Setelah satu minggu mencari mencari pekerjaan di internet, mengirimkan lamaran pekerjaan melalui email, bahkan sampai mengantarkan langsung ke perusahaan terkait, akhirnya Sherly mendapatkan panggilan interview.
“Yes!” Sherly sampai berseru girang bahkan melompat-lompat di atas tempat tidurnya. Bryan tertawa melihat tingkah ibunya itu.
“Sebentar lagi Mama akan kerja, Sayang. Mama bisa beliin banyak barang bagus buat kamu. Mama bisa beliin kamu susu dan mainan yang banyak!” ucap Sherly lantas menciumi balita yang berumur dua tahun itu.
Keesokan harinya…
Pagi-pagi sekali Sherly sudah bangun. Ia mempersiapkan kebutuhan Bryan terlebih dahulu sebelum mempersiapkan kebutuhannya sendiri. Tadi malam Sherly sudah mengobrak-abrik isi lemarinya, ia menemukan beberapa setelan kemeja dan rok yang masih bisa dipakai. Untunglah badan Sherly tidak melar setelah melahirkan, sehingga ia masih bisa memakai pakaian ketika masa kuliah dahulu.
Jadwal interviewnya adalah pukul sepuluh pagi. Pukul delapan paginya, Sherly terlebih dahulu mengantarkan Bryan ke tempat penitipan anak yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Setelah itu, barulah Sherly menggunakan Bus Kota untuk menuju RR Tech, perusahaan tempat ia akan melakukan wawancara.
Karena berdesakan di bus kota, baju Sherly yang sudah ia setrika serapi mungkin jadi sedikit kusut sekali. Wajahnya pun berkeringat hingga make up-nya luntur. Saat tiba di perusahaan itu, Sherly lebih dahulu membersihkan wajahnya di toilet.
“Mau wawancara, ya?” tegur seorang perempuan muda yang lebih dahulu berada di toilet itu.
“Iya, Mbak,” sahut Sherly. Ia memerhatikan kokarde yang melingkar di leher perempuan itu; Diana, RND Departement.
“Tadi pakai apa ke sini?” tanya Diana lagi.
“Pakai …” Sherly meneguk ludahnya, ia sangat malu jika harus mengaku datang menggunakan bus kota.
“Pakai ojek?” tebak Diana.
“Bu-bukan, Mbak. Pakai Bus Kota,” jawab Sherly akhirnya.
“Oh pantesan keringatan. Kemeja lo nyeplak, tuh!” ucap Diana lagi.
Sherly langsung meraba punggungnya sendiri yang ternyata memang basah. Tiba-tiba, Diana melepaskan blazer hitam yang dikenakannya lantas memberikan pada Sherly. “Pakai blazer gue aja,” ujarnya.
Sherly benar-benar tidak menyangka. “Terima kasih banyak ya, Kak. Pokoknya nanti setelah wawancara, blazernya akan saya kembaliin ke Kakak,” balas Sherly.
“Iya,” sahut Diana dingin lantas meninggalkan toilet itu terlebih dahulu.
Sherly pun bergegas mengenakan blazer yang dipinjamkan Diana kemudian menuju ruang HRD untuk melakukan wawancara. Ia sedikit heran karena di ruang tunggu tidak ada siapa-siapa. Apa mungkin hanya dia sendiri yang melamar di perusahaan itu? Atau dia yang salah tanggal?
Saat Sherly sibuk mengecek ponselnya, seseorang justru memanggilnya. “Dengan Mbak Sherly Agatha Siregar?”
“Iya, saya, Mbak,” sahut Sherly.
“Silakan masuk!”
Sherly pun memasuki ruangan HRD tersebut. Ia berhadapan dengan seorang ibu-ibu paruh baya yang parasnya dingin sekali.
“Tamat kuliah tiga tahun yang lalu, tapi kenapa tidak punya pengalaman kerja?” tanya HRD itu saat memeriksa berkas lamaran Sherly.
“Selama tiga tahun belakang, saya kerja freelance, Buk,” jawab Sherly.
“Freelance apa?”
“Penulis lepas.”
