Warung makan di pinggir jalan yang berada di dekat dengan taman itu menjadi tempat favorit Aira dan Daffa untuk makan siang. Sejujurnya jika mau makan dia restoran mereka pun sanggup, tapi karena Aira yang lebih suka makan di sana, alhasil Daffa pun tidak memaksa.
Dua porsi nasi padang tersaji nikmat di depan mereka. Aira yang sudah tidak sabar segera menyantapnya setelah mencuci tangannya karena dia tidak makan memakai sendok. Daffa tersenyum melihat itu, tetapi tiba-tiba pandangannya teralihkan pada seseorang yang tengah makan di restoran seberang jalan.
"Ra, itu si Serin bukan?" tanya Daffa, Aira yang baru menelan nasinya spontan ikut menatap. Sedetik kemudian dia hanya mengangguk pelan dengan senyum tipis.
"Emang keluarga bahagia ya, Daf. Gue jadi kangen sama papa, dulu pas dia masih ada, sering banget ngajak gue makan bareng sama mama," balas Aira melanjutkan kembali aktifitas makannya.
"Gue tau yang lo rasain, Ra. Tapi gue salut karena lo udah mampu bertahan sejauh ini, meskipun gue nggak sepenuhnya tau semuanya, gue tetep yakin lo pasti bisa dapetin apa yang jadi hak lo ke depannya."
Daffa membuang napas pelan, enggan terlalu ikut campur dia mulai menyeruput minumannya sebelum melahap makanan kesukaan di depannya. Nasi Padang kebetulan menjadi makanan favorit Daffa. Sungguh, dia merasa beruntung karena memiliki sahabat yang tidak malu makan di pinggir jalan dengannya seperti ini.
"Arti keluarga maksud lo? Gue justru yang nggak yakin, Daf. Gue nggak merasa bisa sekuat itu buat buktiin ke mama, gimana sifat papa dan Serin yang sebenernya," balas Aira tidak yakin, dia memang pesimis jika membahas masalah kuat. Kuat dalam artian bisa menahan air matanya untuk tidak jatuh.
Daffa terdiam sejenak, mengunyah makanan di mulutnya dengan perlahan. Daffa bisa mendengar jawaban Aira yang kentara memang tidak yakin, gadis itu selalu enggan membanggakan diri. Padahal, yang Daffa rada selama ini, Aira merupakan gadis paling kuat yang dia temui.
"Tuhan bakal ngasih jika itu yang terbaik buat hambanya, kalo nggak sekarang, pasti suatu saat nanti, atau nggak dalam bentuk lain yang bisa buat lo bahagia. Tuhan lebih ngerti gimana takdir yang baik buat lo ke depannya, Ra." Daffa mengusap pelan pundak Aira, meyakinkan gadis itu.
"Gue selalu ngerasa tenang setelah lo nasihatin, bahkan dari dulu, lo selalu bisa jadi mood booster buat gue, Daf. Gue jadi takut kalau suatu saat lo udah punya pacar dan akhirnya lupain gue."
Senyum Aira terpatri, namun hanya sesaat sebelum senyum itu pudar dan terganti dengan helaan napas pelan. Kepala Aira sedikit menunduk, menatap kakinya yang di bawah meja. Melihat itu, Daffa justru tersenyum geli.
"Nggaklah, mana mungkin gue lupain lo? Kita udah sahabatan dari lahir ceprot, Ra. Lo inget kan, dulu pas kita TK pake bedak yang sama? Bahkan, waktu itu lo juga pernah mandi di rumah gue, ingat nggak lo?"
Aira pikir, Daffa akan menanggapi serius, tetapi Daffa justru membalas dengan ucapan yang membuat matanya berbinar kagum "Demi apa, lo juga masih inget ternyata? Gue pikir lo udah lupain masa-masa kecil kita, Daf."
Daffa tersenyum, selalu gemas untuk mengacak rambut Aira. "Gue nggak akan pernah lupain masa-masa itu, Ra. Kalo pun gue mau, gue juga nggak bakal bisa. Itu kenapa, gue ke depannya nggak bakal pernah lupain lo."
