"Wih, ternyata lo mau ngajak gue ke pasar malem, Daf?" ucap Aira dengan mata berbinar ketika turun dari mobil langsung mendapati keramaian.
Setelah memarkirkan mobilnya di tempat yang disediakan, Daffa meraih jemari Aira untuk dia genggam, gadis itu tidak menolak, membiarkan Daffa membawanya masuk ke pasar malam itu. Senyum Aira tidak memudar sedikit pun.
"Gue tau lo paling semangat kalo soal makanan, jadi gue bawa lo ke sini biar nggak bosen ke kafe mulu," jawab Daffa dengan senyum hangat. Sesekali dia menoleh, menatap binar bahagia yang masih terpancar di wajah ayu Aira.
"Ini sih, keren pisan. Daffa, lo bener-bener tau banget sih, kesukaan gue," puji Aira. Kentara jelas dia memang senang malam ini.
Langkah Daffa terhenti, di tengah keramaian dia menatap wajah Aira yang kini menoleh bingung. "Emang apa yang nggak gue tau tentang lo, Ra?"
Aira tampak berpikir lama, kemudian beberapa saat dia terkekeh geli. "Hati gue, jiakhhh!"
Daffa terdiam sebentar, Aira mungkin benar, dia memang tahu semuanya, tapi tidak dengan hati. Meskipun jeda sejenak menghampiri sementara Aira tertawa lalu terhenti, Daffa menyadari jika malam ini adalah waktunya happy.
"Dasar Kebo, mau beli apa? Mau naik apa? Gue bayarin semuanya, dah."
Daffa tersenyum di akhir kalimat, setelah menarik hidung Aira hingga membuat gadis itu meringis, Daffa melanjutkan langkahnya kembali. Dia enggan membahas lebih dengan jawaban Aira, meskipun Daffa tahu, ucapan Aira tadi hanya canda belaka.
"Hah, serius lo, Daf? Demi apa, sih? Kenapa lo baik banget, buset." Raut Aira semakin bertambah senang.
"Iyalah, gue serius. Mumpung gue bosen di rumah dari pada nggak ngapa-ngapain, mending ngajak lo ke sini dan beliin semua yang lo mau. Gih, mau apa?" tawar Daffa, melihat sekeliling sekiranya jika Aira ingin membeli sesuatu nantinya.
Namun, Daffa pikir Aira akan berlari menuju salah satu penjual di sana, tetapi gadis itu justru menghentikan langkahnya dan memeluk tubuhnya erat. "Aaa! Daffa, makasih. Lo baik banget!"
"Yee, suruh beli apa malah meluk gue. Mana udah makasih lagi, orang belum beli juga, Ra."
Aira melepas pelukannya lalu menyengir. Tetapi kemudian dia malah berdecak. Bingung sendiri. "Eum, duh, gue jadi bingung, Daf. Masalahnya gue pengen semuanya."
"Yaelah, lo mau apa aja juga bakal gue beliin, Ra. Duit gue kagak bakal habis," balas Daffa sombong. Aira spontan berdecak malas menanggapinya.
"Dih, sombong amat."
"Emang kenyataannya gitu, kan?"
Aira terbahak sekilas. "Iya, sih. Enaknya gue beli apa dulu ya, Daf? Kasih saran, kek."
"Kalo gue sih, suka yang nggak berbau minyak. Jagung bakar, misalnya."
"Astaga, ide bagus! Kalo gitu gue mau jagung bakar sama, eum ... roti bakar aja, deh. Terus minumannya ...." Mata Aira mencari-cari penjual minuman, siapa tahu ada minuman kesukaannya di sana.
"Boba? Atau wedang jahe?"
"Gue nggak suka jahe, Tai! Boba ajalah, Daf. Gue nggak bisa move on dari minuman itu soalnya."
"Ck, emang mantan apa peka move on segala."
"Dih, orang gue nggak punya pacar juga."
"Dih, siapa juga yang bilang lo punya pacar," sahut Daffa tersenyum geli.
Aira mendengkus keras. "Cepetan sana beliin, Tai!"
"Iye, Sayang!"
"Daffa, Tai!"
***
Di dekat pasar malam itu ada sebuah taman mini, nuansa yang pas untuk ditempati sembari makan makanan yang dibeli dari pasar malam tadi.
