"Mas, sudah salat isya?" Aku mengingatkan di antara napas yang memburu.
"Sudah tadi di bandara," sahutnya. Ia tetap mengunciku dalam lingkaran tangannya. Tanpa mau mengurangi sedikit pun aktifitas sebelumnya.
"Mas bau."
Laki-laki itu berhenti sejenak, "Apa, mas, perlu mandi dulu?" lirihnya bertanya sembari menatap syahdu.
"Mmm ... tapi aku suka baunya," jawabku malu-malu. Merasa tidak rela lepas dari kehangatan tubuhnya. Tubuhnya memang bau asam. Namun, aku menyukainya.
Dia tertawa. Renyah. Terdengar sangat manis dan pelak saja menambah buncah getar di dada.
Ransel yang masih terpasang di punggung, ia jatuhkan begitu saja. Masih erat memeluk pinggangku, ia perlahan mengarahkan langkah, menggiringku ke bilik pelabuhan rindu.
Malam mengukir sepi tatkala pekatnya kian menjadi. Tidak ada lagi suara, bahkan hewan malam pun membisu. Seolah paha
Bandara Supadio.Langkahku terhenti di depan pintu utama. Tidak pernah terlintas dalam benak sebelumnya bahwa aku akan pergi meninggalkan tanah kelahiran, tempat di mana aku menghabiskan dua puluh dua tahun usia.Mas Harsa meraih jemariku, lalu menggenggamnya erat. Seperti tahu hati yang sedikit goyah, ia mengulurkan tangan untuk menopang.Ya!Masih terngiang ucapan Bibi tempo hari ketika kami berpamitan."Kamu yakin mau ikut suamimu? Hidup di tanah orang antah berantah? Bagaimana kalau dia berulah seperti kemarin? Tidak ada sanak kerabat yang bisa membantumu. Sekarang iya dia berubah, jadi lebih baik. Selanjutnya tidak ada yang tahu.""Sayang," ucapnya pelan. Namun sorot matanya yang teduh melukiskan keyakinan. "Terlalu banyak janji yang telah ,mas, ucapkan. Sekarang biarlah waktu yang membuktikan bahwa di sisa umur, mas akan selalu menjaga agar senyum selal
POV HARSA"Maaas!" Safira keluar dari kamar mandi dengan berlari. Lalu melompat ke atas petiduran ketika sudah berada di kamar. Sedikit bergetar, ia memelukku yang tengah menidurkan Emyr dari belakang."Kenapa?" tanyaku setengah berbisik. Khawatir Emyr bangun. Jeritannya barusan, juga gerakannya melompat ke atas tempat tidur saja membuat Emyr menggeliat."Apa itu di kamar mandi, Mas?" tanyanya bergetar."Kamu lihat?""Enggak. Tapi aku belum nyalain kran, udah nyala sendiri.""Ya, gak apa-apa. Mungkin dia mau mandi," ucapku asal."Mas!" Ia mencubit pinggangku. Aku tak dapat menahan tawa."Tadi diantar gak mau," ucapku sambil meraihnya dalam pelukan. Lalu mengusap punggungnya untuk menenangkan."Masa mau pipis aja, Mas, harus ikut.""Ya, gak
"Alhamdulillah." Kalimat thayyibah terus meluncur dari bibirnya. Bergantian, ia terus menciumiku dan Emyr."Kamu akan punya adik, Sayang. Akan jadi abang," ucapnya pada bocah yang matanya masih keriyep-keriyep."Senang banget, sih?" tanyaku sedikit heran.Seingatku, dulu saat kehamilan Emyr saja ekspresinya tidak sebahagia ini."Iya, dong," jawabnya singkat. Lengkungan pada ujung bibirnya seolah enggan turun. Menampakkan kebahagiaan yang teramat dalam."Dulu perasaan saat hamil Emyr, gak segitunya?""Kata siapa? Mas, sangat menyayangi Emyr.""Iya. Tahu kalau, Mas, sayang banget sama Emyr. Cuma waktu aku kasih tahu kalau hamil, gak berlebihan seperti ini."Dia menatapku sendu, lalu mengusap kepala kepalaku dengan sangat lembut."Satu Emyr bisa mengikat cinta kita dengan kuat. Sehi
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Safira Khairunnisa ...""Saya terima nikahnya dan kawinnya Safira Khairunnisa ...""Saya terima nikahnya dan kawinnya Safira Khairunnisa ..."Gadis manis berkerudung putih, dengan hiasan rangkaian bunga melati itu menggigit bibir. Tiga kali kesalahan yang sama, benar-benar menggores perih hatinya.Dia tahu sedalam apa cinta yang dimiliki laki-laki itu terhadap sahabatnya, dan dia tahu pula konsekuensi seperti apa yang akan dia terima dengan menerima lamarannya. Namun, tetap saja sanubari terdalamnya terluka.Bisik-bisik dari tetamu yang hadir mulai mengular, menambah pedih luka yang tercipta."Saya terima nikahnya dan kawinnya Nur Azizah Binti Muhammad Iskandar dengan mas kawin sebentuk cincin emas dibayar tunai."Baru lah pada kali keempat namanya diucap dengan benar.&nbs
