Daffa langsung melangkah masuk ketika pintu utama rumah Aira sedikit terbuka. Sudah kebiasaannya dia seperti ini, lagi pula malam ini memang dia sudah ada janji. Begitu masuk, Daffa melebarkan matanya melihat Aira membawa handuk saat meletakkan minuman ke depannya.
"Buset, Ra. Lo jam segini belum mandi? Emang dasar kebo, ya." Aira yang mendengarnya lantas berdecak malas.
"Diem, deh. Ini gue juga mau mandi, Daf. Lo sih, masih jam segini udah dateng, padahal lo yang bilang tadi jam delapan, kan?" dengkus Aira di akhir kalimat. Sementara Daffa mengangkat bahunya, lalu tersenyum geli.
"Ya bagus lah, gue dateng lebih awal, itu artinya gue nerapin sikap disiplin di kehidupan sehari-hari, bukan di sekolah, doang."
"Terserah lo, Tai. Dah, jangan ganggu gue," ketus Aira hendak berbalik, namun ucapan Daffa setelahnya membuat Aira menggeram.
"Gue boleh kali ya, numpang mandi juga di rumah lo, Ra? Kagak ada siapa-siapa, kan?" tanya Daffa santai.
"Sumpah ya lo, Daf. Jangan bikin gue darah tinggi, deh. Udah Tai, pikiran kotor lagi. Awas aja lo sampai naik ke atas!" ancam Aira yang kini sudah berbalik menatap Daffa dengan tajam, satu telunjuknya mengarah ke wajah Daffa dengan garang.
"Dih, Kebo," ejek Daffa setelah meneguk sedikit minumannya. Aira hanya berdecak, tidak ingin berdebat, dia berbalik dan berjalan cepat menuju ke kamarnya untuk mandi.
"Assalamualaikum, Ra—lho, ngapain lo di sini?"
Rehan, cowok berpakaian rapi itu hendak mengetuk pintu namun urung ketika melihat Daffa duduk santai di ruang tamu. Rehan sempat melebarkan matanya karena terkejut. Melangkah masuk, lalu dia berhenti di depan Daffa saat cowok itu ikut berdiri menatapnya.
"Yeuh, Supri. Lo tuh, yang ngapain di sini, orang gue duluan yang dateng."
"Gue mau jemput Aira, gue duluan yang ngajak dia." Rehan menatap Daffa dengan raut menantang. Sedetik kemudian dia menautkan alis kesal karena respon yang dia terima justru gelak tawa dari Daffa.
"Emang dia mau? Perasaan dia udah bilang kalo ada urusan malam ini. Lo pikun?" Daffa masih terbahak, sembari menepuk sebelah bahu Rehan. Rehan yang kesal langsung menepisnya kasar.
"Lo pikir gue nggak tau itu cuma akal-akalan lo, doang? Lo tuh, bukan siapa-siapanya Aira, ngapain ngatur, sih?"
Tawa Daffa berhenti, lalu kembali mendudukkan dirinya dan bersedakap dada menatap Rehan di depannya. "Walau gue bukan siapa-siapanya dia, tapi asal lo tau aja, gue yang lebih dulu kenal sama dia. Kita sahabatan udah dari lahir ceprot. Lha, lo? Baru kenal setahun aja, udah sok iyes."
"Cuma sahabat, kan? Gue rasa Aira nggak punya perasaan ke lo, jadi ya, buat apa lo larang-larang dia jalan sama cowok? Lo aja yang kepedean dan takut Aira bakal lupain lo setelah punya pacar," balas Rehan berani, dia tidak mau kalah. Dengan senyum sinis, dia mengatakan kebenciannya terhadap Daffa.
"Dia nggak bakal pacaran! Jangan sok tau lo."
Rehan mendelik, meletakkan kedua tangannya ke dalam saku celana, dia lalu terkekeh geli. "Lo yang sok tau soal perasaan dia."
"Gue tau semua tentang Aira!" sentak Daffa, jemari di tangannya mengepal kuat, dia benar-benar benci dengan Rehan. Tentu, tentu itu semua ada alasannya.
Rehan mendecih, akhirnya dia ikut duduk di kursi depan Daffa, masih dengan tampang sombongnya. "Kan, sok tau kan, lo. Emang lo pernah tanya ke dia, gimana perasaannya setelah lo larang-larang dia selama ini? Nggak, kan? Jadi jangan sok tau segalanya, lo aja nggak peka."
