Langkahku tersurut. Cerita yang dia perdengarkan tentang hidupnya di masa lampau, juga perbuatannya bersama Ninik seketika terngiang kembali. Tidak bisa disangkal, aku takut dia berbuat yang tidak senonoh.
"Boleh bapak masuk, Nduk?" Suaranya lembut. Namun, jijik kudengar. Kutahan daun pintu agar tidak terbuka lebih lebar.
"Bapak mau apa?" tanyaku gemetar. Jantungku berdebar takut.
"Bapak ingin bicara sedikit," jawabnya sambil tetap berdiri tenang.
Ingin membicarakan apa lagi? Belum tuntaskah pembicaraan di kantor polisi tadi pagi? Mengapa harus datang malam-malam?
"Maaf. Tidak elok Bapak datang malam-malam. Bapak laki-laki, saya perempuan. Jika ingin bicara, datang saja besok siang."
Merasa khawatir, aku mencari alasan agar laki-laki itu tidak masuk.
"Laki-laki yang ini bapakmu, Nduk," sahutnya seperti tidak terima.
&
"Mmm ... Ibu sehat?" Aku mencoba mengalihkan topik untuk menepis rasa malu."Sehat. Alhamdulillah," jawabnya mengangguk."Gak datang?""Ibu sudah duluan tadi sore. Bakda ashar.""Gak bareng?""Gak. Ibu sama Bapak."Dia meletakkan mangkuk yang hanya tersisa kuah, lalu menyeruput air mineral gelas.Aku mengalihkan pandangan keluar. Tertarik oleh suara deru yang terdengar tiba-tiba. Seperti deru air dan angin yang datang bersamaan."Hujan, ya?" tanyaku sedikit panik."Sepertinya."Laki-laki itu ikut menoleh. Namun, bedanya ekspresi yang ia tunjukkan biasa saja."Subhanallah," ucapku ketika deru itu benar-benar berubah menjadi hujan deras. Cuaca sekarang memang tidak bisa diprediksi."Kenapa?"
Aku mengerjap ketika merasakan satu tangan mengusap lembut pucuk kepalaku yang berbalut hijab."Subuh."Satu suara menyambut saat aku membuka mata. Ia tersenyum tipis.Aku memindai sekitar dengan netraku. Mengumpulkan informasi yang terjeda sebelum tidur. Emyr terlelap di hadapan. Satu tangannya terhubung infus. Rupanya aku tertidur sambil duduk dengan kepala tertopang pada tempat tidur Emyr.Kuusap lembut wajah mungilnya. Hasil tes darah menunjukkan trombosit Emyr turun drastis. Hanya 90.000 per mikroliter darah, jauh di bawah batas minimal yaitu 150.000.Demam berdarah. Nyaris mengarah ke Dengue Shock Sindrome, yaitu suatu kondisi komplikasi demam berdarah yang sangat berbahaya, begitu yang disampaikan dokter.Menurut penjelasan dokter, keadaan akan menjadi buruk jika terlambat sedikit lagi. Pasien yang mengalami Dengue Shock Sindrome atau
Sorot netra Mas Harsa terasa menghunjam ke relung sanubari, tajam. Apakah dia mendengar perkataan Haykal? Aku merasa dipersalahkan. Akan tetapi, bukankah dia tidak berhak untuk marah? Dia bukan siapa-siapa lagi."Nur minta ditunjukkan kamar rawat Emyr. Tadi bertemu di parkiran," ucapnya datar.Aku mengangguk."Mas pergi lagi."Ia pamit, tetapi terlihat enggan berlalu. Netranya masih menatap tajam."Iya," balasku. Laki-laki itu menghela napas dalam , sebelum akhirnya berlalu juga."Kemarin ke rumah sakitnya sama papanya Emyr?"Kini Haykal yang menatap tajam dan penuh selidik setelah mengantar Mas Harsa dengan tatapan yang tak kumengerti."Iya." Aku mengangguk. Namun, tidak berani menantang tatapnya."Kamu menghubungi dia?""Huum." Aku mengangguk lagi. Terdenga
"Bagaimana hasil tes darahnya, Dok?" tanyaku ketika jam visit dokter pagi ini.Sudah enam hari Emyr dirawat. Setiap hari selalu diambil darah untuk dianalisis laboratorium. Setiap hari itu pula dia selalu histeris menolak, menangis kencang. Belum lagi ketika infus macet. Melihatnya meronta sakit sekaligus takut, rasanya hatiku nelangsa.Hampir setiap saat minta pulang. Beruntung Mas Harsa begitu sabar menghiburnya, menggendongnya keliling taman atau koridor rumah sakit."Sudah bagus, Bu. Naiknya signifikan. 172.000 per mikroliter darah. Sudah di atas batas minimal normal.""Alhamdulillah. Berarti sudah boleh pulang, Dok?" Mas Harsa yang menyahut. Dia sudah seminggu ini mangkir dari kebun. Memang bisa ditukar dengan hari cuti setahun. Namun, sebelumnya dia juga sudah beberapa kali mangkir sehingga jika lebih lama lagi, akumulasi akan melebihi jumlah hari cuti."Boleh, Pak. J