"Tapi kalo dipikir-pikir, masa kecil kita menyenangkan banget, ya? Kayak nggak ada beban hidup gitu, bahkan hampir tiap hari isi otak gue cuma main, main, dan main. Dan lucunya, gue dulu nggak pernah mau main kecuali sama lo. Tai, ya, emang?"
Aira tertawa singkat sebelum kembali melahap makanannya dengan senang. Mengingat masa kecilnya dahulu dengan Daffa, selalu membuatnya merasa ingin kembali ke masa-masa itu. Di mana ketika benaknya masih dipenuhi oleh kesenangan. Bukan beban seperti sekarang.
Daffa mengangguk setuju, setelah menakan nasinya, dia terkekeh geli. "Iya, sih. Lo bener, gue dulu pas kecil pengen banget cepet gede. Eh, giliran sekarang udah SMA, rasanya pengen balik lagi ke zaman TK. Masa-masa kecil itu, banyak banget kenangannya yang buat senyum-senyum sendiri."
"Dih, gila kali, lo."
"Iya, gue gila karena lo," balas Daffa ngawur. Kalimat itu memang spontan keluar dari mulutnya.
"Untung aja gue bukan pacar lo, bisa-bisa gue melambung tinggi, dah." Aira mengibaskan tangannya merasa gerah, padahal di berusaha menutupi kesenangannya.
"Emang lo mau?"
Kening Aira mengerut menatap Daffa yang tersenyum menyebalkan. "Mau apa? Melambung tinggi maksud lo?"
"Mau jadi pacar gue maksudnya," jelas Daffa tersenyum geli. Apalagi melihat raut Aira setelahnya yang tampak tertekuk kesal.
"Dih, ogah. Kebo nggak suka Tai kali."
Kata itu cukup menyakitkan hati Daffa. Di mendengkus keras. "Yang halus dikit dong, Ra. Masa gue disamain sama tai yang itu, sih?"
Aira terbahak sekilas setelah menyeruput sedikit es jeruknya. "Lo aja yang ngira gue nyamain sama tai yang itu."
"Ya, emang apa lagi? Semua tai nggak ada yang enak kali, Ra. Bau juga."
"Lo aja nggak tau kalo nama Tai cuma buat lo," balas Aira menahan tawa. Sementara itu Daffa membuang napas panjang karena pembicaraan ini cukup menyebalkan.
"Yang jelas kalo ngomong, Ra. Otak gue nggak secerdas Albert Einstein."
"Dih, itu gue juga tau kali. Maksud gue tuh, Kebo kan gue, sedangkan Tai kan, lo. Dan tadi gue bilang, Kebo nggak suka sama Tai. Ya, artinya gue nggak suka sama lo. Bukan kebo asli yang nggak suka sama tai yang itu." Aira menjelaskan panjang lebar, dengan penuh kesabaran dia berusaha untuk tidak membanting cowok di depannya itu.
"Jadi, lo nggak suka sama gue, Ra?" tanya Daffa pura-pura syok dengan raut sedih yang dibuat-buat.
Sejujurnya, ada perasaan kecil yang sakit di hati Daffa saat mendengar itu, tetapi dia berusaha mengabaikan dan memilih berpura-pura sedih agar Aira tidak menyadarinya. Namun, Aira yang selalu menyangkal, seketika terbahak.
"Emang iya, kan? Apa juga yang buat gue suka sama lo, Daf?" Aira agak mendelik menatap Daffa, merasa tidak yakin dengan apa kelebihan yang Daffa punya.
"Kok agak nyesek, ya, Ra? Mulut lo ceplas-ceplos banget, heran," balas Daffa sembari menggeleng tidak percaya. Dia memang sudah bisa menebak jawaban itu sebelumnya.
"Kenapa? Lo emang suka sama gue?" tebak Aira.
"Gue nggak bilang gitu," ketus Daffa. Guna menetralkan rasa kesalnya, dia meneguk minumannya hingga setengah gelas tersisa.
"Ya gue nanya, Daf. Astaga."
Daffa menghela napas lega setelah tenggorokannya sudah lebih segar. "Kita sahabatan, emang lo mau, gue naruh perasaan?"
"Gue nggak mau ngerusak hubungan persahabatan kita, Daf."
