"Kak, menurut lo, mama sebenernya setuju nggak sama perjodohan itu?"
Aira berucap, menanyakan pertanyaan yang baru-baru ini cukup menganggu benaknya. Serin di depannya mengerutkan kening. Jarang sekali membicarakan mama, sekalinya bertanya, Aira langsung merujuk soal perjodohan itu. Ada sesuatu dalam diri Serin yang cukup tertegun.
"Tiba-tiba lo nanyain dia, ada rencana apa lagi?" tanya Serin, Aira mengangkat bahu, dia hanya menebak, dan bertanya kepada Serin siapa tahu dia juga berpikiran sama.
"Menurut gue, mama nggak setuju," jawab Aira. Di kelas masih sepi, membuatnya bebas untuk membahas rencana dengan Serin.
"Tunggu, jadi lo mau ajak mama kerja sama juga? Lo, nggak serius, kan?" Ada sedikit kejut yang kentara, meski demikian, ada hal lain yang membuatnya merasa cemas. Dan Aira, tidak mengetahuinya.
"Gue nemuin lo justru mau bahas soal itu, Kak."
Serin menggeleng cepat, dia enggan melakukan hal yang diucapkann Aira bersusan. "Mend
"Aira!" Tubuh Aira terhuyung, kehilangan keseimbangan tepat di depan kelas, Serin spontan membulatkan matanya. Baru hendak menuju lapangan, tanpa diduga, Aira terjatuh pingsan. Beberapa murid di lapangan seketika buyar."Daf, Aira pingsan!" pekik Serin, Daffa yang datang dari arah Utara langsung berlari menghampiri."Kok bisa, sih?" Daffa cemas, namun juga kesal bercampur khawatir. Dia hendak mengangkat tubuh Aira, namun sebuah suara sesaat mengurungkan niatnya."Kita harus bawa dia—""Kenapa Aira?" potong Rehan, yang baru saja sampai depan kelas setelah berlari dengan napas terengah-engah.Serin menatapnya tajam. "Ini gara-gara lo!""Kok gue?" Rehan langsung mendelik ketika baru tiba sudah mendapat tuduhan."Ya karena lo Aira pingsan, Re! Dia belum sarapan seharian, dan lo malah nyuruh dia ke lapangan! Di siang hari yang panasnya minta ampun ini! Lo gila, hah?" teriak Serin, aktingnya memang benar-benar bagus.
Malam ini, masih dengan rencana Aira yang ingin berbicara dengan sang mama. Menanyakan perihal tidak atau setujunya sang mama dengan perjodohan itu, dan mengajak untuk bekerja sama dengannya agar meyakinkan sang papa supaya membatalkan perjodohannya dengan Rehan."Lo beneran mau bicara sama mama? Kalo dia—""Gue rasa mama nggak bakal sejahat itu, Kak. Nggak ada salahnya juga kita nyoba, kan?"Di kamar Serin, Aira dengan penuh yakin, sem nyata Serin yang tidak menemukan keyakinan jika rencana itu akan berhasil. Aira yang tetap kekeuh membuat Serin merasa khawatir. Cemas. Jika saja dugaannya yang negatif itu benar akan terjadi."Tapi itu beresiko banget, Ra. Mama udah berubah." Serin dengan rautnya yang tidak setuju menatap Aira, perasaan cemas dan berusaha mencegah masih kentara di wajahnya.Namun, Aira tersenyum, hatinya mengatakan jika sang mama tidaklah seburuk itu. Dia masih sama, pikirnya. "Gue tau, tapi dia nggak bakalan lupa kalo gue an
Siang menjelang sore ini, Aira mengajak Daffa ke tempat biasanya, tepi danau. Setelah pulang sekolah, mereka tidak ke rumah, anggap saja karena terlalu malas untuk sekadar berganti baju dan sandal. Udara yang tidak terlalu dingin, menemani mereka yang duduk sembari memakan beberapa camilan.Aira tersenyum tipis, menikmati alam lepas memang menjadi kesenangannya sendiri. Dia tidak bisa jika hanya sekadar memandang, melainkan juga membeli beberapa camilan. Perpaduan healing yang tepat. Makanan, dan ketenangan. Bagi Aira, itu sudah cukup membuatnya merasa damai.Tidak terlalu banyak orang di sana, sebab tidak banyak yang bisa menikmati alam sepenuhnya. Entah karena memang tidak bisa memahami alam itu sendiri, tapi terkadang kesibukan membuat mereka seolah lupa dengan kondisi lingkungan yang ditinggali.Aira ke danau itu, lalu duduk di kursi yang berada di tepi, serta sedikit pembatas yang tidak terlalu tinggi, hanya untuk membuat benaknya istirahat. Dia hanya
