Gundah, aku mengempaskan tubuh di atas petiduran, berbaring sembari memejam, menghadirkan bayang dua laki-laki yang bertanggung jawab atas semua kegundahan ini, Haykal dan Mas Harsa. Akan tetapi, ketika bayang-bayang mereka hadir, semua terasa semakin gundah.
Mengapa mereka harus datang dalam waktu bersamaan? Dan Mas Harsa, mengapa pula harus membuat drama dengan mutasi ke NTT segala? Aku tidak akan gundah seperti ini jika dia tidak pergi.
Huft!
Aku mengembuskan napas kasar, merasa lelah dengan semua problema ini.
‘Hah! Safira, tidak bisakah kamu hidup tanpa memikirkan laki-laki dulu? Sendiri untuk beberapa tahun ke depan tanpa kehadiran salah satu dari mereka?’
Aku beringsut, merubah posisi dari telentang menjadi miring menghadap Emyr. Pandanganku tertuju pada wajah polos yang telah terlelap begitu damai itu. Kutelusuri wajah mungil tak berdosa itu dengan telunjuk.&n
Pov Safira.Di atas sajadah, aku menumpahkan semua gundah. Aku tahu, tanpa kuceritakan pun, DIA tahu tentang bimbang dan bingung yang kurasakan. Akan tetapi, aku yang perlu mengeluarkan semua isi di hati agar rasa yang menyesak di dada menjadi lega.Aku benar-benar bingung, langkah apa yang harus kutempuh? Pilihan mana yang akan kuambil?Sebenarnya, untuk saat ini aku lebih senang sendiri dulu, menata hati yang terluka, lalu fokus meraih cita-cita.Membuka hati untuk Haykal, terus terang belum terpikirkan olehku untuk saat ini. Dia memang berharga. Pria baik-baik dan berasal dari keluarga baik-baik pula. Konon katanya, ia menyimpan cinta padaku sejak lama, sejak aku SMA. Bahkan hingga kini aku menjanda, rasanya padaku tidak pernah berubah.Yang menjadi problema adalah kepergian Mas Harsa dan keberadaan Emyr di antara kami. Emyr yang begitu dekat dengan pap
Maka di sinilah kami sekarang. Di depan sebuah rumah yang cukup luas bernuansa klasik. Mas Harsa menepikan sepeda motornya di halaman rumah itu.“Ayo.” Dia menarik erat lenganku, membawa menuju pintu utama yang tertutup. Paman dan Bibi menemani, berjalan menyusul di belakang kami.Beberapa saat setelah bel ditekan, pintu terbuka, sesosok laki-laki berperawakan lebih separuh abad menyambut dengan senyum meneduhkan. Beliau adalah Pak Luqman, penghulu yang dulu menikahkan kami.Setelah dipersilahkan masuk, Mas Harsa menyampaikan maksud kedatangan kami.***“Saya terima nikahnya dan kawinnya Safira Khairunnisa binti Yusuf Sofyan dengan mas kawin satu set perhiasan dibayar tunai.”Untuk kedua kalinya, laki-laki itu menjabat tangan Pak Luqman, penghulu sekaligus wali hakim untukku dan membuat perjanjian hingga mengguncang ars-Nya
Dia memperlakukanku dengan sangat lembut. Lebih lembut dari dulu-dulu. Seolah kini aku adalah sesuatu yang sangat berharga dan harus dijaga agar tidak tergores sedikit pun.Dapat kurasakan luapan cinta yang begitu besar dari setiap sentuhannya. Aku terharu. Air mata menguntai tak tertahan.Benang, jika sudah putus memang tidak akan sama bentuknya seperti semula. Namun, apa pentingnya bentuk? Jika fungsinya masih tetap sama. Bahkan, kita bisa membuat simpul yang lebih kuat agar fungsinya menjadi lebih baik.Dia menatapku sendu di antara keremangan cahaya kamar. Kabut tak henti menyungkup netra. Bukan pertanda luka, tetapi biasan bahagia yang tak mampu terungkapkan melalui aksara."Maaf."Lagi-lagi kata itu meluncur dari bibirnya. Entah untuk ke berapa kali. Kami duduk di atas petiduran. Memutuskan menghabiskan malam dalam kata setelah kehangatan menjalari hati masing-m