Daffa menjentikkan jarinya, membenarkan perkataan Aira. "Itu tau, kalo pun gue suka sama lo, buat apa gue jawab jujur kalo ujung-ujungnya lo juga bakal nolak?"
"Daf, kok otak gue loading, ya?" Entahlah, Aira merasa ada yang aneh dengan kalimat yang Daffa lontarkan barusan. Seperti ... ada sesuatu yang mengandung makna di dalamnya.
"Ck, Kebo."
Setelah melihat Daffa melajukan motornya, Aira melangkah masuk ke dalam rumsh. Begitu dia menarik gagang pintu, lalu menutupnya, Aira tersentak ketika mendapati Serin yang sudah berada di depannya dengan bersedekap dada."Sok alim banget lo," sindir Serin melirik Aira dengan tatapan sinis."Lo yang Islam KTP, " jawab Aira santai. Lagi pula selama ini dia memang belum pernah melihat Serin melaksanakan sholat di rumahnya.Sementara Serin justru tertawa geli. "Ngomongin agama kayak lo udah nggak punya dosa aja, jangan ngelawak, Ra.""Dari pada lo, udah tau dosa, nggak mau tobat. Sholat aja nggak." Aira balas tertawa, kenyataannya memang begitu benar adanya."Urus aja hidup lo, nggak usah bawa-bawa sholat di depan gue," geram Serin tersulit emosi. Padahal niatnya tadi menghadang Aria karena ingin mengadukan gadis ke sang papa karena pulang cukup malam."Gue tau lo emang pinter, tapi seenggaknya jangan sampe lo lupain agama. Gue cuma
Andaikan, semuanya bisa diputar kembali. Segala penyesalan mungkin bisa teratasi dan luka bisa terobati. Setidaknya jika perandaian itu ada, Aira sangat menginginkan sang papa kembali bersama di sampingnya. Satu keluarga, tertawa bersama."Ngapain masih di sini? Nggak pulang?"Ketika keluar dari masjid, Daffa mengerutkan kening saat melihat Aira masih duduk di teras. Sendirian, sementara orang-orang yang selesai jamaah sholat isya bergegas pulang. Daffa membuang napas, sebelum mengambil duduk di samping Aira."Kesel gue di rumah, boleh nggak sih, gue nginep di rumah lo?" Aira tidak menoleh, tapi berucap dengan ketus. Pandangannya tidak luput dari langit malam di atas sana."Jangan gegabah dulu, dong. Emang ada masalah apa, sih?" tanya Daffa lembut dengan tangannya yang dia gunakan untuk merangkul kedua pundak Aira."Papa mau gue jauhin lo."Yang awalnya jemari Daffa sembari mengusap menenangkan, tetapi pergerakan jemarinya itu spontan
"Pagi, Aira?"Aira spontan menoleh mendengar seseorang yang memanggil namanya. Begitu menoleh, ternyata orang itu ialah Rehan. Cowok yang akhir-akhir ini selalu muncul di depannya. Entah karena apa, Aira sejujurnya cukup risih melihatnya."Eh, pagi juga, Re. Udah lama dateng?" jawab Aira dengan senyum sehangat mungkin."Baru aja, Ra. Lo berangkat bareng Daffa?" Rehan ikut berjalan di samping Aira, beriringan melewati koridor kelas yang masih tampak sepi.Aira mengangguk mantap. "Udah jadi rutinitas, Re. Gue nggak bakal mau sekolah kalo Daffa nggak jemput gue.""Oh, gitu, ya. Em, siang nanti lo ada waktu nggak, Ra?""Belum tau, nih, Re. Emang ada apa? Tapi gue nggak jamin kalo bisa, sih," jawab Aira tidak yakin. Dia memang berusaha untuk menolak ajakan cowok itu.Rehan mengerutkan keningnya. "Kenapa? Karena Daffa ngelarang lo? Dan, lo mau nurutin dia?""Bukan, bukan karena itu. Udah lupain aja, lo emang mau ngajak gu
