Aira baru saja menginjakkan kakinya ke lantai rumah Daffa, di ruang tamu, tiba-tiba dari arah dapur sudah terdengar derap langkah kaki. Aida sudah menebak, itu pasti mamanya Daffa. Dan benar, wanita itu menatap antusias terhadapnya. Bahkan, hingga memeluknya erat.
Akhirnya mereka memutuskan untuk berbincang, sementara Daffa kembali ke kamarnya. Tidur, katanya. Aira dan mama Daffa berada di ruang tamu, dengan tangan wanita itu yang menggenggam jemarinya dan mengusap pelan setelah mendengar alasan mengaoa dirinya akan menginap di sini.
"Kenapa kamu nggak cerita ke tante, sih? Tau gini, tante bakal bantu kamu, Aira."
Menanggapi kekhawatiran sang mama Daffa, Aira tertawa kecil. "Aira udah banyak ngerepotin, Tante. Aira juga nggak mau tante merasa terbebani karena harus bantu Aira."
"Justru kalo kamu nggak cerita, tante bakal semakin khawatir," jawab wanita itu sembari mengusap lembut rambut Aira. Dia benar-benar terlihat menyayangi gadis itu.
Aria memb
"Ra, mama udah pulang!"Pekikan dari sang kakak tirinya itu spontan membuat gerakan jemari Aira pada bolpoin yang tengah menulis seketika terhenti. Harusnya dia senang, namun dia justru mengernyit. Bangkit dari duduknya, dan ikut menghampiri Serin di ambang pintu."Serius? Kok, gue nggak denger suara mobilnya?" tanya Aira, saat sudah melihat Serin kembali masuk."Dia pake mobil beda, Ra. Udah cepet siap-siap. Gue khawatir kalo dia bakal balik kerja lagi. Mumpung papa belum pulang, Ra!" desak Serin, segera menyuruh Aira untuk menyiapkan diri."Iya, sabar, dong," decak Aira, dia menjadi bingung sendiri karena ini terlalu mendadak. Alhasil setelah merapikan alat tulisnya kembali, dia mengambil sisir rambut di meja rias."Nanti, pokoknya lo harus berani jawab. Maksud gue, kalo lo harus sampein semuanya tentang perjodohan itu. Dan pastiin, lo waspada sama gerak-geriknya," peringat Serin, mondar-mandir sembari bersedakap dada. Gelisah sendiri.Air
Harusnya setelah bel pulang berbunyi, Daffa sudah berada di parkiran untuk menunggu Aira. Namun, ketika gadis itu sampai di sana, tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Padahal Aira yakin, Daffa masih belum pulang sebab masih terdapat motornya di sana."Lo harus ikut gue."Tiba suara familiar itu terdengar, suara orang yang tidak Aira inginkan kehadirannya. Bahkan, mendengar saja sudah membuat dirinya muak. Namun, harusnya dia bisa melarikan diri, tetapi paksaan yang Rehan lontarkan dan dia menolaknya, cowok itu menghadang jalannya."Dih, ogah," ketus Aira."Gue maksa.""Dan gue maksa nggak mau." Aira hendak kembali berjalan, namun lagi-lagi Rehan menghadang. Aira mendengkus keras."Lo harus ikut gue beli kado buat mama. Dia bentar lagi bakal jadi ibu lo juga," jelas Daffa memberi tahu tentang maksudnya. Tetapi di wajah Aira tidak ada raut bahagia sedikit pun."Gue nggak akan pernah jadi menantunya. Inget!" desis Aira tajam. Dia b
