"Saya terima nikahnya dan kawinnya Safira Khairunnisa ..."
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Safira Khairunnisa ..."
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Safira Khairunnisa ..."
Gadis manis berkerudung putih, dengan hiasan rangkaian bunga melati itu menggigit bibir. Tiga kali kesalahan yang sama, benar-benar menggores perih hatinya.
Dia tahu sedalam apa cinta yang dimiliki laki-laki itu terhadap sahabatnya, dan dia tahu pula konsekuensi seperti apa yang akan dia terima dengan menerima lamarannya. Namun, tetap saja sanubari terdalamnya terluka.
Bisik-bisik dari tetamu yang hadir mulai mengular, menambah pedih luka yang tercipta.
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Nur Azizah Binti Muhammad Iskandar dengan mas kawin sebentuk cincin emas dibayar tunai."
Baru lah pada kali keempat namanya diucap dengan benar.
&nbs
"Mau pakai mobil apa motor?" tanya Haykal ketika mereka bersiap berangkat. Ia sedang duduk di kursi teras, menyambut Nur yang baru keluar dari kamar, mengambil sesuatu yang tertinggal."Terserah, Abang, saja," jawab Nur.Sedikit kikuk sebenarnya dia memanggil laki-laki itu dengan sebutan abang. Meskipun selama ini dia memendam debar-debar rasa pada Haykal dan sempat bermimpi akan memanggilnya dengan sebutan itu, tetap saja canggung. Mereka sudah terbiasa blak-blakan."Pakai motor saja, ya. Biar lebih dekat," balas Haykal seraya mengeluarkan kendaraan roda duanya dari garasi.Ada desiran halus menjalari aliran darah Nur. Perlakuan Haykal demikian lembut, andai semua itu dibarengi cinta, maka betapa indah dunia untuknya. Namun, kenyataannya semua itu hanya kepalsuan. Ibarat pil kina, manis di luar, pahit di dalam."Pegangan, nanti jatuh." Haykal meraih dua t
"Assalamualaikum." Sepulang dari masjid, Haykal mendapati pintu depan rumahnya terbuka. Namun, tidak ada yang menjawab salam yang dia ucapkan.Langkahnya bergerak menuju dapur, di mana terdengar suara orang berbincang."Ibu istirahat saja. Biar Nur yang masak," ucap istrinya sembari memegang lembut tangan Bu Mun. Sepertinya Nur meminta wanita paruh baya itu untuk duduk."Tidak apa-apa. Ibu sudah tidur siang tadi sebelum ashar.""Kalau begitu, Ibu duduk saja. Tidak usah ikut masak.""Ibu 'kan juga kepingin, masak bareng menantu ibu," balas wanita itu lembut diiringi senyum yang juga begitu lembut. Nur tersenyum haru. Bersyukur tiada tara dapat menjadi menantu dari sosok guru yang amat dihormati dan disayanginya."Terima kasih Ibu sudah mau menjadikan saya sebagai menantu," ucapnya. Ujung jarinya mengusap kristal bening yang nyaris merek
Kalut, Haykal mengarahkan motornya menuju Cafe Rajawali dengan kecepatan tinggi. Ia harap cemas. Untuk apa orang itu mengatas-namakan dirinya?Pikiran buruk berkelebat. Ia berharap ini hanya prank dari Nur aja. Ia ikhlas dikerjai, asal istrinya itu tidak kenapa-kenapa.Gegas, ia memarkirkan kendaraan di pelataran cafe. Sembarang saja. Kemudian berlari ke dalam. Netranya memindai ruangan secara menyeluruh, mencari sosok Nur. Namun, nihil. Langkahnya segera menuju meja kasir yang terletak tidak jauh dari pintu masuk. Posisi duduk kasir sangat strategis untuk melihat siapa saja tamu yang datang."Wajahnya manis. Kulit kuning langsat. Bersih. Ada lesung pipi. Berjilbab. Hari ini pakai pasmina warna baby pink. Rok plisket, blouse navy masuk ke dalam. Sekitar satu jam yang lalu katanya mau ke sini," terang Haykal dengan napas yang memburu. Hatinya cemas bukan kepalang. Tidak sanggup rasanya jika sesuatu yang buruk