Lampu-lampu yang menyala, sangat memanjakan kedua matanya. Terlebih, bukan hanya satu warna, tteapi berwarna-warni begitu indahnya.
"Di sini pemandangannya keren banget, sih. Gue sesaat kayak nggak ada beban hidup, bawaannya seneng mulu dari tadi."
Daffa menoleh, senyumnya mengembang. "Jadi, lo suka?"
"Dari dulu lo juga paling tau kesukaan gue apa. Makanya gue nggak pernah nggak suka sama ala yang lo kasih." Aira balas menoleh, mengulas senyum geli.
"Bagus, deh," jawab Daffa. Raut lega menunjukkan dia juga ikut bahagia.
"Apa? Apanya yang bagus?"
"Ck, lemot, Kebo."
Aira terkekeh pelan, melihat Daffa menatap ke depan, dia ikut melakukannya. Betapa indahnya gemerlap lampu di sana, ditambah dengan bintang-bintang di langit malam. Lalu keramaian di pasar itu membuat Aira tersenyum lagi dan menatapnya senang.
"Tapi suer, sih. Gue lebih seneng di tempat kayak gini dari pada di mall atau semacamnya."
"Gue seneng kalo lo suka. Ternyata lo nggak berubah dari dulu, Ra. Lo yang tetep sederhana walau semua orang juga tahu keadaan keluarga lo kayak gimana."
Daffa masih dengan senyumannya, sifat sederhana Aira yang membuatnya menyukai gadis itu. Dia kaya, Aira anak orang berada, tetapi tidak pernah satu kali pun Daffa melihat kejijikan dari raut Aira ketika dia ajak ke tempat sederhana, bahkan sampai lingkungan kumuh pun.
"Semua cuma titipan, Daf. Nggak ada gunanya juga gue foya-foya, toh, kalo gue mati pun, cuma amal yang bisa gue bawa buat bekal. Harta mah, nggak gunanya di akhirat nanti." Benar, hal itu yang membuat Aira enggan menggila pada dunia.
"Jujur aja, gue dari dulu salut sama lo, Ra. Gue merasa beruntung bisa punya sahabat kayak lo, ya, walau agak gila sedikit, sih."
Mendengar kalimat menyebalkan Daffa di akhir, Aira mendengkus geli. "Yee, Tai. Gue udah mau terbang juga, malah lo jatuhin lagi. Ngeselin, sumpah."
"Udah, itu diabisin rotinya, biar badan lo nggak kerempeng mulu," balas Daffa terkekeh pelan sembari merangkul kedua bahu Aira.
"Bisa nggak sih, Daf. Bilangnya dengan kata yang lebih bagus? Lo pikir gue apaan?" sahut Aira sebelum melahap habis roti di tangannya.
"Lo? Cewek lah, ya, kali lo cowok."
"Halah, mbohlah, Daf. Dari dulu lo emang hobi banget bikin gue kesel."
"Ya kan, lo Kebo, Ra," ejek Daffa terbahak dan kebiasaannya yang menarik hidung Aira gemas. Si pemilik mendengkus, kemudian tertawa.
"Oh, jadi dia yang buat kamu pergi malem-malem nggak izin sama orang tua? Beraninya kamu memengaruhi anak saya."
Namun, keseruan dua remaja bersahabat itu seketika terhenti saat sebuah suara terdengar berat mendekat. Lalu, sedetik kemudian Aira dan Daffa spontan menoleh. Mata mereka sesaat melebar, terkejut.
"Papa? Ngapain di sini? Pasti Serin yang bilang, kan?" Aira dan Daffa langsung berdiri, alis Aira menaut kesal menatap sang papa.
"Papa justru senang dia jujur, bukan seperti kamu yang hobinya membohongi papa. Pasti gara-gara cowok ini, kan, penyebabnya?" Andi, sang papa menarik lengan Aira dengan kadar dan tatapannya yang marah.
"Tenang, Om. Kita ke sini cuma jalan-jalan dan saya nggak ada niatan buruk ke Aira, Om." Daffa berusaha menengahi, meraih jemari tangan Aira dengan pelan dan sekilas menatapnya khawatir.