"Gue nyerah, Daf."Pengakuan yang terlontar dari mulut Aira itu spontan membuat Daffa tersentak. Dia menatap wajah gadis itu dari samping, cantik, itu yang dia lihat. Terpaan angin yang membelai wajahnya, membuatnya sesaat terpana. Namun, ucapan gadis itu barusan, membuat Daffa membuang napas panjang."Segitu aja kekuatan lo?""Gue capek." Aira menunduk, menatap ujung sepatunya yang kotor. Dia merasa dunia tidak mau dirinya bahagia."Lemah banget lo," ejek Daffa, disusul dengan tawa pelan. Dia berkata demikian, padahal dirinya juga tidak sekuat Aira."Lo nggak tau rasanya jadi gue."Daffa tersenyum. "Lo juga nggak tau gimana diri gue.""Semuanya benar-benar di luar rencana." Aira menghela napas, mendongak, menatap langit biru di atas sana. Luas, sangat luas dan dirinya hanya sekecil semua. Tidak ada artinya."Rencana Tuhan jauh lebih baik dari pada rencana manusia." Benar, Daffa mengakuinya, tetapi dia juga terkadang mera
"Ke mana? Tumben banget lo mau ngajak gue jalan?" Aira menanggapi ajakan Daffa nanti malam dengan senyum geli. Pikirnya, tumben sekali Daffa mempunyai pikiran untuk mengajaknya—yang entah ke mana."Bukan surprise kalo gue kasih tau lo sekarang." Daffa terkekeh pelan, kali ini udara di atas roof top membuat matanya terpejam merasakan kenyamanan.Aira melebarkan mata antusias. Dia tidak mengira dengan Daffa saat ini. "Widih, lo mau ngasih gue surprise?""Kenapa, lo baper?"Aira terbahak mendengarnya. "Nggaklah, ngapain juga?""Tapi gue bisa pastiin kalo hadiah gue nanti bakal bikin lo baper," jawab Daffa santai dengan senyum miring yang membuat Aira mendengkus geli."Nggak yakin gue. Lo emang pernah pacaran? Nggak, kan. Mana bisa buat gue baper.""Jangan ngeremehin gue kali, Ra. Gini-gini gue juga cowok gentle." Daffa mendecih, Aira saja yang belum tahu bagaimana isi hati dan otaknya akhir-akhir ini tentang siapa.Aira memu
Momen yang tidak pernah terbayangkan di benaknya tadi malam—masih membekas di ingatannya dan sulit sekali untuk Aira lupakan begitu saja. Terlampau mengejutkan dan tidak mengira, Daffa sebagai sahabatnya akan melakukan hal demikian. Itu semua—masih terasa seperti mimpi.Aira reflek tersenyum tipis ketika mengingatnya. Dia menyadari, ternyata orang yang dimaksud Daffa itu ialah dirinya. Sungguh, Aira tidak bisa untuk tidak tersenyum senang karena orang yang dia maksud ternyata juga balas menyukainya. Memang, entah sejak kapan, Aira juga mulai menaruh perasaan terhadap Daffa."Bener kata orang, persahabatan pria dan wanita pasti selalu berakhir cinta. Beruntung, kalo sama-sama suka.""Gue juga nggak nyangka. Situasinya yang bikin gue harus lakuin itu."Benar, tepat sekali. Aira memahami maksud ucapan Daffa. Cowok itu menyatakan perasaan terhadapnya tentu bukan karena alasan. Bukan hanya karena dia menyukai Aira, melainkan, Daffa melakukan itu karena ingin segera menyelesaikan semua masa
Bel pulang sekolah sudah berbunyi, menjadi pertanda yang membanggakan bagi semua murid. Semuanya berhamburan keluar kelas dan bergegas menuju parkiran. Tak sedikit yang rela mengantri untuk cepat-cepat pulang. Namun, tidak sedikit pula yang malas dan memilih menunggu di kelas.Sama halnya dengan Daffa dan Aira. Menunggu ketika sudah sepi, barulah mereka menuju parkiran. Sekarang Aira yang baru saja keluar dari kelas langsung mengejar Daffa karena cowok itu berjalan sangat cepat. Sampai-sampai Aira memanggil dengan nada kesal, Daffa tetao saja tidak menghentikan langkahnya."Daffa sialan! Tungguin gue buset!" Aira berteriak di koridor kelas. Dengan napas yang terengah-engah dia menyusul Daffa di depan sana."Duh, lo lemot banget, sih, Let," ejek Daffa dengan kekehan pelan. Dia mendapati raut Aira yang kesal dan lelah ketika sudah berdiri di sampingnya."Lo, tuh, yang kecepetan! Kaki gue pendek, Tai!" dengkus Aira kesal, dirinya memang mengakui jika kakinya tidak tinggi. Alias pendek.D