Haykal mendesah resah. Beberapa kali ia menganjur napas berat, mencoba menenangkan pikiran, tetapi nihil. Kecemasannya pada Nur membuatnya tidak bisa tenang sedetik pun.Namun, kemana dia akan mencari?Laki-laki itu mengambil ponsel. Refleks tangannya menggulir gallery, membuka foto Nur yang ia simpan dalam folder sendiri.Sebagai upaya mencintai gadis itu, setiap hari Haykal mengambil gambar Nur dalam banyak posisi, lalu memerhatikan segala yang dia miliki, mencari nilai lebihnya dibandingkan Safira. Akan tetapi, selama ini urung dia temukan."Kemana kamu, Nur. Abang khawatir sekali. Pulanglah, Nur. Atau telpon. Kasih kabar," lirihnya sembari terus menatapi layar.Kemana lagi dia akan mencari? Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada istrinya?Lagi, pria itu menghela napas panjang."Ya Allah. Astagfirullahal'azim. Nur ... kamu di m
Setelah bebas dari lembaga pemasyarakatan, Ninik dan Nai bersekongkol untuk membalas sakit hati kepada Safira, apapun caranya. Namun, ia mendapat informasi bahwa Safira telah kembali merajut rumah tangga bersama Harsa dan pindah ke NTT. Hati kian memanas, dendamnya semakin membara.Mereka mencari informasi tentang usaha Safira dan diketahui telah dilimpahkan kepada Nur. Beberapa lama mengintai, mereka paham keseharian gadis itu yang selalu dijemput Haykal saat menjelang sore. Momen itu dimanfaatkan untuk menjebak Nur dan membawanya paksa.Nur menelan saliva. Keadaan sedang tidak baik. Gadis itu berlari hendak menuju ke arah pintu, hendak membuka. Namun, pintu telah dikunci. Nur berteriak minta tolong. Kedua perempuan itu tertawa menyeringai."Ruangan ini kedap suara. Tidak akan ada yang mendengar suaramu," ucap Nai sambil terkekeh mengejek."Kalian mau apa?" Nur bertanya panik. Wajahnya
Pintu dibuka. Tampak Nur terkulai lemah di atas ranjang. Laki-laki tua dengan tubuh setengah terbuka berada di atasnya. Separuh gaun Nur juga sudah turun hingga ke dada."Baj*ngan!" Haykal menerobos di antara tiga petugas. Serta merta satu bogem darinya melayang untuk laki-laki yang sudah menjamah istrinya itu. Ia kalap, satu pukulan lagi kembali melayang sebelum salah satu petugas menahannya.Segera ia menghampiri Nur yang tak berdaya di atas ranjang."Kamu tidak apa-apa, Sayang?" tanyanya sembari memeluk gadis itu. Melindunginya dari tubuh yang terbuka, cepat ia meraih selimut, lalu membalutkannya pada tubuh istrinya."Kamu gak apa-apa 'kan?" tanyanya lagi sambil menangkupkan kedua tangan pada pipi Nur.Tidak menjawab, Nur sesenggukan."Sudah, jangan menangis. Abang di sini. Semua sudah berakhir. Kita pulang," ucapnya lem
"Kenapa?" Haykal terkejut melihat polah Nur. Ia mencoba membuka selimut yang menutup seluruh tubuh istrinya itu. Namun, Nur menahan. Perempuan itu menggeleng kencang."Kamu belum siap?" tanyanya lembut. Nur bergeming."Ya, sudah. Kalau belum siap gak apa. Abang gak akan memaksa. Tunggu kamu siap saja," ucap laki-laki itu, "Tapi dibuka, ya?" Ia mencoba menarik selimut itu."Jangan!" Nur berseru dari dalam sambil menahan."Kenapa?"Gadis itu hanya menggeleng kencang. Tanpa bersuara."Malu?"Tidak ada jawaban lagi dari wanita manis itu."Nur?"Hening.Haykal menghela napas. Meski kecewa, sesuatu di dalam dadanya yang sudah terlanjur membuncah, coba ia redam. Laki-laki itu memejam.Cukup lama, Nur bahkan nyaris kesulitan bernapas.
"Kamu nanti mau punya anak berapa?" tanya Haykal.Malam ini dia mengajak Nur mencari udara segar di luar, menikmati waktu berdua sembari menunggu malam sedikit beranjak.Tangannya melingkar ringan di pinggang Nur. Sedangkan matanya menatap jauh ke depan, memperhatikan dengan penuh binar bahagia anak-anak yang bermain riang. Sudut bibirnya melengkung mengikuti setiap raut ceria para bocah yang berlari mengitari taman kota. Silih berganti memilih mainan yang disukai, perosotan, ayunan, jungkat jungkit, dan entah permainan apa lagi namanya."Hah?" sahut Nur kaget. Tidak menyangka akan menerima pertanyaan seperti itu dari Haykal. Dia terlalu fokus dengan debar-debar halus dalam hatinya akibat tangan kekar yang melingkar di pinggangnya itu. Sejak kejadian tadi siang, jangankan Haykal menyentuhnya, membayangkan disentuh saja hatinya berdesir geli. Seolah ada yang menggelitik."Kamu nanti