Sementara Aira mengangguk cepat, menyetujui ucapan Daffa yang memang benar. "Iya, Pa. Yang dia omongin bener, lagian Aira juga males di rumah mulu, bosen, Pa. Aira stress, butuh refreshing."
"Jangan membohongi saya lagi, Aira. Dan kamu, jangan coba-coba memengaruhi anak saya, ya! Ini sudah malam, dan kamu seorang cowok justru mengajaknya ke tempat seperti ini. Kamu harus punya modal kalau mau mengencani anak saya!" sentak Andi dengan menggeram, dia menepis tangan Daffa dari tangan Aira dan menatapnya tajam.
"Pa! Ini Aira yang setuju, kok. Jangan marahin dia juga, dong. Dan papa harus tau, dia itu sahabat kecil Aira. Dia nggak kayak cowok-cowok di luar sana, Pa."
"Jangan menyela pembicaraan saya."
"Aira, papa mau kamu mencontoh sifat Serin mulai sekarang. Dan kalo dia menegur kamu, jangan marah karena itu memang perintah dari papa."Andi, sang papa duduk di kursi menatapnya lekat. Seolah perintah yang tidak bisa dibantah, Andi membuang napas panjang ketika mendengar jawaban Aira setelahnya. Selalu saja anak tirinya enggan melakukan apa dia perintahkan, membuat Andi mendecih sedetik kemudian."Pa, bisa nggak sih, jangan berusaha samain Aira dan Serin? Kita punya kriteria masing-masing, Pa. Setiap orang punya sifat beda-beda, papa jangan bandingin aku dengan Serin, dong. Itu sama aja papa nggak mau nerima Aira apa adanya.""Papa tidak membandingkan, papa hanya mau kamu meniru sifat baik Serin. Kita keluarga berkelas, Aira. Papa tidak mau keluarga kita dikenal memiliki sifat dan sikap yang buruk."Televisi menyala menayangkan sebuah berita tanah air, dominan tentang artis dan dunia entertainment. Aira lebih suka menontonnya dari pada harus mendengar c
"Pagi, Kebo!" sapa Daffa menjajarkan langkahnya di samping Aira. Gadis itu tidak menoleh dan hanya berdecak seperti biasanya. "Wih, tumben lo jam segini udah dateng, kerasukan apa lo, Daf?" tanya Aira, cukup heran karena baru kali ini Daffa berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali. Daffa merangkul pundak Aira lalu terkekeh kecil. "Kerasukan lo kali." "Sak karepmu lah, Daf. Diajak serius malah bercanda mulu." Aira sekali lagi berdecak, kebiasaannya berdekatan dengan Daffa membuat bibirnya tidak lepas untuk berdecak guna menahan kekesalan. Langkahnya menuju kelas, sampai di depan pintu Daffa berucap yang membuat langkah air terhenti sejenak. "Emang lo mau gue seriusin?" Daffa mengangkat sebelah alisnya, raut yang menurut Aira sangat menyebalkan. Dia mendengkus, sebelum kembali melangkah Aira melepaskan tangan Daffa dari pundaknya. "Terserah, Daf. Gue capek ngomong sama lo." "Ya udah, kita ke KUA sekarang kalo lo
Sepulang sekolah, Aira dan Daffa langsung bergegas ke tempat biasanya mereka melaksanakan sholat ashar. Memang masih sekitar jam tiga setengah empatan, tetapi mereka memilih untuk sholat di waktu awal sebab jika sudah menjelang waktunya habis, pasti akan malas bahkan sekadar mengambil air wudhu pun.Kini, Aira berada di boncengan motor Daffa, sementara cowok itu terus mengebut takut jika ketinggalan jamaah, ketika sampai di perempatan justru mendapat lampu merah dan seketika itu membuat Aira menggeram kesal."Daffa cepet! Keburu iqomah nanti!""Ck, iya-iya sabar kenapa, sih? Tuh, lo nggak liat masih lampu merah?" Daffa ikut gegabah melihat kekesalan Aira. Gadis itu memang ingin sekali mengikuti jamaah setiap sholat."Argh! Lo sih, harusnya tadi lo ngebut biar dapet ijo," gerutu Aira memukul punggung Daffa, semenit kemudian lampu sudah berubah hijau. Daffa buru-buru melajukan mobilnya."Tuh, udah ijo. Jangan marah-marah, entar kalo telat, kan, bisa