"Mau pakai mobil apa motor?" tanya Haykal ketika mereka bersiap berangkat. Ia sedang duduk di kursi teras, menyambut Nur yang baru keluar dari kamar, mengambil sesuatu yang tertinggal."Terserah, Abang, saja," jawab Nur.Sedikit kikuk sebenarnya dia memanggil laki-laki itu dengan sebutan abang. Meskipun selama ini dia memendam debar-debar rasa pada Haykal dan sempat bermimpi akan memanggilnya dengan sebutan itu, tetap saja canggung. Mereka sudah terbiasa blak-blakan."Pakai motor saja, ya. Biar lebih dekat," balas Haykal seraya mengeluarkan kendaraan roda duanya dari garasi.Ada desiran halus menjalari aliran darah Nur. Perlakuan Haykal demikian lembut, andai semua itu dibarengi cinta, maka betapa indah dunia untuknya. Namun, kenyataannya semua itu hanya kepalsuan. Ibarat pil kina, manis di luar, pahit di dalam."Pegangan, nanti jatuh." Haykal meraih dua t
"Assalamualaikum." Sepulang dari masjid, Haykal mendapati pintu depan rumahnya terbuka. Namun, tidak ada yang menjawab salam yang dia ucapkan.Langkahnya bergerak menuju dapur, di mana terdengar suara orang berbincang."Ibu istirahat saja. Biar Nur yang masak," ucap istrinya sembari memegang lembut tangan Bu Mun. Sepertinya Nur meminta wanita paruh baya itu untuk duduk."Tidak apa-apa. Ibu sudah tidur siang tadi sebelum ashar.""Kalau begitu, Ibu duduk saja. Tidak usah ikut masak.""Ibu 'kan juga kepingin, masak bareng menantu ibu," balas wanita itu lembut diiringi senyum yang juga begitu lembut. Nur tersenyum haru. Bersyukur tiada tara dapat menjadi menantu dari sosok guru yang amat dihormati dan disayanginya."Terima kasih Ibu sudah mau menjadikan saya sebagai menantu," ucapnya. Ujung jarinya mengusap kristal bening yang nyaris merek
Kalut, Haykal mengarahkan motornya menuju Cafe Rajawali dengan kecepatan tinggi. Ia harap cemas. Untuk apa orang itu mengatas-namakan dirinya?Pikiran buruk berkelebat. Ia berharap ini hanya prank dari Nur aja. Ia ikhlas dikerjai, asal istrinya itu tidak kenapa-kenapa.Gegas, ia memarkirkan kendaraan di pelataran cafe. Sembarang saja. Kemudian berlari ke dalam. Netranya memindai ruangan secara menyeluruh, mencari sosok Nur. Namun, nihil. Langkahnya segera menuju meja kasir yang terletak tidak jauh dari pintu masuk. Posisi duduk kasir sangat strategis untuk melihat siapa saja tamu yang datang."Wajahnya manis. Kulit kuning langsat. Bersih. Ada lesung pipi. Berjilbab. Hari ini pakai pasmina warna baby pink. Rok plisket, blouse navy masuk ke dalam. Sekitar satu jam yang lalu katanya mau ke sini," terang Haykal dengan napas yang memburu. Hatinya cemas bukan kepalang. Tidak sanggup rasanya jika sesuatu yang buruk
Haykal mendesah resah. Beberapa kali ia menganjur napas berat, mencoba menenangkan pikiran, tetapi nihil. Kecemasannya pada Nur membuatnya tidak bisa tenang sedetik pun.Namun, kemana dia akan mencari?Laki-laki itu mengambil ponsel. Refleks tangannya menggulir gallery, membuka foto Nur yang ia simpan dalam folder sendiri.Sebagai upaya mencintai gadis itu, setiap hari Haykal mengambil gambar Nur dalam banyak posisi, lalu memerhatikan segala yang dia miliki, mencari nilai lebihnya dibandingkan Safira. Akan tetapi, selama ini urung dia temukan."Kemana kamu, Nur. Abang khawatir sekali. Pulanglah, Nur. Atau telpon. Kasih kabar," lirihnya sembari terus menatapi layar.Kemana lagi dia akan mencari? Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada istrinya?Lagi, pria itu menghela napas panjang."Ya Allah. Astagfirullahal'azim. Nur ... kamu di m