Serin menuruni anak tangga menuju dapur. Langkah kakinya berhenti di meja makan dan mendudukkan diri. Sang papa yang sudah mulai menyantap makanannya, tampak sekilas melihat Serin. Serin sendiri tersenyum hangat seperti biasanya untuk menyapa."Pagi, Pa? Mama nggak pulang?" tanya Serin ketika melihat sang mama tidak berada di samping papa.Andi menggeleng. "Mana kamu lembur di kantor, Serin. Dia akhir-akhir ini memang banyak pekerjaan. Ada apa, tumben nanyain mama?" tanyanya heran.Serin menggeleng pelan tanda paham, pantas saja tadi malam dia tunggu bersama Aira tidak kunjung datang. Padahal dia sudah berharap malam tadi bisa menjadi rencana kedua yang berhasil. Nyatanya tidak. Dugaannya belum bisa dipastikan apakah mamanya akan menyetujui."Nggak, kok, Pa. Cuma heran aja, biasanya mama selalu sama papa," balas Serin dengan senyum. Jemarinya mulai mengambil nasi beserta lauk."Gih, sarapan. Papa nggak mau kamu sakit dan tidak masuk sekolah." Andi
Aira melangkahkan kakinya menuju keluar gerbang setelah tadi menelepon Daffa untuk menjemputnya. Malam ini, Aira memutuskan untuk tidak tidur rumah. Dia sudah pamit kepada Serin, berharap gadis itu tidak khawatir—mungkin—bisa merahasiakannya dari sang papa."Please, bawa gue kabur, Daf!" desis Aira saat sudah duduk di kursi samping Daffa. Cowok itu reflek mengerutkan kening. Bingung."Dih, lo kesurupan apa, Ra?" tanya Daffa, menempelkan telapak tangan ke depan dahi Aira guna mengecek suhu tubuhnya.Aira langsung mendengkus mendapat respon demikian. "Gue serius! Gue mau pergi dari rumah!""Tiba-tiba?" Tertegun, Daffa sempat melebarkan matanya untuk beberapa saat sebelum mulai menyalakan mesin mobilnya."Buruan!" desak Aira, dia padahal sudah diam-diam keluar rumah agar tidak ketahuan sang papa."Lo kenapa, sih? Kalo ada masalah cerita, Ra. Jangan gegabah gini," jawab Daffa, masih berusaha menasehati meskipun dia juga tidak m
Aira baru saja menginjakkan kakinya ke lantai rumah Daffa, di ruang tamu, tiba-tiba dari arah dapur sudah terdengar derap langkah kaki. Aida sudah menebak, itu pasti mamanya Daffa. Dan benar, wanita itu menatap antusias terhadapnya. Bahkan, hingga memeluknya erat.Akhirnya mereka memutuskan untuk berbincang, sementara Daffa kembali ke kamarnya. Tidur, katanya. Aira dan mama Daffa berada di ruang tamu, dengan tangan wanita itu yang menggenggam jemarinya dan mengusap pelan setelah mendengar alasan mengaoa dirinya akan menginap di sini."Kenapa kamu nggak cerita ke tante, sih? Tau gini, tante bakal bantu kamu, Aira."Menanggapi kekhawatiran sang mama Daffa, Aira tertawa kecil. "Aira udah banyak ngerepotin, Tante. Aira juga nggak mau tante merasa terbebani karena harus bantu Aira.""Justru kalo kamu nggak cerita, tante bakal semakin khawatir," jawab wanita itu sembari mengusap lembut rambut Aira. Dia benar-benar terlihat menyayangi gadis itu.Aria memb
