Setelah mendapatkan perawatan dari Dokter Lita kemarin, bengkak di kakiku sudah berkurang. Selain aku memang rajin mengompresnya dengan air panas dan juga air dingin sesuai saran dari Dokter Lita. Mino sudah menunggu di depan rumah. “Aku berangkat dulu ya bi,” seruku dari luar rumah. Sepertinya Bi Ruri masih sibuk di dapur. Ya sudahlah. Aku menutup pintu dan segera masuk mobil. “Kakimu sudah baikan?” tanya Mino ketika pintu mobil kembali dirapatkan. “Hm. Sudah agak baikan,” balasku singkat. “Aku harus segera ke ruangan Mister Han begitu kita tiba,” kataku sambil menoleh pada Mino dan menatapnya dengan serius. “Sekarang apa lagi?” tanyanya tak mengerti. “tadi malam Mister Han datang ke rumah. Dia bilang kalau sudah menangkap pelakunya,” Sontak Mino langsung memutar badannya menghadap ke arahku, “siapa?” “Rey,” jawabku singkat. Kening Mino berkerut. Dia tak pernah mendengar nama itu sebelumnya, “Rey? Mem
Plak! Rey mendapatkan sebuah tamparan di pipi kanannya. “Sudah berapa kali kubilang, huh? Jangan membuat masalah! Aku sudah cukup lelah mengurus semua masalah sekolah dan juga Jia..” Demi menjaga sopan santun terhadap ibunya, Rey hanya diam, tak bersuara dan tak membantah sedikit pun. Sambil berdiri dengan kedua tangan yang di tautkan ke belakang, dia membiarkan ibunya berbicara sepanjang malam. Rey menunduk, dia bisa merasakan kebas di pipi kanannya. “Besok pagi kau akan mendengarkan pengumuman dan mendapatkan pengumuman tentang hukumanmu,” terang ibu Rey terdengar dingin. “Ini yang terakhir untukmu, jika sekali lagi kau membuat masalah. Kau akan tanggung akibatnya,” tutup ibu Rey sambil berbalik meninggalkan Rey yang mematung di sana. Setelah ibunya masuk kamar, Rey pun berjalan kembali ke kamar sambil menyeka sudut bibirnya. Tampaknya memar karena perih ketika disentuh. Rey menatap dirinya di cermin. Tidak senyum, tidak sedih. Dia han
Hana menggeledah laci mejanya sekali lagi. Buku-bukunya sudah berserakan di lantai. Aku menelan saliva ketika dia juga menggeledah laci mejaku. Untunglah aku tak menyimpan diari itu di sana. Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana cara mengembalikan buku pada Hana jika dia sudah terlanjur marah seperti itu? Sekarang Hana berjalan keluar menuju loker. Mino melirikku memberi kode. Dia meminta buku itu. Perlahan dan tak bersuara aku mengeluarkan buku diari dari balik baju. Mino langsung mengambilnya secepat kilat. Sesekali dia melirik Hana yang sibuk menggeledah lokernya di luar. Mino segera berjongkok dan menaruh diari itu di antara buku-buku yang berserakan di lantai. Dengan cepat dia kembali duduk seolah tak terjadi apa-apa. Aku menghela nafas lega. Suasana kelas menjadi tegang ketika Hana kembali masuk kelas. Anak-anak lain juga melihat Hana tapi tak membantu sama sekali. Aku juga tak mungkin membantunya. Terpaksa aku bersikap seperti yang lain. Masa bodoh dan
Aku berjalan menuju tempat pemisahan sampah di belakang sekolah. Di sana aku tak melihat siapa-siapa. Kemudian aku meneruskan jalan menuju perpustakaan. Aku juga harus membersihkan rak buku yang sudah agak berdebu dan membersihkan kaca di sekeliling dindingnya. Ya. Jika kuingat-ingat lagi, perangaiku di sekolah ini memang banyak sekali jadi tak heran jika aku harus membersihakan seluruh sudut sekolah sebagai balasan. Tidak masalah asalkan tidak orang lain yang menanggungnya. “Kau tidak capek melakukan ini?” suara pelan seorang anak laki-laki terdengar. Sontak aku langsung menoleh untuk mencari sumber suara itu. Tak lama setelahnya dia muncul dari balik rak buku. Dia menyandarkan punggungnya pada rak dan bertumpu dengan sebelah kaki dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku. “Aku tanya kau tidak capek melakukan semua ini?” “Kenapa kau bertanya? Pertanyaan itu sama sekali tak cocok untukmu,” balasku ketus. “Ya…aku bisa apa jika sudah menyangkut ana
