Badanku terhempas ke lantai. Aku mengaduh kesakitan, tapi untunglah tidak ada yang terluka. Hanya saja bajuku agak kotor karena bergelimangan pasir. Aku berusaha bangkit lalu meraih ransel yang tak jauh dari posisiku kini. Sekarang hanya tinggal gedung kasta satu, setelahnya aku bisa tiba di atap gedung utama. Tapi yang jadi permasalahnnya sekarang adalah jarak dari pijakanku kini cukup jauh dengan gedung kasta satu di depan sana. Jika tak mau terluka atau terjatuh ke bawah, aku harus mengambil jalan untuk melewati auditorium di sampingnya. Bukannya lega, tapi atap auditorium tidak berbentuk rooftop seperti gedung lainnya, melainkan sepenuhnya atap berbentuk segitiga. Jika aku melompat dan mengambil pijakan yang salah, maka sudah dipastikan aku langsung terjun ke bawah dan…. Ya. Kalian pasti tahu apa akibatnya. Aku menghela nafas sambil menggaruk kening kemudian turun ke tengkuk. Aku menjadi bingung karena kedua jalan yang bisa dilalui sama-sama berbahaya. Aku masih tak pe
Hari itu, sekolah sudah heboh semenjak pagi. Beberapa murid yang melewati gerbang utama berhenti sejenak untuk melihat dan mengambil gambar foto Mister Han yang sudah hancur babak belur. Berawal dari seorang murid yang memposting di ruangan obrolah sekolah hingga membuat semua murid kembali keluar untuk menyaksikan foto Mister Han secara langsung. Bahkan ada yang memuji siapapun yang berani melakukan hal gila seperti itu. Karena jika ketahuan, konsekuensinya sangat besar hingga bisa dikeluarkan dari sekolah karena sudah menghina direktur yayasan. Tapi siapa sangka jika itu adalah aku, putrinya sendiri. Mino pun yang datang melalui gerbang utama berhenti untuk memandangi gambar itu. “Apa ini juga perbuatanmu?” Mino menoleh ketika mendengar suara Arin yang sudah berdiri di sampingnya. Tapi dia tak menjawab malah membuang muka. “Siapapun yang melakukannya, aku akui nyalinya besar juga. Sepertinya aku harus berteman dengannya,” lanjut Arin lagi sambil menatap seger
Sepulang sekolah, Mino mengantarku pulang. Setelah itu dia pun langsung pulang. Sepanjang perjalanan dia sibuk mengulangi kalimat yang sama. Mengatakan kalau aku harus istrahat. Jangan sampai melakukan hal-hal bodoh lagi. Aku membuang ransel di sembarang tempat, lalu mendudukkan badan di kursi meja belajar. Aku membuka hoody dan memeriksa luka di lengan. Dokter Lita tadi mengingatkanku untuk mengganti perban jika ingin tidur. Baiklah. Sepertinya aku bisa melakukannya sendiri dengan sebelah tangan. Salah siapa juga tak hati-hati sampai mendapatkan luka jahit seperti ini. Setelah selesai, aku melirik ponsel yang terletak di sudut meja. Ternyata ponselku sudah berdiam di sana seharian. Sambil mendesah, tanganku meraih benda persegi itu. Wajahku di terpa cahaya layar yang begitu terang hingga membuatku menyerngitkan kening. Ponselku penuh dengan notifikasi dari ruang obrolan yang sibuk membicarakan spanduk Mister Han yang sudah diturunkan tadi pagi. Jari-jariku lih
Setelah mendapatkan perawatan dari Dokter Lita kemarin, bengkak di kakiku sudah berkurang. Selain aku memang rajin mengompresnya dengan air panas dan juga air dingin sesuai saran dari Dokter Lita. Mino sudah menunggu di depan rumah. “Aku berangkat dulu ya bi,” seruku dari luar rumah. Sepertinya Bi Ruri masih sibuk di dapur. Ya sudahlah. Aku menutup pintu dan segera masuk mobil. “Kakimu sudah baikan?” tanya Mino ketika pintu mobil kembali dirapatkan. “Hm. Sudah agak baikan,” balasku singkat. “Aku harus segera ke ruangan Mister Han begitu kita tiba,” kataku sambil menoleh pada Mino dan menatapnya dengan serius. “Sekarang apa lagi?” tanyanya tak mengerti. “tadi malam Mister Han datang ke rumah. Dia bilang kalau sudah menangkap pelakunya,” Sontak Mino langsung memutar badannya menghadap ke arahku, “siapa?” “Rey,” jawabku singkat. Kening Mino berkerut. Dia tak pernah mendengar nama itu sebelumnya, “Rey? Mem