"Ra, mama udah pulang!"Pekikan dari sang kakak tirinya itu spontan membuat gerakan jemari Aira pada bolpoin yang tengah menulis seketika terhenti. Harusnya dia senang, namun dia justru mengernyit. Bangkit dari duduknya, dan ikut menghampiri Serin di ambang pintu."Serius? Kok, gue nggak denger suara mobilnya?" tanya Aira, saat sudah melihat Serin kembali masuk."Dia pake mobil beda, Ra. Udah cepet siap-siap. Gue khawatir kalo dia bakal balik kerja lagi. Mumpung papa belum pulang, Ra!" desak Serin, segera menyuruh Aira untuk menyiapkan diri."Iya, sabar, dong," decak Aira, dia menjadi bingung sendiri karena ini terlalu mendadak. Alhasil setelah merapikan alat tulisnya kembali, dia mengambil sisir rambut di meja rias."Nanti, pokoknya lo harus berani jawab. Maksud gue, kalo lo harus sampein semuanya tentang perjodohan itu. Dan pastiin, lo waspada sama gerak-geriknya," peringat Serin, mondar-mandir sembari bersedakap dada. Gelisah sendiri.Air
Harusnya setelah bel pulang berbunyi, Daffa sudah berada di parkiran untuk menunggu Aira. Namun, ketika gadis itu sampai di sana, tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Padahal Aira yakin, Daffa masih belum pulang sebab masih terdapat motornya di sana."Lo harus ikut gue."Tiba suara familiar itu terdengar, suara orang yang tidak Aira inginkan kehadirannya. Bahkan, mendengar saja sudah membuat dirinya muak. Namun, harusnya dia bisa melarikan diri, tetapi paksaan yang Rehan lontarkan dan dia menolaknya, cowok itu menghadang jalannya."Dih, ogah," ketus Aira."Gue maksa.""Dan gue maksa nggak mau." Aira hendak kembali berjalan, namun lagi-lagi Rehan menghadang. Aira mendengkus keras."Lo harus ikut gue beli kado buat mama. Dia bentar lagi bakal jadi ibu lo juga," jelas Daffa memberi tahu tentang maksudnya. Tetapi di wajah Aira tidak ada raut bahagia sedikit pun."Gue nggak akan pernah jadi menantunya. Inget!" desis Aira tajam. Dia b
Ruangan bernuansa putih itu hanya diisi oleh keheningan. Di dalam tampak sepi. Hanya suara denting jarum jam yang berputar tanpa henti. Serta merta AC yang menyala memberikan kesejukan di sekelilingnya, alih-alih, menambah suasana mencekam tengah terjadi di sana.Ada Aira menggeleng lemah, hatinya kembali sakit mengingat masa-masa kemarin. "Belum. Dari kemarin gue ke sini, sampai tadi pagi, dia belum siuman."Serin mengangguk, kemudian membuang napas sembari menyentuh sebelah pundak Aira. Berusaha menenangkan suasana hati gadis itu. "Lo tenang aja, dia pasti bakal sadar. Lo tau, kan, dia bukan cowok lemah. Gue yakin, dia pasti juga kangen liat wajah lo.""Ah, lo malah bikin gue tambah sesek, Kak." Aira mendengkus dengan senyum, meskipun matanya sempat berkaca-kaca.
Degup jantung Aira berdetak lebih kencang dari biasanya, langkah kakinya berlari cepat setelah membuka pintu rumah sakit. Tangis mengharu, bibir Aira terisak bahkan saat baru saja sampai—di depan pintu berwarna coklat itu. Kepalanya menunduk, tubuhnya ikut meluruh di depan pintu."Kenapa harus lo, sih, Daf? Kenapa harus hari ini? Bukannya lo udah bilang mau ngelamar gue, Daf?" yang beda."Isak tangis Aira semakin pecah, air mata tidak enggan berhenti. Sesak semakin pula menekan dadanya. Aria tidak menyangka. Semuanya terjadi begitu saja—seolah takdirnya sekejam itu untuk bisa menerima semuanya. Aira tidak pernah mengakui dirinya lemah, tapi tidak untuk dari balik kaca dengan tatapan khawatir. Sekaligus merasa bersalah. Padahal nyatanya, dia cukup kesal."Ah, sial. Kenapa dia bikin gue kesel, sih? Harusnya dia bilang ke gue kalo mau jemput!"Aira berdecak, mendengkus, meski dengan Aira mata yang masih meluruh. Aira memutuskan untuk duduk di kursi penunggu dan berdoa untuk keselamatan Da