“Oohh.” HRD itu tampak manggut-manggut. “Lalu kenapa ingin melamar pekerjaan di sini?”
“Saya ingin meningkatkan kualitas diri dan hidup saya, Buk. Terlebih dengan tuntutan hidup yang kian bertambah, saya merasa perlu suatu pekerjaan yang lebih menjamin finansial dan karir saya,” jawab Sherly.
HRD tersebut menutup berkas lamaran Sherly. “CV kamu bagus, prestasi kamu selama kuliah juga bagus. Tapi sayangnya, kami sudah punya orang yang mengisi bagian kosong di Departement Research and Development. Kalau kamu mau, saya bisa tempatkan kamu di posisi lain,” ucapnya.
“Kalau boleh tahu, bagian apa ya, Buk?” tanya Sherly.
“Jadi sekretaris pribadi CEO perusahaan ini. Kamu kan punya latar belakang sebagai penulis lepas, jadi saya rasa kamu bisa cepat menyesuaikan diri sebagai sekretaris, seperti mengurus surat menyurat, pembukuan, mencatat agenda dan sejenisnya,” terang HRD itu.
Sherly merenung sejenak. Ia sebenarnya tidak ingin menjadi sekretaris, karena tentunya akan sering bepergian dengan sang CEO, tentu hal itu tidak mudah bagi Sherly yang sudah memiliki seorang anak. Tapi, jika menolak pekerjaan itu, Sherly takut tidak mendapatkan pekerjaan lain.
“Saya bersedia, Buk,” ucap Sherly akhirnya.
“Baik.” HRD itu tampak mencatat sesuatu di komputernya. “Kontrak kerja kamu sedang saya siapkan. Nanti akan saya berikan ke kamu. Sekarang, saya akan mengantarkan kamu untuk bertemu CEO dulu,” terangnya.
“Baik, Buk.”
Sherly mengikuti HRD tersebut. Mereka menaiki lift menuju lantai tujuh, lantai paling tinggi dari gedung itu. Lantai tujuh itu tampak berbeda, tampak sunyi dan terasa lebih dingin karena hanya ada satu ruangan, ruangan CEO. Di depan ruangan CEO tersebut ada sebuah meja kecil.
“Ini akan menjadi meja kamu nantinya,” ucap HRD itu pada Sherly. Ia tampak membuang plang nama di atas meja itu. “Nanti akan saya ganti dengan nama kamu,” imbuhnya. Sherly hanya membalas dengan anggukan kepala.
HRD itu menggunakan telepon di atas meja untuk menghubungi sang CEO yang berada di dalam ruangannya. “Saya sudah berada di depan ruangan Bapak. Saya membawa seorang sekretaris baru untuk Bapak,” ucapnya.
“Suruh dia menunggu,” sahut seseorang di balik telepon itu.
“Kamu disuruh menunggu dulu di sini. Maaf ya saya tidak bisa menemani, karena saya masih ada jadwal interview dengan orang lain,” ucap HRD itu.
“Oh, iya, baik, Buk. Terima kasih banyak sebelumnya, Buk.”
Saat Si Ibu HRD sudah raib di balik lift, Sherly merasa merinding. Tempat sunyi itu benar-benar membuat bulu kuduknya berdiri. Sherly mengedarkan pandangannya, mencari foto sang CEO yang sekiranya ada di dinding ruangan itu, tapi ia tidak menemukan apa selain lukisan-lukisan kuno. Sherly jadi berpikir, CEO perusahaan itu pastilah seorang bapak-bapak berumur lima puluh tahunan yang sebaya dengan Ibu HRD tadi.
Hampir satu jam menunggu di ruangan itu, sang CEO belum juga ke luar. Sherly yang mulai resah pun berinisiatif untuk mengintip dari kaca kecil di depan pintu. Tiba-tiba…
Klek!
Pintu itu dibukakan oleh seseorang dari dalam. Sherly terperanjak kaget, begitu pun dengan orang yang membukakan pintu.
“Aaaaa…!” Sherly dan laki-laki itu sama-sama berteriak karena kaget.