Warung makan di pinggir jalan yang berada di dekat dengan taman itu menjadi tempat favorit Aira dan Daffa untuk makan siang. Sejujurnya jika mau makan dia restoran mereka pun sanggup, tapi karena Aira yang lebih suka makan di sana, alhasil Daffa pun tidak memaksa.Dua porsi nasi padang tersaji nikmat di depan mereka. Aira yang sudah tidak sabar segera menyantapnya setelah mencuci tangannya karena dia tidak makan memakai sendok. Daffa tersenyum melihat itu, tetapi tiba-tiba pandangannya teralihkan pada seseorang yang tengah makan di restoran seberang jalan."Ra, itu si Serin bukan?" tanya Daffa, Aira yang baru menelan nasinya spontan ikut menatap. Sedetik kemudian dia hanya mengangguk pelan dengan senyum tipis."Emang keluarga bahagia ya, Daf. Gue jadi kangen sama papa, dulu pas dia masih ada, sering banget ngajak gue makan bareng sama mama," balas Aira melanjutkan kembali aktifitas makannya."Gue tau yang lo rasain, Ra. Tapi gue salut karena lo udah mampu
Setelah melihat Daffa melajukan motornya, Aira melangkah masuk ke dalam rumsh. Begitu dia menarik gagang pintu, lalu menutupnya, Aira tersentak ketika mendapati Serin yang sudah berada di depannya dengan bersedekap dada."Sok alim banget lo," sindir Serin melirik Aira dengan tatapan sinis."Lo yang Islam KTP, " jawab Aira santai. Lagi pula selama ini dia memang belum pernah melihat Serin melaksanakan sholat di rumahnya.Sementara Serin justru tertawa geli. "Ngomongin agama kayak lo udah nggak punya dosa aja, jangan ngelawak, Ra.""Dari pada lo, udah tau dosa, nggak mau tobat. Sholat aja nggak." Aira balas tertawa, kenyataannya memang begitu benar adanya."Urus aja hidup lo, nggak usah bawa-bawa sholat di depan gue," geram Serin tersulit emosi. Padahal niatnya tadi menghadang Aria karena ingin mengadukan gadis ke sang papa karena pulang cukup malam."Gue tau lo emang pinter, tapi seenggaknya jangan sampe lo lupain agama. Gue cuma
Andaikan, semuanya bisa diputar kembali. Segala penyesalan mungkin bisa teratasi dan luka bisa terobati. Setidaknya jika perandaian itu ada, Aira sangat menginginkan sang papa kembali bersama di sampingnya. Satu keluarga, tertawa bersama."Ngapain masih di sini? Nggak pulang?"Ketika keluar dari masjid, Daffa mengerutkan kening saat melihat Aira masih duduk di teras. Sendirian, sementara orang-orang yang selesai jamaah sholat isya bergegas pulang. Daffa membuang napas, sebelum mengambil duduk di samping Aira."Kesel gue di rumah, boleh nggak sih, gue nginep di rumah lo?" Aira tidak menoleh, tapi berucap dengan ketus. Pandangannya tidak luput dari langit malam di atas sana."Jangan gegabah dulu, dong. Emang ada masalah apa, sih?" tanya Daffa lembut dengan tangannya yang dia gunakan untuk merangkul kedua pundak Aira."Papa mau gue jauhin lo."Yang awalnya jemari Daffa sembari mengusap menenangkan, tetapi pergerakan jemarinya itu spontan