Ada salah satu hal yang tidak pernah terbayangkan di benak Aira sebelumnya. Yaitu, tentang Daffa yang bernotaben sebagai sahabatnya justru ingin melamarnya. Parahnya lagi, ketika dirinya masih duduk di bangku SMA. Itu merupakan hal yang membuatnya tertegun seketika.Malam ini, Aira masih berada di kamarnya. Dengan degup jantung yang berdetak cepat, serta telapak tangannya yang dingin. Sungguh, sekarang dia merasa akan menjadi seorang gadis yang sudah menjadi milik seseorang. Malam ini, Aira sudah berdandan—tipis. Yah, itu juga demi menyambut kedatangan Daffa dan mamanya beberapa menit yang akan datang.Aira berulang kali menghela napas. Membuang napas panjang. Menarikya lagi, lalu mengembuskannya lagi. Sudah beberapa kali—namun tetap dia panas dingin. Detak jantungnya masih sama. Deg-degan. Terlebih, dandanannya malam ini, baru pertama kali dia coba dan perlihatkan kepada Daffa.Entah bagaimana reaksi Daffa nanyi—yang pasti Aira berharap dirinya tidak terlalu buruk di mata cowoknya. D
Aira sudah meremas roknya untuk menahan kegugupan. Padahal biasanya dia akan blak-blakan dengan Daffa, tetapi sekarang, semenjak statusnya berubah di mata Daffa, Aira menjadi tidak senyaman biasanya. Saat suasana canggung dan hening menyelimuti, suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar."Kamu? Ngapain di sini? Jangan ganggu anak saya lagi, ya!" Andi tiba-tiba masuk dan menutup pintu lalu ketika hendak berjalan kembali, netranya mendapati Daffa yang tengah duduk. Dia langsung menatap marah dengan alis menaut.Aira spontan berdiri, memegang lengan sang papa berusaha untuk menenangkannya. "Pa, bisa tenang nggak? Daffa ke sini justru karena ada maksud tertentu. Please, kali ini aja papa mau bicara baik-baik sama dia."Andi berdecak, dia yang sudah lelah dengan pekerjaan, tiba-tiba dihadapkan dengan keadaan seperti ini. "Cepat sampaikan apa maksud kamu ke sini, saya tidak punya banyak waktu.""Pa, jangan gitu bisa nggak?" protes Aira, dia agaknya juga mulai kesal dengan sifat sang papa.And
Ruangan bernuansa putih itu hanya diisi oleh keheningan. Di dalam tampak sepi. Hanya suara denting jarum jam yang berputar tanpa henti. Serta merta AC yang menyala memberikan kesejukan di sekelilingnya, alih-alih, menambah suasana mencekam tengah terjadi di sana.Ada Aira menggeleng lemah, hatinya kembali sakit mengingat masa-masa kemarin. "Belum. Dari kemarin gue ke sini, sampai tadi pagi, dia belum siuman."Serin mengangguk, kemudian membuang napas sembari menyentuh sebelah pundak Aira. Berusaha menenangkan suasana hati gadis itu. "Lo tenang aja, dia pasti bakal sadar. Lo tau, kan, dia bukan cowok lemah. Gue yakin, dia pasti juga kangen liat wajah lo.""Ah, lo malah bikin gue tambah sesek, Kak." Aira mendengkus dengan senyum, meskipun matanya sempat berkaca-kaca.