“Huuufft!” Laki-laki muda itu tampak menghembuskan napasnya. “Saya baru selesai nonton film thriller, kamu yang tiba-tiba nongol di depan mata bisa bikin saya jantungan tahu, nggak!” hardiknya.
Sherly masih bergeming memerhatikan sosok di hadapannya itu. Matanya menyipit saat mengamati paras laki-laki itu, mulai dari alis, hidung, hingga bibirnya. Tiba-tiba rahang Sherly terasa mengeras. Ia bahkan jadi kesulitan untuk meneguk ludah. Sherly tidak mungkin lupa, laki-laki itu adalah laki-laki yang menghabiskan satu malam dengannya di Bali pada tiga tahun yang lalu.
“Kamu sekretaris baru yang dimaksud Bu Melinda tadi?” tanya laki-laki itu lagi.
Sherly menggelengkan kepalanya. “Bukan,” jawabnya.
“Lalu?” Laki-laki itu menaikkan alisnya.
“Saya … Saya nyasar,” jawab Sherly yang benar-benar terdengar asal.
“Hah?”
“Saya permisi.” Tanpa berpikir lama, Sherly langsung turun dari lantai tujuh itu.
Sherly berlari-lari kecil saat ke luar dari pintu lift. Ia ingin secepat mungkin meninggalkan perusahaan tersebut. Sherly sendiri tidak habis pikir kenapa ia bisa bertemu kembali dengan laki-laki itu. Meski sebenarnya Sherly juga mempertanyakan kenapa ia memilih kabur? Bukankah ia memang mencari laki-laki itu selama ini? Bukankah ia ingin meminta laki-laki itu untuk bertanggung jawab?Di lobi, Sherly justru bertemu dengan Diana. “Udah selesai wawancaranya?” tegur Diana yang heran melihat Sherly ke luar lift dengan raut ketakutan.“Su-sudah, Mbak.” Sherly bahkan sampai tergagap saat menjawab pertanyaan Diana. Ia menanggalkan blazer yang dikenakannya lantas mengembalikannya pada Diana. “Terima kasih banyak ya, Mbak,” ucap Sherly.“Gimana hasil wawancaranya?” tanya Diana lagi, nada bicaranya terdengar dingin, sama seperti Ibuk HRD tadi, pun tidak jauh berbeda dengan sang CEO tadi. Sherly sampai berpikir bahwa seisi ka
Semula Sherly hendak makan siang di warung tenda depan kantor saja, tapi karena mengingat waktu yang ia punya hanya setengah jam, Sherly pun memutuskan untuk makan siang di kantin kantor yang terletak di lantai lima. Karena Sherly datang saat jam makan siang sudah setengah jam berlalu, maka Sherly pun mendapati kantin itu tidak terlalu ramai. Ada beberapa orang yang tampak masih duduk mengobrol sambil menghabiskan makanannya.Sherly memesan menu makan siangnya lantas membawanya duduk ke sebuah meja. Karena merasa canggung, Sherly pun fokus pada makanannya saja, dari pada menjadi pusat perhatian karena wajahnya yang masih asing di kantor itu.“Karyawan baru, ya?” tegur seorang pria yang duduk di sebelah meja Sherly.“Iya, Mas,” sahut Sherly.“Divisi apa?” tanyanya lagi.“Hmmm…, saya sekretaris barunya CEO,” jawab Sherly.“Oh begitu.” Pria itu tampak manggut-manggut. “Oh,
Karena ditinggalkan Raymond seorang diri di restorant itu, Sherly terpaksa balik ke kantor dengan menggunakan transportasi umum. Semula ia ingin memesan taksi, tapi karena uang di sakunya hanya seratus ribu, sementara jarak restoran dan kantor tersebut cukup jauh, Sherly pun memutuskan untuk menaiki bus kota saja.Suasana jalanan yang sangat macet sore itu menyebabkan Sherly baru tiba di kantor pukul lima sore. Sherly pun bergegas menuju ruang CEO yang berada di lantai tujuh, di dalam lift, ia sibuk menyeka keringatnya sendiri, sementara karyawan lain tampak sudah bersiap untuk meninggalkan kantor.Tok! Tok! Tok!Sherly mengetuk pintu ruangan CEO. Tidak lama berselang pintu pun dibukakan oleh Raymond hanya mengenakan celana pendek dan baju kaos. Sherly mengerutkan dahi, merasa heran kenapa pria itu mengenakan pakaian informal di dalam kantornya.“Mau apa kamu?” tanya Raymond dengan nada ketus.“Hmm … tadi kan Bapak nyuruh s
