Andaikan, semuanya bisa diputar kembali. Segala penyesalan mungkin bisa teratasi dan luka bisa terobati. Setidaknya jika perandaian itu ada, Aira sangat menginginkan sang papa kembali bersama di sampingnya. Satu keluarga, tertawa bersama.
"Ngapain masih di sini? Nggak pulang?"
Ketika keluar dari masjid, Daffa mengerutkan kening saat melihat Aira masih duduk di teras. Sendirian, sementara orang-orang yang selesai jamaah sholat isya bergegas pulang. Daffa membuang napas, sebelum mengambil duduk di samping Aira.
"Kesel gue di rumah, boleh nggak sih, gue nginep di rumah lo?" Aira tidak menoleh, tapi berucap dengan ketus. Pandangannya tidak luput dari langit malam di atas sana.
"Jangan gegabah dulu, dong. Emang ada masalah apa, sih?" tanya Daffa lembut dengan tangannya yang dia gunakan untuk merangkul kedua pundak Aira.
"Papa mau gue jauhin lo."
Yang awalnya jemari Daffa sembari mengusap menenangkan, tetapi pergerakan jemarinya itu spontan terhenti kala mendengar hal itu.
"Serius?"
"Buat apa gue bohong?" Aira membuang napas, dirinya sendiri juga tidak mengira dia akan sejujur ini.
"Terus? Lo mau lakuin itu?" Daffa memutar tubuhnya menghadap Aira.
Aira berdecak, Daffa sudah lama menjadi sahabatnya, mana mungkin dia bisa menjauhinya. "Nggaklah, jangan ngira gue bakal jaga jarak sama lo."
"Lha, jadi? Emang kenapa sih, bokap lo nyuruh jauhin gue? Gara-gara insiden pasar malem kemarin itu?" Daffa mendengkus keras, memutar tubuhnya kembali menghadap depan lalu mengusap rambutnya ke belakang.
Kematian almarhum papa Aira satu tahun yang lalu, memang cukup membuat hubungan persahabatannya dengan Aira semakin terhalang. Sang papa tiri yang sekarang bukannya menerima Daffa, justru malah menjauhkannya dari Aira.
"Katanya dia mau gue fokus belajar," jelas Aira membuang napas panjang. Kepala menunduk menatap ujung sandalnya.
"Gitu, doang? Pasti ada alasan lain," desis Daffa hampir frustasi. Dia bisa menjauhi teman-temannya, tapi tidak dengan Aira. Gadis itu sudah menjadi bagian penting dalam hidupnya.
"Terus, yang bikin gue tambah kesel, dia minta gue buat nggak sholat jamaah lagi di masjid. Gila nggak, sih? Harusnya dia bangga, dong, punya anak yang masih paham agama. Lha, ini?"
Aira ikut mengusap wajahnya kasar, sifat sang papa tirinya jauh di luar ekspektasi. Dan Aira tidak menduga sebelumnya jika sang mama ternyata juga ikut mendukung pria itu. Semua seolah berantakan, tidak satu pun yang mendukung Aira. Apalagi menyemangatinya.
"Wah, emang nggak bener itu bokap lo." Daffa menyahut dengan tawa hambar, merasa lucu karena menemukan orang tua yang semacam itu.
"Daffa, gue harus gimana? Dia emang bukan orang tua kandung gue, tapi kalo gue ngelawan, pasti bakal dosa juga, kan? Sedangkan, gue juga nggak mungkin ngelakuin perintahnya. Gimana, dong?"
Benar, Daffa juga menyetujui ucapan Aira. Walau pria itu bukan orang tua kandung Aira, tetapi dalam Islam tidak diperbolehkan untuk melawan perkataan orang yang lebih tua. Siapa pun itu dan di mana pun berada. Tetapi, jika perintahnya buruk, Daffa tidak yakin dengan jawabannya.
"Gini aja, soal itu kita pikir besok. Ini udah malem, mending lo pulang terus istirahat. Pasti papa lo udah mikir yang nggak-nggak kalo lo nggak cepet pulang." Daffa berdiri, berusaha menyelesaikan topik pembicaraan.
"Nggak, gue mau di sini."
