Aku sudah mengatakan bahwa masalah di apartemen ini adalah lampunya. Satu minggu yang lalu aku pulang agak larut. Saat berjalan di sepanjang lorong dengan lampu yang terus berkedip-kedip—jarak antara lift dan kondoku cukup jauh: dari ujung satu ke ujung lainnya—aku seperti melihat siluet seorang gadis berdiri di depan pintuku. Anehnya, saat sampai di depan pintu aku tidak menemukan siapa-siapa. Esok malamnya aku meminta Nelson untuk memeriksa seluruh lampu di selasar lantai lima. Aku sungguh terkejut saat ia mengatakan bahwa seluruh lampu di sana baik-baik saja. Bagaimana bisa?
Pada malam yang lain—lagi-lagi saat pulang larut—lagi-lagi aku menemukan kejanggalan. Lampu lorong berkedip-kedip dan aku merasa seseorang sedang mengawasiku. Aku seperti mendengar seseorang berjalan dengan langkah menyeret di belakangku. Akan tetapi, saat menengok, aku tidak menemukan siapa-siapa. Esok malam setelah kejadian itu, lagi-lagi aku meminta Nelson untuk memeriksa lampu, atau kalau perlu, ia sebaiknya mendatangkan tukang listrik. Lagi-lagi ia mengatakan kalau seluruh lampu di sana baik-baik saja. Ia mengaku bahwa ia tidak mendapatkan keluhan dari penghuni lain selain aku. “Mungkin kau hanya kelelahan karena hampir lembur tiap hari, Mikky,” katanya memberi alasan.
Sungguh? Apakah Nelson serius?
Malam ini aku memikirkan seluruh kejadian itu. Sepanjang mengendara pulang dari kantor, aku memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Apa yang menyebabkan aku melihat siluet wanita atau mendengar suara aneh? Sayangnya, tidak ada jawaban yang muncul selain karena kelelahan. Mungkin Nelson benar.
Malam sudah sangat larut dan jalanan sudah lumayan lengang, hanya beberapa mobil yang melintas. Mereka adalah pekerja hobi lembur seperti aku. Aku mulai terbiasa dengan keadaan kota ini saat tengah malam. Tenang dan nyaman.
Aku meluncur ke sisi jalan untuk parkir, melewati taman bermain kecil yang sebelumnya aku katakan berhadapan dengan jendela besar apartemenku. Saat menoleh sekilas, aku melihat dua orang dewasa sedang duduk di taman itu. Karena jarang melihat orang duduk di taman pada tengah malam, aku jadi tertarik. Aku memelankan mobil agar bisa melihat lebih jelas. Aku mengenali si pria. Itu Tod Horgan. Badannya yang besar seperti akan menelan bangku yang ia duduki. Ia bersama seorang wanita. Aku tidak mengenali wanita yang bersamanya. Gambaran yang bisa aku berikan tentang wanita yang bersama Tod adalah rambut wanita itu pirang dan panjang, menggunakan bandana biru, dan mengenakan baju motif polkadot. Aku merasa cukup familiar dengan gaya berpakaian wanita itu. Seperti pernah melihatnya di suatu tempat.
Aku memarkirkan mobil dan berjalan menuju pintu lobi apartemen bersama segala pikiran yang masih menggangguku. Sekarang, ditambah gagasan baru—tentang Tod dan gadis yang bersamanya. Besar kemungkinan, gadis di taman tadi adalah gadis yang Tod minta untuk aku jauhi.
Saat membuka pintu lobi, pandanganku menuju konter Nelson. Langkahku langsung berhenti karena melihat seseorang yang bukan Nelson di dalam konter. Aku mengerjap berkali-kali untuk memastikan bahwa aku benar-benar sedang melihat seorang gadis di sana. Ke mana Nelson? Siapa gadis itu? Apakah ia penghuni baru yang sedang menunggu Nelson?
Aku bergeming, tetapi sangat penasaran. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk mendekat dengan perlahan.