Raymond yang sedang berlari-lari kecil di treadmill bergegas mengurangi kecepatan alat olahraga itu ketika mendengar ponselnya berdering. Dengan menggunakan bantuan headset yang sudah terpaut di telinganya, Raymond pun mengangkat panggilan tersebut.“Halo!”“Raymond! Ini Oma.” Terdengar seseorang menyahut di ujung sana.“Ya, kenapa, Oma?”“Tadi Oma ke apartementmu, tapi apartement itu kosong. Oma juga tanya ke petugas keamanan di sana, katanya apartement itu jarang dihuni. Kamu masih rutin menginap di kantor, ya?”“Iya, Oma. Sedang banyak kerjaan sekarang. Lagian lebih efektif menginap di kantor dari pada bolak-balik ke apartemen,”“Tapi kan kamu itu seorang CEO RR Tech, Rey, masa seorang CEO menginap di kantor, seperti tidak terurus saja.”Raymond tersenyum kecil. “Kantor Raymond kan besar, Ma. Lagipula ruangan CEO-nyo juga sudah Raymond renovasi, ada kamar
Karena semalam menginap di rumah Oma-nya, Raymond jadi terlambat datang ke kantor. Raymond langsung menghampiri meja sekretarisnya. “Apa saja agenda saya hari ini?” tanya Raymond pada Sherly yang sedang asik membaca profil perusahaan.Sherly yang terkejut dengan kedatangan Raymond pun langsung berdiri. “Saya tidak tahu, Pak,” jawabnya.“Hah? Bagaimana kamu sampai tidak tahu? Kamu kan sekretaris pribadi saya? Kamu harus tahu semua jadwal saya,” bentak Raymond yang langsung tersulut emosi.“Tapi kan saya baru masuk kemarin, Pak,” balas Sherly.Raymond tampak menghembuskan napas. “Ya, sudah, kamu ikut ke ruangan saya sekarang.”“Baik, Pak.”“Di atas meja saya itu ada buku agenda, nanti kamu salin ke catatan kamu, ya. Sekalian tolong kamu cek agenda saya hari ini!” perintah Raymond. Ia tampak memasuki bilik kecil dalam ruang CEO itu untuk mengganti kemejanya yang
Raymond melepaskan jemari Sherly yang menggenggam lengannya. “Tidak bisa Sherly. Ini kita sudah terlambat. Nanti saja cari toilet di hotelnya. Lagian salah kamu juga, siapa suruh masukin obat pencahar ke minuman saya.”Raymond terus mengoceh, hingga tiba-tiba …Prutt…! Brruutt…!Raymond terbelalak mendengar suara yang diiringi aroma tidak sedap itu. Ia menghadap Sherly sambil melotot.“Maaf, Pak. Saya tidak tahan,” lirih Sherly, matanya sayu karena menahan kesakitan sedari tadi.“Aishhh…!” Raymond langsung menepikan mobilnya dan ke luar dari mobil itu.“Saya kasih kamu lima menit untung menghilangkan aroma busuk itu!” teriak Raymond dari luar mobil.Sherly menurunkan kaca mobilnya. “Apa Bapak mau membelikan celana dalam dan rok buat saya di toko itu baju itu, Pak? Kotoran saya ke luar sedikit,” pinta Sherly menahan malu sendiri.“Hah?&