Pagi ini menjadi pagi yang paling Aira tunggu. Seperti janji Daffa kemarin yang mengatakan ingin ke rumah untuk melamarnya. Sungguh, Aira berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, tetapi tetap saja kemarin malam dia tidak bisa tidur. Bayang-bayang wajah Daffa yang tersenyum memenuhi isi kepalanya—bahkan sampai pagi ini.Aira reflek menepuk kepalanya sendiri. "Udah gila lo, Ra. Bener-bener gila."Seragam hari ini sesuai jadwal sudah dia kenakan dan sempurna melekat di tubuhnya. Aira sesaat menatap pantulan dirinya di cermin sebelum mengulas senyum dan memutuskan untuk segera keluar dari kamar. Menuruni anak tangga dengan raut sumringah. Sangat kentara jika Aira sudah tidak sabar menantikan malam nanti."Duh, padahal masih nanti malem, kok, gue sekarang udah deg-degan, ya?" batin Aira sembari memegang dadanya yang sudah memanas. Degup jantungnya berdetak kencang.Aira menggeleng, tersenyum geli. "Otak gue nggak bener, nih."Akhirnya karena tidak mau terlambat sekolah, Aira langsun
"Daf," panggil Aira dengan nada pelan dan malas. Seolah tak bertenaga padahal di depannya sudah ada beberapa makanan serta minuman penghilang dahaga."Heum? Kenapa? Lo laper?" balas Daffa ngawur. Padahal sudah jelas-jelas Aira selesai makan. Dan di atas meja sudah tersaji beberapa camilan untuk gadis itu dan dirinya sendiri.Aira berdecak, menghela napas panjang. "Gue butuh semangat buat balikin mood. Gue makin stres karena Serin nggak pulang dari kemarin."Pergerakan jemari Daffa yang semula mengetik sesuatu di ponsel, spontan terhenti kala mendengar berita itu. "Why? Kok bisa? Gimana ceritanya?"Aira mengangkat bahu. Jika dia tahu, mungkin dia tidak akan bertanya. "Gue juga nggak tau ada apa di rumah selama gue sekolah. Dia kemarin emang nitip surat ke gue karena dia nggak masuk sakit. Eh, pas gue pulang dia malah kabur."Daffa meletakkan ponselnya. Punggungnya dia tegakkan dan menghadap Aira. Kepalanya menggeleng. "Nggak, pasti ini ada yang aneh. Buat apa dia kabur pas sakit dan buk
Aira sedang berjalan-jalan menuju belakang sekolah, niatnya hanya ingin mencari udara segar sebab di kelas sudah sangat pengap. Lagi pula, hari ini guru-guru sedang rapat. Aira yang bosan dengan suasana halaman belakang lantas berjalan menaiki anak tangga menuju roof top.Sampai di sana, dia bisa menghela napas panjang. Udara sungguh sejuk disertai dengan semilir angin yang berembus dan menerpa wajah serta beberapa helai rambutnya. Bibir Aira tersenyum, setidaknya keadaan yang semula tenang sebelum sebuah cekalan di lengannya membuat Aira tersentak."Lo? Ngapain ke sini? Lepasin gue nggak?!" teriak Aira ketika melihat Rehan berdiri di depannya dengan tangan yang mencekal kuat pergelangan tangannya.Tatapannya tersorot tajam dan dingin. Rahangnya mengeras sebelum Rehan membentak Aira. "Nggak akan sebelum lo minta maaf ke gue!"Aira reflek tersentak, degup jantungnya ikut berdegup kencang. "Apa-apaan, sih! Gue nggak ada salah apapun sama lo! Jangan ngarep gue bakal minta maaf, Re!""Gue
