"Mmm ... Ibu sehat?" Aku mencoba mengalihkan topik untuk menepis rasa malu.
"Sehat. Alhamdulillah," jawabnya mengangguk.
"Gak datang?"
"Ibu sudah duluan tadi sore. Bakda ashar."
"Gak bareng?"
"Gak. Ibu sama Bapak."
Dia meletakkan mangkuk yang hanya tersisa kuah, lalu menyeruput air mineral gelas.
Aku mengalihkan pandangan keluar. Tertarik oleh suara deru yang terdengar tiba-tiba. Seperti deru air dan angin yang datang bersamaan.
"Hujan, ya?" tanyaku sedikit panik.
"Sepertinya."
Laki-laki itu ikut menoleh. Namun, bedanya ekspresi yang ia tunjukkan biasa saja.
"Subhanallah," ucapku ketika deru itu benar-benar berubah menjadi hujan deras. Cuaca sekarang memang tidak bisa diprediksi.
"Kenapa?"
<
Aku mengerjap ketika merasakan satu tangan mengusap lembut pucuk kepalaku yang berbalut hijab."Subuh."Satu suara menyambut saat aku membuka mata. Ia tersenyum tipis.Aku memindai sekitar dengan netraku. Mengumpulkan informasi yang terjeda sebelum tidur. Emyr terlelap di hadapan. Satu tangannya terhubung infus. Rupanya aku tertidur sambil duduk dengan kepala tertopang pada tempat tidur Emyr.Kuusap lembut wajah mungilnya. Hasil tes darah menunjukkan trombosit Emyr turun drastis. Hanya 90.000 per mikroliter darah, jauh di bawah batas minimal yaitu 150.000.Demam berdarah. Nyaris mengarah ke Dengue Shock Sindrome, yaitu suatu kondisi komplikasi demam berdarah yang sangat berbahaya, begitu yang disampaikan dokter.Menurut penjelasan dokter, keadaan akan menjadi buruk jika terlambat sedikit lagi. Pasien yang mengalami Dengue Shock Sindrome atau
Sorot netra Mas Harsa terasa menghunjam ke relung sanubari, tajam. Apakah dia mendengar perkataan Haykal? Aku merasa dipersalahkan. Akan tetapi, bukankah dia tidak berhak untuk marah? Dia bukan siapa-siapa lagi."Nur minta ditunjukkan kamar rawat Emyr. Tadi bertemu di parkiran," ucapnya datar.Aku mengangguk."Mas pergi lagi."Ia pamit, tetapi terlihat enggan berlalu. Netranya masih menatap tajam."Iya," balasku. Laki-laki itu menghela napas dalam , sebelum akhirnya berlalu juga."Kemarin ke rumah sakitnya sama papanya Emyr?"Kini Haykal yang menatap tajam dan penuh selidik setelah mengantar Mas Harsa dengan tatapan yang tak kumengerti."Iya." Aku mengangguk. Namun, tidak berani menantang tatapnya."Kamu menghubungi dia?""Huum." Aku mengangguk lagi. Terdenga
"Bagaimana hasil tes darahnya, Dok?" tanyaku ketika jam visit dokter pagi ini.Sudah enam hari Emyr dirawat. Setiap hari selalu diambil darah untuk dianalisis laboratorium. Setiap hari itu pula dia selalu histeris menolak, menangis kencang. Belum lagi ketika infus macet. Melihatnya meronta sakit sekaligus takut, rasanya hatiku nelangsa.Hampir setiap saat minta pulang. Beruntung Mas Harsa begitu sabar menghiburnya, menggendongnya keliling taman atau koridor rumah sakit."Sudah bagus, Bu. Naiknya signifikan. 172.000 per mikroliter darah. Sudah di atas batas minimal normal.""Alhamdulillah. Berarti sudah boleh pulang, Dok?" Mas Harsa yang menyahut. Dia sudah seminggu ini mangkir dari kebun. Memang bisa ditukar dengan hari cuti setahun. Namun, sebelumnya dia juga sudah beberapa kali mangkir sehingga jika lebih lama lagi, akumulasi akan melebihi jumlah hari cuti."Boleh, Pak. J
“Papa pulang, ya,” pamitnya pada Emyr kemarin malam.Bocah itu mengangguk. Alhamdulillah, tidak ada drama menangis seperti yang aku khawatirkan. Jika dia menangis, aku takut pertahananku akan roboh.Mas Harsa meraih tubuh Emyr ke dalam pelukan, lalu menciumnya bertubi-tubi.“Baik-baik di rumah, ya. Jangan nakal. Jadi anak pintar, soleh. Jagain mama,” ucapnya. Terdengar serak pada ujung kalimat.Aku mengalihkan pandangan, mulai tidak sanggup menyaksikan pemandangan seperti itu.“Iya, Papa. Papa besok datang lagi ‘kan?” tanya bocah itu polos dengan gaya bahasa anak-anak yang khas.Tidak kudengar jawaban dari Mas Harsa sehingga membuatku penasaran dan mengalihkan pandangan kembali pada mereka, mengetahui apa yang sedang dia lakukan dalam diamnya menanggapi pertanyaan EmyrLaki-laki itu tampak terseny