Degup jantung Aira berdetak lebih kencang dari biasanya, langkah kakinya berlari cepat setelah membuka pintu rumah sakit. Tangis mengharu, bibir Aira terisak bahkan saat baru saja sampai—di depan pintu berwarna coklat itu. Kepalanya menunduk, tubuhnya ikut meluruh di depan pintu."Kenapa harus lo, sih, Daf? Kenapa harus hari ini? Bukannya lo udah bilang mau ngelamar gue, Daf?" yang beda."Isak tangis Aira semakin pecah, air mata tidak enggan berhenti. Sesak semakin pula menekan dadanya. Aria tidak menyangka. Semuanya terjadi begitu saja—seolah takdirnya sekejam itu untuk bisa menerima semuanya. Aira tidak pernah mengakui dirinya lemah, tapi tidak untuk dari balik kaca dengan tatapan khawatir. Sekaligus merasa bersalah. Padahal nyatanya, dia cukup kesal."Ah, sial. Kenapa dia bikin gue kesel, sih? Harusnya dia bilang ke gue kalo mau jemput!"Aira berdecak, mendengkus, meski dengan Aira mata yang masih meluruh. Aira memutuskan untuk duduk di kursi penunggu dan berdoa untuk keselamatan Da
Pagi ini menjadi pagi yang paling Aira tunggu. Seperti janji Daffa kemarin yang mengatakan ingin ke rumah untuk melamarnya. Sungguh, Aira berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, tetapi tetap saja kemarin malam dia tidak bisa tidur. Bayang-bayang wajah Daffa yang tersenyum memenuhi isi kepalanya—bahkan sampai pagi ini.Aira reflek menepuk kepalanya sendiri. "Udah gila lo, Ra. Bener-bener gila."Seragam hari ini sesuai jadwal sudah dia kenakan dan sempurna melekat di tubuhnya. Aira sesaat menatap pantulan dirinya di cermin sebelum mengulas senyum dan memutuskan untuk segera keluar dari kamar. Menuruni anak tangga dengan raut sumringah. Sangat kentara jika Aira sudah tidak sabar menantikan malam nanti."Duh, padahal masih nanti malem, kok, gue sekarang udah deg-degan, ya?" batin Aira sembari memegang dadanya yang sudah memanas. Degup jantungnya berdetak kencang.Aira menggeleng, tersenyum geli. "Otak gue nggak bener, nih."Akhirnya karena tidak mau terlambat sekolah, Aira langsun
"Daf," panggil Aira dengan nada pelan dan malas. Seolah tak bertenaga padahal di depannya sudah ada beberapa makanan serta minuman penghilang dahaga."Heum? Kenapa? Lo laper?" balas Daffa ngawur. Padahal sudah jelas-jelas Aira selesai makan. Dan di atas meja sudah tersaji beberapa camilan untuk gadis itu dan dirinya sendiri.Aira berdecak, menghela napas panjang. "Gue butuh semangat buat balikin mood. Gue makin stres karena Serin nggak pulang dari kemarin."Pergerakan jemari Daffa yang semula mengetik sesuatu di ponsel, spontan terhenti kala mendengar berita itu. "Why? Kok bisa? Gimana ceritanya?"Aira mengangkat bahu. Jika dia tahu, mungkin dia tidak akan bertanya. "Gue juga nggak tau ada apa di rumah selama gue sekolah. Dia kemarin emang nitip surat ke gue karena dia nggak masuk sakit. Eh, pas gue pulang dia malah kabur."Daffa meletakkan ponselnya. Punggungnya dia tegakkan dan menghadap Aira. Kepalanya menggeleng. "Nggak, pasti ini ada yang aneh. Buat apa dia kabur pas sakit dan buk
Aira sedang berjalan-jalan menuju belakang sekolah, niatnya hanya ingin mencari udara segar sebab di kelas sudah sangat pengap. Lagi pula, hari ini guru-guru sedang rapat. Aira yang bosan dengan suasana halaman belakang lantas berjalan menaiki anak tangga menuju roof top.Sampai di sana, dia bisa menghela napas panjang. Udara sungguh sejuk disertai dengan semilir angin yang berembus dan menerpa wajah serta beberapa helai rambutnya. Bibir Aira tersenyum, setidaknya keadaan yang semula tenang sebelum sebuah cekalan di lengannya membuat Aira tersentak."Lo? Ngapain ke sini? Lepasin gue nggak?!" teriak Aira ketika melihat Rehan berdiri di depannya dengan tangan yang mencekal kuat pergelangan tangannya.Tatapannya tersorot tajam dan dingin. Rahangnya mengeras sebelum Rehan membentak Aira. "Nggak akan sebelum lo minta maaf ke gue!"Aira reflek tersentak, degup jantungnya ikut berdegup kencang. "Apa-apaan, sih! Gue nggak ada salah apapun sama lo! Jangan ngarep gue bakal minta maaf, Re!""Gue