Sebelum aku mencapai meja konter, lampu lobi mendadak berkedip-kedip—persis lampu di lorong lantai lima. Aku reflek mendongak ke atas. Lampu lobi yang berkedip-kedip menghajar retinaku. Mataku menjadi silau karena lampu lobi yang berubah gelap-terang dengan cepat. Aku menggeleng, memejamkan mataku erat-erat, lalu memijat ujung mata dan pangkal hidungku.
Saat aku membuka mata, lampu telah kembali seperti semula. Akan tetapi, setelah kembali menatap ke arah meja Nelson, gadis yang sebelumnya aku lihat sudah tidak ada lagi. Aku mendekat dengan perlahan lalu melongok ke dalam. Siapa tahu ia berjongkok karena kaget dan takut. Namun, konter itu kosong. Aku tidak menemukan siapa-siapa.
Itu aneh. Aku sangat yakin telah melihat seorang gadis di dalam konter. Mungkin benar bahwa aku begitu kelelahan seperti yang dikatakan Nelson sehingga bisa berhalusinasi begitu parah.
Oh, Tuhan.
Aku seperti spon basah yang diperas. Energiku habis dan aku kelelahan.
Kalau benar melihat seorang wanita di konter Nelson lalu wanita itu lenyap begitu saja saat memeriksanya, aku seharusnya segera melapor ke Nasa, CIA, FBI, MIB atau biro apa pun yang dimiliki negara ini. Sudah pasti wanita itu bukan manusia. Ia pasti alien. Mungkin aku harus melaporkan kejadian ini pada Ghostbusters. Namun untuk saat ini, aku memutuskan mengabaikannya dan segera menuju lift.
Lampu di atas mulut lift menunjukkan benda itu akan segera turun. Aku yakin itu Nelson. Ia mungkin habis berkeliling. Suara denting menunjukkan bahwa lift itu telah sampi di lantai dasar. Pintu lift yang tidak rapat membuatku bisa melihat Nelson di dalamnya. Pria itu lalu menarik pintu lift ke samping dengan keras membuat suara yang gaduh sekali. Apalagi ini malam hari.
“Hai, Mikky,” sapa Nelson dengan lengkungan bibir yang lebar. “Lembur lagi?” Kedua matanya sekarang menjadi sama-sama kecil. Aku melihatnya membawa senter di genggaman tangannya dan pentungan di sela pinggangnya.
“Hei, Nelson, kebetulan sekali. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Aku harap kamu tidak terkejut. Begini ... ehm ... “Aku pikir tidak ada salahnya bercerita pada Nelson. Anggap saja penjaga tua itu perwakilan biro keamanan Amerika. Namun, agak susah memilih kalimat yang tepat. “Aku seperti melihat seorang wanita di posmu tadi. Tapi, waktu aku mendekat, ia tiba-tiba menghilang. Bukankah itu aneh? Lampu di tempatmu juga sepertinya bermasalah sama seperti di lantai lima.” Sebelumnya, aku tidak menceritakan tentang siluet gadis di depan pintu kondoku atau suara seseorang yang menyeret kakinya.
Mata Nelson melebar. “Dia seperti apa? Mulutnya mengeluarkan darah? Atau kukunya sangat panjang? Atau rambutnya menutupi wajahnya?” Nelson terkekeh-kekeh. Aku tersenyum kecut. Aku pikir ia akan menanggapinya dengan serius. “Aku di sini sudah hampir 20 tahun dan tidak pernah sekalipun melihat hal-hal aneh. Saranku, jangan hiraukan sesuatu yang di luar akal sehatmu,” tambahnya.
Aku kecewa dengan reaksi Nelson. “Aku tidak sedang bercanda,” kataku
“Yeah. Kau pasti akan mengatakan hal itu.”
Tiba-tiba lampu penerangan di dekat lift berkedip-kedip.
“Tegangan listrik akhir-akhir ini sering turun naik. Jangan kuatir. Aku sudah melaporkannya pada pengelola. Besok tukang listrik akan mengeceknya,” kata Nelson, lalu ia meninggalkanku. Aku masih termenung di depan lift saat mendengar suara teriakan Nelson dari belakang. “Usaha yang bagus, Mikky. Lain kali coba dengan Godzilla!”
Sialan!