Kerap kali masalah yang menimpa hidup selalu menjengkelkan. Setiap manusia, nyatanya memang punya masalah. Tetapi, banyak dari mereka yang menghindar dari masalah itu. Padahal, semakin lama dibiarkan, masalah justru semakin banyak dan tentunya—jauh lebih menjengkelkan.Aira sangat berharap masalahnya segera berakhir, dia hanya ingin hidup tenang, tanpa beban, dan bebas dari segala ancaman. Namun, lagi-lagi semesta seolah tidak membiarkan. Masalah satu baru saja selesai, tapi masalah yang lain justru menghampiri. Sungguh, Aira selalu mempunya keinginan untuk menyerah."Daf, gue capek. Gue pengen nyerah. Boleh nggak, sih?"Pertanyaan langka yang baru pertama kali Daffa dengar dari mulut Aira setelah beberapa tahun bersahabat. Aira yang selalu tampak kuat dan semangat, kini tampak lesu dan tidak berdaya. Datang dari dapur, sudah mendapat ekspresi serta keluhan demikian. Lantas, karena tidak setuju, kepala Daffa menggeleng."Nggak, lo nggak bisa lakuin itu. Kenapa, sih? Lo jangan gampang n
"Mana mungkin!" elak Aira ketika baru saja mendengar tebakan Serin yang tidak terpikirkan oleh benaknya."Ya maaf, gue, kan, cuma nebak. Lagian, alasan apa lagi yang buat wanita itu dateng ke rumah kita dan ngaku dia ibu kandung lo?" lanjut Serin, dengan embusan napas dan mengangkat bahunya. "Mungkin aja dia modus, kan? Zaman sekarang orang udah pinter nyari uang dengan segala cara. Dan mungkin dia salah satu orangnya." Serin berkata lagi karena Aira masih diam dengan pikirannya.Sesaat, akhirnya Aira mengangguk pelan. Dia juga sudah berpikir demikian. "Itu pemikiran yang masuk akal juga, sih. Tapi yang jadi masalahnya itu, dia ke sini naik mobil, Kak. Bukannya udah jelas kalo dia orang kaya?"Serin sedikit tertegun. Dia hampir saja melupakan hal itu. "Eh, bener juga lo. Terus, gimana? Gue nggak tau apa-apa. Sebenernya gue juga nggak peduli dan nggak percaya, tapi, gue heran kenapa dia bisa tau rumah kita!""
"Pagi, Kebo!" sapa Daffa pada Aira ketika mereka berjalan beriringan di koridor. Berbeda halnya dengan Daffa yang semangat, Aira justru tampak lemas."Hem, pagi," balas Aira pelan. Nadanya sangat lesu. Hal itu tentu membuat Daffa berdecak."Yang semangat, dong! Yaelah lemes amat lo." Daffa merangkul pundak Aira agar gadis itu bersemangat. Tetapi, agaknya dia tidak berhasil sebab Aira justru pergi meninggalkannya."Woi, tungguin gue!" teriak Daffa yang lantas menyusul Aira.Sampai di samping Aira, Daffa menggerutu. "Kebo lo, kenapa main ninggalin gue, sih?""Woi?" panggil Daffa karena Aira justru diam dan tampak melamun. Dia merasa sudah berbicara sendiri sedari tadi.Daffa mendecih, karena sekali lagi panggilannya diabaikan oleh Aira. "Ra, lo kenapa?" tanyanya lagi. Kini Daffa sudah menghadang jalan Aira dan memegang kedua pundaknya. Aira reflek mengerjap. "Hah, gue? Gue kenapa?"Daffa berdecak. "Kenapa lo jadi pendiem gini? Ini bukan lo yang gue kenal biasanya."Aira menghela napas,
"Pagi, Ma!" sapa Aira ketika ketika sampai di dapur dan melihat sang mama tengah menyiapkan sarapan pagi ini."Pagi, Aira! Yuk, kita sarapan bareng," balas suci dengan seulas senyum di bibirnya saat mendapati Aira yang sudah duduk di depannya. Sungguh, dia merindukan suasana seperti ini.Aira yang baru duduk mengerutkan kening karena ada seseorang yang belum tampak di kedua netranya. "Kak Serin mana, Ma?" "Bentar lagi juga dateng. Nah, tuh, dia."Serin berjalan menuju meja makan dan duduk di samping Aira. Senyumnya tampak menggelikan sembari menatap Aira dengan godaan. "Lo kangen gue, Ra?"Aira mendelik, juga mendengkus kecil. "Mastiin aja lo masih hidup, Kak.""Warisan gue cuma buat mama kalo gue mati." Serin terbahak sekilas, mengambil piring dan sendok di meja makan. Aira mendengkus lagi, ikut melakukan hal yang sama. "Yaelah, bercanda, astaga.""Udah-udah, mending kita mulai sarapan," potong sang mama menengahi. Membuat Serin tersenyum tipis, sementara Aira menghela napas. Sekeja