“Sekarang bukan waktunya untuk itu, kita tidak punya banyak waktu,” kataku tegas dengan suara dalam. Kakiku masih saja bergoyang, tidak bisa diam. Sudah hampir tiga puluh menit aku duduk dengan posisi kaki bersilang menjuntai di bangku halte tak jauh dari sekolah. Entah sudah berapa kali lampu berganti warna sedari tadi. Mobil dan manusia bergantian untuk menyebrang, berlalu-lalang. “Sampai kapan kita akan duduk di sini?” Arin mulai mengeluh. Mereka masih saja menemaniku hingga ke halte. “Sampai kita melihat mobil Sekretaris Lin keluar,” balasku lagi. Pandanganku tak teralihkan sedikitpun dari gerbang sekolah berjalan sepuluh meter di seberang jalan. “Kau mau apa jika mobilnya keluar? Membuntutinya?” Arin mengerang tidak percaya sambil menghempaskan badannya ke bangku. “Kita mau membuntutinya pakai apa? Kita gak ada mobil.” “Siapa bilang kita akan membuntutinya?” Sudut bibirku terangkat. Baru saja sebuah rencana tercetus di benakku. Kali
Suara langkah kaki berjalan mendekat. Wajah Arin sudah berubah pucat pasi seiring suara langkah kaki yang semakin mendekat. Keringat dinginnya mulai mengalir memenuhi dahi dan pelipis. “Hei! Apa yang harus kita lakukan sekarang?” bibir Arin bertanya tanpa bersuara. Wajahnya terlihat sangat panik. Namun berbeda denganku yang masih memasang wajah datar. Toh ini bukan kali pertama aku melakukan hal-hal seperti ini. Tapi bukan berarti pula aku sering melakukan hal ini. “Ayo kesini,” bisikku pelan. Tepat saat itu suara langkah kaki di luar sana berhenti. Tak lagi terdengar sehingga membuat langkah kakiku ikut terhenti. Sontak mataku dan Arin bertemu di tengah ruangan gelap, samar-samar dengan pencahayaan sangat kurang. Remang-remang. “Jia! Hei! Arin!” Hei, itu suara Mino. Aku langsung bangkit dari posisi sebelumnya yang bersembunyi di bawah salah satu meja guru. BUK!! Sial. Kepalaku terbentur meja yang membuatku mengaduh kesakitan
“Astaga, aku lelah sekali,” ucapku sambil merebahkan badan. Kami bertiga berbaring sejajar di lapangan hijau tengah kota. Stadion tanpa atap dekat dari rumahku. Tempat yang paling sering kudatangi bersama Mino dulu. Entahlah bagaimana kami bisa berakhir di sana. Langkah kaki ini tanpa sadar membawa kami berlari hingga ke sana. “Hm. Aku juga lelah sekali,” timpal Arin. Nafasnya agak tersengal. Jelas sekali kalau dia jarang berolahraga. “Siapa suruh kalian berlari,” balas Mino kemudian tertawa sambil memasang wajah tengil. “Kau pikir gara-gara siapa kami berlari sampai ke sini huh,” balasku lagi tak mau kalah. “Baiklah, baiklah aku mengerti.” Mino mengalah. Dia menghela nafas panjang. “Ternyata kita sudah sejauh ini,” ungkapnya pelan menatap bintang di langit. Aku memutar kepala menghadapnya. Posisiku masih sama, di tengah di antara Mino dan juga Arin. “Hm, kita sudah sampai sejauh ini,” lanjutku lagi. Mino mengalihkan pandanga
Mino mendengus. Hei. Kami bukanlah orang asing yang harus meminta izin untuk saling berpelukan satu sama lain. Entahlah. Mungkin saja Mino merasa aku sangat aneh pagi itu. Tak perlu menjawab dengan kata-kata. Mino langsung merangkul pundakku lalu mendekapku ke dalam pelukannya. “Tentu saja, sejak kapan kau harus minta izin seperti tadi itu.” Aku tersenyum dalam diam. Membenamkan kepala di pundak Mino. Pundak yang selalu ada menopangku di saat aku terjatuh dalam keadaan terburuk. Ehem! Ehem! Pandi berdeham dari balik kemudi. Astaga! Seketika kami lupa ada pandi di sana. Dan kami tengah berada di dalam mobil yang tengah melaju membelah kota yang mulai padai merayap. Aku melonggarkan lengan sambil menjauhkan kepala dari pundak Mino. Kami serentak melirik kaca kecil yang menggantung di depan. Sudut mata Pandi terlihat fokus melihat jalan di depan. Aku terkikik dalam diam. Kami tau kalau sebenarnya Pandi sedari tadi mendengar perc