“Papa pulang, ya,” pamitnya pada Emyr kemarin malam.Bocah itu mengangguk. Alhamdulillah, tidak ada drama menangis seperti yang aku khawatirkan. Jika dia menangis, aku takut pertahananku akan roboh.Mas Harsa meraih tubuh Emyr ke dalam pelukan, lalu menciumnya bertubi-tubi.“Baik-baik di rumah, ya. Jangan nakal. Jadi anak pintar, soleh. Jagain mama,” ucapnya. Terdengar serak pada ujung kalimat.Aku mengalihkan pandangan, mulai tidak sanggup menyaksikan pemandangan seperti itu.“Iya, Papa. Papa besok datang lagi ‘kan?” tanya bocah itu polos dengan gaya bahasa anak-anak yang khas.Tidak kudengar jawaban dari Mas Harsa sehingga membuatku penasaran dan mengalihkan pandangan kembali pada mereka, mengetahui apa yang sedang dia lakukan dalam diamnya menanggapi pertanyaan EmyrLaki-laki itu tampak terseny
Gundah, aku mengempaskan tubuh di atas petiduran, berbaring sembari memejam, menghadirkan bayang dua laki-laki yang bertanggung jawab atas semua kegundahan ini, Haykal dan Mas Harsa. Akan tetapi, ketika bayang-bayang mereka hadir, semua terasa semakin gundah.Mengapa mereka harus datang dalam waktu bersamaan? Dan Mas Harsa, mengapa pula harus membuat drama dengan mutasi ke NTT segala? Aku tidak akan gundah seperti ini jika dia tidak pergi.Huft!Aku mengembuskan napas kasar, merasa lelah dengan semua problema ini.‘Hah! Safira, tidak bisakah kamu hidup tanpa memikirkan laki-laki dulu? Sendiri untuk beberapa tahun ke depan tanpa kehadiran salah satu dari mereka?’Aku beringsut, merubah posisi dari telentang menjadi miring menghadap Emyr. Pandanganku tertuju pada wajah polos yang telah terlelap begitu damai itu. Kutelusuri wajah mungil tak berdosa itu dengan telunjuk.&n
Pov Safira.Di atas sajadah, aku menumpahkan semua gundah. Aku tahu, tanpa kuceritakan pun, DIA tahu tentang bimbang dan bingung yang kurasakan. Akan tetapi, aku yang perlu mengeluarkan semua isi di hati agar rasa yang menyesak di dada menjadi lega.Aku benar-benar bingung, langkah apa yang harus kutempuh? Pilihan mana yang akan kuambil?Sebenarnya, untuk saat ini aku lebih senang sendiri dulu, menata hati yang terluka, lalu fokus meraih cita-cita.Membuka hati untuk Haykal, terus terang belum terpikirkan olehku untuk saat ini. Dia memang berharga. Pria baik-baik dan berasal dari keluarga baik-baik pula. Konon katanya, ia menyimpan cinta padaku sejak lama, sejak aku SMA. Bahkan hingga kini aku menjanda, rasanya padaku tidak pernah berubah.Yang menjadi problema adalah kepergian Mas Harsa dan keberadaan Emyr di antara kami. Emyr yang begitu dekat dengan pap
Maka di sinilah kami sekarang. Di depan sebuah rumah yang cukup luas bernuansa klasik. Mas Harsa menepikan sepeda motornya di halaman rumah itu.“Ayo.” Dia menarik erat lenganku, membawa menuju pintu utama yang tertutup. Paman dan Bibi menemani, berjalan menyusul di belakang kami.Beberapa saat setelah bel ditekan, pintu terbuka, sesosok laki-laki berperawakan lebih separuh abad menyambut dengan senyum meneduhkan. Beliau adalah Pak Luqman, penghulu yang dulu menikahkan kami.Setelah dipersilahkan masuk, Mas Harsa menyampaikan maksud kedatangan kami.***“Saya terima nikahnya dan kawinnya Safira Khairunnisa binti Yusuf Sofyan dengan mas kawin satu set perhiasan dibayar tunai.”Untuk kedua kalinya, laki-laki itu menjabat tangan Pak Luqman, penghulu sekaligus wali hakim untukku dan membuat perjanjian hingga mengguncang ars-Nya