"Aira. Ini udah malem, besok lo juga harus sekolah. Kesehatan lo pun juga penting, Ra. Besok gue janji bakal bantuin lo sampai masalah itu kelar. Lo bisa tagih kalo besok gue lupa. Okay?"
"Daffa ...." Aira merengek ketika Daffa menarik tangannya agar ikut berdiri. Namun Daffa tidak mau luluh, dia tetap memaksa.
"Please, Ra. Nggak enak juga diliatin sama tetangga, udah sana pulang. Atau gue anterin? Gimana?"
Aira masih enggan berdiri sembari memberontak agar Daffa melepas tangannya. Lalu sedetik kemudian dia membuang napas panjang karena Daffa menatapnya datar dan tetap tidak mau melepaskan tangannya.
"Daffa ... gue males ke rumah. Gue stress di sana. Gue butuh ketenangan di sini. Lo kalo mau ninggalin gue nggak masalah, gue bisa di sini sendirian."
"Ra?" tanya Daffa tak yakin. Kini rautnya berubah khawatir.
"Udah sana pulang, gue bisa di sini sendirian, Daf," ucap Aira perlahan melepas tangannya dari cekalan Daffa, cowok itu membiarkan.
"Ini bukan saatnya lo kayak gini, Ra," balas Daffa. Mengalah, dia akhirnya kembali duduk di samping Aira.
"Lo nggak ngerti, Daf!"
"Gue ngerti," jawab Daffa lembut, dia enggan membalas bentakan singkat itu.
"Kalo lo ngerti, biarin gue di sini."
"Kesehatan lo lebih penting, Ra. Di luar sini dingin dan lo nggak pake jaket. Gue nggak mau lo sakit, Aira."
"Nggak masalah, gue nggak butuh kehangatan, Daf. Gue cuma butuh ketenangan." Aira mendengkus, menepis pelan tangan Daffa yang hendak kembali menariknya.
Daffa tidak bisa berbuat apapun, dia paling anti menyakiti gadis. Apalagi membantak atau mengasari. Detik setelahnya, Daffa memutuskan untuk mengalah, membiarkan Aira tetap duduk di teras masjid, dan dia akan menemaninya.
"Okey, okey, gue bakal temenin lo di sini. Tapi lo harus janji, kalo lo kedinginan, gue anterin lo pulang," pinta Daffa menunjukkan jari kelingkingnya. Aira tampak mengulas senyum, lalu balas menautkan jari kelingkingnya.
"Gue janji." Daffa tersenyum hangat, masih sempat juga dia mengacak rambut Aira gemas.
"Makasih," jawab Aira balas tersenyum, kali ini tidak marah meski tahu rambutnya berantakan. Setelah sholat, dia memang langsung melepas mukenanya karena gerah.
"Nggak perlu, ini udah jadi tugas gue buat ngelindungi lo." Daffa membalasnya dengan senyum sehangat mungkin. Dia justru beruntung karena masih dipedulikan oleh Aira, sahabatnya.
"Sorry, gue ngerepotin lo lagi."
"Yaelah, santai aja kali, Ra. Gue juga nggak ngerasa terbebani. Justru, gue seneng karena lo masih mau bertahan sama gue sejauh ini."
"Kalo misal lo punya pacar ...." Ucapan Aira tiba-tiba menggantung, namun belum sempat terselesaikan, Daffa cepat-cepat menyelanya.
"Gue nggak akan punya pacar."
"Yakin?" Alis aira terangkat sebelah menatao Daffa di yang kini diam denagn wajah tertekuk.
"Gue udah bilang, gue nggak mau pacaran, Ra."
"Iyain, dah."
"Lo nggak mau cerita? Gue tau lo udah mendem banyak hal selama ini."
"Sok tau lo, Daf."
Daffa tersenyum geli, senyum yang membuat Aira kesal melihatnya. Seolah-olah senyum itu mengatainya. "Gue emang tau, Ra."
"Gue cuma capek aja, Daf. Capek sama semuanya."
"Banyakin doa, banyakin istighfar, tenangin diri dengan beribadah itu jauh lebih baik, Ra." Daffa merangkul bahu Aira dan menepuknya sekilas.
"Udah, Daf. Udah gue lakuin semuanya. Tapi, gue ngerasa tubuh gue bener-bener capek, tidur lama pun, badan gue tetep nggak semangat, Daf. Gue seakan pengen dunia berhenti sebentar aja, deh. Gue pengen berhenti dan nggak ngapa-ngapain."