Aku bergeming di dalam lift cukup lama tanpa memencet tombol apa pun. Pikiranku masih tertambat pada ilusi seorang gadis di meja Nelson dan gadis cantik yang bersama Tod di taman. Karena tidak menemukan alasan yang logis untuk kejadian tadi, aku hampir memencet angka lima dengan kesal. Namun, aku akhirnya memecet tombol pintu lift dan segera melangkah keluar.
Aku menemukan Nelson sedang mengeluarkan radio dari laci mejanya. Aku merasa lelaki tua itu memandangku dengan tatapan mengejek.
“Kau benar-benar ingin mencoba dengan Godzilla anak muda?” katanya setelah aku mendekat.
“Tidak, Nelson. Aku benar-benar tidak sedang mengerjaimu. Tapi, sudahlah. Lupakan masalah tadi. Aku hanya ingin menanyakan sesuatu.”
“Kau mau tahu apakah di depan Rotary Variety pernah muncul Godzilla?” Nelson terkekeh-kekeh kembali seperti tadi.
Aku tidak langsung menjawab, tetapi menunggunya menghabiskan kekehannya. Setelah ia diam, aku baru berbicara. “Aku bukan ingin mencampuri urusan orang lain, tapi kau tahu dengan siapa Tod di taman malam-malam begini? Apa itu pacarnya?” tanyaku. “Aku melihatnya di taman dengan seorang gadis.”
“Kau ternyata suka mencampuri urusan orang lain, Mikky,” balas Nelson tajam.
“Bukan itu maksudku, Nelson. Pria Irlandia itu pernah mengatakan padaku agar aku tidak mendekati gadis muda di apartemen sebelahku. Mungkin maksudnya, cucu nenek tua yang bersamamu waktu itu. Aku hanya ingin memastikan agar aku tidak terlibat masalah yang lain.”
“Sudahlah, sebaiknya kau naik dan tidur. Besok pagi kau harus pergi ke dokter untuk memeriksakan matamu. Kau tahu? Aku tidak melihat siapa pun keluar dari gedung sejak jam makan malam.”
“Kamu serius dengan kata-katamu?”
“Kau ingin membuktikannya? Ayo kita ke taman sekarang.”
“Bukankah kau tadi tidak berada di sini? Aku minta maaf, Nelson. Sekali lagi aku katakan padamu, aku merasa bersalah karena kau merasa aku mengerjaimu dengan cerita wanita tadi. Sekarang, mungkin kau juga merasa aku sedang mengerjaimu. Tapi demi Tuhan, aku melihat Tod bersama seorang wanita, yang ... tunggu. Bukankah wanita tua yang bersamamu saat kita bertemu pertama kali menggunakan baju polkadot dan bandana biru? Gadis yang duduk bersama Tod juga berpakaian sama.”
“Dengar, Mikky. Apakah kau menyimak apa yang kau katakan sekarang ini? Kau terdengar seperti orang gila. Kau mungkin kelelahan. Sepanjang minggu kau pulang hampir dini hari. Sebaiknya kau masuk apartemenmu, cuci wajahmu, gosok gigi, dan tidur dengan nyaman. Saranku, kalau kau susah tidur, kau bisa meminum segelas susu hangat terlebih dahulu. Itu selalu berhasil pada Adam, cucuku.”
Aku benar-benar terpaku karena jawaban pria tua itu.
“Hah ... lupakan, Nelson. Anggap aku tidak pernah mengatakan apa pun padamu.” Aku mengibaskan tangan pada Nelson dan meninggalkannya menuju lift. Suara tawanya terdengar lagi saat aku makin menjauh. Sepertinya percuma membahas apa pun dengan pria tua itu.
Saat di dalam lift, aku menunggu sebentar sebelum memencet nomor lantai, berharap lampu-lampu itu akan berkedip-kedip lagi. Namun, tidak ada yang terjadi.
Aku menyadari akhir-akhir ini aku kurang tidur. Hampir setiap hari aku lembur. Dua puluh empat jam terasa kurang. Aku mungkin stres karena tekanan di kantor. Ini kali pertama aku menjadi penanggung jawab proyek. Bisa jadi yang terakhir jika aku tidak melakukannya dengan lebih baik. Aku tidak boleh mengecewakan atasanku. Ini satu-satunya cara agar karirku lebih cepat naik. Klien menginginkan sebuah iklan yang berbeda dari biasanya. Beberapa ide yang telah timku sodorkan ditolak mentah-mentah.