Haykal berjalan beriringan bersama Harsa dan Safira, melintasi makam demi makam untuk mencari nama seseorang pada salah satu nisan di sana.Rencana Haykal dan Nur ke Bali saat itu batal. Keinginan Nur tidak terwujud. Akhirnya Safira dan Harsa yang memutuskan kembali ke Kalimantan demi mengucapkan kata maaf kepada sahabat terbaik atas apa yang terjadi, meski harus menunggu tiga bulan setelah lahiran.Selain rindu pada sanak kerabat, Safira dan Harsa merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada dia yang kini berada di dalam pusara sana. Terutama Harsa, boleh dikatakan semua berawal darinya.Setelah mengirimkan doa-doa, meminta agar nama itu diampuni dosa-dosanya, mereka meninggalkan area pemakaman."Tidak mampir?" tanya Haykal ketika mereka memutuskan akan berpisah."Tadi 'kan sudah. Lain kali kami akan berkunjung kembali," sahut Safira."Ya,
Nur terjaga lebih awal. Mata beningnya mengerjap ketika azan subuh berkumandang. Tidur terlalu larut, ditambah lelah akibat aktivitas semalam membuatnya melewatkan rutinitas sebelum subuh.Perempuan itu meregangkan otot, lalu melirik pada tubuh setengah polos yang melingkarkan tangan padanya. Ia tersenyum menatap wajah yang juga menyisakan gurat lelah itu, tetapi binar bahagia jelas terlihat di sana."Abang bangun ...," ucap Nur sambil menggoyang pelan bahu laki-laki itu. Haykal bergeming. Sepertinya ia benar-benar lelah dan mengantuk."Abang," panggil Nur lagi. Kali ini goyangan pada bahu itu ia perkuat."Hmm ... kenapa? Mau lagi?" tanya laki-laki itu serak. Ia tampak berat untuk membuka mata. Tangannya menggapai tubuh Nur."Ish, apaan, sih?" Seketika pipi Nur menghangat."Ayo .... Gak usah malu-malu begitu." Laki-laki itu menarik pin
Haykal tercenung beberapa saat. Sarafnya seketika membawa nama itu pada otak pusatnya, menerjemahkan rasa yang ada di hati. Lalu yang ada hanya kosong, tidak ia temukan makna yang nyata.Ditatapnya wajah Nur yang sedikit berubah. Seolah ada gumpalan pekat yang coba gadis itu tutupi. Haykal mengerti."Angkatlah. Bilang jangan lama-lama, ditunggu suami," ucapnya. Diusapnya pelan punggung istrinya untuk menyingkirkan gumpalan pekat itu."Apa boleh kasih tahu Safira bahwa kita sudah menikah?" tanya Nur ragu."Lho, kamu belum kasih tahu?""Belum." Nur menggeleng, 'Kan Abang melarang," ucapnya.Laki-laki itu mengusap wajah. Ia minta hal itu saat awal pernikahan karena benar-benar belum siap menghapus nama Safira, tidak disangkanya Nur terus memegang rahasia itu hingga kini.Perasaan bersalah seketika menjalari hatinya, b
"Kamu nanti mau punya anak berapa?" tanya Haykal.Malam ini dia mengajak Nur mencari udara segar di luar, menikmati waktu berdua sembari menunggu malam sedikit beranjak.Tangannya melingkar ringan di pinggang Nur. Sedangkan matanya menatap jauh ke depan, memperhatikan dengan penuh binar bahagia anak-anak yang bermain riang. Sudut bibirnya melengkung mengikuti setiap raut ceria para bocah yang berlari mengitari taman kota. Silih berganti memilih mainan yang disukai, perosotan, ayunan, jungkat jungkit, dan entah permainan apa lagi namanya."Hah?" sahut Nur kaget. Tidak menyangka akan menerima pertanyaan seperti itu dari Haykal. Dia terlalu fokus dengan debar-debar halus dalam hatinya akibat tangan kekar yang melingkar di pinggangnya itu. Sejak kejadian tadi siang, jangankan Haykal menyentuhnya, membayangkan disentuh saja hatinya berdesir geli. Seolah ada yang menggelitik."Kamu nanti
"Kenapa?" Haykal terkejut melihat polah Nur. Ia mencoba membuka selimut yang menutup seluruh tubuh istrinya itu. Namun, Nur menahan. Perempuan itu menggeleng kencang."Kamu belum siap?" tanyanya lembut. Nur bergeming."Ya, sudah. Kalau belum siap gak apa. Abang gak akan memaksa. Tunggu kamu siap saja," ucap laki-laki itu, "Tapi dibuka, ya?" Ia mencoba menarik selimut itu."Jangan!" Nur berseru dari dalam sambil menahan."Kenapa?"Gadis itu hanya menggeleng kencang. Tanpa bersuara."Malu?"Tidak ada jawaban lagi dari wanita manis itu."Nur?"Hening.Haykal menghela napas. Meski kecewa, sesuatu di dalam dadanya yang sudah terlanjur membuncah, coba ia redam. Laki-laki itu memejam.Cukup lama, Nur bahkan nyaris kesulitan bernapas.
