Ruangan bernuansa putih itu hanya diisi oleh keheningan. Di dalam tampak sepi. Hanya suara denting jarum jam yang berputar tanpa henti. Serta merta AC yang menyala memberikan kesejukan di sekelilingnya, alih-alih, menambah suasana mencekam tengah terjadi di sana.Ada Aira menggeleng lemah, hatinya kembali sakit mengingat masa-masa kemarin. "Belum. Dari kemarin gue ke sini, sampai tadi pagi, dia belum siuman."Serin mengangguk, kemudian membuang napas sembari menyentuh sebelah pundak Aira. Berusaha menenangkan suasana hati gadis itu. "Lo tenang aja, dia pasti bakal sadar. Lo tau, kan, dia bukan cowok lemah. Gue yakin, dia pasti juga kangen liat wajah lo.""Ah, lo malah bikin gue tambah sesek, Kak." Aira mendengkus dengan senyum, meskipun matanya sempat berkaca-kaca.
"Daf, lo nggak ... gay, kan?" Aira terkekeh geli setelah memberi pertanyaan konyol itu kepada Daffa, membuat cowok itu membuang napas pelan guna menahan kekesalan. "Ra, kalo ngomong yang bener dikit, kek." "Ya, lo, sih. Nggak ada niatan buat cari cewek gitu? Lo nggak bosen jadi jomblo mulu?" "Ngapain bosen? Kan, ada lo," balas Daffa santai. Begitu mendengar jawaban yang satu ini, Aira berdecak malas, Daffa selalu saja tidak mengerti maksud dari ucapannya. "Daffa, please, deh." "Dalem, Ra. Kenapa, sih?" Sebelum menjawab, Aira berusaha bersabar dan menghela napas panjang. "Gini lho, Daf. Lo udah gede, bentar lagi mau lulus SMA, masa lo mau ngintil gue terus? Udah saatnya lo buat buka hati ke cewek lain, Daf." "Itu bukan kewajiban gue, Ra. Lagian gue juga nggak mau pacaran, lo juga tau itu, kan?" jawab Daffa, sejauh ini dirinya memang tidak mau berpacaran. "Iya gue tau, tapi maksud gue lo co
Daffa langsung melangkah masuk ketika pintu utama rumah Aira sedikit terbuka. Sudah kebiasaannya dia seperti ini, lagi pula malam ini memang dia sudah ada janji. Begitu masuk, Daffa melebarkan matanya melihat Aira membawa handuk saat meletakkan minuman ke depannya. "Buset, Ra. Lo jam segini belum mandi? Emang dasar kebo, ya." Aira yang mendengarnya lantas berdecak malas. "Diem, deh. Ini gue juga mau mandi, Daf. Lo sih, masih jam segini udah dateng, padahal lo yang bilang tadi jam delapan, kan?" dengkus Aira di akhir kalimat. Sementara Daffa mengangkat bahunya, lalu tersenyum geli. "Ya bagus lah, gue dateng lebih awal, itu artinya gue nerapin sikap disiplin di kehidupan sehari-hari, bukan di sekolah, doang." "Terserah lo, Tai. Dah, jangan ganggu gue," ketus Aira hendak berbalik, namun ucapan Daffa setelahnya membuat Aira menggeram. "Gue boleh kali ya, numpang mandi juga di rumah lo, Ra? Kagak ada siapa-siapa, kan?" tanya Daffa santai. "
"Wih, ternyata lo mau ngajak gue ke pasar malem, Daf?" ucap Aira dengan mata berbinar ketika turun dari mobil langsung mendapati keramaian. Setelah memarkirkan mobilnya di tempat yang disediakan, Daffa meraih jemari Aira untuk dia genggam, gadis itu tidak menolak, membiarkan Daffa membawanya masuk ke pasar malam itu. Senyum Aira tidak memudar sedikit pun. "Gue tau lo paling semangat kalo soal makanan, jadi gue bawa lo ke sini biar nggak bosen ke kafe mulu," jawab Daffa dengan senyum hangat. Sesekali dia menoleh, menatap binar bahagia yang masih terpancar di wajah ayu Aira. "Ini sih, keren pisan. Daffa, lo bener-bener tau banget sih, kesukaan gue," puji Aira. Kentara jelas dia memang senang malam ini. Langkah Daffa terhenti, di tengah keramaian dia menatap wajah Aira yang kini menoleh bingung. "Emang apa yang nggak gue tau tentang lo, Ra?" Aira tampak berpikir lama, kemudian beberapa saat dia terkekeh geli. "Hati gue, jiakhhh!"
