Pengadilan benar-benar ricuh. Seperti kata sang psikolog anak, kekacauan tak hanya di dalam aula utama, tapi juga di koridor bahkan di halaman depan gedungPara penonton sidang kini tak hanya marah pada Elliot, tapi juga pada hakim yang memimpin sidang. Mereka tidak terima sang hakim menunda persidangan itu. Mereka berniat tidak akan pulang sampai sang hakim mau melanjutkan persidangan.Mark sendiri terjebak di dalam aula. Ia tak bisa melewati kerumunan massa yang semakin brutal seiring berjalannya waktu. Ia mendapat kabar dari istrinya terkait Alyssa yang kurang enak badan, tapi tidak bisa segera keluar menjemput mereka.Karena khawatir dengan kondisi Alyssa, Mark pun menelepon Assa untuk menjemput pasangannya yang tengah mengandung itu. “Assa, apa kau sibuk sekarang?” tanyanya begitu telepon tersambung.Jawab Assa dari seberang telepon, “Mark! Tidak. Aku tidak sibuk sekarang. Bagaimana persidangannya? Apa berjalan lancar?”“Benar-benar kacau. Semua orang nyaris menghajar Elliot. Per
Sidang yang sempat dijeda karena kerusuhan sebelumnya, dan juga dipotong waktu istirahat kini dilanjutkan lagi. Hakim, Jaksa, Pengacara dan juga tersangka kembali duduk di tempat mereka masing-masing. Jaksa penutur sudah siap dengan pertanyaan selanjutnya yang masih melibatkan Leonidas. Anak itu masih bersama Alyssa di ruang tersembunyi.“Sidang dilanjutkan! Jaksa silahkan melanjutkan pertanyaan Anda,” kata hakim ketua majelis mempersilahkan jaksa penuntut melanjutkan.“Terima kasih yang Mulia,” ujar Jaksa. Dia kemudian kembali terhubung dengan kamera dan layar di mana dia bisa melihat Leonidas. “Halo Leonidas! Kau sudah siap untuk pertanyaan selanjutnya?”Leonidas terlihat mengangguk di layar besar itu.“Baiklah, apakah kau tahu wajah paman itu?”Leonidas mengangguk.“Kau bisa menyebutkan ciri-cirinya?”Sejenak Leonidas terdiam, lalu menjawab. “Matanya biru,” katanya, meski hanya sebuah jawaban yang singkat namun itu cukup memberikan kejelasan sebab, warna mata Elliot memang biru. “
“Hanna?” Hanna tersenyum malas dan menatap Alyssa dengan tatapan melas. Ia lalu merentangkan tangannya meminta pelukan. Alyssa yang masih agak terkejut dengan kedatangan sahabatnya itu hanya menghela, sebelum kemudian dia ikut merentangkan tangan membalas permintaan Hanna. “Ada apa? Sepertinya mood mu buruk,” kata Alyssa saat ia dan Hanna sudah berpelukan beberapa detik. Hanna yang mendengar pertanyaan itu bergumam malas. Mengeratkan pelukannya dan memejamkan mata sejenak sebelum menjawabnya. “Suasana hatiku memang sangat buruk, buruk sekali,” keluhnya agak manja. “Alyssa.. aku sangat jengkel sekali.” Alyssa mengangkat kedua alisnya samar. Ia lalu menguraikan pelukan mereka. Wajah sahabatnya itu tertekuk seperti kertas. Benar-benar tidak enak untuk dilihat. “Ayo masuk dulu. Kita bicarakan di dalam!” ajak Alyssa kemudian. Hanna mengangguk. Lalu keduanya berjalan ke ruang tamu. Alyssa meminta Diana dan Bertha untuk membuatkan minum dan camilan. Yang langsung dituruti oleh keduanya.