Haykal berjalan beriringan bersama Harsa dan Safira, melintasi makam demi makam untuk mencari nama seseorang pada salah satu nisan di sana.Rencana Haykal dan Nur ke Bali saat itu batal. Keinginan Nur tidak terwujud. Akhirnya Safira dan Harsa yang memutuskan kembali ke Kalimantan demi mengucapkan kata maaf kepada sahabat terbaik atas apa yang terjadi, meski harus menunggu tiga bulan setelah lahiran.Selain rindu pada sanak kerabat, Safira dan Harsa merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada dia yang kini berada di dalam pusara sana. Terutama Harsa, boleh dikatakan semua berawal darinya.Setelah mengirimkan doa-doa, meminta agar nama itu diampuni dosa-dosanya, mereka meninggalkan area pemakaman."Tidak mampir?" tanya Haykal ketika mereka memutuskan akan berpisah."Tadi 'kan sudah. Lain kali kami akan berkunjung kembali," sahut Safira."Ya,
Nur terjaga lebih awal. Mata beningnya mengerjap ketika azan subuh berkumandang. Tidur terlalu larut, ditambah lelah akibat aktivitas semalam membuatnya melewatkan rutinitas sebelum subuh.Perempuan itu meregangkan otot, lalu melirik pada tubuh setengah polos yang melingkarkan tangan padanya. Ia tersenyum menatap wajah yang juga menyisakan gurat lelah itu, tetapi binar bahagia jelas terlihat di sana."Abang bangun ...," ucap Nur sambil menggoyang pelan bahu laki-laki itu. Haykal bergeming. Sepertinya ia benar-benar lelah dan mengantuk."Abang," panggil Nur lagi. Kali ini goyangan pada bahu itu ia perkuat."Hmm ... kenapa? Mau lagi?" tanya laki-laki itu serak. Ia tampak berat untuk membuka mata. Tangannya menggapai tubuh Nur."Ish, apaan, sih?" Seketika pipi Nur menghangat."Ayo .... Gak usah malu-malu begitu." Laki-laki itu menarik pin
Haykal tercenung beberapa saat. Sarafnya seketika membawa nama itu pada otak pusatnya, menerjemahkan rasa yang ada di hati. Lalu yang ada hanya kosong, tidak ia temukan makna yang nyata.Ditatapnya wajah Nur yang sedikit berubah. Seolah ada gumpalan pekat yang coba gadis itu tutupi. Haykal mengerti."Angkatlah. Bilang jangan lama-lama, ditunggu suami," ucapnya. Diusapnya pelan punggung istrinya untuk menyingkirkan gumpalan pekat itu."Apa boleh kasih tahu Safira bahwa kita sudah menikah?" tanya Nur ragu."Lho, kamu belum kasih tahu?""Belum." Nur menggeleng, 'Kan Abang melarang," ucapnya.Laki-laki itu mengusap wajah. Ia minta hal itu saat awal pernikahan karena benar-benar belum siap menghapus nama Safira, tidak disangkanya Nur terus memegang rahasia itu hingga kini.Perasaan bersalah seketika menjalari hatinya, b
"Kamu nanti mau punya anak berapa?" tanya Haykal.Malam ini dia mengajak Nur mencari udara segar di luar, menikmati waktu berdua sembari menunggu malam sedikit beranjak.Tangannya melingkar ringan di pinggang Nur. Sedangkan matanya menatap jauh ke depan, memperhatikan dengan penuh binar bahagia anak-anak yang bermain riang. Sudut bibirnya melengkung mengikuti setiap raut ceria para bocah yang berlari mengitari taman kota. Silih berganti memilih mainan yang disukai, perosotan, ayunan, jungkat jungkit, dan entah permainan apa lagi namanya."Hah?" sahut Nur kaget. Tidak menyangka akan menerima pertanyaan seperti itu dari Haykal. Dia terlalu fokus dengan debar-debar halus dalam hatinya akibat tangan kekar yang melingkar di pinggangnya itu. Sejak kejadian tadi siang, jangankan Haykal menyentuhnya, membayangkan disentuh saja hatinya berdesir geli. Seolah ada yang menggelitik."Kamu nanti
"Kenapa?" Haykal terkejut melihat polah Nur. Ia mencoba membuka selimut yang menutup seluruh tubuh istrinya itu. Namun, Nur menahan. Perempuan itu menggeleng kencang."Kamu belum siap?" tanyanya lembut. Nur bergeming."Ya, sudah. Kalau belum siap gak apa. Abang gak akan memaksa. Tunggu kamu siap saja," ucap laki-laki itu, "Tapi dibuka, ya?" Ia mencoba menarik selimut itu."Jangan!" Nur berseru dari dalam sambil menahan."Kenapa?"Gadis itu hanya menggeleng kencang. Tanpa bersuara."Malu?"Tidak ada jawaban lagi dari wanita manis itu."Nur?"Hening.Haykal menghela napas. Meski kecewa, sesuatu di dalam dadanya yang sudah terlanjur membuncah, coba ia redam. Laki-laki itu memejam.Cukup lama, Nur bahkan nyaris kesulitan bernapas.