"Muka lo kenapa jelek amat, sih, Ra?" tanya Daffa melihat raut sendu di wajah Aira."Tai, bukannya ngehibur, malah bikin gue tambah kesel aja lo," ketus Aira lalu memalingkan wajahnya melihat pohon besar di depan sana. Enggan menatap Daffa di sampingnya."Ya udah, kenapa tumben muka lo ketekuk gini? Ada masalah apa lagi, hem?" tanya Daffa lembut, setelah menyadari mood Aira tengah buruk, Daffa memilih mengalah.Aira menghela napas sebelum mengembuskannya perlahan. "Kayaknya bentar lagi gue bakal dapet masalah yang lebih berat dari ini, Daf.""Masalah yang ini aja gue nggak tau, Ra. Ada apa, sih, sebenernya?" Kening Daffa mengerut, pertanda jika dia sedang bingung."Setelah kemarin papa, tadi si Rehan sama Serin. Kira-kira gue bakal kuat nggak ya, ke depannya nanti?""Rehan? Ngapain itu bocah? Dan Serin, buat ulah apa lagi sama lo?" tanya Daffa nertubi-tubi, tangannya bahkan menyentuh kedua pundak Aira dan menatapnya khawatir.Aira bal
Setelah lalu lalang beberapa murid berhamburan keluar gerbang, parkiran sekolah yang sudah sepi membuat Daffa dan Aira segera berjalan menuju ke sana. Mereka memang sengaja menunggu sepi karena terlalu malas untuk antri mengambil motor."Daf, beli boba, yo?" ajak Aira sambil mengambil helm yang Daffa berikan."Nggak mau es krim? Padahal gue mau ngajak lo ke taman, lho."Mata Aira seketika berbinar. "Mau semuanya, Daf. Gue mau cari pelampiasan ke makanan.""Astaga, Kebo," decak Daffa setelah selesai memakai helmnya. Namun, belum sempat Aira naik, suara seseorang membuat Daffa menoleh. Dia menemukan Rehan di depan Aira. Sontak saja Daffa segera melepas kembali helmnya."Ra?""Ngapain lo ke sini? Masih berani muncul dia depan gue lo, Re," desis Daffa yang sudah berada di samping Aira.Rehan mendecih melihat Daffa yang sok pahlawan. "Gue nggak ada urusan sama lo.""Urusan Aira, urusan gue juga," balas Daffa dengan
"Aira, kamu jaga rumah sama bibi, kita mau nganterin Serin beli mobil baru, dan papa mau kamu tidak keluyuran malam ini. Paham?"Sang papa menghampiri Aira yang tengah menonton TV. Malam ini, dia mendapat tempat untuk duduk di sana karena biasanya Serin–lah yang sudah terlebih mengambil tempatnya. Sang papa berucap demikian, membuat tanda tanya di kening Aira."Beli mobil harus sama mama, papa? Kenapa nggak beli online aja, sih? Ribet amat," gerutu Aira setelahnya.Andi, sang papa membuang napas berat menanggapinya. "Aira, jangan buat papa marah sama kamu. Lebih baik kamu masuk ke dalam kamar dan belajar. Papa tidak akan segan memberi kamu hukuman kalau sampai ketahuan kamu keluar rumah.""Serin beli mobil baru? Sedangkan Aira kenapa nggak boleh punya mobil sendiri? Pilih kasih banget," gerutu Aira yang kembali mendudukkan diri. Sementara itu netranya menangkap seroang wanita berjalan dan berhenti di samping sang papa."Makanya belajar yang b
"Udah sarapan belum?" tanya Daffa mengambil duduk di depan bangku meja Aira. Sekotak berisi makanan dia sodorkan ke depan, bermaksud memberikannya kepada Aira."Gue nggak laper." Aira malah menggeleng, tidak selera."Beneran? Lo jangan buat gue khawatir kalo tiba-tiba lo nanti siang pingsan, Ra." Daffa kekeuh, dia meraih tangan Aira untuk memegang kotak makan tersebut. Sudah dia buka, dan Aira tinggal memakannya.Namun, sekali lagi Aira mendorongnya kembali kepada Daffa. Bibirnya tersenyum tipis. "Santai, Daf. Gue bukan cewek lemah, lagian ini juga udah jadi kebiasaan gue.""Kebiasaan kok nggak sarapan, kebiasaan itu harusnya lebih baik, bukan malah makin buruk, Ra. Astaga," balas Daffa sembari menghela napas pelan. Aira selalu saja enggan sarapan pagi di rumah."Ya abisnya, gue nggak punya nafsu makan di rumah. Enek mulu bawaannya."Daffa terkekeh kecil. "Liat keluarga lo haha hihi di meja makan? Sedangkan lo menderita nahan lapar di kamar?