Pintu dibuka. Tampak Nur terkulai lemah di atas ranjang. Laki-laki tua dengan tubuh setengah terbuka berada di atasnya. Separuh gaun Nur juga sudah turun hingga ke dada."Baj*ngan!" Haykal menerobos di antara tiga petugas. Serta merta satu bogem darinya melayang untuk laki-laki yang sudah menjamah istrinya itu. Ia kalap, satu pukulan lagi kembali melayang sebelum salah satu petugas menahannya.Segera ia menghampiri Nur yang tak berdaya di atas ranjang."Kamu tidak apa-apa, Sayang?" tanyanya sembari memeluk gadis itu. Melindunginya dari tubuh yang terbuka, cepat ia meraih selimut, lalu membalutkannya pada tubuh istrinya."Kamu gak apa-apa 'kan?" tanyanya lagi sambil menangkupkan kedua tangan pada pipi Nur.Tidak menjawab, Nur sesenggukan."Sudah, jangan menangis. Abang di sini. Semua sudah berakhir. Kita pulang," ucapnya lem
Setelah bebas dari lembaga pemasyarakatan, Ninik dan Nai bersekongkol untuk membalas sakit hati kepada Safira, apapun caranya. Namun, ia mendapat informasi bahwa Safira telah kembali merajut rumah tangga bersama Harsa dan pindah ke NTT. Hati kian memanas, dendamnya semakin membara.Mereka mencari informasi tentang usaha Safira dan diketahui telah dilimpahkan kepada Nur. Beberapa lama mengintai, mereka paham keseharian gadis itu yang selalu dijemput Haykal saat menjelang sore. Momen itu dimanfaatkan untuk menjebak Nur dan membawanya paksa.Nur menelan saliva. Keadaan sedang tidak baik. Gadis itu berlari hendak menuju ke arah pintu, hendak membuka. Namun, pintu telah dikunci. Nur berteriak minta tolong. Kedua perempuan itu tertawa menyeringai."Ruangan ini kedap suara. Tidak akan ada yang mendengar suaramu," ucap Nai sambil terkekeh mengejek."Kalian mau apa?" Nur bertanya panik. Wajahnya
Haykal mendesah resah. Beberapa kali ia menganjur napas berat, mencoba menenangkan pikiran, tetapi nihil. Kecemasannya pada Nur membuatnya tidak bisa tenang sedetik pun.Namun, kemana dia akan mencari?Laki-laki itu mengambil ponsel. Refleks tangannya menggulir gallery, membuka foto Nur yang ia simpan dalam folder sendiri.Sebagai upaya mencintai gadis itu, setiap hari Haykal mengambil gambar Nur dalam banyak posisi, lalu memerhatikan segala yang dia miliki, mencari nilai lebihnya dibandingkan Safira. Akan tetapi, selama ini urung dia temukan."Kemana kamu, Nur. Abang khawatir sekali. Pulanglah, Nur. Atau telpon. Kasih kabar," lirihnya sembari terus menatapi layar.Kemana lagi dia akan mencari? Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada istrinya?Lagi, pria itu menghela napas panjang."Ya Allah. Astagfirullahal'azim. Nur ... kamu di m
Kalut, Haykal mengarahkan motornya menuju Cafe Rajawali dengan kecepatan tinggi. Ia harap cemas. Untuk apa orang itu mengatas-namakan dirinya?Pikiran buruk berkelebat. Ia berharap ini hanya prank dari Nur aja. Ia ikhlas dikerjai, asal istrinya itu tidak kenapa-kenapa.Gegas, ia memarkirkan kendaraan di pelataran cafe. Sembarang saja. Kemudian berlari ke dalam. Netranya memindai ruangan secara menyeluruh, mencari sosok Nur. Namun, nihil. Langkahnya segera menuju meja kasir yang terletak tidak jauh dari pintu masuk. Posisi duduk kasir sangat strategis untuk melihat siapa saja tamu yang datang."Wajahnya manis. Kulit kuning langsat. Bersih. Ada lesung pipi. Berjilbab. Hari ini pakai pasmina warna baby pink. Rok plisket, blouse navy masuk ke dalam. Sekitar satu jam yang lalu katanya mau ke sini," terang Haykal dengan napas yang memburu. Hatinya cemas bukan kepalang. Tidak sanggup rasanya jika sesuatu yang buruk