"Pagi, Aira?"Aira spontan menoleh mendengar seseorang yang memanggil namanya. Begitu menoleh, ternyata orang itu ialah Rehan. Cowok yang akhir-akhir ini selalu muncul di depannya. Entah karena apa, Aira sejujurnya cukup risih melihatnya."Eh, pagi juga, Re. Udah lama dateng?" jawab Aira dengan senyum sehangat mungkin."Baru aja, Ra. Lo berangkat bareng Daffa?" Rehan ikut berjalan di samping Aira, beriringan melewati koridor kelas yang masih tampak sepi.Aira mengangguk mantap. "Udah jadi rutinitas, Re. Gue nggak bakal mau sekolah kalo Daffa nggak jemput gue.""Oh, gitu, ya. Em, siang nanti lo ada waktu nggak, Ra?""Belum tau, nih, Re. Emang ada apa? Tapi gue nggak jamin kalo bisa, sih," jawab Aira tidak yakin. Dia memang berusaha untuk menolak ajakan cowok itu.Rehan mengerutkan keningnya. "Kenapa? Karena Daffa ngelarang lo? Dan, lo mau nurutin dia?""Bukan, bukan karena itu. Udah lupain aja, lo emang mau ngajak gu
"Muka lo kenapa jelek amat, sih, Ra?" tanya Daffa melihat raut sendu di wajah Aira."Tai, bukannya ngehibur, malah bikin gue tambah kesel aja lo," ketus Aira lalu memalingkan wajahnya melihat pohon besar di depan sana. Enggan menatap Daffa di sampingnya."Ya udah, kenapa tumben muka lo ketekuk gini? Ada masalah apa lagi, hem?" tanya Daffa lembut, setelah menyadari mood Aira tengah buruk, Daffa memilih mengalah.Aira menghela napas sebelum mengembuskannya perlahan. "Kayaknya bentar lagi gue bakal dapet masalah yang lebih berat dari ini, Daf.""Masalah yang ini aja gue nggak tau, Ra. Ada apa, sih, sebenernya?" Kening Daffa mengerut, pertanda jika dia sedang bingung."Setelah kemarin papa, tadi si Rehan sama Serin. Kira-kira gue bakal kuat nggak ya, ke depannya nanti?""Rehan? Ngapain itu bocah? Dan Serin, buat ulah apa lagi sama lo?" tanya Daffa nertubi-tubi, tangannya bahkan menyentuh kedua pundak Aira dan menatapnya khawatir.Aira bal
Ruangan bernuansa putih itu hanya diisi oleh keheningan. Di dalam tampak sepi. Hanya suara denting jarum jam yang berputar tanpa henti. Serta merta AC yang menyala memberikan kesejukan di sekelilingnya, alih-alih, menambah suasana mencekam tengah terjadi di sana.Ada Aira menggeleng lemah, hatinya kembali sakit mengingat masa-masa kemarin. "Belum. Dari kemarin gue ke sini, sampai tadi pagi, dia belum siuman."Serin mengangguk, kemudian membuang napas sembari menyentuh sebelah pundak Aira. Berusaha menenangkan suasana hati gadis itu. "Lo tenang aja, dia pasti bakal sadar. Lo tau, kan, dia bukan cowok lemah. Gue yakin, dia pasti juga kangen liat wajah lo.""Ah, lo malah bikin gue tambah sesek, Kak." Aira mendengkus dengan senyum, meskipun matanya sempat berkaca-kaca.
Degup jantung Aira berdetak lebih kencang dari biasanya, langkah kakinya berlari cepat setelah membuka pintu rumah sakit. Tangis mengharu, bibir Aira terisak bahkan saat baru saja sampai—di depan pintu berwarna coklat itu. Kepalanya menunduk, tubuhnya ikut meluruh di depan pintu."Kenapa harus lo, sih, Daf? Kenapa harus hari ini? Bukannya lo udah bilang mau ngelamar gue, Daf?" yang beda."Isak tangis Aira semakin pecah, air mata tidak enggan berhenti. Sesak semakin pula menekan dadanya. Aria tidak menyangka. Semuanya terjadi begitu saja—seolah takdirnya sekejam itu untuk bisa menerima semuanya. Aira tidak pernah mengakui dirinya lemah, tapi tidak untuk dari balik kaca dengan tatapan khawatir. Sekaligus merasa bersalah. Padahal nyatanya, dia cukup kesal."Ah, sial. Kenapa dia bikin gue kesel, sih? Harusnya dia bilang ke gue kalo mau jemput!"Aira berdecak, mendengkus, meski dengan Aira mata yang masih meluruh. Aira memutuskan untuk duduk di kursi penunggu dan berdoa untuk keselamatan Da