Sepulang sekolah aku tidak langsung pulang. Aku masih harus membersihkan auditorium karena seharian sudah digunakan berolahraga dalam ruangan. Aku meyakinkan diriku untuk tak boleh mengeluh. Selama beberapa hari ini terlalu banyak mengeluh. Mungkin karena itu otakku seperti menolak untuk bekerja sana. Satu per satu murid mulai berjalan menuju gerbang utama di depan. Bersiap untuk pulang. Di depan sana aku bisa melihat belasan mobil sudah berjejer menjemput putra putri terbaik mereka. Tapi apa mereka tahu apa yang terjadi di sekolah ini? Kebanyakan para murid di sini tutup mata dan juga telinga jika melihat kasus-kasus bullian yang terjadi. Nilai dan reputasi jauh lebih penting bagi mereka. Hanya aku yang sibuk kesana-kemari sampai lupa cara untuk berbuat baik pada diri sendiri. Dulu aku memang pernah memimpikan ketika pulang sekolah dijemput oleh ayah, lalu dia menciumi keningku ketika aku menyalami tangannya. Menanyakan bagaimana hariku di sekolah, apa yang ku
Aku membuka sebuah buku kecil di meja. Akhir-akhir ini aku banyak menulis. Entahlah apa itu termasuk belajar menulis diari. Setidaknya bisa membuat jalan di depanku menjadi lebih jelas dan terarah. Suara TV di luar terdengar begitu keras hingga ke dalam kamar. Disusul gelak tawa dari Bi Ruri. Sepertinya beliau tengah asik menonton sebuah acara lawak di TV Nasional. Padahal menurutku tak lucu sama sekali. Candaan setiap generasi memang berbeda. Suara dering ponsel mengejutkanku. Sontak tanganku langsung meraih benda petak itu yang berada di atas kasur, sementara aku duduk di meja belajar. Siapa yang menelepon malam-malam begini. “Ada apa?” Aku mengangkat panggilan. Itu Mino. Dia bilang ada hal mendesak yang harus disampaikannya malam ini. Tapi aku tak terlalu yakin karena dia memang suka sekali membuat orang terbang tinggi dengan penuh harap tapi setelahnya dihempas sekuat-kuatnya ke bawah. Ya. Itu perumpamaan yang cocok untuk orang seperti Mino.
Aku memilih untuk mengabaikan Mister Han yang berdiri sambil tersenyum di sana. Baru dua langkah, aku menoleh. Rey masih berdiri dengan sopan di sana. Aku terpaksa memutar balik lalu menarik lengan Rey. “Ayo! Sebentar lagi bel akan berbunyi.” Entah kenapa aku bersikap sok akrab dengan Rey di sana. Tapi aku hanya tak ingin melihat Rey yang patuh pada Mister Han. Aneh. Rey pun juga langsung sopan ketika berhadapan dengan Mister Han. Apa menurut kalian juga aneh? Atau hanya aku saja yang mengajarkan Rey untuk bersikap kurang ajar pada orang tua. Rey juga tak menepis tanganku ketika aku menariknya menjauh. Boleh jadi dia juga ingin segera enyah dari hadapan Mister Han dan juga Sekretaris Lin. Ah, aku teringat sesuatu. Tatapan Sekretaris Lin pada Rey sangat berbeda. Entahlah. Sulit untuk kujelaskan. Yang pasti tatapannya berbeda dari biasanya ketika melihatku dan juga Mino. “Sekarang lepaskan tanganku.” Rey bergumam di belakang. Aku masih belum melepaskan tangannya
Dari berbagai banyak warna di dunia. Kenapa harus warna hitam? Padahal hitam tidak termasuk ke dalam warna pelangi yang tujuh. Sama seperti warna lainnya, hitam juga memiliki makna yang melambangkan kekuatan, keseriusan, kesunyian, misteri, dan juga kerahasiaan. Dari berbagai arti itu, akhirnya aku paham kenapa si pengirim misterius itu mengirimkan amplop berwarna hitam. Tak perlu di jelaskan pun aku sudah paham tujuan dan maksud dari orang misterius itu. Eh, tidak. Apa sekarang tidak lagi menjadi misterius karena aku sudah tahu sedikit banyaknya? Suasana kelas sepi, hanya menyisakan aku dan Mino. Boleh jadi mereka tengah mengantri untuk mendapatkan jatah makan siang di kantin. Membayangkannya saja aku menjadi tak selera makan. Ah, aku mengutuk dalam hati. Jika saja aku bisa merubah peraturan yang satu itu. Maka semua murid bisa makan dengan tenang. Tapi bagaimana caranya? Aku tidak punya kekuatan untuk itu. Bertahan untuk bisa terus bersekolah di sini saja sudah membuatku