"Itu juga bukan urusan lo. Lo pikir setelah gue tau itu, gue bakal ninggalin dia gitu aja? Jangan harap lo bisa deket sama dia. Gue bahkan lebih dari sekedar tau semua kebusukan lo di luar sekolah." Sebuah senyum miring terpatri di bibir Daffa. Namun, tidak sesuai ekspektasi, Rehan justru terbahak.
"Terus, ngapain? Lo pikir gue takut?" tanya Rehan kemudian.
"Oh, jadi lo nggak takut? Bagus, sih. Gue justru semakin tertantang buat hancurin lo, Rehan." Walau tidak mengira Rehan akan membalasnya dengan tawa, tapi Daffa hanya tersenyum tipis, dalam satu kali tegukan, minuman di tangannya itu tandas tak tersisa.
"Lo kali, yang hancur," jawab Rehan, nadanya terdengar santai.
"Awas aja lo sampe deketin dia, gue nggak akan segan buat habisin lo."
Tatapan Daffa menajam, Rehan hanya berdecih enggan membalas. Sebelum sebuah suara familiar terdengar, kedua cowok itu spontan menoleh, sementara Rehan segera berdiri dengan sebuah senyum.
"Lho, Rehan?"
***
"Eum, sorry ya, Re. Gue ternyata lupa kalo udah ada janji duluan sama Daffa. Maaf banget, yah. Mungkin, lain kali bisa, kok. Insyaallah, kapan-kapan aja ya, Re," ungkap Aira merasa tidak enak dengan Rehan. Dia sendiri sebenarnya juga enggan menerima ajakan Rehan, namun berkat Daffa, dia bisa mencari alasan.
"Gue agak kecewa, sih. Padahal gue berharap banget lo mau malam ini, tapi yah, mau gimana lagi. Karena lo nggak mau, gue nggak bisa maksa." Meski tidak terima karena semua ulah Daffa, Rehan tetap berusaha tersenyum meski dengan paksa.
"Duh, gue bener-bener minta maaf, Re. Lo bisa kok, ajak cewek lain yang sekiranya selalu ada waktu. Jangan nungguin gue yang nggak pasti," balas Aira dengan senyum tipis sembari menggarukkan tengkuk lehernya.
"Tuh, dengerin, Supri," sahut Daffa yang tengah duduk di kursi dengan wajah tanpa dosa. Aria spontan menoleh dan menatapnya tajam, membuat Daffa memutar bola matanya malas.
"Daffa!"
"Ck, iye-iye."
"Ya udah, Ra. Gue pulang dulu, mungkin lo maunya gitu. Tapi gue tetep nungguin sampai ada waktu. Yah, walau lama, gue siap-siap aja. Gue pergi ya, Ra." Sampai di depan pintu Rehan tersenyum, Aira yang melihatnya merasa malas, tapi hanya di dalam hati dia menggerutu.
"Iya, Re. Sekali lagi gue minta maaf sama lo. Hati-hati di jalan dan jangan ngebut." Aira melambaikan tangan ketika Rehan sudah menyalakan mesin motornya. Setelahnya, motor itu melaju dan hilang di pandangan.
"Dih, sok iye si Kebo."
"Daf, lo bisa nggak jangan nyebut gue kebo di depan Rehan? Harga diri gue mau ditaruh di mana, Tai?" dengkus Aira yang langsung duduk dengan kesal di samping Daffa. Style-nya malam ini cukup simpel, tetapi membuatnya semakin cantik di mata Daffa yang juga mencium aroma parfum gadis itu.
"Wih, tumben banget lo cakep malam ini, Ra. Gue sampe pangling liat wajah lo," puji Daffa, alih-alih dia mengalihkan pembicaraan Aira.
"Pertanyaan apa, dijawab apa. Emang ya, si Tai."
"Ututu, udah gue bilang jangan kesel, lo nggak tau ya, gue gemes?"
"Paan, sih!"
"Dih, kebo salting." Daffa tersenyum geli, melihat Aira yang lagi-lagi mendengkus membuatnya tidak tahan untuk menarik hidung mancung gadis itu.
"Daffa, lo jangan bawa-bawa perasaan kalo ngomong sama gue. Inget, kita ini sahabatan. Gue nggak mau ya, lo sengaja buat gue baper dan rusak persahabatan kita."