Gundah, aku mengempaskan tubuh di atas petiduran, berbaring sembari memejam, menghadirkan bayang dua laki-laki yang bertanggung jawab atas semua kegundahan ini, Haykal dan Mas Harsa. Akan tetapi, ketika bayang-bayang mereka hadir, semua terasa semakin gundah.Mengapa mereka harus datang dalam waktu bersamaan? Dan Mas Harsa, mengapa pula harus membuat drama dengan mutasi ke NTT segala? Aku tidak akan gundah seperti ini jika dia tidak pergi.Huft!Aku mengembuskan napas kasar, merasa lelah dengan semua problema ini.‘Hah! Safira, tidak bisakah kamu hidup tanpa memikirkan laki-laki dulu? Sendiri untuk beberapa tahun ke depan tanpa kehadiran salah satu dari mereka?’Aku beringsut, merubah posisi dari telentang menjadi miring menghadap Emyr. Pandanganku tertuju pada wajah polos yang telah terlelap begitu damai itu. Kutelusuri wajah mungil tak berdosa itu dengan telunjuk.&n
Pov Safira.Di atas sajadah, aku menumpahkan semua gundah. Aku tahu, tanpa kuceritakan pun, DIA tahu tentang bimbang dan bingung yang kurasakan. Akan tetapi, aku yang perlu mengeluarkan semua isi di hati agar rasa yang menyesak di dada menjadi lega.Aku benar-benar bingung, langkah apa yang harus kutempuh? Pilihan mana yang akan kuambil?Sebenarnya, untuk saat ini aku lebih senang sendiri dulu, menata hati yang terluka, lalu fokus meraih cita-cita.Membuka hati untuk Haykal, terus terang belum terpikirkan olehku untuk saat ini. Dia memang berharga. Pria baik-baik dan berasal dari keluarga baik-baik pula. Konon katanya, ia menyimpan cinta padaku sejak lama, sejak aku SMA. Bahkan hingga kini aku menjanda, rasanya padaku tidak pernah berubah.Yang menjadi problema adalah kepergian Mas Harsa dan keberadaan Emyr di antara kami. Emyr yang begitu dekat dengan pap
Maka di sinilah kami sekarang. Di depan sebuah rumah yang cukup luas bernuansa klasik. Mas Harsa menepikan sepeda motornya di halaman rumah itu.“Ayo.” Dia menarik erat lenganku, membawa menuju pintu utama yang tertutup. Paman dan Bibi menemani, berjalan menyusul di belakang kami.Beberapa saat setelah bel ditekan, pintu terbuka, sesosok laki-laki berperawakan lebih separuh abad menyambut dengan senyum meneduhkan. Beliau adalah Pak Luqman, penghulu yang dulu menikahkan kami.Setelah dipersilahkan masuk, Mas Harsa menyampaikan maksud kedatangan kami.***“Saya terima nikahnya dan kawinnya Safira Khairunnisa binti Yusuf Sofyan dengan mas kawin satu set perhiasan dibayar tunai.”Untuk kedua kalinya, laki-laki itu menjabat tangan Pak Luqman, penghulu sekaligus wali hakim untukku dan membuat perjanjian hingga mengguncang ars-Nya
Dia memperlakukanku dengan sangat lembut. Lebih lembut dari dulu-dulu. Seolah kini aku adalah sesuatu yang sangat berharga dan harus dijaga agar tidak tergores sedikit pun.Dapat kurasakan luapan cinta yang begitu besar dari setiap sentuhannya. Aku terharu. Air mata menguntai tak tertahan.Benang, jika sudah putus memang tidak akan sama bentuknya seperti semula. Namun, apa pentingnya bentuk? Jika fungsinya masih tetap sama. Bahkan, kita bisa membuat simpul yang lebih kuat agar fungsinya menjadi lebih baik.Dia menatapku sendu di antara keremangan cahaya kamar. Kabut tak henti menyungkup netra. Bukan pertanda luka, tetapi biasan bahagia yang tak mampu terungkapkan melalui aksara."Maaf."Lagi-lagi kata itu meluncur dari bibirnya. Entah untuk ke berapa kali. Kami duduk di atas petiduran. Memutuskan menghabiskan malam dalam kata setelah kehangatan menjalari hati masing-m