Daffa tertawa singkat. "Lo pikir ini dunia fiksi? Kalo pun, dunia nggak berhenti, diri lo yang harus istirahat. Bukan karena tidur, tapi lo cukup diam di suatu tempat yang bisa buat lo setenang mungkin. Tapi lo juga harus inget sama waktu dan kesehatan lo, jangan sampai nyakitin diri sendiri, Ra."
Aira membuang napas panjang. "Dan gue, sekarang udah berusaha buat nenangin diri di sini, bantuin gue ya, Daf? Biar stres gue ilang dan gue nggak capek lagi."
"Pasti, Ra. Gue pasti bantuin lo," jawab Daffa dengan senyum hangat. Cukup menenangkan hati Aira ketika melihatnya.
"Pagi, Aira?"Aira spontan menoleh mendengar seseorang yang memanggil namanya. Begitu menoleh, ternyata orang itu ialah Rehan. Cowok yang akhir-akhir ini selalu muncul di depannya. Entah karena apa, Aira sejujurnya cukup risih melihatnya."Eh, pagi juga, Re. Udah lama dateng?" jawab Aira dengan senyum sehangat mungkin."Baru aja, Ra. Lo berangkat bareng Daffa?" Rehan ikut berjalan di samping Aira, beriringan melewati koridor kelas yang masih tampak sepi.Aira mengangguk mantap. "Udah jadi rutinitas, Re. Gue nggak bakal mau sekolah kalo Daffa nggak jemput gue.""Oh, gitu, ya. Em, siang nanti lo ada waktu nggak, Ra?""Belum tau, nih, Re. Emang ada apa? Tapi gue nggak jamin kalo bisa, sih," jawab Aira tidak yakin. Dia memang berusaha untuk menolak ajakan cowok itu.Rehan mengerutkan keningnya. "Kenapa? Karena Daffa ngelarang lo? Dan, lo mau nurutin dia?""Bukan, bukan karena itu. Udah lupain aja, lo emang mau ngajak gu
"Muka lo kenapa jelek amat, sih, Ra?" tanya Daffa melihat raut sendu di wajah Aira."Tai, bukannya ngehibur, malah bikin gue tambah kesel aja lo," ketus Aira lalu memalingkan wajahnya melihat pohon besar di depan sana. Enggan menatap Daffa di sampingnya."Ya udah, kenapa tumben muka lo ketekuk gini? Ada masalah apa lagi, hem?" tanya Daffa lembut, setelah menyadari mood Aira tengah buruk, Daffa memilih mengalah.Aira menghela napas sebelum mengembuskannya perlahan. "Kayaknya bentar lagi gue bakal dapet masalah yang lebih berat dari ini, Daf.""Masalah yang ini aja gue nggak tau, Ra. Ada apa, sih, sebenernya?" Kening Daffa mengerut, pertanda jika dia sedang bingung."Setelah kemarin papa, tadi si Rehan sama Serin. Kira-kira gue bakal kuat nggak ya, ke depannya nanti?""Rehan? Ngapain itu bocah? Dan Serin, buat ulah apa lagi sama lo?" tanya Daffa nertubi-tubi, tangannya bahkan menyentuh kedua pundak Aira dan menatapnya khawatir.Aira bal
Setelah lalu lalang beberapa murid berhamburan keluar gerbang, parkiran sekolah yang sudah sepi membuat Daffa dan Aira segera berjalan menuju ke sana. Mereka memang sengaja menunggu sepi karena terlalu malas untuk antri mengambil motor."Daf, beli boba, yo?" ajak Aira sambil mengambil helm yang Daffa berikan."Nggak mau es krim? Padahal gue mau ngajak lo ke taman, lho."Mata Aira seketika berbinar. "Mau semuanya, Daf. Gue mau cari pelampiasan ke makanan.""Astaga, Kebo," decak Daffa setelah selesai memakai helmnya. Namun, belum sempat Aira naik, suara seseorang membuat Daffa menoleh. Dia menemukan Rehan di depan Aira. Sontak saja Daffa segera melepas kembali helmnya."Ra?""Ngapain lo ke sini? Masih berani muncul dia depan gue lo, Re," desis Daffa yang sudah berada di samping Aira.Rehan mendecih melihat Daffa yang sok pahlawan. "Gue nggak ada urusan sama lo.""Urusan Aira, urusan gue juga," balas Daffa dengan