Selain karena proyek ini, kenangan Catherine masih menggelayut di kepalaku. Aku masih sering membuka kotak berisi barang-barang yang pernah aku berikan padanya. Aku masih mengingat hari itu, saat ia mengembalikan semua yang pernah aku berikan. Semua bukti perjalanan kisah kami selama tiga tahun. Aku yakin Catty memilih orang lain, meskipun ia membantahnya. Aku sangat terpukul sampai memutuskan untuk pindah dari apartemenku. Terlalu banyak kenangan di sana.
Ketika sampai di apartemenku, aku mencoba mengintip Tod dan pacarnya dari jendela besar. Namun, aku tidak melihat siapa-siapa di taman. Mungkin ia sudah pergi atau aku memang berhalusinasi.
Aku berusaha mati-matian agar mataku memejam, tetapi tidak berhasil. Padahal, seluruh sendiku terasa berkarat: rasanya pegal dan letih. Akan tetapi, hingga beberapa jam setelah masuk ke kamar, aku masih terjaga.Menyebalkan sekali.Untunglah besok akhir pekan. Tidak masalah kalau aku harus bergadang malam ini. Aku bisa membalaskan dendamku esok siang. Namun, aku tetap berharap bisa tidur sejenak.Setelah memutuskan keluar kamar, aku berpikir sekaleng bir sepertinya ide yang bagus. Siapa tahu alkohol bisa membuatku rileks dan mengudang rasa kantuk. Aku mengambil sekaleng bir di kulkas lalu melangkah menuju jendela yang mengarah ke taman. Kemudian, menyandarkan bahuku di dinding samping jendela sambil memandangi mainan anak-anak di taman itu.Mataku tak bisa lepas dari bangku taman. Tod dan teman wanitanya duduk di sana sebelum menghilang. Rasa penasaran pada wanita yang bersamanya diam-diam memenuhi pikiranku. Aku tidak sempat melihat wajahnya dengan jelas
Tentu saja aku tidak langsung membuka pintu. Nelson mungkin berpikir aku seperti tokoh-tokoh bodoh dalam film murahan yang ditontonnya. Apa pria tua itu tidak tahu gunanya lobang intip pada pintu? Tentu saja aku akan memastikan terlebih dahulu bahwa sesuatu yang menungguku di balik pintu bukanlah sesuatu yang berbahaya. Ayahku selalu mengingatkan kami—anak-anaknya—untuk mengutamakan keselamatan. Safety First.Aku mengintip melalui lubang kecil itu dan melihat seorang wanita sedang berdiri di sana. Aku lumayan terkejut. Seorang wanita muda di jam tiga dini hari berdiri di pintu apartemenku. Wanita itu agak pendek, mengenakan hoodie biru muda yang dibiarkan terbuka dengan t-shirt putih. Lampu lorong di atas pintuku yang berkedip-kedip memperlihatkan wajah orientalnya. Gadis Asia rupanya. Wajahnya menoleh ke kiri dan ke kanan dengan raut cemas.Ia mengetuk pintu kembali. Kali ini dengan lebih cepat dan keras. Seorang gadis berwajah o
Aku bangun terlalu siang. Weker di samping tempat tidurku menunjukkan pukul dua. Kepalaku berdenyut-denyut, seolah-olah seribu paku kecil menusuknya bersamaan, Aku membuka laci di samping kasur, mengambil sebutir aspirin, lalu langsung menelannya. Semoga obat itu bisa meredakan sakit kepalaku dengan cepat.Dengan gontai aku berjalan menuju pintu dan agak terkejut karena pintu ternyata terkunci. Aku termenung sejenak sebelum mengingat bahwa tadi malam aku mengunci pintu kamar ini. Seorang gadis asing menginap. Namun, ketika membayangkan orang asing yang aku maksudkan dan menyadari bahwa aku bisa melewati malam dengan aman, aku merasa seperti pria bodoh. Tadi malam—mengunci pintu kamar—aku anggap sebagai keputusan yang tepat. Mungkin aku bisa mengelak dengan mengatakan bahwa seorang wanita yang tidak aku kenal berada di luar kamarku dengan koper besar yang aku tidak tahu apa isinya. Tubuh Yui memang kecil tapi aku tidak ingin menebak benda yang dibawanya di dalam ko