Pagi ini menjadi pagi yang paling Aira tunggu. Seperti janji Daffa kemarin yang mengatakan ingin ke rumah untuk melamarnya. Sungguh, Aira berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, tetapi tetap saja kemarin malam dia tidak bisa tidur. Bayang-bayang wajah Daffa yang tersenyum memenuhi isi kepalanya—bahkan sampai pagi ini.Aira reflek menepuk kepalanya sendiri. "Udah gila lo, Ra. Bener-bener gila."Seragam hari ini sesuai jadwal sudah dia kenakan dan sempurna melekat di tubuhnya. Aira sesaat menatap pantulan dirinya di cermin sebelum mengulas senyum dan memutuskan untuk segera keluar dari kamar. Menuruni anak tangga dengan raut sumringah. Sangat kentara jika Aira sudah tidak sabar menantikan malam nanti."Duh, padahal masih nanti malem, kok, gue sekarang udah deg-degan, ya?" batin Aira sembari memegang dadanya yang sudah memanas. Degup jantungnya berdetak kencang.Aira menggeleng, tersenyum geli. "Otak gue nggak bener, nih."Akhirnya karena tidak mau terlambat sekolah, Aira langsun
"Daf," panggil Aira dengan nada pelan dan malas. Seolah tak bertenaga padahal di depannya sudah ada beberapa makanan serta minuman penghilang dahaga."Heum? Kenapa? Lo laper?" balas Daffa ngawur. Padahal sudah jelas-jelas Aira selesai makan. Dan di atas meja sudah tersaji beberapa camilan untuk gadis itu dan dirinya sendiri.Aira berdecak, menghela napas panjang. "Gue butuh semangat buat balikin mood. Gue makin stres karena Serin nggak pulang dari kemarin."Pergerakan jemari Daffa yang semula mengetik sesuatu di ponsel, spontan terhenti kala mendengar berita itu. "Why? Kok bisa? Gimana ceritanya?"Aira mengangkat bahu. Jika dia tahu, mungkin dia tidak akan bertanya. "Gue juga nggak tau ada apa di rumah selama gue sekolah. Dia kemarin emang nitip surat ke gue karena dia nggak masuk sakit. Eh, pas gue pulang dia malah kabur."Daffa meletakkan ponselnya. Punggungnya dia tegakkan dan menghadap Aira. Kepalanya menggeleng. "Nggak, pasti ini ada yang aneh. Buat apa dia kabur pas sakit dan buk
Aira sedang berjalan-jalan menuju belakang sekolah, niatnya hanya ingin mencari udara segar sebab di kelas sudah sangat pengap. Lagi pula, hari ini guru-guru sedang rapat. Aira yang bosan dengan suasana halaman belakang lantas berjalan menaiki anak tangga menuju roof top.Sampai di sana, dia bisa menghela napas panjang. Udara sungguh sejuk disertai dengan semilir angin yang berembus dan menerpa wajah serta beberapa helai rambutnya. Bibir Aira tersenyum, setidaknya keadaan yang semula tenang sebelum sebuah cekalan di lengannya membuat Aira tersentak."Lo? Ngapain ke sini? Lepasin gue nggak?!" teriak Aira ketika melihat Rehan berdiri di depannya dengan tangan yang mencekal kuat pergelangan tangannya.Tatapannya tersorot tajam dan dingin. Rahangnya mengeras sebelum Rehan membentak Aira. "Nggak akan sebelum lo minta maaf ke gue!"Aira reflek tersentak, degup jantungnya ikut berdegup kencang. "Apa-apaan, sih! Gue nggak ada salah apapun sama lo! Jangan ngarep gue bakal minta maaf, Re!""Gue
Kerap kali masalah yang menimpa hidup selalu menjengkelkan. Setiap manusia, nyatanya memang punya masalah. Tetapi, banyak dari mereka yang menghindar dari masalah itu. Padahal, semakin lama dibiarkan, masalah justru semakin banyak dan tentunya—jauh lebih menjengkelkan.Aira sangat berharap masalahnya segera berakhir, dia hanya ingin hidup tenang, tanpa beban, dan bebas dari segala ancaman. Namun, lagi-lagi semesta seolah tidak membiarkan. Masalah satu baru saja selesai, tapi masalah yang lain justru menghampiri. Sungguh, Aira selalu mempunya keinginan untuk menyerah."Daf, gue capek. Gue pengen nyerah. Boleh nggak, sih?"Pertanyaan langka yang baru pertama kali Daffa dengar dari mulut Aira setelah beberapa tahun bersahabat. Aira yang selalu tampak kuat dan semangat, kini tampak lesu dan tidak berdaya. Datang dari dapur, sudah mendapat ekspresi serta keluhan demikian. Lantas, karena tidak setuju, kepala Daffa menggeleng."Nggak, lo nggak bisa lakuin itu. Kenapa, sih? Lo jangan gampang n