"Aira, kamu jaga rumah sama bibi, kita mau nganterin Serin beli mobil baru, dan papa mau kamu tidak keluyuran malam ini. Paham?"Sang papa menghampiri Aira yang tengah menonton TV. Malam ini, dia mendapat tempat untuk duduk di sana karena biasanya Serin–lah yang sudah terlebih mengambil tempatnya. Sang papa berucap demikian, membuat tanda tanya di kening Aira."Beli mobil harus sama mama, papa? Kenapa nggak beli online aja, sih? Ribet amat," gerutu Aira setelahnya.Andi, sang papa membuang napas berat menanggapinya. "Aira, jangan buat papa marah sama kamu. Lebih baik kamu masuk ke dalam kamar dan belajar. Papa tidak akan segan memberi kamu hukuman kalau sampai ketahuan kamu keluar rumah.""Serin beli mobil baru? Sedangkan Aira kenapa nggak boleh punya mobil sendiri? Pilih kasih banget," gerutu Aira yang kembali mendudukkan diri. Sementara itu netranya menangkap seroang wanita berjalan dan berhenti di samping sang papa."Makanya belajar yang b
"Udah sarapan belum?" tanya Daffa mengambil duduk di depan bangku meja Aira. Sekotak berisi makanan dia sodorkan ke depan, bermaksud memberikannya kepada Aira."Gue nggak laper." Aira malah menggeleng, tidak selera."Beneran? Lo jangan buat gue khawatir kalo tiba-tiba lo nanti siang pingsan, Ra." Daffa kekeuh, dia meraih tangan Aira untuk memegang kotak makan tersebut. Sudah dia buka, dan Aira tinggal memakannya.Namun, sekali lagi Aira mendorongnya kembali kepada Daffa. Bibirnya tersenyum tipis. "Santai, Daf. Gue bukan cewek lemah, lagian ini juga udah jadi kebiasaan gue.""Kebiasaan kok nggak sarapan, kebiasaan itu harusnya lebih baik, bukan malah makin buruk, Ra. Astaga," balas Daffa sembari menghela napas pelan. Aira selalu saja enggan sarapan pagi di rumah."Ya abisnya, gue nggak punya nafsu makan di rumah. Enek mulu bawaannya."Daffa terkekeh kecil. "Liat keluarga lo haha hihi di meja makan? Sedangkan lo menderita nahan lapar di kamar?
"Gimana tadi olahraganya? Gue denger-denger lo yang dapet rekor tertinggi. Bener?"Bel istirahat berbunyi, beberapa menit yang lalu Aira selesai mengikuti mapel olahraga. Tubuhnya terasa penat dan tenggorokannya yang kering membuat Aira langsung meneguk minumannya hingga tandas. Duduk di depan kelas, kemudian membuang napas lega.Aira melihat Daffa mengambil duduk di sampingnya, mendengar pertanyaan itu Aira tertawa. "Lo tau? Astaga.""Wih, keren kalo gitu. Gue jadi bangga sama lo, Ra." Daffa terkekeh bangga, tidak tahan, dia mengacak rambut Aira gemas. Membuat Aira mendengkus geli."Apa, sih? Cuma gitu, doang. Apanya yang perlu dibanggain, Daffa?" tanya Aira heran, dia memang tidak sebangga itu dengan nilainya.Daffa berdecak, lalu menggeleng pelan. "Ini, nih. Lo kurang bersyukur, Ra. Pencapaian-pencapaian kecil yang lo dapetin selama ini harusnya lo syukurin, karena belum tentu semua orang bisa dapetin itu. Patut dibanggain walau cuma sebat
Aria sudah berdiri di depan pintu rumah Daffa, ketika tangan Daffa menarik gagang pintu, Aira melangkah masuk. Diikuti pula dengan Daffa di belakangnya. Begitu masuk, Aira sudah menerima pelukan antusias dari sang mama Daffa."Wah, Aira? Astaga kamu cantik sekali, Nak!" puji Fatma—sang mama Daffa, setelah melepas pelukannya dan menangkup kedua pipi Aira dengan mata berbinar."Makasih, Tante. Aira juga pangling banget liat wajah Tante yang makin cantik," balas Aira balik memuji, dia juga sedikit pangling dengan wajah seroang wanita di depannya itu.Fatma tertawa kecil, lalu menggiring Aira untuk duduk sebentar. "Bisa aja kamu, oh ya, mau Tante ajarin masak nggak? Katanya kamu suka, ya, sama masakan Tante?""Duh, jadi malu, Tan." Aira merutuki dirinya, dia menebak pasti ini semua ulah Daffa yang memberi tahu mamanya."Anggep aja Tante mama kamu sendiri, nggak perlu sungkan-sungkan. Ayo ke dapur, Tante mumpung semangat hari ini." Fatma mengajak