Aku menemukan Yui sedang menonton televisi. Matanya terpaku pada layar sehingga ia tidak sadar bahwa aku telah kembali. Ia menonton sebuah siaran tunda yang disiarkan secara langsung minggu sebelumnya. Aku mengetahuinya setelah melihat tulisan kecil di sisi kanan layar. Acara itu akan kembali disiarkan langsung malam ini. Aku yakin, itu bagian dari strategi mereka agar penonton bisa mengingat episode sebelumnya. Hanya saja, acara yang disaksikan Yui termasuk acara tua.Vernors dan program televisi lama, selera Yui bertolak belakang dengan penampilannya. Seperti halnya kebanyakan Asia, Yui terlihat lebih muda dari usianya. Aku melihatnya seperti remaja belasan tahun. Apalagi sekarang, ia menggunakan tangtop dan hotpants.Kulit orang eropa berwarna putih kemerahan seperti daging ayam sedangkan kulit Yui seperti daging ayam yang telah dilumuri madu sehingga terlihat sangat halus dan bercahaya:: putih, agak merah, dan agak keemasan. Tubuh Yui kecil, tapi padat. Ra
Mataku langsung silau. Ternyata, tadi malam aku lupa mematikan lampu kamar. Butuh sedikit waktu agar mataku bisa menyesuikan suasana. Kepalaku agak pusing. Aku rasa kali ini bukan karena kurang tidur seperti kemarin, tetapi karena alkohol. Aku dan Yui minum bir terlalu banyak.Aku baru menyadari bahwa aku tidur di pinggir ranjang. Biasanya aku tidur di tengah-tengah. Ketika melihat benda-benda yang tergeletak di lantai kamar, aku langsung mengingat apa yang terjadi tadi malam. Ah, sialan! Ini akan menjadi lebih rumit!Aku yakin, apa yang terjadi antara aku dan Yui tadi malam karena alkohol, rasa sedih, dan perasaan senasib. Tiga hal itu bercampur menjadi satu menciptakan suasana yang melankolis sehingga membuat kami berdua tidak bisa mengendalikan diri. Namun, tetap saja rasanya salah.Senin besok saat aku bercerita pada David, pria itu pasti tidak akan percaya dengan apa yang aku lakukan. Ia pasti akan menyebutku bodoh. Lalu, apa kira-kira yang akan terjadi pad
“Bukankah itu bagus? Kau harus cepat-cepat move on,” kata David ketika melihatku masuk ke dalam ruang rapat, lalu menyambar paper cup berisi kopi yang aku sodorkan padanya. Ia menyeruputnya sedikit dan wajahnya langsung berubah. “Ini pahit sekali, Mikky. Apa negara ini sudah kehabisan gula?”“Tidak. Aku hanya menolong istrimu.” Aku menarik kursi di sampingnya. “Kau juga harus mengurangi donat-donat itu.” Di samping laptop David terdapat sebuah kotak kecil berisi donat. Seperti halnya dengan Watson, David mengalami sedikit obesitas. Ia suka sekali dengan gula.“Sekarang kau terdengar seperti Anne,” ujarnya lirih.David adalah sahabatku sejak kami masuk bersama di MollenLowe empat tahun yang lalu. Pria itu lulus dari Universitas Boston sedangkan aku dari Ann Arbor, Universitas Michigan. Aku mengambil jurusan periklanan sedangkan David komunikasi. Kami adalah duo maut di kantor ini, setid
Awalnya aku tidak terlalu memikirkan kejadian-kejadian yang aku alami. Meskipun merasakan kejanggalan, aku tidak terlalu khawatir. Namun, pendapat David dan fakta yang aku dapatkan siang itu cukup membuatku berpikir kembali. Apa yang terjadi jika aku ditipu? Aku sudah mengecek beberapa hal sebelum memutuskan untuk pindah apartemen. Aku pikir semuanya baik-baik saja. Nyonya Borden terlihat begitu alami.Aku menyangka Nyonya Borden orang lokal. Ia terlihat sangat Irlandia seperti halnya Tod. Rambutnya agak kemerahan dengan tulang hidung yang tegas. Rahangnya lancip dan tubuhnya cukup jangkung. Ia memiliki mata hijau yang unik. Sebenarnya wanita itu cukup menarik. Gaya bicaranya juga teratur dan mampu menjelaskan detil dengan cepat dan singkat. Apalagi dengan balutan blazer hitam dengan rok pendek serta high heel yang sesuai dengan warna kulitnya. Ia sangat meyakinkan sebagai agen perumahan. Itulah kenapa aku masih mengingatnya hingga sekarang.Aku bahkan tidak b