"Aira, papa mau kamu mencontoh sifat Serin mulai sekarang. Dan kalo dia menegur kamu, jangan marah karena itu memang perintah dari papa."Andi, sang papa duduk di kursi menatapnya lekat. Seolah perintah yang tidak bisa dibantah, Andi membuang napas panjang ketika mendengar jawaban Aira setelahnya. Selalu saja anak tirinya enggan melakukan apa dia perintahkan, membuat Andi mendecih sedetik kemudian."Pa, bisa nggak sih, jangan berusaha samain Aira dan Serin? Kita punya kriteria masing-masing, Pa. Setiap orang punya sifat beda-beda, papa jangan bandingin aku dengan Serin, dong. Itu sama aja papa nggak mau nerima Aira apa adanya.""Papa tidak membandingkan, papa hanya mau kamu meniru sifat baik Serin. Kita keluarga berkelas, Aira. Papa tidak mau keluarga kita dikenal memiliki sifat dan sikap yang buruk."Televisi menyala menayangkan sebuah berita tanah air, dominan tentang artis dan dunia entertainment. Aira lebih suka menontonnya dari pada harus mendengar c
"Pagi, Kebo!" sapa Daffa menjajarkan langkahnya di samping Aira. Gadis itu tidak menoleh dan hanya berdecak seperti biasanya. "Wih, tumben lo jam segini udah dateng, kerasukan apa lo, Daf?" tanya Aira, cukup heran karena baru kali ini Daffa berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali. Daffa merangkul pundak Aira lalu terkekeh kecil. "Kerasukan lo kali." "Sak karepmu lah, Daf. Diajak serius malah bercanda mulu." Aira sekali lagi berdecak, kebiasaannya berdekatan dengan Daffa membuat bibirnya tidak lepas untuk berdecak guna menahan kekesalan. Langkahnya menuju kelas, sampai di depan pintu Daffa berucap yang membuat langkah air terhenti sejenak. "Emang lo mau gue seriusin?" Daffa mengangkat sebelah alisnya, raut yang menurut Aira sangat menyebalkan. Dia mendengkus, sebelum kembali melangkah Aira melepaskan tangan Daffa dari pundaknya. "Terserah, Daf. Gue capek ngomong sama lo." "Ya udah, kita ke KUA sekarang kalo lo
Sepulang sekolah, Aira dan Daffa langsung bergegas ke tempat biasanya mereka melaksanakan sholat ashar. Memang masih sekitar jam tiga setengah empatan, tetapi mereka memilih untuk sholat di waktu awal sebab jika sudah menjelang waktunya habis, pasti akan malas bahkan sekadar mengambil air wudhu pun.Kini, Aira berada di boncengan motor Daffa, sementara cowok itu terus mengebut takut jika ketinggalan jamaah, ketika sampai di perempatan justru mendapat lampu merah dan seketika itu membuat Aira menggeram kesal."Daffa cepet! Keburu iqomah nanti!""Ck, iya-iya sabar kenapa, sih? Tuh, lo nggak liat masih lampu merah?" Daffa ikut gegabah melihat kekesalan Aira. Gadis itu memang ingin sekali mengikuti jamaah setiap sholat."Argh! Lo sih, harusnya tadi lo ngebut biar dapet ijo," gerutu Aira memukul punggung Daffa, semenit kemudian lampu sudah berubah hijau. Daffa buru-buru melajukan mobilnya."Tuh, udah ijo. Jangan marah-marah, entar kalo telat, kan, bisa