Bu Mun dan Bapak? Ada hal penting apa sehingga berkunjung?Gegas aku mengambil tas selempang, memasukkan gawai dan mengeluarkan kunci sepeda motor. Lalu menggandeng Emyr untuk berjalan lebih cepat menuju garasi. Tidak enak jika mereka harus menunggu lebih lama.Ku-starter kendaraan, melajukannya dengan kecepatan sedang. Tidak lupa singgah di toko cake and bakery untuk membeli sesuatu yang layak dihidangkan.Wanita berusia senja dengan wajah teduh itu tersenyum hangat menyambut ketika aku tiba di rumah. Tampak Nur duduk menemani mereka."Maaf, Bu. Menunggu lama." Kucium takzim punggung tangan beliau, kemudian memberi pelukan dan ciuman ukhuwah."Belum lama, kok, sayang," sahut beliau penuh kelembutan sambil menepuk pundakku.Kepada Pak Hasan, aku menangkupkan tangan untuk memberi tanda hormat. Ternyata Haykal juga hadir. Perasaank
"Nur!" Aku memanggil tegas nama itu. Melupakan hasrat untuk beristirahat, aku kembali keluar kamar menemuinya."Nun." Ia menjawab enteng sambil terlihat menuliskan sesuatu pada buku, sesekali melirik handphone. Aku tahu dia sedang konsentrasi merekap orderan, kubiarkan hingga selesai."Ada apa?" tanyanya setelah beberapa lama."Kamu ngapain, sih, pakai nyetatus begini?" Aku mengarahkan layar ponsel padanya, menunjukkan status yang ia tulis."Menyiarkan berita bahagia. Emang kenapa?" tanyanya bagai tak berdosa."Hiks." Aku meradang, frustrasi menghadapi sikap cueknya."Emang kenapa?" tanyanya lagi. Seperti penasaran. Dia lugu atau apa?"Dibaca Haykal.""Emang kenapa?"Duh! Aku gemas."Dibaca Haykal bagus, dong. Kamu gak perlu repot-repot mencari kata pen
"Om siapa?""Om Ikal."Mas Harsa mengerling padaku."Haykal, Sayang?" tanyanya memastikan."Iya." Aku mengangguk sambil tersenyum. Harus tetap tenang. Tidak boleh gugup, tidak boleh salah tingkah agar dia tidak curiga. Bukankah memang tidak ada apa-apa.Salahku adalah hanya tidak bercerita terus terang dan pergi menemui laki-laki lain diam-diam. Meskipun bukan untuk sesuatu yang dilarang.Rautnya berubah sendu, riangnya hilang seketika. Diluar perkiraan. Kukira dia akan marah dengan wajah memerah. Namun, yang terlihat seperti sedih, kecewa, atau luka. Justru membuatku tidak nyaman."Kamu pergi sama dia, Dek?" Ia bertanya pelan dan datar."Ketemu di sana, Mas.""Ketemu apa janjian?""Mmm ....""Kok, tadi gak cerita kalau di sana bareng dia
Hari merangkai minggu, minggu menguntai bulan. Satu bulan pertama terasa berat untuk dilalui. Mengukir kebersamaan berbatas layar ternyata tidaklah cukup. Justru yang ada hanya menambah kerinduan semakin besar."Mas mau kemana?" Dahiku mengernyit ketika subuh ini dia menelepon, tampak sedang dalam perjalanan. Ia berada di dalam mobil, duduk di sisi supir.Jam di gawaiku menunjukkan pukul 04.35 wib. Artinya di sana pukul 05.35. Pagi-pagi begini dia akan ke mana?"Jemput kamu, Sayang," jawabnya semringah. Seseorang yang duduk di bangku kemudi berdeham dibuat-buat."Serius?""Iya.""Kok, gak ada rencana?""Ya, ada, dong. Kamu saja yang gak tahu.""Ish. Gak kasih tahu."Dia tergelak."Benaran, Mas!" Aku bertanya tegas, meminta kepastian."Ya benar, sayan
"Mas, sudah salat isya?" Aku mengingatkan di antara napas yang memburu."Sudah tadi di bandara," sahutnya. Ia tetap mengunciku dalam lingkaran tangannya. Tanpa mau mengurangi sedikit pun aktifitas sebelumnya."Mas bau."Laki-laki itu berhenti sejenak, "Apa, mas, perlu mandi dulu?" lirihnya bertanya sembari menatap syahdu."Mmm ... tapi aku suka baunya," jawabku malu-malu. Merasa tidak rela lepas dari kehangatan tubuhnya. Tubuhnya memang bau asam. Namun, aku menyukainya.Dia tertawa. Renyah. Terdengar sangat manis dan pelak saja menambah buncah getar di dada.Ransel yang masih terpasang di punggung, ia jatuhkan begitu saja. Masih erat memeluk pinggangku, ia perlahan mengarahkan langkah, menggiringku ke bilik pelabuhan rindu.Malam mengukir sepi tatkala pekatnya kian menjadi. Tidak ada lagi suara, bahkan hewan malam pun membisu. Seolah paha