"Gimana tadi olahraganya? Gue denger-denger lo yang dapet rekor tertinggi. Bener?"Bel istirahat berbunyi, beberapa menit yang lalu Aira selesai mengikuti mapel olahraga. Tubuhnya terasa penat dan tenggorokannya yang kering membuat Aira langsung meneguk minumannya hingga tandas. Duduk di depan kelas, kemudian membuang napas lega.Aira melihat Daffa mengambil duduk di sampingnya, mendengar pertanyaan itu Aira tertawa. "Lo tau? Astaga.""Wih, keren kalo gitu. Gue jadi bangga sama lo, Ra." Daffa terkekeh bangga, tidak tahan, dia mengacak rambut Aira gemas. Membuat Aira mendengkus geli."Apa, sih? Cuma gitu, doang. Apanya yang perlu dibanggain, Daffa?" tanya Aira heran, dia memang tidak sebangga itu dengan nilainya.Daffa berdecak, lalu menggeleng pelan. "Ini, nih. Lo kurang bersyukur, Ra. Pencapaian-pencapaian kecil yang lo dapetin selama ini harusnya lo syukurin, karena belum tentu semua orang bisa dapetin itu. Patut dibanggain walau cuma sebat
Ruangan bernuansa putih itu hanya diisi oleh keheningan. Di dalam tampak sepi. Hanya suara denting jarum jam yang berputar tanpa henti. Serta merta AC yang menyala memberikan kesejukan di sekelilingnya, alih-alih, menambah suasana mencekam tengah terjadi di sana.Ada Aira menggeleng lemah, hatinya kembali sakit mengingat masa-masa kemarin. "Belum. Dari kemarin gue ke sini, sampai tadi pagi, dia belum siuman."Serin mengangguk, kemudian membuang napas sembari menyentuh sebelah pundak Aira. Berusaha menenangkan suasana hati gadis itu. "Lo tenang aja, dia pasti bakal sadar. Lo tau, kan, dia bukan cowok lemah. Gue yakin, dia pasti juga kangen liat wajah lo.""Ah, lo malah bikin gue tambah sesek, Kak." Aira mendengkus dengan senyum, meskipun matanya sempat berkaca-kaca.
Degup jantung Aira berdetak lebih kencang dari biasanya, langkah kakinya berlari cepat setelah membuka pintu rumah sakit. Tangis mengharu, bibir Aira terisak bahkan saat baru saja sampai—di depan pintu berwarna coklat itu. Kepalanya menunduk, tubuhnya ikut meluruh di depan pintu."Kenapa harus lo, sih, Daf? Kenapa harus hari ini? Bukannya lo udah bilang mau ngelamar gue, Daf?" yang beda."Isak tangis Aira semakin pecah, air mata tidak enggan berhenti. Sesak semakin pula menekan dadanya. Aria tidak menyangka. Semuanya terjadi begitu saja—seolah takdirnya sekejam itu untuk bisa menerima semuanya. Aira tidak pernah mengakui dirinya lemah, tapi tidak untuk dari balik kaca dengan tatapan khawatir. Sekaligus merasa bersalah. Padahal nyatanya, dia cukup kesal."Ah, sial. Kenapa dia bikin gue kesel, sih? Harusnya dia bilang ke gue kalo mau jemput!"Aira berdecak, mendengkus, meski dengan Aira mata yang masih meluruh. Aira memutuskan untuk duduk di kursi penunggu dan berdoa untuk keselamatan Da
Pagi ini menjadi pagi yang paling Aira tunggu. Seperti janji Daffa kemarin yang mengatakan ingin ke rumah untuk melamarnya. Sungguh, Aira berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, tetapi tetap saja kemarin malam dia tidak bisa tidur. Bayang-bayang wajah Daffa yang tersenyum memenuhi isi kepalanya—bahkan sampai pagi ini.Aira reflek menepuk kepalanya sendiri. "Udah gila lo, Ra. Bener-bener gila."Seragam hari ini sesuai jadwal sudah dia kenakan dan sempurna melekat