"Laper nggak, Ra?" tanya Daffa sembari mengenakan jaket hitam miliknya. Kini, mereka sedang berada di luar rumah Daffa.Aira menyengir, sembari menggarukkan kepalanya. "Tau aja lo, Daf.""Makan di tempat biasa aja, gimana? Mau, kan?" tanya Daffa lagi setelah terkekeh kecil. Begitu Aira selesai memakai helm, Daffa merapikan rambut gadis itu yang sedikit berantakan.Aira tidak berontak, kepalanya mengangguk semangat. "Gue oke-oke aja, Daf. Yang penting perut gue nggak koar-koar mulu."Setelah mereka siap, Daffa naik ke atas motornya disusul Aira yang duduk di belakangnya. Hari sudah malam, Daffa tentu tidak tega membiarkan Aira pulang sendirian. Bahkan sang mama sendiri yang menyuruhnya.Setelah melewati jalanan kota malam ini yang cukup ramai, dua remaja itu akhirnya sampai di depan sebuah warung makan. Aira turun, melepas helmnya kemudian merapikan rambutnya yang cukup berantakan lagi.Daffa tiba-tiba bersuara ketika netranya menangkap sosok
Ruangan bernuansa putih itu hanya diisi oleh keheningan. Di dalam tampak sepi. Hanya suara denting jarum jam yang berputar tanpa henti. Serta merta AC yang menyala memberikan kesejukan di sekelilingnya, alih-alih, menambah suasana mencekam tengah terjadi di sana.Ada Aira menggeleng lemah, hatinya kembali sakit mengingat masa-masa kemarin. "Belum. Dari kemarin gue ke sini, sampai tadi pagi, dia belum siuman."Serin mengangguk, kemudian membuang napas sembari menyentuh sebelah pundak Aira. Berusaha menenangkan suasana hati gadis itu. "Lo tenang aja, dia pasti bakal sadar. Lo tau, kan, dia bukan cowok lemah. Gue yakin, dia pasti juga kangen liat wajah lo.""Ah, lo malah bikin gue tambah sesek, Kak." Aira mendengkus dengan senyum, meskipun matanya sempat berkaca-kaca.
Degup jantung Aira berdetak lebih kencang dari biasanya, langkah kakinya berlari cepat setelah membuka pintu rumah sakit. Tangis mengharu, bibir Aira terisak bahkan saat baru saja sampai—di depan pintu berwarna coklat itu. Kepalanya menunduk, tubuhnya ikut meluruh di depan pintu."Kenapa harus lo, sih, Daf? Kenapa harus hari ini? Bukannya lo udah bilang mau ngelamar gue, Daf?" yang beda."Isak tangis Aira semakin pecah, air mata tidak enggan berhenti. Sesak semakin pula menekan dadanya. Aria tidak menyangka. Semuanya terjadi begitu saja—seolah takdirnya sekejam itu untuk bisa menerima semuanya. Aira tidak pernah mengakui dirinya lemah, tapi tidak untuk dari balik kaca dengan tatapan khawatir. Sekaligus merasa bersalah. Padahal nyatanya, dia cukup kesal."Ah, sial. Kenapa dia bikin gue kesel, sih? Harusnya dia bilang ke gue kalo mau jemput!"Aira berdecak, mendengkus, meski dengan Aira mata yang masih meluruh. Aira memutuskan untuk duduk di kursi penunggu dan berdoa untuk keselamatan Da