“Dimana?” Aku bertanya antusias dan mendesak di saat bersamaan. “Ternyata dia sekolah di sekolah yang sama dengan Rey.” “Apa?” Kali ini Mino yang bersuara kaget. Tak percaya. “Tidak mungkin. Pandi sudah mencarinya di sana.” Arin menelan saliva. Menatap ke arahku, Mino dan Geofanny bergantian. “Tentu saja kau tidak berhasil menemukannya.” “Bagaimana bisa?” tanya Geofanny. “Karena dia baru saja di terima di sekolah itu satu minggu yang lalu dan dia belum pernah menginjakkan kakinya di sekolah itu sampai sekarang.” “Lalu darimana kau tahu semua ini?” “Ray.” “Ray?” Aku menoleh pada Mino meminta penjelasan. Bukankah seharusnya Ray juga bilang padanya jika memang betul Hanna sekolah di tempat yang sama. “Ya, Ray. Dia bilang melihat Hanna berjalan memasuki sekolah saat jam pulang tiba. Bukankah itu aneh? Kenapa dia datang pada saat semua orang sudah pulang?” Kami bertiga ma
Suasana cefe tiba-tiba menjadi hening. Semuanya terkejut karena Ray tiba-tiba mengajak Hanna ke pertemuan penting kami siang itu. “Kau serius?” tanyaku tak sabaran. Lupakan rasa kesalku yang belum hilang pada Ray. Berita Hanna mengambil alih semuanya. Mino tersenyum dalam diam. Dia melirik Arin yang sepertinya juga sudah tahu jika Hanna akan datang ke café. “Kau juga sudah tahu?” tanya Mino pada Arin. “Ya. Dia memberitahuku di telfon tadi sebelum aku datang ke sini,” sahut Arin tak ingin membuat semua orang salah paham. “Baguslah jika Hanna memang benar-benar datang ke sini,” gumamku pelan. Tanganku melepaskan tangan Mino yang ternyata masih saja betah menggenggam tanganku. Aku sibuk mencari ponsel di dalam tas. “Ah, sial. Kemana aku meletakkannya,” umpatku saat tak berhasil menemukan benda kotak hitam kecil itu. “Ini,” kata Mino sambil menyodorkan ponselku. “Percuma kau cari dalam tas karena kau meletakkannya di
Kami semua kembali berkumpul di café sepulang sekolah. Kami sepakat untuk memakai blazer ataupun jaket untuk menutupi seragam sekolah. Seperti yang kalian tahu, mata Sekretarin Lin ada dimana-mana. Jadi kami memutuskan untuk duduk di meja terpisah namun saling berkomunikasi melalui panggilan video. Lucu memang, tapi apa boleh buat. Jangan sampai semuanya gagal bahkan sebelum kami memulai. Kami mulai menyusun rencana satu per satu. “Kau bisa buatkan kembali ruang obrolan sekolah?” Aku bertanya pendapat Arin. Sebelumnya aku sudah mengumumkan tentang rencana awal membuat video tentang Mino. Anak laki-laki itu juga sudah siap dengan videonya. Mino langsung membuat videonya setelah percakapan kami sore itu. Pandi juga bergerak cepat mengumpulkan anak buahnya untuk membuat video itu. Arin mengangguk mantap. Itu bukan pekerjaan sulit. “Pastikan tampilannya publik sehingga bisa dilihat siapa saja selain member sekolah.” Arin kembali mengangguk m
Mino mengikuti Pandi dari belakang. Selepas pulang sekolah tadi, Mino segera menuju kediaman ayahnya. Pandi bilang situasi sekarang berbahaya dan mendapatkan kode warning. Ya. Semacam kode yang langsung membuat Mino mengerti. “Kenapa? Apa ada yang terjadi?” Aku bertanya sesaat setelah Mino menutup panggilan telepon. “Ayahku menyuruh pulang,” balas Mino terdengar santai. Dia mengemas buku buku yang tak pernah di bacanya ke dalam tas. “Kenapa? Jangan bilang ayahmu sudah lihat video itu?” Mino mengangkat bahu santai. “Sepertinya sudah, makanya menyuruhku segera pulang.” Kedua tanganku terangkat menutup mulut yang ternganga panik. “Bagaimana ini? Kau tidak akan dihajar habis habisan oleh ayahmu bukan?” Raut wajahku berubah panik. Mino mendengus. “Hei. Ayahku bukan preman seperti yang kau bayangkan.” “Oh, maaf. Aku hanya khawatir jika memang itu yang akan terjadi. Apa sebaiknya aku ikut saja denganmu? Jadin