Kerap kali masalah yang menimpa hidup selalu menjengkelkan. Setiap manusia, nyatanya memang punya masalah. Tetapi, banyak dari mereka yang menghindar dari masalah itu. Padahal, semakin lama dibiarkan, masalah justru semakin banyak dan tentunya—jauh lebih menjengkelkan.Aira sangat berharap masalahnya segera berakhir, dia hanya ingin hidup tenang, tanpa beban, dan bebas dari segala ancaman. Namun, lagi-lagi semesta seolah tidak membiarkan. Masalah satu baru saja selesai, tapi masalah yang lain justru menghampiri. Sungguh, Aira selalu mempunya keinginan untuk menyerah."Daf, gue capek. Gue pengen nyerah. Boleh nggak, sih?"Pertanyaan langka yang baru pertama kali Daffa dengar dari mulut Aira setelah beberapa tahun bersahabat. Aira yang selalu tampak kuat dan semangat, kini tampak lesu dan tidak berdaya. Datang dari dapur, sudah mendapat ekspresi serta keluhan demikian. Lantas, karena tidak setuju, kepala Daffa menggeleng."Nggak, lo nggak bisa lakuin itu. Kenapa, sih? Lo jangan gampang n
"Mana mungkin!" elak Aira ketika baru saja mendengar tebakan Serin yang tidak terpikirkan oleh benaknya."Ya maaf, gue, kan, cuma nebak. Lagian, alasan apa lagi yang buat wanita itu dateng ke rumah kita dan ngaku dia ibu kandung lo?" lanjut Serin, dengan embusan napas dan mengangkat bahunya. "Mungkin aja dia modus, kan? Zaman sekarang orang udah pinter nyari uang dengan segala cara. Dan mungkin dia salah satu orangnya." Serin berkata lagi karena Aira masih diam dengan pikirannya.Sesaat, akhirnya Aira mengangguk pelan. Dia juga sudah berpikir demikian. "Itu pemikiran yang masuk akal juga, sih. Tapi yang jadi masalahnya itu, dia ke sini naik mobil, Kak. Bukannya udah jelas kalo dia orang kaya?"Serin sedikit tertegun. Dia hampir saja melupakan hal itu. "Eh, bener juga lo. Terus, gimana? Gue nggak tau apa-apa. Sebenernya gue juga nggak peduli dan nggak percaya, tapi, gue heran kenapa dia bisa tau rumah kita!""
"Pagi, Kebo!" sapa Daffa pada Aira ketika mereka berjalan beriringan di koridor. Berbeda halnya dengan Daffa yang semangat, Aira justru tampak lemas."Hem, pagi," balas Aira pelan. Nadanya sangat lesu. Hal itu tentu membuat Daffa berdecak."Yang semangat, dong! Yaelah lemes amat lo." Daffa merangkul pundak Aira agar gadis itu bersemangat. Tetapi, agaknya dia tidak berhasil sebab Aira justru pergi meninggalkannya."Woi, tungguin gue!" teriak Daffa yang lantas menyusul Aira.Sampai di samping Aira, Daffa menggerutu. "Kebo lo, kenapa main ninggalin gue, sih?""Woi?" panggil Daffa karena Aira justru diam dan tampak melamun. Dia merasa sudah berbicara sendiri sedari tadi.Daffa mendecih, karena sekali lagi panggilannya diabaikan oleh Aira. "Ra, lo kenapa?" tanyanya lagi. Kini Daffa sudah menghadang jalan Aira dan memegang kedua pundaknya. Aira reflek mengerjap. "Hah, gue? Gue kenapa?"Daffa berdecak. "Kenapa lo jadi pendiem gini? Ini bukan lo yang gue kenal biasanya."Aira menghela napas,
"Pagi, Ma!" sapa Aira ketika ketika sampai di dapur dan melihat sang mama tengah menyiapkan sarapan pagi ini."Pagi, Aira! Yuk, kita sarapan bareng," balas suci dengan seulas senyum di bibirnya saat mendapati Aira yang sudah duduk di depannya. Sungguh, dia merindukan suasana seperti ini.Aira yang baru duduk mengerutkan kening karena ada seseorang yang belum tampak di kedua netranya. "Kak Serin mana, Ma?" "Bentar lagi juga dateng. Nah, tuh, dia."Serin berjalan menuju meja makan dan duduk di samping Aira. Senyumnya tampak menggelikan sembari menatap Aira dengan godaan. "Lo kangen gue, Ra?"Aira mendelik, juga mendengkus kecil. "Mastiin aja lo masih hidup, Kak.""Warisan gue cuma buat mama kalo gue mati." Serin terbahak sekilas, mengambil piring dan sendok di meja makan. Aira mendengkus lagi, ikut melakukan hal yang sama. "Yaelah, bercanda, astaga.""Udah-udah, mending kita mulai sarapan," potong sang mama menengahi. Membuat Serin tersenyum tipis, sementara Aira menghela napas. Sekeja