di tubuhnya. Aira sesaat menatap pantulan dirinya di cermin sebelum mengulas senyum dan memutuskan untuk segera keluar dari kamar. Menuruni anak tangga dengan raut sumringah. Sangat kentara jika Aira sudah tidak sabar menantikan malam nanti."Duh, padahal masih nanti malem, kok, gue sekarang udah deg-degan, ya?" batin Aira sembari memegang dadanya yang sudah memanas. Degup jantungnya berdetak kencang.Aira menggeleng, tersenyum geli. "Otak gue nggak bener, nih."Akhirnya karena tidak mau terlambat sekolah, Aira langsun
"Daf," panggil Aira dengan nada pelan dan malas. Seolah tak bertenaga padahal di depannya sudah ada beberapa makanan serta minuman penghilang dahaga."Heum? Kenapa? Lo laper?" balas Daffa ngawur. Padahal sudah jelas-jelas Aira selesai makan. Dan di atas meja sudah tersaji beberapa camilan untuk gadis itu dan dirinya sendiri.Aira berdecak, menghela napas panjang. "Gue butuh semangat buat balikin mood. Gue makin stres karena Serin nggak pulang dari kemarin."Pergerakan jemari Daffa yang semula mengetik sesuatu di ponsel, spontan terhenti kala mendengar berita itu. "Why? Kok bisa? Gimana ceritanya?"Aira mengangkat bahu. Jika dia tahu, mungkin dia tidak akan bertanya. "Gue juga nggak tau ada apa di rumah selama gue sekolah. Dia kemarin emang nitip surat ke gue karena dia nggak masuk sakit. Eh, pas gue pulang dia malah kabur."Daffa meletakkan ponselnya. Punggungnya dia tegakkan dan menghadap Aira. Kepalanya menggeleng. "Nggak, pasti ini ada yang aneh. Buat apa dia kabur pas sakit dan buk
Aira sedang berjalan-jalan menuju belakang sekolah, niatnya hanya ingin mencari udara segar sebab di kelas sudah sangat pengap. Lagi pula, hari ini guru-guru sedang rapat. Aira yang bosan dengan suasana halaman belakang lantas berjalan menaiki anak tangga menuju roof top.Sampai di sana, dia bisa menghela napas panjang. Udara sungguh sejuk disertai dengan semilir angin yang berembus dan menerpa wajah serta beberapa helai rambutnya. Bibir Aira tersenyum, setidaknya keadaan yang semula tenang sebelum sebuah cekalan di lengannya membuat Aira tersentak."Lo? Ngapain ke sini? Lepasin gue nggak?!" teriak Aira ketika melihat Rehan berdiri di depannya dengan tangan yang mencekal kuat pergelangan tangannya.Tatapannya tersorot tajam dan dingin. Rahangnya mengeras sebelum Rehan membentak Aira. "Nggak akan sebelum lo minta maaf ke gue!"Aira reflek tersentak, degup jantungnya ikut berdegup kencang. "Apa-apaan, sih! Gue nggak ada salah apapun sama lo! Jangan ngarep gue bakal minta maaf, Re!""Gue
Kerap kali masalah yang menimpa hidup selalu menjengkelkan. Setiap manusia, nyatanya memang punya masalah. Tetapi, banyak dari mereka yang menghindar dari masalah itu. Padahal, semakin lama dibiarkan, masalah justru semakin banyak dan tentunya—jauh lebih menjengkelkan.Aira sangat berharap masalahnya segera berakhir, dia hanya ingin hidup tenang, tanpa beban, dan bebas dari segala ancaman. Namun, lagi-lagi semesta seolah tidak membiarkan. Masalah satu baru saja selesai, tapi masalah yang lain justru menghampiri. Sungguh, Aira selalu mempunya keinginan untuk menyerah."Daf, gue capek. Gue pengen nyerah. Boleh nggak, sih?"Pertanyaan langka yang baru pertama kali Daffa dengar dari mulut Aira setelah beberapa tahun bersahabat. Aira yang selalu tampak kuat dan semangat, kini tampak lesu dan tidak berdaya. Datang dari dapur, sudah mendapat ekspresi serta keluhan demikian. Lantas, karena tidak setuju, kepala Daffa menggeleng."Nggak, lo nggak bisa lakuin itu. Kenapa, sih? Lo jangan gampang n