Warung makan di pinggir jalan yang berada di dekat dengan taman itu menjadi tempat favorit Aira dan Daffa untuk makan siang. Sejujurnya jika mau makan dia restoran mereka pun sanggup, tapi karena Aira yang lebih suka makan di sana, alhasil Daffa pun tidak memaksa.Dua porsi nasi padang tersaji nikmat di depan mereka. Aira yang sudah tidak sabar segera menyantapnya setelah mencuci tangannya karena dia tidak makan memakai sendok. Daffa tersenyum melihat itu, tetapi tiba-tiba pandangannya teralihkan pada seseorang yang tengah makan di restoran seberang jalan."Ra, itu si Serin bukan?" tanya Daffa, Aira yang baru menelan nasinya spontan ikut menatap. Sedetik kemudian dia hanya mengangguk pelan dengan senyum tipis."Emang keluarga bahagia ya, Daf. Gue jadi kangen sama papa, dulu pas dia masih ada, sering banget ngajak gue makan bareng sama mama," balas Aira melanjutkan kembali aktifitas makannya."Gue tau yang lo rasain, Ra. Tapi gue salut karena lo udah mampu
Ruangan bernuansa putih itu hanya diisi oleh keheningan. Di dalam tampak sepi. Hanya suara denting jarum jam yang berputar tanpa henti. Serta merta AC yang menyala memberikan kesejukan di sekelilingnya, alih-alih, menambah suasana mencekam tengah terjadi di sana.Ada Aira menggeleng lemah, hatinya kembali sakit mengingat masa-masa kemarin. "Belum. Dari kemarin gue ke sini, sampai tadi pagi, dia belum siuman."Serin mengangguk, kemudian membuang napas sembari menyentuh sebelah pundak Aira. Berusaha menenangkan suasana hati gadis itu. "Lo tenang aja, dia pasti bakal sadar. Lo tau, kan, dia bukan cowok lemah. Gue yakin, dia pasti juga kangen liat wajah lo.""Ah, lo malah bikin gue tambah sesek, Kak." Aira mendengkus dengan senyum, meskipun matanya sempat berkaca-kaca.
Degup jantung Aira berdetak lebih kencang dari biasanya, langkah kakinya berlari cepat setelah membuka pintu rumah sakit. Tangis mengharu, bibir Aira terisak bahkan saat baru saja sampai—di depan pintu berwarna coklat itu. Kepalanya menunduk, tubuhnya ikut meluruh di depan pintu."Kenapa harus lo, sih, Daf? Kenapa harus hari ini? Bukannya lo udah bilang mau ngelamar gue, Daf?" yang beda."Isak tangis Aira semakin pecah, air mata tidak enggan berhenti. Sesak semakin pula menekan dadanya. Aria tidak menyangka. Semuanya terjadi begitu saja—seolah takdirnya sekejam itu untuk bisa menerima semuanya. Aira tidak pernah mengakui dirinya lemah, tapi tidak untuk dari balik kaca dengan tatapan khawatir. Sekaligus merasa bersalah. Padahal nyatanya, dia cukup kesal."Ah, sial. Kenapa dia bikin gue kesel, sih? Harusnya dia bilang ke gue kalo mau jemput!"Aira berdecak, mendengkus, meski dengan Aira mata yang masih meluruh. Aira memutuskan untuk duduk di kursi penunggu dan berdoa untuk keselamatan Da
Pagi ini menjadi pagi yang paling Aira tunggu. Seperti janji Daffa kemarin yang mengatakan ingin ke rumah untuk melamarnya. Sungguh, Aira berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, tetapi tetap saja kemarin malam dia tidak bisa tidur. Bayang-bayang wajah Daffa yang tersenyum memenuhi isi kepalanya—bahkan sampai pagi ini.Aira reflek menepuk kepalanya sendiri. "Udah gila lo, Ra. Bener-bener gila."Seragam hari ini sesuai jadwal sudah dia kenakan dan sempurna melekat di tubuhnya. Aira sesaat menatap pantulan dirinya di cermin sebelum mengulas senyum dan memutuskan untuk segera keluar dari kamar. Menuruni anak tangga dengan raut sumringah. Sangat kentara jika Aira sudah tidak sabar menantikan malam nanti."Duh, padahal masih nanti malem, kok, gue sekarang udah deg-degan, ya?" batin Aira sembari memegang dadanya yang sudah memanas. Degup jantungnya berdetak kencang.Aira menggeleng, tersenyum geli. "Otak gue nggak bener, nih."Akhirnya karena tidak mau terlambat sekolah, Aira langsun