Mendengar tiba-tiba Aira berucap hal itu, Daffa membuang napas pelan kemudian tersenyum. Dia tidak munafik, dia memang sudah menyukai Aira sejak lama. Namun, dia enggan memberi tahu, maka sebelum dia benar-benar siap, Daffa hanya tersenyum tipis menanggapinya.
"Gue cuma ngikut alur aja, Ra. Tapi kalo mau lo itu, gue siap aja. Cuma yah, gue nggak jamin kalo di antara kita nggak ada yang nyimpen perasaan lebih."
"Gue tau persahabatan kita emang rawan, gue juga nggak maksa lo buat lakuin apapun. Gue cuma nggak mau aja, kalo gue atau lo, berharap lebih, cuma buat kecewa. Lo tau kan, nggak ada cinta yang serius selain setelah ikatan pernikahan?" Aira sekilas menolah menatap Daffa, kenyataannya memang tidak semudah itu untuk melakukannya.
"Lo bener, Ra. Udah, mending kita ikutin alurnya aja. Persahabatan ini tetep berjalan entah nanti ke depannya gimana, gue atau lo, cuma harus siap buat jalaninnya," balas Daffa lagi-lagi tersenyum, entah senyum apa yang pasti saat tidak sengaja Aira melihatnya, dia tidak bisa menebaknya.
"Wih, ternyata lo mau ngajak gue ke pasar malem, Daf?" ucap Aira dengan mata berbinar ketika turun dari mobil langsung mendapati keramaian. Setelah memarkirkan mobilnya di tempat yang disediakan, Daffa meraih jemari Aira untuk dia genggam, gadis itu tidak menolak, membiarkan Daffa membawanya masuk ke pasar malam itu. Senyum Aira tidak memudar sedikit pun. "Gue tau lo paling semangat kalo soal makanan, jadi gue bawa lo ke sini biar nggak bosen ke kafe mulu," jawab Daffa dengan senyum hangat. Sesekali dia menoleh, menatap binar bahagia yang masih terpancar di wajah ayu Aira. "Ini sih, keren pisan. Daffa, lo bener-bener tau banget sih, kesukaan gue," puji Aira. Kentara jelas dia memang senang malam ini. Langkah Daffa terhenti, di tengah keramaian dia menatap wajah Aira yang kini menoleh bingung. "Emang apa yang nggak gue tau tentang lo, Ra?" Aira tampak berpikir lama, kemudian beberapa saat dia terkekeh geli. "Hati gue, jiakhhh!"
"Aira, papa mau kamu mencontoh sifat Serin mulai sekarang. Dan kalo dia menegur kamu, jangan marah karena itu memang perintah dari papa."Andi, sang papa duduk di kursi menatapnya lekat. Seolah perintah yang tidak bisa dibantah, Andi membuang napas panjang ketika mendengar jawaban Aira setelahnya. Selalu saja anak tirinya enggan melakukan apa dia perintahkan, membuat Andi mendecih sedetik kemudian."Pa, bisa nggak sih, jangan berusaha samain Aira dan Serin? Kita punya kriteria masing-masing, Pa. Setiap orang punya sifat beda-beda, papa jangan bandingin aku dengan Serin, dong. Itu sama aja papa nggak mau nerima Aira apa adanya.""Papa tidak membandingkan, papa hanya mau kamu meniru sifat baik Serin. Kita keluarga berkelas, Aira. Papa tidak mau keluarga kita dikenal memiliki sifat dan sikap yang buruk."Televisi menyala menayangkan sebuah berita tanah air, dominan tentang artis dan dunia entertainment. Aira lebih suka menontonnya dari pada harus mendengar c