Aku membeli sekotak pizza untuk aku bawa pulang. Ukuran sedang. Meskipun meninggalan sejumlah uang untuknya, aku takut Yui belum makan malam. Aku tidak tahu seleranya, mungkin saja ia tidak menyukai pizza. Namun, apa yang bisa aku beli lagi?Aku tidak pulang larut kali ini, baru pukul sembilan. Mungkin besok aku malah bisa pulang tepat waktu. Proyek iklan-ku sudah bisa ditangani dengan baik. Semua tim sudah tahu apa yang harus mereka lakukan dan bisa bekerja lebih kompak. Rapat tadi pagi benar-benar efektif. Sore tadi, aku dan David telah menemukan lokasi yang tepat dan berbicara dengan penanggung jawabnya. Artis yang akan kami gunakan sudah setuju dan hanya perlu menangani kontrak kerjasamanya saja. Rasanya cukup melegakan mengingat apa yang terjadi padaku akhir-akhir ini.Selain hal itu, orang yang memberikanku kelegaan ialah Benjamin. Aku memutuskan meminta bantuan Benjamin untuk mengurus masalah Milla Borden. Ia berjanji akan menemukan agen itu. Aku juga meminta Be
“Kau ingat iklan bir yang kita buat di Cheko, David? Bukankah tempat ini mirip?” tanyaku setelah memerhatikan dengan seksama ruang bawah tanah tempat aku disekap. Ruanganku adalah ujung dari sebuah lorong—yang aku yakin cukup panjang—dengan langit-langit berbentuk lonjong. Dindingnya terbuat dari bata merah setinggi tiga meter. Lorong itu cukup lebar untuk bisa dilalui empat orang sekaligus.“Maksudmu Pilsen? Yeah, lorongnya memang mirip. Kalau kau ingat kata-kata Benjamin, tidak seharus kau terkejut. Bangunan ini sama tuanya.”Aku tidak pernah menyangkan akan ada ruangan seperti ini di bawah apartemenku. Selain ruangan tempat aku disekap terdapat dua ruangan lain yang pintunya tertutup. Sepertinya, aku akan menemukan banyak ruangan seperti itu sepanjang perjalanan keluar.Lorong panjang di depanku diterangi oleh lampu-lampu neon yang dipasang di atasnya. Andaikata neon-neon itu dimatikan pastilah tempat ini akan gelap-g
Kematian Wendy membuat Nelson menyerah. Setelah gadis itu lenyap menjadi debu, Nelson langsung berlutut dan mengangkat tangannya.“Semua penyihir di dunia ini akan mengejarku. Dan, karena Wendy telah mati, aku tidak bisa berlindung lagi di balik punggungnya. Lebih lagi, sebenarnya Wendy Orsey telah melanggar hukum yang ditetapkan oleh Hareruha dengan berusaha mengambil persembahan dengan sihir hipnotis. Ini adalah kesempatan besar bagi Nyonya Borden untuk menghabisi seluruh penyihir yang mengikuti Wendy,” kata Nelson panjang lebar. Aku tidak benar-benar mengerti apa yang dikatakannya. “Aku menyerah, lebih baik mati di tangan kalian daripada di tangan mereka.”Setelahnya, pria itu menuruti semua perintah dari Willy dan Benjamin Black. Nelson didudukkan di tempat aku diikat sebelumnya. Namun, tangannya tidak diikat seperti aku. Hanya saja, Willy mengarahkan sebuah pistol tua—seperti pistol milik Van Helsing di film—ke tempurung kepalan
