....“ „Inget kan? Itu satu-satunya pengalaman buruk gue nyium orang beda umur.“ „Dasar maniak lu. Itu sih bukan pengalaman satu-satunya! Coba lu itung, udah berapa orang uzur yang elo cium! Tadi gue hitung sih ada seratus dua puluh lima orang yang udah bau tanah yang elo cium.“ „Ngaco. Hehe, emang gue demen sama yang udah tua.“ Akhirnya