"Pagi, Kebo!" sapa Daffa menjajarkan langkahnya di samping Aira. Gadis itu tidak menoleh dan hanya berdecak seperti biasanya. "Wih, tumben lo jam segini udah dateng, kerasukan apa lo, Daf?" tanya Aira, cukup heran karena baru kali ini Daffa berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali. Daffa merangkul pundak Aira lalu terkekeh kecil. "Kerasukan lo kali." "Sak karepmu lah, Daf. Diajak serius malah bercanda mulu." Aira sekali lagi berdecak, kebiasaannya berdekatan dengan Daffa membuat bibirnya tidak lepas untuk berdecak guna menahan kekesalan. Langkahnya menuju kelas, sampai di depan pintu Daffa berucap yang membuat langkah air terhenti sejenak. "Emang lo mau gue seriusin?" Daffa mengangkat sebelah alisnya, raut yang menurut Aira sangat menyebalkan. Dia mendengkus, sebelum kembali melangkah Aira melepaskan tangan Daffa dari pundaknya. "Terserah, Daf. Gue capek ngomong sama lo." "Ya udah, kita ke KUA sekarang kalo lo
Sepulang sekolah, Aira dan Daffa langsung bergegas ke tempat biasanya mereka melaksanakan sholat ashar. Memang masih sekitar jam tiga setengah empatan, tetapi mereka memilih untuk sholat di waktu awal sebab jika sudah menjelang waktunya habis, pasti akan malas bahkan sekadar mengambil air wudhu pun.Kini, Aira berada di boncengan motor Daffa, sementara cowok itu terus mengebut takut jika ketinggalan jamaah, ketika sampai di perempatan justru mendapat lampu merah dan seketika itu membuat Aira menggeram kesal."Daffa cepet! Keburu iqomah nanti!""Ck, iya-iya sabar kenapa, sih? Tuh, lo nggak liat masih lampu merah?" Daffa ikut gegabah melihat kekesalan Aira. Gadis itu memang ingin sekali mengikuti jamaah setiap sholat."Argh! Lo sih, harusnya tadi lo ngebut biar dapet ijo," gerutu Aira memukul punggung Daffa, semenit kemudian lampu sudah berubah hijau. Daffa buru-buru melajukan mobilnya."Tuh, udah ijo. Jangan marah-marah, entar kalo telat, kan, bisa
Warung makan di pinggir jalan yang berada di dekat dengan taman itu menjadi tempat favorit Aira dan Daffa untuk makan siang. Sejujurnya jika mau makan dia restoran mereka pun sanggup, tapi karena Aira yang lebih suka makan di sana, alhasil Daffa pun tidak memaksa.Dua porsi nasi padang tersaji nikmat di depan mereka. Aira yang sudah tidak sabar segera menyantapnya setelah mencuci tangannya karena dia tidak makan memakai sendok. Daffa tersenyum melihat itu, tetapi tiba-tiba pandangannya teralihkan pada seseorang yang tengah makan di restoran seberang jalan."Ra, itu si Serin bukan?" tanya Daffa, Aira yang baru menelan nasinya spontan ikut menatap. Sedetik kemudian dia hanya mengangguk pelan dengan senyum tipis."Emang keluarga bahagia ya, Daf. Gue jadi kangen sama papa, dulu pas dia masih ada, sering banget ngajak gue makan bareng sama mama," balas Aira melanjutkan kembali aktifitas makannya."Gue tau yang lo rasain, Ra. Tapi gue salut karena lo udah mampu