Mataku terbuka dengan pelan bersamaan dengan sayup-sayup nada lembut yang menggelitik indera pendengaranku. Aku seperti bayi yang sedang dibuai agar tertidur dengan lelap. Ditambah lagi desir angin yang sepoi membasuh wajahku, membuat mataku ingin segera kembali terpejam. Namun, entah apa yang mendorongku untuk menahan kantuk itu dan meyakinkan diri untuk terjaga.Aku mencium bau laut. Mendengar debur ombak dan desis pantai yang tergerus. Rasa hangat yang nyaman merayapi sekujur tubuh. Terang mentari yang mencerahkan segalanya memenuhi mataku yang berusaha mengenali di mana aku berada.Dengan pelan, aku bangkit dan terduduk. Pada akhirnya aku bisa mengenali dimana aku saat ini. Sebuah pantai tropis yang sangat indah membentang di depanku.Aku yakin bahwa aku tak pernah sekalipun menginjakkan kaki di tempat ini, tetapi entah kenapa aku merasa mengenali suasananya. Tubuhku tidak bereaksi seperti orang yang pertama kali datang, tetapi laksana orang ya
Saat membuka mata, aku langsung diserang rasa sakit di perut yang menusuk-nusuk. Aku sampai meringis karena berupaya menahan rasa sakitnya. Belum selesai dengan rasa sakit itu, bau busuk menyerangku dengan membabi-buta. Aku menerka bahwa sekamar dengan bangkai anjing.Aku langsung mual. Apa pun yang hendak keluar dari mulutku sudah mencapai ujung tenggorokan. Mati-matian aku menahannya, tetapi sia-sia. Jadi, dengan penglihatan yang masih samar, aku muntah sejadi-jadiya. Semua masakan Benjamin keluar dari perutku, menambah bau busuk di ruangan ini. Lalu, bersama bau busuk sebelumnya, mereka menyerang penciumanku dengan membabi-buta.Sambil terengah-engah, aku menatap muntahanku yang membanjiri lantai. Aku jijik sendiri sehingga muntah kembali. Tampaknya aku tidak mengunyah spagetiku dengan benar karena sebagaian muntahanku masih menunjukkan bentuk asli dari makanan itu. Sialnya, celana dan sepatuku terkena muntahanku sendiri.Setelah isi perutku hampir seluruhnya
Yui melempar ransel ke punggungnya sedangkan aku langsung mengangkat tas tenis sembari menyambar tangannya. Aku berbalik dan melangkah menuju pintu. Namun, aku merasakan Yui menolak tarikan tanganku. Saat menoleh, aku mendapatkan Yui bergeming di tempatnya dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. Jari tangan Yui saling meremas. Aku menatap matanya dan merasakan binarnya meredup.“Kita akan ke mana?” tanya gadis itu. Aku menangkap getar dalam suaranyaAku menjatuhkan tas tenis lalu mendekat pada Yui. Dengan pelan, aku mengelus pipinya. Kulit pipinya terasa lembut di tanganku. “Ke tempat aman sampai semuanya selesai. Setelah semuanya selesai, kita akan mengurus semua masalahmu,” jawabku. “Percayalah padaku. Aku tidak akan meninggalkanmu.”Yui menatapku tajam sebelum mengangguk. Kedua tangannya meraih lenganku lalu menggenggamnya dengan erat. “Aku percaya padamu, Mikky. Aku akan selalu menggenggam tanganmu seerat ini dan ta
Benjamin dan Willy entah berada di mana karena aku tidak melihat mereka di mana-mana: di ruang depan, di ruang televisi, di dapur, kamar mandi, dan ruang-ruang lain yang pernah aku masuki. Aku kembali ke kamar. Di dalam kamar sudah ada David dengan sweater yang agak kebesaran. Karena penghangat rumah ini tidak dinyalakan, hawa dingin sehabis hujan yang menyelinap masuk terasa menusuk.“Benjamin dan Willy tidak ada di ruang depan,” kataku pada David yang sedang duduk di ranjangku. Aku berdiri di depannya sedangkan David melihat arloji di tangannya. Kalau tidak salah, ini sudah pukul sebelas malam. Aku sempat melirik jam dinding di ruang televisi sebelum mendaki tangga ke lantai dua. “Sepertinya pintu depan juga tidak terkunci. Ini saatnya aku pergi,” lanjutku.“Kau benar-benar yakin akan pergi ke sana, Mikky?” tanya David. Aku menangkap rasa khawatir pada suaranya.“Iya. Aku tidak bisa membiarkan Yui sendirian.”