Plak! Rey mendapatkan sebuah tamparan di pipi kanannya. “Sudah berapa kali kubilang, huh? Jangan membuat masalah! Aku sudah cukup lelah mengurus semua masalah sekolah dan juga Jia..” Demi menjaga sopan santun terhadap ibunya, Rey hanya diam, tak bersuara dan tak membantah sedikit pun. Sambil berdiri dengan kedua tangan yang di tautkan ke belakang, dia membiarkan ibunya berbicara sepanjang malam. Rey menunduk, dia bisa merasakan kebas di pipi kanannya. “Besok pagi kau akan mendengarkan pengumuman dan mendapatkan pengumuman tentang hukumanmu,” terang ibu Rey terdengar dingin. “Ini yang terakhir untukmu, jika sekali lagi kau membuat masalah. Kau akan tanggung akibatnya,” tutup ibu Rey sambil berbalik meninggalkan Rey yang mematung di sana. Setelah ibunya masuk kamar, Rey pun berjalan kembali ke kamar sambil menyeka sudut bibirnya. Tampaknya memar karena perih ketika disentuh. Rey menatap dirinya di cermin. Tidak senyum, tidak sedih. Dia han
Hana menggeledah laci mejanya sekali lagi. Buku-bukunya sudah berserakan di lantai. Aku menelan saliva ketika dia juga menggeledah laci mejaku. Untunglah aku tak menyimpan diari itu di sana. Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana cara mengembalikan buku pada Hana jika dia sudah terlanjur marah seperti itu? Sekarang Hana berjalan keluar menuju loker. Mino melirikku memberi kode. Dia meminta buku itu. Perlahan dan tak bersuara aku mengeluarkan buku diari dari balik baju. Mino langsung mengambilnya secepat kilat. Sesekali dia melirik Hana yang sibuk menggeledah lokernya di luar. Mino segera berjongkok dan menaruh diari itu di antara buku-buku yang berserakan di lantai. Dengan cepat dia kembali duduk seolah tak terjadi apa-apa. Aku menghela nafas lega. Suasana kelas menjadi tegang ketika Hana kembali masuk kelas. Anak-anak lain juga melihat Hana tapi tak membantu sama sekali. Aku juga tak mungkin membantunya. Terpaksa aku bersikap seperti yang lain. Masa bodoh dan
Aku berjalan menuju tempat pemisahan sampah di belakang sekolah. Di sana aku tak melihat siapa-siapa. Kemudian aku meneruskan jalan menuju perpustakaan. Aku juga harus membersihkan rak buku yang sudah agak berdebu dan membersihkan kaca di sekeliling dindingnya. Ya. Jika kuingat-ingat lagi, perangaiku di sekolah ini memang banyak sekali jadi tak heran jika aku harus membersihakan seluruh sudut sekolah sebagai balasan. Tidak masalah asalkan tidak orang lain yang menanggungnya. “Kau tidak capek melakukan ini?” suara pelan seorang anak laki-laki terdengar. Sontak aku langsung menoleh untuk mencari sumber suara itu. Tak lama setelahnya dia muncul dari balik rak buku. Dia menyandarkan punggungnya pada rak dan bertumpu dengan sebelah kaki dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku. “Aku tanya kau tidak capek melakukan semua ini?” “Kenapa kau bertanya? Pertanyaan itu sama sekali tak cocok untukmu,” balasku ketus. “Ya…aku bisa apa jika sudah menyangkut ana
Sepulang sekolah aku tidak langsung pulang. Aku masih harus membersihkan auditorium karena seharian sudah digunakan berolahraga dalam ruangan. Aku meyakinkan diriku untuk tak boleh mengeluh. Selama beberapa hari ini terlalu banyak mengeluh. Mungkin karena itu otakku seperti menolak untuk bekerja sana. Satu per satu murid mulai berjalan menuju gerbang utama di depan. Bersiap untuk pulang. Di depan sana aku bisa melihat belasan mobil sudah berjejer menjemput putra putri terbaik mereka. Tapi apa mereka tahu apa yang terjadi di sekolah ini? Kebanyakan para murid di sini tutup mata dan juga telinga jika melihat kasus-kasus bullian yang terjadi. Nilai dan reputasi jauh lebih penting bagi mereka. Hanya aku yang sibuk kesana-kemari sampai lupa cara untuk berbuat baik pada diri sendiri. Dulu aku memang pernah memimpikan ketika pulang sekolah dijemput oleh ayah, lalu dia menciumi keningku ketika aku menyalami tangannya. Menanyakan bagaimana hariku di sekolah, apa yang ku