Dia memperlakukanku dengan sangat lembut. Lebih lembut dari dulu-dulu. Seolah kini aku adalah sesuatu yang sangat berharga dan harus dijaga agar tidak tergores sedikit pun.
Dapat kurasakan luapan cinta yang begitu besar dari setiap sentuhannya. Aku terharu. Air mata menguntai tak tertahan.
Benang, jika sudah putus memang tidak akan sama bentuknya seperti semula. Namun, apa pentingnya bentuk? Jika fungsinya masih tetap sama. Bahkan, kita bisa membuat simpul yang lebih kuat agar fungsinya menjadi lebih baik.
Dia menatapku sendu di antara keremangan cahaya kamar. Kabut tak henti menyungkup netra. Bukan pertanda luka, tetapi biasan bahagia yang tak mampu terungkapkan melalui aksara.
"Maaf."
Lagi-lagi kata itu meluncur dari bibirnya. Entah untuk ke berapa kali. Kami duduk di atas petiduran. Memutuskan menghabiskan malam dalam kata setelah kehangatan menjalari hati masing-m
Bu Mun dan Bapak? Ada hal penting apa sehingga berkunjung?Gegas aku mengambil tas selempang, memasukkan gawai dan mengeluarkan kunci sepeda motor. Lalu menggandeng Emyr untuk berjalan lebih cepat menuju garasi. Tidak enak jika mereka harus menunggu lebih lama.Ku-starter kendaraan, melajukannya dengan kecepatan sedang. Tidak lupa singgah di toko cake and bakery untuk membeli sesuatu yang layak dihidangkan.Wanita berusia senja dengan wajah teduh itu tersenyum hangat menyambut ketika aku tiba di rumah. Tampak Nur duduk menemani mereka."Maaf, Bu. Menunggu lama." Kucium takzim punggung tangan beliau, kemudian memberi pelukan dan ciuman ukhuwah."Belum lama, kok, sayang," sahut beliau penuh kelembutan sambil menepuk pundakku.Kepada Pak Hasan, aku menangkupkan tangan untuk memberi tanda hormat. Ternyata Haykal juga hadir. Perasaank
"Nur!" Aku memanggil tegas nama itu. Melupakan hasrat untuk beristirahat, aku kembali keluar kamar menemuinya."Nun." Ia menjawab enteng sambil terlihat menuliskan sesuatu pada buku, sesekali melirik handphone. Aku tahu dia sedang konsentrasi merekap orderan, kubiarkan hingga selesai."Ada apa?" tanyanya setelah beberapa lama."Kamu ngapain, sih, pakai nyetatus begini?" Aku mengarahkan layar ponsel padanya, menunjukkan status yang ia tulis."Menyiarkan berita bahagia. Emang kenapa?" tanyanya bagai tak berdosa."Hiks." Aku meradang, frustrasi menghadapi sikap cueknya."Emang kenapa?" tanyanya lagi. Seperti penasaran. Dia lugu atau apa?"Dibaca Haykal.""Emang kenapa?"Duh! Aku gemas."Dibaca Haykal bagus, dong. Kamu gak perlu repot-repot mencari kata pen
"Om siapa?""Om Ikal."Mas Harsa mengerling padaku."Haykal, Sayang?" tanyanya memastikan."Iya." Aku mengangguk sambil tersenyum. Harus tetap tenang. Tidak boleh gugup, tidak boleh salah tingkah agar dia tidak curiga. Bukankah memang tidak ada apa-apa.Salahku adalah hanya tidak bercerita terus terang dan pergi menemui laki-laki lain diam-diam. Meskipun bukan untuk sesuatu yang dilarang.Rautnya berubah sendu, riangnya hilang seketika. Diluar perkiraan. Kukira dia akan marah dengan wajah memerah. Namun, yang terlihat seperti sedih, kecewa, atau luka. Justru membuatku tidak nyaman."Kamu pergi sama dia, Dek?" Ia bertanya pelan dan datar."Ketemu di sana, Mas.""Ketemu apa janjian?""Mmm ....""Kok, tadi gak cerita kalau di sana bareng dia
Hari merangkai minggu, minggu menguntai bulan. Satu bulan pertama terasa berat untuk dilalui. Mengukir kebersamaan berbatas layar ternyata tidaklah cukup. Justru yang ada hanya menambah kerinduan semakin besar."Mas mau kemana?" Dahiku mengernyit ketika subuh ini dia menelepon, tampak sedang dalam perjalanan. Ia berada di dalam mobil, duduk di sisi supir.Jam di gawaiku menunjukkan pukul 04.35 wib. Artinya di sana pukul 05.35. Pagi-pagi begini dia akan ke mana?"Jemput kamu, Sayang," jawabnya semringah. Seseorang yang duduk di bangku kemudi berdeham dibuat-buat."Serius?""Iya.""Kok, gak ada rencana?""Ya, ada, dong. Kamu saja yang gak tahu.""Ish. Gak kasih tahu."Dia tergelak."Benaran, Mas!" Aku bertanya tegas, meminta kepastian."Ya benar, sayan