"Mana mungkin!" elak Aira ketika baru saja mendengar tebakan Serin yang tidak terpikirkan oleh benaknya."Ya maaf, gue, kan, cuma nebak. Lagian, alasan apa lagi yang buat wanita itu dateng ke rumah kita dan ngaku dia ibu kandung lo?" lanjut Serin, dengan embusan napas dan mengangkat bahunya. "Mungkin aja dia modus, kan? Zaman sekarang orang udah pinter nyari uang dengan segala cara. Dan mungkin dia salah satu orangnya." Serin berkata lagi karena Aira masih diam dengan pikirannya.Sesaat, akhirnya Aira mengangguk pelan. Dia juga sudah berpikir demikian. "Itu pemikiran yang masuk akal juga, sih. Tapi yang jadi masalahnya itu, dia ke sini naik mobil, Kak. Bukannya udah jelas kalo dia orang kaya?"Serin sedikit tertegun. Dia hampir saja melupakan hal itu. "Eh, bener juga lo. Terus, gimana? Gue nggak tau apa-apa. Sebenernya gue juga nggak peduli dan nggak percaya, tapi, gue heran kenapa dia bisa tau rumah kita!""
"Pagi, Kebo!" sapa Daffa pada Aira ketika mereka berjalan beriringan di koridor. Berbeda halnya dengan Daffa yang semangat, Aira justru tampak lemas."Hem, pagi," balas Aira pelan. Nadanya sangat lesu. Hal itu tentu membuat Daffa berdecak."Yang semangat, dong! Yaelah lemes amat lo." Daffa merangkul pundak Aira agar gadis itu bersemangat. Tetapi, agaknya dia tidak berhasil sebab Aira justru pergi meninggalkannya."Woi, tungguin gue!" teriak Daffa yang lantas menyusul Aira.Sampai di samping Aira, Daffa menggerutu. "Kebo lo, kenapa main ninggalin gue, sih?""Woi?" panggil Daffa karena Aira justru diam dan tampak melamun. Dia merasa sudah berbicara sendiri sedari tadi.Daffa mendecih, karena sekali lagi panggilannya diabaikan oleh Aira. "Ra, lo kenapa?" tanyanya lagi. Kini Daffa sudah menghadang jalan Aira dan memegang kedua pundaknya. Aira reflek mengerjap. "Hah, gue? Gue kenapa?"Daffa berdecak. "Kenapa lo jadi pendiem gini? Ini bukan lo yang gue kenal biasanya."Aira menghela napas,
"Pagi, Ma!" sapa Aira ketika ketika sampai di dapur dan melihat sang mama tengah menyiapkan sarapan pagi ini."Pagi, Aira! Yuk, kita sarapan bareng," balas suci dengan seulas senyum di bibirnya saat mendapati Aira yang sudah duduk di depannya. Sungguh, dia merindukan suasana seperti ini.Aira yang baru duduk mengerutkan kening karena ada seseorang yang belum tampak di kedua netranya. "Kak Serin mana, Ma?" "Bentar lagi juga dateng. Nah, tuh, dia."Serin berjalan menuju meja makan dan duduk di samping Aira. Senyumnya tampak menggelikan sembari menatap Aira dengan godaan. "Lo kangen gue, Ra?"Aira mendelik, juga mendengkus kecil. "Mastiin aja lo masih hidup, Kak.""Warisan gue cuma buat mama kalo gue mati." Serin terbahak sekilas, mengambil piring dan sendok di meja makan. Aira mendengkus lagi, ikut melakukan hal yang sama. "Yaelah, bercanda, astaga.""Udah-udah, mending kita mulai sarapan," potong sang mama menengahi. Membuat Serin tersenyum tipis, sementara Aira menghela napas. Sekeja