Sherly benar-benar kesal dengan ajakan Raymond. Berani-beraninya Raymond memberikan tawaran kencan satu malam lagi padanya. Tidak puaskah Raymond menghancurkan hidup Sherly dengan kencan satu malam pada tiga tahun silam? Sherly semakin yakin bahwa Raymond memanglah laki-laki hidung belang. Ia pasti sudah sering meniduri banyak perempuan. Pantas saja Raymond tidak ingat bahwa Sherly adalah salah satu perempuan yang pernah tidur dengannya.“Lupakan ayahmu, itu! Dia nggak cocok jadi ayah buat kamu! Kamu adalah anak mama, hanya anak mama!” ucap Sherly saat menjemput Bryan di tempat penitipan anak. Dia terpaksa pulang jalan kaki karena uangnya sudah habis untuk ongkos taksi.Di tengah perjalanan, hak sepatunya patah. Maka terpaksalah Sherly menjinjing sepatu itu dan berjalan tanpa alas kaki. Untunglah hari sudah malam hingga aspal tidak terlalu dingin lagi. Dengan Bryan dalam gendongannya, Sherly sesekali menatap langit malam itu. Ada begitu banyak bintang di la
Sherly diam sejenak, ia tahu sikapnya sudah keterlaluan pada kakak dan ibunya itu. Tapi Sherly bersikap demikian juga karena rasa sakit hati yang ia tanggung selama tiga tahun ini. Sherly pun akhirnya bangkit berdiri. “Ya, sudah, silakan pergi. Tau pintu ke luar sebelah mana, kan?” ucap Sherly ketus.“Benar-benar tidak punya hati kamu, Dek!” hujat Sheina yang turut emosi melihat sikap adiknya yang kasar itu. Ia pun bangkit berdiri bersama sang mama yang tampak sudah berlinangan air mata.“Sheina, sebelum mama pulang, bolehkah Mama melihat wajah cucu mama dulu?” pinta Mama Rita.“Anakku bukanlah cucu Mama. Anakku tidak punya Nenek, tidak punya Kakek, tidak punya Tante, tidak punya Ayah. Anakku hanya memiliki aku seorang sebagai ibunya,” tandas Sherly perih.Sheina semakin kesal mendengar kalimat yang terucap di mulut adiknya itu. “Sudahlah, Ma. Tidak usah kita pedulikan orang yang keras kepala seperti d
"Apa kamu mau menikah dengan saya, Sherly?"Uhukk! Uhuk! Sherly langsung terbatuk mendengar pertanyaan itu dari mulut sang CEO. Bergegas ia menyeruput minuman yang ada di sebelahnya, karena grogi, Sherly malah jadi meminum minuman Raymond. Raymond langsung tersenyum melihat hal itu."Katanya nggak mau minum di bekas bibir saya, eh ujung-ujungnya minuman saya diembat juga," sindir Raymond.Muka Sherly langsung berubah jadi merah padam. "So-sorry, saya nggak sengaja," ucap Sherly tergagap. "Lagian bapak juga, sih. Ngaco banget ngomongnya!""Saya yang ngaco atau kamu yang grogi?" Raymond menatap sambil menaikkan sebelah alisnya. Dari jarak yang dekat itu, tatapan Raymond terlihat amat memabukkan. Namun Sherly buru-buru mengalihkan wajahnya."Pokoknya Bapak ngaco! Masa tiba-tiba ngajak nikah kayak gitu?""Hahaha." Raymond tertawa, Sherly menatap curiga pada laki-laki itu."Kamu pikir saya emang serius ngajak kamu nikah, hah? Ya enggaklah. Saya hanya me
"Terserah Oma saja. Silakan Oma yang atur sendiri," rajuk Raymond. Setelah berkata demikian, ia langsung ke luar dari kediaman Oma Kenanga.Sherly terbelalak mendengar jawaban Raymond yang tanpa perlawanan itu. Terserah Oma? Apa itu artinya Raymond menerima perjodohan tersebut?"Sherly! Cepat!"Sherly tersentak mendengar teriakan si bos dari luar. Setelah membungkukkan badan pada Oma Kenanga dan Bella, Sherly pun bergegas menyusul Raymond.Begitu Sherly masuk ke mobil, Raymond langsung tancap, tidak kalah ngebut dengan kecepatannya saat menuju kediaman Oma Kenanga tadi."Ki-kita mau ke mana, Pak?" tanya Sherly yang terhuyung-huyung dalam mobil itu."Ketemu klien," jawab Raymond dingin."Tapi kan semua agenda hari ini sudah dicancel, Pak."Tittttt....!Raymond menginjak rem secara mendadak. Sherly benar-benar dibuat jantungan. Mobil itu menepi ke pinggir jalan, dekat jembatan. Ada bapak-bapak pedagang yang menjual minuman kaleng. Raymond t