Setelah melihat Daffa melajukan motornya, Aira melangkah masuk ke dalam rumsh. Begitu dia menarik gagang pintu, lalu menutupnya, Aira tersentak ketika mendapati Serin yang sudah berada di depannya dengan bersedekap dada."Sok alim banget lo," sindir Serin melirik Aira dengan tatapan sinis."Lo yang Islam KTP, " jawab Aira santai. Lagi pula selama ini dia memang belum pernah melihat Serin melaksanakan sholat di rumahnya.Sementara Serin justru tertawa geli. "Ngomongin agama kayak lo udah nggak punya dosa aja, jangan ngelawak, Ra.""Dari pada lo, udah tau dosa, nggak mau tobat. Sholat aja nggak." Aira balas tertawa, kenyataannya memang begitu benar adanya."Urus aja hidup lo, nggak usah bawa-bawa sholat di depan gue," geram Serin tersulit emosi. Padahal niatnya tadi menghadang Aria karena ingin mengadukan gadis ke sang papa karena pulang cukup malam."Gue tau lo emang pinter, tapi seenggaknya jangan sampe lo lupain agama. Gue cuma
Andaikan, semuanya bisa diputar kembali. Segala penyesalan mungkin bisa teratasi dan luka bisa terobati. Setidaknya jika perandaian itu ada, Aira sangat menginginkan sang papa kembali bersama di sampingnya. Satu keluarga, tertawa bersama."Ngapain masih di sini? Nggak pulang?"Ketika keluar dari masjid, Daffa mengerutkan kening saat melihat Aira masih duduk di teras. Sendirian, sementara orang-orang yang selesai jamaah sholat isya bergegas pulang. Daffa membuang napas, sebelum mengambil duduk di samping Aira."Kesel gue di rumah, boleh nggak sih, gue nginep di rumah lo?" Aira tidak menoleh, tapi berucap dengan ketus. Pandangannya tidak luput dari langit malam di atas sana."Jangan gegabah dulu, dong. Emang ada masalah apa, sih?" tanya Daffa lembut dengan tangannya yang dia gunakan untuk merangkul kedua pundak Aira."Papa mau gue jauhin lo."Yang awalnya jemari Daffa sembari mengusap menenangkan, tetapi pergerakan jemarinya itu spontan
"Pagi, Aira?"Aira spontan menoleh mendengar seseorang yang memanggil namanya. Begitu menoleh, ternyata orang itu ialah Rehan. Cowok yang akhir-akhir ini selalu muncul di depannya. Entah karena apa, Aira sejujurnya cukup risih melihatnya."Eh, pagi juga, Re. Udah lama dateng?" jawab Aira dengan senyum sehangat mungkin."Baru aja, Ra. Lo berangkat bareng Daffa?" Rehan ikut berjalan di samping Aira, beriringan melewati koridor kelas yang masih tampak sepi.Aira mengangguk mantap. "Udah jadi rutinitas, Re. Gue nggak bakal mau sekolah kalo Daffa nggak jemput gue.""Oh, gitu, ya. Em, siang nanti lo ada waktu nggak, Ra?""Belum tau, nih, Re. Emang ada apa? Tapi gue nggak jamin kalo bisa, sih," jawab Aira tidak yakin. Dia memang berusaha untuk menolak ajakan cowok itu.Rehan mengerutkan keningnya. "Kenapa? Karena Daffa ngelarang lo? Dan, lo mau nurutin dia?""Bukan, bukan karena itu. Udah lupain aja, lo emang mau ngajak gu
Ruangan bernuansa putih itu hanya diisi oleh keheningan. Di dalam tampak sepi. Hanya suara denting jarum jam yang berputar tanpa henti. Serta merta AC yang menyala memberikan kesejukan di sekelilingnya, alih-alih, menambah suasana mencekam tengah terjadi di sana.Ada Aira menggeleng lemah, hatinya kembali sakit mengingat masa-masa kemarin. "Belum. Dari kemarin gue ke sini, sampai tadi pagi, dia belum siuman."Serin mengangguk, kemudian membuang napas sembari menyentuh sebelah pundak Aira. Berusaha menenangkan suasana hati gadis itu. "Lo tenang aja, dia pasti bakal sadar. Lo tau, kan, dia bukan cowok lemah. Gue yakin, dia pasti juga kangen liat wajah lo.""Ah, lo malah bikin gue tambah sesek, Kak." Aira mendengkus dengan senyum, meskipun matanya sempat berkaca-kaca.