"Daf," panggil Aira dengan nada pelan dan malas. Seolah tak bertenaga padahal di depannya sudah ada beberapa makanan serta minuman penghilang dahaga."Heum? Kenapa? Lo laper?" balas Daffa ngawur. Padahal sudah jelas-jelas Aira selesai makan. Dan di atas meja sudah tersaji beberapa camilan untuk gadis itu dan dirinya sendiri.Aira berdecak, menghela napas panjang. "Gue butuh semangat buat balikin mood. Gue makin stres karena Serin nggak pulang dari kemarin."Pergerakan jemari Daffa yang semula mengetik sesuatu di ponsel, spontan terhenti kala mendengar berita itu. "Why? Kok bisa? Gimana ceritanya?"Aira mengangkat bahu. Jika dia tahu, mungkin dia tidak akan bertanya. "Gue juga nggak tau ada apa di rumah selama gue sekolah. Dia kemarin emang nitip surat ke gue karena dia nggak masuk sakit. Eh, pas gue pulang dia malah kabur."Daffa meletakkan ponselnya. Punggungnya dia tegakkan dan menghadap Aira. Kepalanya menggeleng. "Nggak, pasti ini ada yang aneh. Buat apa dia kabur pas sakit dan buk
Aira sedang berjalan-jalan menuju belakang sekolah, niatnya hanya ingin mencari udara segar sebab di kelas sudah sangat pengap. Lagi pula, hari ini guru-guru sedang rapat. Aira yang bosan dengan suasana halaman belakang lantas berjalan menaiki anak tangga menuju roof top.Sampai di sana, dia bisa menghela napas panjang. Udara sungguh sejuk disertai dengan semilir angin yang berembus dan menerpa wajah serta beberapa helai rambutnya. Bibir Aira tersenyum, setidaknya keadaan yang semula tenang sebelum sebuah cekalan di lengannya membuat Aira tersentak."Lo? Ngapain ke sini? Lepasin gue nggak?!" teriak Aira ketika melihat Rehan berdiri di depannya dengan tangan yang mencekal kuat pergelangan tangannya.Tatapannya tersorot tajam dan dingin. Rahangnya mengeras sebelum Rehan membentak Aira. "Nggak akan sebelum lo minta maaf ke gue!"Aira reflek tersentak, degup jantungnya ikut berdegup kencang. "Apa-apaan, sih! Gue nggak ada salah apapun sama lo! Jangan ngarep gue bakal minta maaf, Re!""Gue
Kerap kali masalah yang menimpa hidup selalu menjengkelkan. Setiap manusia, nyatanya memang punya masalah. Tetapi, banyak dari mereka yang menghindar dari masalah itu. Padahal, semakin lama dibiarkan, masalah justru semakin banyak dan tentunya—jauh lebih menjengkelkan.Aira sangat berharap masalahnya segera berakhir, dia hanya ingin hidup tenang, tanpa beban, dan bebas dari segala ancaman. Namun, lagi-lagi semesta seolah tidak membiarkan. Masalah satu baru saja selesai, tapi masalah yang lain justru menghampiri. Sungguh, Aira selalu mempunya keinginan untuk menyerah."Daf, gue capek. Gue pengen nyerah. Boleh nggak, sih?"Pertanyaan langka yang baru pertama kali Daffa dengar dari mulut Aira setelah beberapa tahun bersahabat. Aira yang selalu tampak kuat dan semangat, kini tampak lesu dan tidak berdaya. Datang dari dapur, sudah mendapat ekspresi serta keluhan demikian. Lantas, karena tidak setuju, kepala Daffa menggeleng."Nggak, lo nggak bisa lakuin itu. Kenapa, sih? Lo jangan gampang n