Pagi ini menjadi pagi yang paling Aira tunggu. Seperti janji Daffa kemarin yang mengatakan ingin ke rumah untuk melamarnya. Sungguh, Aira berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, tetapi tetap saja kemarin malam dia tidak bisa tidur. Bayang-bayang wajah Daffa yang tersenyum memenuhi isi kepalanya—bahkan sampai pagi ini.Aira reflek menepuk kepalanya sendiri. "Udah gila lo, Ra. Bener-bener gila."Seragam hari ini sesuai jadwal sudah dia kenakan dan sempurna melekat di tubuhnya. Aira sesaat menatap pantulan dirinya di cermin sebelum mengulas senyum dan memutuskan untuk segera keluar dari kamar. Menuruni anak tangga dengan raut sumringah. Sangat kentara jika Aira sudah tidak sabar menantikan malam nanti."Duh, padahal masih nanti malem, kok, gue sekarang udah deg-degan, ya?" batin Aira sembari memegang dadanya yang sudah memanas. Degup jantungnya berdetak kencang.Aira menggeleng, tersenyum geli. "Otak gue nggak bener, nih."Akhirnya karena tidak mau terlambat sekolah, Aira langsun
"Daf," panggil Aira dengan nada pelan dan malas. Seolah tak bertenaga padahal di depannya sudah ada beberapa makanan serta minuman penghilang dahaga."Heum? Kenapa? Lo laper?" balas Daffa ngawur. Padahal sudah jelas-jelas Aira selesai makan. Dan di atas meja sudah tersaji beberapa camilan untuk gadis itu dan dirinya sendiri.Aira berdecak, menghela napas panjang. "Gue butuh semangat buat balikin mood. Gue makin stres karena Serin nggak pulang dari kemarin."Pergerakan jemari Daffa yang semula mengetik sesuatu di ponsel, spontan terhenti kala mendengar berita itu. "Why? Kok bisa? Gimana ceritanya?"Aira mengangkat bahu. Jika dia tahu, mungkin dia tidak akan bertanya. "Gue juga nggak tau ada apa di rumah selama gue sekolah. Dia kemarin emang nitip surat ke gue karena dia nggak masuk sakit. Eh, pas gue pulang dia malah kabur."Daffa meletakkan ponselnya. Punggungnya dia tegakkan dan menghadap Aira. Kepalanya menggeleng. "Nggak, pasti ini ada yang aneh. Buat apa dia kabur pas sakit dan buk
Aira sedang berjalan-jalan menuju belakang sekolah, niatnya hanya ingin mencari udara segar sebab di kelas sudah sangat pengap. Lagi pula, hari ini guru-guru sedang rapat. Aira yang bosan dengan suasana halaman belakang lantas berjalan menaiki anak tangga menuju roof top.Sampai di sana, dia bisa menghela napas panjang. Udara sungguh sejuk disertai dengan semilir angin yang berembus dan menerpa wajah serta beberapa helai rambutnya. Bibir Aira tersenyum, setidaknya keadaan yang semula tenang sebelum sebuah cekalan di lengannya membuat Aira tersentak."Lo? Ngapain ke sini? Lepasin gue nggak?!" teriak Aira ketika melihat Rehan berdiri di depannya dengan tangan yang mencekal kuat pergelangan tangannya.Tatapannya tersorot tajam dan dingin. Rahangnya mengeras sebelum Rehan membentak Aira. "Nggak akan sebelum lo minta maaf ke gue!"Aira reflek tersentak, degup jantungnya ikut berdegup kencang. "Apa-apaan, sih! Gue nggak ada salah apapun sama lo! Jangan ngarep gue bakal minta maaf, Re!""Gue
Kerap kali masalah yang menimpa hidup selalu menjengkelkan. Setiap manusia, nyatanya memang punya masalah. Tetapi, banyak dari mereka yang menghindar dari masalah itu. Padahal, semakin lama dibiarkan, masalah justru semakin banyak dan tentunya—jauh lebih menjengkelkan.Aira sangat berharap masalahnya segera berakhir, dia hanya ingin hidup tenang, tanpa beban, dan bebas dari segala ancaman. Namun, lagi-lagi semesta seolah tidak membiarkan. Masalah satu baru saja selesai, tapi masalah yang lain justru menghampiri. Sungguh, Aira selalu mempunya keinginan untuk menyerah."Daf, gue capek. Gue pengen nyerah. Boleh nggak, sih?"Pertanyaan langka yang baru pertama kali Daffa dengar dari mulut Aira setelah beberapa tahun bersahabat. Aira yang selalu tampak kuat dan semangat, kini tampak lesu dan tidak berdaya. Datang dari dapur, sudah mendapat ekspresi serta keluhan demikian. Lantas, karena tidak setuju, kepala Daffa menggeleng."Nggak, lo nggak bisa lakuin itu. Kenapa, sih? Lo jangan gampang n