Degup jantung Aira berdetak lebih kencang dari biasanya, langkah kakinya berlari cepat setelah membuka pintu rumah sakit. Tangis mengharu, bibir Aira terisak bahkan saat baru saja sampai—di depan pintu berwarna coklat itu. Kepalanya menunduk, tubuhnya ikut meluruh di depan pintu."Kenapa harus lo, sih, Daf? Kenapa harus hari ini? Bukannya lo udah bilang mau ngelamar gue, Daf?" yang beda."Isak tangis Aira semakin pecah, air mata tidak enggan berhenti. Sesak semakin pula menekan dadanya. Aria tidak menyangka. Semuanya terjadi begitu saja—seolah takdirnya sekejam itu untuk bisa menerima semuanya. Aira tidak pernah mengakui dirinya lemah, tapi tidak untuk dari balik kaca dengan tatapan khawatir. Sekaligus merasa bersalah. Padahal nyatanya, dia cukup kesal."Ah, sial. Kenapa dia bikin gue kesel, sih? Harusnya dia bilang ke gue kalo mau jemput!"Aira berdecak, mendengkus, meski dengan Aira mata yang masih meluruh. Aira memutuskan untuk duduk di kursi penunggu dan berdoa untuk keselamatan Da
Pagi ini menjadi pagi yang paling Aira tunggu. Seperti janji Daffa kemarin yang mengatakan ingin ke rumah untuk melamarnya. Sungguh, Aira berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, tetapi tetap saja kemarin malam dia tidak bisa tidur. Bayang-bayang wajah Daffa yang tersenyum memenuhi isi kepalanya—bahkan sampai pagi ini.Aira reflek menepuk kepalanya sendiri. "Udah gila lo, Ra. Bener-bener gila."Seragam hari ini sesuai jadwal sudah dia kenakan dan sempurna melekat di tubuhnya. Aira sesaat menatap pantulan dirinya di cermin sebelum mengulas senyum dan memutuskan untuk segera keluar dari kamar. Menuruni anak tangga dengan raut sumringah. Sangat kentara jika Aira sudah tidak sabar menantikan malam nanti."Duh, padahal masih nanti malem, kok, gue sekarang udah deg-degan, ya?" batin Aira sembari memegang dadanya yang sudah memanas. Degup jantungnya berdetak kencang.Aira menggeleng, tersenyum geli. "Otak gue nggak bener, nih."Akhirnya karena tidak mau terlambat sekolah, Aira langsun
"Daf," panggil Aira dengan nada pelan dan malas. Seolah tak bertenaga padahal di depannya sudah ada beberapa makanan serta minuman penghilang dahaga."Heum? Kenapa? Lo laper?" balas Daffa ngawur. Padahal sudah jelas-jelas Aira selesai makan. Dan di atas meja sudah tersaji beberapa camilan untuk gadis itu dan dirinya sendiri.Aira berdecak, menghela napas panjang. "Gue butuh semangat buat balikin mood. Gue makin stres karena Serin nggak pulang dari kemarin."Pergerakan jemari Daffa yang semula mengetik sesuatu di ponsel, spontan terhenti kala mendengar berita itu. "Why? Kok bisa? Gimana ceritanya?"Aira mengangkat bahu. Jika dia tahu, mungkin dia tidak akan bertanya. "Gue juga nggak tau ada apa di rumah selama gue sekolah. Dia kemarin emang nitip surat ke gue karena dia nggak masuk sakit. Eh, pas gue pulang dia malah kabur."Daffa meletakkan ponselnya. Punggungnya dia tegakkan dan menghadap Aira. Kepalanya menggeleng. "Nggak, pasti ini ada yang aneh. Buat apa dia kabur pas sakit dan buk
Aira sedang berjalan-jalan menuju belakang sekolah, niatnya hanya ingin mencari udara segar sebab di kelas sudah sangat pengap. Lagi pula, hari ini guru-guru sedang rapat. Aira yang bosan dengan suasana halaman belakang lantas berjalan menaiki anak tangga menuju roof top.Sampai di sana, dia bisa menghela napas panjang. Udara sungguh sejuk disertai dengan semilir angin yang berembus dan menerpa wajah serta beberapa helai rambutnya. Bibir Aira tersenyum, setidaknya keadaan yang semula tenang sebelum sebuah cekalan di lengannya membuat Aira tersentak."Lo? Ngapain ke sini? Lepasin gue nggak?!" teriak Aira ketika melihat Rehan berdiri di depannya dengan tangan yang mencekal kuat pergelangan tangannya.Tatapannya tersorot tajam dan dingin. Rahangnya mengeras sebelum Rehan membentak Aira. "Nggak akan sebelum lo minta maaf ke gue!"Aira reflek tersentak, degup jantungnya ikut berdegup kencang. "Apa-apaan, sih! Gue nggak ada salah apapun sama lo! Jangan ngarep gue bakal minta maaf, Re!""Gue