Sejak Hanna datang menghampirinya, Jeff bagai kincir angin yang tak henti-hentinya mengeliling kamar tempatnya dirawat. Botol infus masih tersambung ke pembuluh darahnya, tapi ia mondar-mandir gelisah memikirkan apa yang harus ia lakukan agar Hanna tak lagi marah padanya.“Apa yang harus aku lakukan?” gumamnya pada diri sendiri.Wolf dan Sam yang melihat teman mereka seperti itu hanya bisa menggelengkan kepala.Mau bagaimana lagi. Semua ini memang salah Jeff. Pria itu terlalu banyak bermain dengan wanita dan inilah saatnya ia mendapatkan karma. Gadis asing seperti perawat yang tak dikenalnya bahkan berani ia cium. Sungguh kelakuan pria murahan.Melihat kue yang rusak teronggok di ats lantai rumah sakit membuat Wolf dan Sam tak mampu menahan tawa. Diam-diam, mereka bertepuk tangan pada Hanna yang berani melempar kue ke wajah Jeff.Jeff kemudian menghentikan langkahnya untuk menoleh ke arah para mengawal Assa yang gagal menutup mulut mereka. Pria itu menatap sinis kedua temannya dan ber
Mendekati hari pernikahan putrinya membuat Samuel merasa gugup sebagai seorang ayah. Sudah beberapa hari ini dia menempati rumah lamanya. Alyssa memberikannya izin, namu ketika hari pernikahannya tinggal hitungan satu atau dua hari, Alyssa memintanya untuk tinggal sementara lagi di Mansion sampai Natal tiba. Sebab Alyssa benar-benar ingin menikmati merayakan Natal secara itu bersama ayahnya. Namun sebelum hari itu tiba Samuel ingin mengajak Alyssa pergi jalan-jalan hanya berdua dengannya saja.Atas persetujuan Assa, pria itu datang dengan membawa mobil lamanya. Dia menjemput Alyssa di Mansion. Alyssa langsung keluar dari Mansion dengan mantel hangatnya, lalu masuk ke mobil Samuel. Duduk di sisinya. “Ayah akan membawaku kemana?”“Kejutan, apa Assa sudah pergi ke kantornya?”“Sudah. Dia bilang ayah akan datang untuk membawaku jalan-jalan, jadi dia memintaku bersiap-siap,” terang Alyssa pada ayahnya itu.Perlahan mobil Samuel bergerak meninggalkan Mansion. Jalanan Hempstead terlihat puti
Beberapa hari berikutnya keadaan Alyssa sudah lebih baik. Dia terlihat lebih segar dari sebelumnya. Matanya berseri indah ketika menatap Assa. Itulah hal yang paling membuat Assa bahagia. Tatapan mata Alyssa benar-benar membuat dirinya merasa sangat hidup. Tatapan hangat yang mampu membuat Assa melenyapkan segala masalah yang membelit dirinya. Hal yang sangat disyukuri Assa saat ini adalah kehadiran Alyssa dalam hidupnya. Hari ini Lucy meminta mereka untuk datang ke Essex tanpa penolakan. Assa yang semulai keberatan itu pun akhirnya setuju setelah Lucy memohon padanya. Assa tidak tahu apa tujuan Lucy meminta dirinya dan Alyssa untuk datang ke sana, namun untuk menenangkan hati ibunya akhirnya pagi ini Assa berkemas dengan beberapa pakaian yang dia masukkan ke dalam ransel hitamnya. “Assa boleh aku bertanya sesuatu?”“Tanyakanlah.”“Tentang Argo. Bukankah kawanannya di tangkap, lalu apakah Argo masih bebas berkeliaran di luar sana?”Membicarakan Argo rupanya membuat Assa bisa menang
Melanjutkan perjalanannya di Essex, Lucy setelah dari makam mendiang suaminya membawa Alyssa dan Assa untuk makan siang di sebuah restoran dekat dermaga yang dahulu pernah menjadi tempat bertemunya Lucy dan juga Ishak. Restoran tersebut ternyata milik neneknya Assa. Lucy mengambil tempat duduk dekat jendela. Tempat favoritnya dengan Ishak.“Restoran ini milik nenekmu,” jelas Lucy pada Assa dan Alyssa yang menatapnya terkejut. “Sekarang jadi milik ibu, hanya saja dikelola oleh orang lain. Ayah dan ibu bertemu di sini. Kamu mengetahui cerita mereka?”“Hmmm,” Assa mengangguk. “Ibu dulu kuliah di University of Essex, saat itu tengah melarikan diri dari rumah. Ibu tidak ingin kuliah di Amerika. Keputusan ibu disetujui asalkan ibu mencari biaya kuliah sendiri. Akhirnya ibu sepakat, lalu ibu mulai mencari pekerjaan salah satunya di tempat ini.”Lucy mengisahkan hidupnya yang berjuang karena tidak ingin bergantung hidup dari orang tuanya. Di Essex, Lucy benar-benar menunjukkan kemandiriann
Dunia tidak selalu dipenuhi dengan hal-hal indah yang memuaskan ekspektasi. Terkadang harus runtuh dalam satu kedipan mata bahagia yang tengah digenggam. Kisah hidup tak pernah selalu seindah dongeng-dongeng buatan yang memberikan gambaran palsu tentang kehidupan di masa anak-anak. Alyssa menyadari benar bahwa dongeng seperti Putri Salju, Cinderella atau Rapunzel yang bertemu dengan pangerannya tidak berakhir dengan kalimat Happly Ever After. Ditelaah lebih jauh lagi ada banyak versi menyakitkan dari kisah mereka, versi yang disembunyikan agar orang-orang tetap meyakini bahwa kisah mereka berakhir indah.Menatap pada dua anak kecil bermata sipit itu membuat hati Alyssa miris. Betapa dunia kecil mereka sudah dihadapkan dengan kisah pahit kematian orang tuanya. Tidak ada dongeng-dongeng palsu yang disuguhkan pada mereka, sebab getir kehidupan sudah lebih dulu menyapa. Alyssa merasa dirinya jauh lebih beruntung, meski ditinggalkan ibunya dulu dalam sebuah kecelakaan. Dua anak kecil dalam