Setelah kembali ke Old Harbor, aku tidak bisa berhenti memikirkan Yui. Meskipun aku tidak bisa mengabaikan kecurigaan David, membiarkan Yui menghadapi masalahnya sendiri terlihat tidak benar. Ia telah menjelaskan alasannya melakukan perbuatannya. Aku pikir, itu patut dipertimbangkan. Lagipula, gadis itu telah mengurusku dengan baik. Aku terus-menerus memikirkan hal itu sambil memandang jalanan dari jendela kamar.Kamar yang disediakan Benjamin berada di lantai dua dan jendelanya mengarah ke jalan raya. Aku bisa melihat mobil Ford David masih terparkir seperti keadaannya tadi siang. Aku rasa jika jendela itu dibuka, angin laut akan menyelesup membawa bau-bau kehidupan yang bebas. Dindingnya bercat putih seperti ruangan lain yang pernah aku lihat di rumah ini. Ranjangnya lebih besar dari milikku di apartemen. Pastilah akan sangat nyaman berbaring di sana. Akan tetapi, aku sedang tidak ingin berbaring. Selain itu, tidak ada benda apa-apa lagi di dalam kamar ini.Benjamin
“Kita akan ke Mercer Street?” tanyaku pada Willy setelah berada di dalam mobil. Pria itu tidak menjawab sedang matanya memandang lurus ke depan. Aku sampai mengikuti arah pandangannya, melewati kaca depan yang mulai basah oleh rintik hujan dan hanya menemukan van hitam yang tidak bergerak. Karena tidak menemukan apa-apa, aku menoleh kembali padanya. Aku menunggunya mengatakan sesuatu. “Watson tidak ada di tokonya?” Malah David yang menyahut. Aku menoleh pada David yang duduk di bangku belakang lalu mengangguk. “Tidak ada siapa-siapa di sana.” “Wendy?” Aku menggeleng. “Toko itu seperti tidak pernah dimasuki siapa pun setelah aku meninggalkannya tadi siang.” “Lalu, siapa yang berada di Mercer Street?” tanyanya kembali. “Apartemen Watson. Pemilik toko reparasi sepatu yang tokonya bersebelahan dengan minimarket Watson memberitahukan alamat tempat tinggalnya pada kami. Tapi sayangnya, dia tidak tahu nomor apartemennya,” jawabku. Aku
Setelah berada di dalam mobil tua Benjamin yang terlihat bobrok dari luar, aku langsung menyadari alasan pria tua itu meminta Willy menggunakannya daripada mobil Ford David. Mobil itu ternyata garang. Aku yakin, Ford David tidak ada apa-apanya bila dibandingkan sedan ini. Willy mengaku kalau dialah yang memodifikasi mobil tersebut. Pria Asia yang dipekerjakan Benjamin itu mungkin memiliki lebih banyak bakat selain komputer, mesin, dan beladiri. Aku tidak akan terkejut kalau suatu saat nanti ia merayap di dinding seperti Spiderman atau mengaku kalau sebenarnya dia adalah Bruce Wayne. Sedan putih yang lusuh: warna putihnya kotor, kulit joknya robek, dan modelnya lama. Sangat meragukan kalau dilihat dari luar. Namun, suara mesinnya meraung-raung gahar ketika pedal gasnya diinjak keras dan mobil itu mampu berlari secepat kilat. Bukan berarti aku memahami seluk-beluk mesin mobil, tetapi aku cukup yakin bahwa mobil itu dimodifikasi dengan ekstrem. Tebakanku, mobil itu sengaj