"Mana mungkin!" elak Aira ketika baru saja mendengar tebakan Serin yang tidak terpikirkan oleh benaknya."Ya maaf, gue, kan, cuma nebak. Lagian, alasan apa lagi yang buat wanita itu dateng ke rumah kita dan ngaku dia ibu kandung lo?" lanjut Serin, dengan embusan napas dan mengangkat bahunya. "Mungkin aja dia modus, kan? Zaman sekarang orang udah pinter nyari uang dengan segala cara. Dan mungkin dia salah satu orangnya." Serin berkata lagi karena Aira masih diam dengan pikirannya.Sesaat, akhirnya Aira mengangguk pelan. Dia juga sudah berpikir demikian. "Itu pemikiran yang masuk akal juga, sih. Tapi yang jadi masalahnya itu, dia ke sini naik mobil, Kak. Bukannya udah jelas kalo dia orang kaya?"Serin sedikit tertegun. Dia hampir saja melupakan hal itu. "Eh, bener juga lo. Terus, gimana? Gue nggak tau apa-apa. Sebenernya gue juga nggak peduli dan nggak percaya, tapi, gue heran kenapa dia bisa tau rumah kita!""
"Pagi, Kebo!" sapa Daffa pada Aira ketika mereka berjalan beriringan di koridor. Berbeda halnya dengan Daffa yang semangat, Aira justru tampak lemas."Hem, pagi," balas Aira pelan. Nadanya sangat lesu. Hal itu tentu membuat Daffa berdecak."Yang semangat, dong! Yaelah lemes amat lo." Daffa merangkul pundak Aira agar gadis itu bersemangat. Tetapi, agaknya dia tidak berhasil sebab Aira justru pergi meninggalkannya."Woi, tungguin gue!" teriak Daffa yang lantas menyusul Aira.Sampai di samping Aira, Daffa menggerutu. "Kebo lo, kenapa main ninggalin gue, sih?""Woi?" panggil Daffa karena Aira justru diam dan tampak melamun. Dia merasa sudah berbicara sendiri sedari tadi.Daffa mendecih, karena sekali lagi panggilannya diabaikan oleh Aira. "Ra, lo kenapa?" tanyanya lagi. Kini Daffa sudah menghadang jalan Aira dan memegang kedua pundaknya. Aira reflek mengerjap. "Hah, gue? Gue kenapa?"Daffa berdecak. "Kenapa lo jadi pendiem gini? Ini bukan lo yang gue kenal biasanya."Aira menghela napas,
"Pagi, Ma!" sapa Aira ketika ketika sampai di dapur dan melihat sang mama tengah menyiapkan sarapan pagi ini."Pagi, Aira! Yuk, kita sarapan bareng," balas suci dengan seulas senyum di bibirnya saat mendapati Aira yang sudah duduk di depannya. Sungguh, dia merindukan suasana seperti ini.Aira yang baru duduk mengerutkan kening karena ada seseorang yang belum tampak di kedua netranya. "Kak Serin mana, Ma?" "Bentar lagi juga dateng. Nah, tuh, dia."Serin berjalan menuju meja makan dan duduk di samping Aira. Senyumnya tampak menggelikan sembari menatap Aira dengan godaan. "Lo kangen gue, Ra?"Aira mendelik, juga mendengkus kecil. "Mastiin aja lo masih hidup, Kak.""Warisan gue cuma buat mama kalo gue mati." Serin terbahak sekilas, mengambil piring dan sendok di meja makan. Aira mendengkus lagi, ikut melakukan hal yang sama. "Yaelah, bercanda, astaga.""Udah-udah, mending kita mulai sarapan," potong sang mama menengahi. Membuat Serin tersenyum tipis, sementara Aira menghela napas. Sekeja