Pintu dibuka. Tampak Nur terkulai lemah di atas ranjang. Laki-laki tua dengan tubuh setengah terbuka berada di atasnya. Separuh gaun Nur juga sudah turun hingga ke dada."Baj*ngan!" Haykal menerobos di antara tiga petugas. Serta merta satu bogem darinya melayang untuk laki-laki yang sudah menjamah istrinya itu. Ia kalap, satu pukulan lagi kembali melayang sebelum salah satu petugas menahannya.Segera ia menghampiri Nur yang tak berdaya di atas ranjang."Kamu tidak apa-apa, Sayang?" tanyanya sembari memeluk gadis itu. Melindunginya dari tubuh yang terbuka, cepat ia meraih selimut, lalu membalutkannya pada tubuh istrinya."Kamu gak apa-apa 'kan?" tanyanya lagi sambil menangkupkan kedua tangan pada pipi Nur.Tidak menjawab, Nur sesenggukan."Sudah, jangan menangis. Abang di sini. Semua sudah berakhir. Kita pulang," ucapnya lem
Setelah bebas dari lembaga pemasyarakatan, Ninik dan Nai bersekongkol untuk membalas sakit hati kepada Safira, apapun caranya. Namun, ia mendapat informasi bahwa Safira telah kembali merajut rumah tangga bersama Harsa dan pindah ke NTT. Hati kian memanas, dendamnya semakin membara.Mereka mencari informasi tentang usaha Safira dan diketahui telah dilimpahkan kepada Nur. Beberapa lama mengintai, mereka paham keseharian gadis itu yang selalu dijemput Haykal saat menjelang sore. Momen itu dimanfaatkan untuk menjebak Nur dan membawanya paksa.Nur menelan saliva. Keadaan sedang tidak baik. Gadis itu berlari hendak menuju ke arah pintu, hendak membuka. Namun, pintu telah dikunci. Nur berteriak minta tolong. Kedua perempuan itu tertawa menyeringai."Ruangan ini kedap suara. Tidak akan ada yang mendengar suaramu," ucap Nai sambil terkekeh mengejek."Kalian mau apa?" Nur bertanya panik. Wajahnya
Haykal mendesah resah. Beberapa kali ia menganjur napas berat, mencoba menenangkan pikiran, tetapi nihil. Kecemasannya pada Nur membuatnya tidak bisa tenang sedetik pun.Namun, kemana dia akan mencari?Laki-laki itu mengambil ponsel. Refleks tangannya menggulir gallery, membuka foto Nur yang ia simpan dalam folder sendiri.Sebagai upaya mencintai gadis itu, setiap hari Haykal mengambil gambar Nur dalam banyak posisi, lalu memerhatikan segala yang dia miliki, mencari nilai lebihnya dibandingkan Safira. Akan tetapi, selama ini urung dia temukan."Kemana kamu, Nur. Abang khawatir sekali. Pulanglah, Nur. Atau telpon. Kasih kabar," lirihnya sembari terus menatapi layar.Kemana lagi dia akan mencari? Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada istrinya?Lagi, pria itu menghela napas panjang."Ya Allah. Astagfirullahal'azim. Nur ... kamu di m
Kalut, Haykal mengarahkan motornya menuju Cafe Rajawali dengan kecepatan tinggi. Ia harap cemas. Untuk apa orang itu mengatas-namakan dirinya?Pikiran buruk berkelebat. Ia berharap ini hanya prank dari Nur aja. Ia ikhlas dikerjai, asal istrinya itu tidak kenapa-kenapa.Gegas, ia memarkirkan kendaraan di pelataran cafe. Sembarang saja. Kemudian berlari ke dalam. Netranya memindai ruangan secara menyeluruh, mencari sosok Nur. Namun, nihil. Langkahnya segera menuju meja kasir yang terletak tidak jauh dari pintu masuk. Posisi duduk kasir sangat strategis untuk melihat siapa saja tamu yang datang."Wajahnya manis. Kulit kuning langsat. Bersih. Ada lesung pipi. Berjilbab. Hari ini pakai pasmina warna baby pink. Rok plisket, blouse navy masuk ke dalam. Sekitar satu jam yang lalu katanya mau ke sini," terang Haykal dengan napas yang memburu. Hatinya cemas bukan kepalang. Tidak sanggup rasanya jika sesuatu yang buruk