"Mana mungkin!" elak Aira ketika baru saja mendengar tebakan Serin yang tidak terpikirkan oleh benaknya."Ya maaf, gue, kan, cuma nebak. Lagian, alasan apa lagi yang buat wanita itu dateng ke rumah kita dan ngaku dia ibu kandung lo?" lanjut Serin, dengan embusan napas dan mengangkat bahunya. "Mungkin aja dia modus, kan? Zaman sekarang orang udah pinter nyari uang dengan segala cara. Dan mungkin dia salah satu orangnya." Serin berkata lagi karena Aira masih diam dengan pikirannya.Sesaat, akhirnya Aira mengangguk pelan. Dia juga sudah berpikir demikian. "Itu pemikiran yang masuk akal juga, sih. Tapi yang jadi masalahnya itu, dia ke sini naik mobil, Kak. Bukannya udah jelas kalo dia orang kaya?"Serin sedikit tertegun. Dia hampir saja melupakan hal itu. "Eh, bener juga lo. Terus, gimana? Gue nggak tau apa-apa. Sebenernya gue juga nggak peduli dan nggak percaya, tapi, gue heran kenapa dia bisa tau rumah kita!""
"Pagi, Kebo!" sapa Daffa pada Aira ketika mereka berjalan beriringan di koridor. Berbeda halnya dengan Daffa yang semangat, Aira justru tampak lemas."Hem, pagi," balas Aira pelan. Nadanya sangat lesu. Hal itu tentu membuat Daffa berdecak."Yang semangat, dong! Yaelah lemes amat lo." Daffa merangkul pundak Aira agar gadis itu bersemangat. Tetapi, agaknya dia tidak berhasil sebab Aira justru pergi meninggalkannya."Woi, tungguin gue!" teriak Daffa yang lantas menyusul Aira.Sampai di samping Aira, Daffa menggerutu. "Kebo lo, kenapa main ninggalin gue, sih?""Woi?" panggil Daffa karena Aira justru diam dan tampak melamun. Dia merasa sudah berbicara sendiri sedari tadi.Daffa mendecih, karena sekali lagi panggilannya diabaikan oleh Aira. "Ra, lo kenapa?" tanyanya lagi. Kini Daffa sudah menghadang jalan Aira dan memegang kedua pundaknya. Aira reflek mengerjap. "Hah, gue? Gue kenapa?"Daffa berdecak. "Kenapa lo jadi pendiem gini? Ini bukan lo yang gue kenal biasanya."Aira menghela napas,
"Pagi, Ma!" sapa Aira ketika ketika sampai di dapur dan melihat sang mama tengah menyiapkan sarapan pagi ini."Pagi, Aira! Yuk, kita sarapan bareng," balas suci dengan seulas senyum di bibirnya saat mendapati Aira yang sudah duduk di depannya. Sungguh, dia merindukan suasana seperti ini.Aira yang baru duduk mengerutkan kening karena ada seseorang yang belum tampak di kedua netranya. "Kak Serin mana, Ma?" "Bentar lagi juga dateng. Nah, tuh, dia."Serin berjalan menuju meja makan dan duduk di samping Aira. Senyumnya tampak menggelikan sembari menatap Aira dengan godaan. "Lo kangen gue, Ra?"Aira mendelik, juga mendengkus kecil. "Mastiin aja lo masih hidup, Kak.""Warisan gue cuma buat mama kalo gue mati." Serin terbahak sekilas, mengambil piring dan sendok di meja makan. Aira mendengkus lagi, ikut melakukan hal yang sama. "Yaelah, bercanda, astaga.""Udah-udah, mending kita mulai sarapan," potong sang mama menengahi. Membuat Serin tersenyum tipis, sementara Aira menghela napas. Sekeja