"Mana mungkin!" elak Aira ketika baru saja mendengar tebakan Serin yang tidak terpikirkan oleh benaknya."Ya maaf, gue, kan, cuma nebak. Lagian, alasan apa lagi yang buat wanita itu dateng ke rumah kita dan ngaku dia ibu kandung lo?" lanjut Serin, dengan embusan napas dan mengangkat bahunya. "Mungkin aja dia modus, kan? Zaman sekarang orang udah pinter nyari uang dengan segala cara. Dan mungkin dia salah satu orangnya." Serin berkata lagi karena Aira masih diam dengan pikirannya.Sesaat, akhirnya Aira mengangguk pelan. Dia juga sudah berpikir demikian. "Itu pemikiran yang masuk akal juga, sih. Tapi yang jadi masalahnya itu, dia ke sini naik mobil, Kak. Bukannya udah jelas kalo dia orang kaya?"Serin sedikit tertegun. Dia hampir saja melupakan hal itu. "Eh, bener juga lo. Terus, gimana? Gue nggak tau apa-apa. Sebenernya gue juga nggak peduli dan nggak percaya, tapi, gue heran kenapa dia bisa tau rumah kita!""
"Pagi, Kebo!" sapa Daffa pada Aira ketika mereka berjalan beriringan di koridor. Berbeda halnya dengan Daffa yang semangat, Aira justru tampak lemas."Hem, pagi," balas Aira pelan. Nadanya sangat lesu. Hal itu tentu membuat Daffa berdecak."Yang semangat, dong! Yaelah lemes amat lo." Daffa merangkul pundak Aira agar gadis itu bersemangat. Tetapi, agaknya dia tidak berhasil sebab Aira justru pergi meninggalkannya."Woi, tungguin gue!" teriak Daffa yang lantas menyusul Aira.Sampai di samping Aira, Daffa menggerutu. "Kebo lo, kenapa main ninggalin gue, sih?""Woi?" panggil Daffa karena Aira justru diam dan tampak melamun. Dia merasa sudah berbicara sendiri sedari tadi.Daffa mendecih, karena sekali lagi panggilannya diabaikan oleh Aira. "Ra, lo kenapa?" tanyanya lagi. Kini Daffa sudah menghadang jalan Aira dan memegang kedua pundaknya. Aira reflek mengerjap. "Hah, gue? Gue kenapa?"Daffa berdecak. "Kenapa lo jadi pendiem gini? Ini bukan lo yang gue kenal biasanya."Aira menghela napas,
"Pagi, Ma!" sapa Aira ketika ketika sampai di dapur dan melihat sang mama tengah menyiapkan sarapan pagi ini."Pagi, Aira! Yuk, kita sarapan bareng," balas suci dengan seulas senyum di bibirnya saat mendapati Aira yang sudah duduk di depannya. Sungguh, dia merindukan suasana seperti ini.Aira yang baru duduk mengerutkan kening karena ada seseorang yang belum tampak di kedua netranya. "Kak Serin mana, Ma?" "Bentar lagi juga dateng. Nah, tuh, dia."Serin berjalan menuju meja makan dan duduk di samping Aira. Senyumnya tampak menggelikan sembari menatap Aira dengan godaan. "Lo kangen gue, Ra?"Aira mendelik, juga mendengkus kecil. "Mastiin aja lo masih hidup, Kak.""Warisan gue cuma buat mama kalo gue mati." Serin terbahak sekilas, mengambil piring dan sendok di meja makan. Aira mendengkus lagi, ikut melakukan hal yang sama. "Yaelah, bercanda, astaga.""Udah-udah, mending kita mulai sarapan," potong sang mama menengahi. Membuat Serin tersenyum tipis, sementara Aira menghela napas. Sekeja