Sherly dan Raymond sudah berada di dalam mobil, hendak menuju lokasi untuk bertemu dengan kliennya. Seperti biasa, Raymond yang menyetir. Sementara Sherly di sebelahnya sibuk membaca susunan agenda hari itu.“… Sore nanti, pukul setengah empat ada konferensi pers dengan media, launching produk terbaru RR Tech-““Agenda konferensi per situ kamu undur saja jadi malam. Soalnya saya nggak yakin bisa terkejar sore,” potong Raymond.“Kalau malam saya tidak bisa, Pak. Gimana kalau diundur sampai besok pagi saja, Pak?”Raymond langsung mendelik pada wanita yang duduk di sebelahnya itu. “Di sini yang bos adalah saya, ya. Saya yang berhak ngatur kamu, bukan kamu yang malah ngatur saya!” tandas Raymond.“Tapi saya benaran nggak bisa kalau malam, Pak. Kecuali kalau Bapak mau menghadiri acara konferensi pers itu tanpa saya ya silakan,” terang Raymond.“Kamu ini lancang sekali, ya! S
Sherly diam sejenak, ia tahu sikapnya sudah keterlaluan pada kakak dan ibunya itu. Tapi Sherly bersikap demikian juga karena rasa sakit hati yang ia tanggung selama tiga tahun ini. Sherly pun akhirnya bangkit berdiri. “Ya, sudah, silakan pergi. Tau pintu ke luar sebelah mana, kan?” ucap Sherly ketus.“Benar-benar tidak punya hati kamu, Dek!” hujat Sheina yang turut emosi melihat sikap adiknya yang kasar itu. Ia pun bangkit berdiri bersama sang mama yang tampak sudah berlinangan air mata.“Sheina, sebelum mama pulang, bolehkah Mama melihat wajah cucu mama dulu?” pinta Mama Rita.“Anakku bukanlah cucu Mama. Anakku tidak punya Nenek, tidak punya Kakek, tidak punya Tante, tidak punya Ayah. Anakku hanya memiliki aku seorang sebagai ibunya,” tandas Sherly perih.Sheina semakin kesal mendengar kalimat yang terucap di mulut adiknya itu. “Sudahlah, Ma. Tidak usah kita pedulikan orang yang keras kepala seperti d
Sherly benar-benar kesal dengan ajakan Raymond. Berani-beraninya Raymond memberikan tawaran kencan satu malam lagi padanya. Tidak puaskah Raymond menghancurkan hidup Sherly dengan kencan satu malam pada tiga tahun silam? Sherly semakin yakin bahwa Raymond memanglah laki-laki hidung belang. Ia pasti sudah sering meniduri banyak perempuan. Pantas saja Raymond tidak ingat bahwa Sherly adalah salah satu perempuan yang pernah tidur dengannya.“Lupakan ayahmu, itu! Dia nggak cocok jadi ayah buat kamu! Kamu adalah anak mama, hanya anak mama!” ucap Sherly saat menjemput Bryan di tempat penitipan anak. Dia terpaksa pulang jalan kaki karena uangnya sudah habis untuk ongkos taksi.Di tengah perjalanan, hak sepatunya patah. Maka terpaksalah Sherly menjinjing sepatu itu dan berjalan tanpa alas kaki. Untunglah hari sudah malam hingga aspal tidak terlalu dingin lagi. Dengan Bryan dalam gendongannya, Sherly sesekali menatap langit malam itu. Ada begitu banyak bintang di la