Kerap kali masalah yang menimpa hidup selalu menjengkelkan. Setiap manusia, nyatanya memang punya masalah. Tetapi, banyak dari mereka yang menghindar dari masalah itu. Padahal, semakin lama dibiarkan, masalah justru semakin banyak dan tentunya—jauh lebih menjengkelkan.Aira sangat berharap masalahnya segera berakhir, dia hanya ingin hidup tenang, tanpa beban, dan bebas dari segala ancaman. Namun, lagi-lagi semesta seolah tidak membiarkan. Masalah satu baru saja selesai, tapi masalah yang lain justru menghampiri. Sungguh, Aira selalu mempunya keinginan untuk menyerah."Daf, gue capek. Gue pengen nyerah. Boleh nggak, sih?"Pertanyaan langka yang baru pertama kali Daffa dengar dari mulut Aira setelah beberapa tahun bersahabat. Aira yang selalu tampak kuat dan semangat, kini tampak lesu dan tidak berdaya. Datang dari dapur, sudah mendapat ekspresi serta keluhan demikian. Lantas, karena tidak setuju, kepala Daffa menggeleng."Nggak, lo nggak bisa lakuin itu. Kenapa, sih? Lo jangan gampang n
"Mana mungkin!" elak Aira ketika baru saja mendengar tebakan Serin yang tidak terpikirkan oleh benaknya."Ya maaf, gue, kan, cuma nebak. Lagian, alasan apa lagi yang buat wanita itu dateng ke rumah kita dan ngaku dia ibu kandung lo?" lanjut Serin, dengan embusan napas dan mengangkat bahunya. "Mungkin aja dia modus, kan? Zaman sekarang orang udah pinter nyari uang dengan segala cara. Dan mungkin dia salah satu orangnya." Serin berkata lagi karena Aira masih diam dengan pikirannya.Sesaat, akhirnya Aira mengangguk pelan. Dia juga sudah berpikir demikian. "Itu pemikiran yang masuk akal juga, sih. Tapi yang jadi masalahnya itu, dia ke sini naik mobil, Kak. Bukannya udah jelas kalo dia orang kaya?"Serin sedikit tertegun. Dia hampir saja melupakan hal itu. "Eh, bener juga lo. Terus, gimana? Gue nggak tau apa-apa. Sebenernya gue juga nggak peduli dan nggak percaya, tapi, gue heran kenapa dia bisa tau rumah kita!""
"Pagi, Kebo!" sapa Daffa pada Aira ketika mereka berjalan beriringan di koridor. Berbeda halnya dengan Daffa yang semangat, Aira justru tampak lemas."Hem, pagi," balas Aira pelan. Nadanya sangat lesu. Hal itu tentu membuat Daffa berdecak."Yang semangat, dong! Yaelah lemes amat lo." Daffa merangkul pundak Aira agar gadis itu bersemangat. Tetapi, agaknya dia tidak berhasil sebab Aira justru pergi meninggalkannya."Woi, tungguin gue!" teriak Daffa yang lantas menyusul Aira.Sampai di samping Aira, Daffa menggerutu. "Kebo lo, kenapa main ninggalin gue, sih?""Woi?" panggil Daffa karena Aira justru diam dan tampak melamun. Dia merasa sudah berbicara sendiri sedari tadi.Daffa mendecih, karena sekali lagi panggilannya diabaikan oleh Aira. "Ra, lo kenapa?" tanyanya lagi. Kini Daffa sudah menghadang jalan Aira dan memegang kedua pundaknya. Aira reflek mengerjap. "Hah, gue? Gue kenapa?"Daffa berdecak. "Kenapa lo jadi pendiem gini? Ini bukan lo yang gue kenal biasanya."Aira menghela napas,
"Pagi, Ma!" sapa Aira ketika ketika sampai di dapur dan melihat sang mama tengah menyiapkan sarapan pagi ini."Pagi, Aira! Yuk, kita sarapan bareng," balas suci dengan seulas senyum di bibirnya saat mendapati Aira yang sudah duduk di depannya. Sungguh, dia merindukan suasana seperti ini.Aira yang baru duduk mengerutkan kening karena ada seseorang yang belum tampak di kedua netranya. "Kak Serin mana, Ma?" "Bentar lagi juga dateng. Nah, tuh, dia."Serin berjalan menuju meja makan dan duduk di samping Aira. Senyumnya tampak menggelikan sembari menatap Aira dengan godaan. "Lo kangen gue, Ra?"Aira mendelik, juga mendengkus kecil. "Mastiin aja lo masih hidup, Kak.""Warisan gue cuma buat mama kalo gue mati." Serin terbahak sekilas, mengambil piring dan sendok di meja makan. Aira mendengkus lagi, ikut melakukan hal yang sama. "Yaelah, bercanda, astaga.""Udah-udah, mending kita mulai sarapan," potong sang mama menengahi. Membuat Serin tersenyum tipis, sementara Aira menghela napas. Sekeja