"Mas, sudah salat isya?" Aku mengingatkan di antara napas yang memburu."Sudah tadi di bandara," sahutnya. Ia tetap mengunciku dalam lingkaran tangannya. Tanpa mau mengurangi sedikit pun aktifitas sebelumnya."Mas bau."Laki-laki itu berhenti sejenak, "Apa, mas, perlu mandi dulu?" lirihnya bertanya sembari menatap syahdu."Mmm ... tapi aku suka baunya," jawabku malu-malu. Merasa tidak rela lepas dari kehangatan tubuhnya. Tubuhnya memang bau asam. Namun, aku menyukainya.Dia tertawa. Renyah. Terdengar sangat manis dan pelak saja menambah buncah getar di dada.Ransel yang masih terpasang di punggung, ia jatuhkan begitu saja. Masih erat memeluk pinggangku, ia perlahan mengarahkan langkah, menggiringku ke bilik pelabuhan rindu.Malam mengukir sepi tatkala pekatnya kian menjadi. Tidak ada lagi suara, bahkan hewan malam pun membisu. Seolah paha
Bandara Supadio.Langkahku terhenti di depan pintu utama. Tidak pernah terlintas dalam benak sebelumnya bahwa aku akan pergi meninggalkan tanah kelahiran, tempat di mana aku menghabiskan dua puluh dua tahun usia.Mas Harsa meraih jemariku, lalu menggenggamnya erat. Seperti tahu hati yang sedikit goyah, ia mengulurkan tangan untuk menopang.Ya!Masih terngiang ucapan Bibi tempo hari ketika kami berpamitan."Kamu yakin mau ikut suamimu? Hidup di tanah orang antah berantah? Bagaimana kalau dia berulah seperti kemarin? Tidak ada sanak kerabat yang bisa membantumu. Sekarang iya dia berubah, jadi lebih baik. Selanjutnya tidak ada yang tahu.""Sayang," ucapnya pelan. Namun sorot matanya yang teduh melukiskan keyakinan. "Terlalu banyak janji yang telah ,mas, ucapkan. Sekarang biarlah waktu yang membuktikan bahwa di sisa umur, mas akan selalu menjaga agar senyum selal
POV HARSA"Maaas!" Safira keluar dari kamar mandi dengan berlari. Lalu melompat ke atas petiduran ketika sudah berada di kamar. Sedikit bergetar, ia memelukku yang tengah menidurkan Emyr dari belakang."Kenapa?" tanyaku setengah berbisik. Khawatir Emyr bangun. Jeritannya barusan, juga gerakannya melompat ke atas tempat tidur saja membuat Emyr menggeliat."Apa itu di kamar mandi, Mas?" tanyanya bergetar."Kamu lihat?""Enggak. Tapi aku belum nyalain kran, udah nyala sendiri.""Ya, gak apa-apa. Mungkin dia mau mandi," ucapku asal."Mas!" Ia mencubit pinggangku. Aku tak dapat menahan tawa."Tadi diantar gak mau," ucapku sambil meraihnya dalam pelukan. Lalu mengusap punggungnya untuk menenangkan."Masa mau pipis aja, Mas, harus ikut.""Ya, gak
"Alhamdulillah." Kalimat thayyibah terus meluncur dari bibirnya. Bergantian, ia terus menciumiku dan Emyr."Kamu akan punya adik, Sayang. Akan jadi abang," ucapnya pada bocah yang matanya masih keriyep-keriyep."Senang banget, sih?" tanyaku sedikit heran.Seingatku, dulu saat kehamilan Emyr saja ekspresinya tidak sebahagia ini."Iya, dong," jawabnya singkat. Lengkungan pada ujung bibirnya seolah enggan turun. Menampakkan kebahagiaan yang teramat dalam."Dulu perasaan saat hamil Emyr, gak segitunya?""Kata siapa? Mas, sangat menyayangi Emyr.""Iya. Tahu kalau, Mas, sayang banget sama Emyr. Cuma waktu aku kasih tahu kalau hamil, gak berlebihan seperti ini."Dia menatapku sendu, lalu mengusap kepala kepalaku dengan sangat lembut."Satu Emyr bisa mengikat cinta kita dengan kuat. Sehi