Raymond melepaskan jemari Sherly yang menggenggam lengannya. “Tidak bisa Sherly. Ini kita sudah terlambat. Nanti saja cari toilet di hotelnya. Lagian salah kamu juga, siapa suruh masukin obat pencahar ke minuman saya.”Raymond terus mengoceh, hingga tiba-tiba …Prutt…! Brruutt…!Raymond terbelalak mendengar suara yang diiringi aroma tidak sedap itu. Ia menghadap Sherly sambil melotot.“Maaf, Pak. Saya tidak tahan,” lirih Sherly, matanya sayu karena menahan kesakitan sedari tadi.“Aishhh…!” Raymond langsung menepikan mobilnya dan ke luar dari mobil itu.“Saya kasih kamu lima menit untung menghilangkan aroma busuk itu!” teriak Raymond dari luar mobil.Sherly menurunkan kaca mobilnya. “Apa Bapak mau membelikan celana dalam dan rok buat saya di toko itu baju itu, Pak? Kotoran saya ke luar sedikit,” pinta Sherly menahan malu sendiri.“Hah?&
Karena semalam menginap di rumah Oma-nya, Raymond jadi terlambat datang ke kantor. Raymond langsung menghampiri meja sekretarisnya. “Apa saja agenda saya hari ini?” tanya Raymond pada Sherly yang sedang asik membaca profil perusahaan.Sherly yang terkejut dengan kedatangan Raymond pun langsung berdiri. “Saya tidak tahu, Pak,” jawabnya.“Hah? Bagaimana kamu sampai tidak tahu? Kamu kan sekretaris pribadi saya? Kamu harus tahu semua jadwal saya,” bentak Raymond yang langsung tersulut emosi.“Tapi kan saya baru masuk kemarin, Pak,” balas Sherly.Raymond tampak menghembuskan napas. “Ya, sudah, kamu ikut ke ruangan saya sekarang.”“Baik, Pak.”“Di atas meja saya itu ada buku agenda, nanti kamu salin ke catatan kamu, ya. Sekalian tolong kamu cek agenda saya hari ini!” perintah Raymond. Ia tampak memasuki bilik kecil dalam ruang CEO itu untuk mengganti kemejanya yang
Raymond yang sedang berlari-lari kecil di treadmill bergegas mengurangi kecepatan alat olahraga itu ketika mendengar ponselnya berdering. Dengan menggunakan bantuan headset yang sudah terpaut di telinganya, Raymond pun mengangkat panggilan tersebut.“Halo!”“Raymond! Ini Oma.” Terdengar seseorang menyahut di ujung sana.“Ya, kenapa, Oma?”“Tadi Oma ke apartementmu, tapi apartement itu kosong. Oma juga tanya ke petugas keamanan di sana, katanya apartement itu jarang dihuni. Kamu masih rutin menginap di kantor, ya?”“Iya, Oma. Sedang banyak kerjaan sekarang. Lagian lebih efektif menginap di kantor dari pada bolak-balik ke apartemen,”“Tapi kan kamu itu seorang CEO RR Tech, Rey, masa seorang CEO menginap di kantor, seperti tidak terurus saja.”Raymond tersenyum kecil. “Kantor Raymond kan besar, Ma. Lagipula ruangan CEO-nyo juga sudah Raymond renovasi, ada kamar
Karena ditinggalkan Raymond seorang diri di restorant itu, Sherly terpaksa balik ke kantor dengan menggunakan transportasi umum. Semula ia ingin memesan taksi, tapi karena uang di sakunya hanya seratus ribu, sementara jarak restoran dan kantor tersebut cukup jauh, Sherly pun memutuskan untuk menaiki bus kota saja.Suasana jalanan yang sangat macet sore itu menyebabkan Sherly baru tiba di kantor pukul lima sore. Sherly pun bergegas menuju ruang CEO yang berada di lantai tujuh, di dalam lift, ia sibuk menyeka keringatnya sendiri, sementara karyawan lain tampak sudah bersiap untuk meninggalkan kantor.Tok! Tok! Tok!Sherly mengetuk pintu ruangan CEO. Tidak lama berselang pintu pun dibukakan oleh Raymond hanya mengenakan celana pendek dan baju kaos. Sherly mengerutkan dahi, merasa heran kenapa pria itu mengenakan pakaian informal di dalam kantornya.“Mau apa kamu?” tanya Raymond dengan nada ketus.“Hmm … tadi kan Bapak nyuruh s