Empat orang yang berpenampilan rapi mulai memasuki gedung utama kerajaan bisnis Narutama. Raka dan Maya tampak berjalan di depan diikuti Nindy dan Ilham. Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Hari ini adalah hari penentuan tentang siapa yang layak bekerja sama dengan Narutama Group.
"Kamu gugup?" tanya Ilham saat mereka menunggu lift.
"Banget, Pak. Mending saya ngadep dosen dari pada Pak Naru."
"Kamu harus terbiasa, Nind. Soalnya dunia kerja itu kejam," ucap Maya.
"Iya, Mbak. Kejam banget malah," jawab Nindy dengan menunduk.
Pintu lift terbuka dan mereka semua mulai masuk. Saat lift akan tertutup, tiba-tiba seseorang menghentikannya. Rahang Raka mengeras saat melihat siapa yang berada di hadapannya saat ini.
"Wah, kebetulan. Bareng ya?" ucap Doni diikuti dua karyawannya.
Suasana di dalam lift terasa sangat mencengkam. Raka tampak
Hari ini terasa begitu berbeda. Suasana kantor yang biasanya menyenangkan berubah menjadi suram. Kabar mengenai kegagalan Adhitama Design dalam proyek besar Narutama sudah menyebar ke seluruh kantor. Bahkan petugas kebersihan ikut membicarakan masalah ini. Hanya satu pendapat yang Nindy dengar di telinganya, yaitu hampir semua orang kantor menyalahkannya. Mereka berpikir jika dirinya dengan sengaja menjual desainnya pada Doni karena sakit hati.Jam kantor yang belum dimulai membuat Nindy memilih untuk menyandarkan kepalanya di atas meja. Semangatnya dalam bekerja mendadak hilang. Apalagi saat mendengar bisikan-bisikan setan yang masih membicarakannya."Nin, kamu sakit?" tanya Tomi di sampingnya.Nindy menggeleng dengan masih menelungkupkan wajahnya di atas meja. Sesekali dia mengantamkan kepalanya pelan berharap jika dia akan terbangun dari mimpi. Bukannya terkabul, Nindy malah semakin yakin jika semua yang terjadi meman
Keluar dari zona nyaman memang menakutkan. Namun sebagai manusia, bertahan di satu titik tidak akan membuat semuanya berubah menjadi baik. Kadang manusia harus berani melangkah agar bisa mendapatkan hasil yang maksimal.Di dalam sebuah kafe yang tampak ramai itu, Nindy menunduk dengan resah. Dia mengabaikan suasana riuh di sekitarnya dan memilih untuk menyendiri. Sesekali dia melirik jam tangannya untuk melihat waktu. Sudah lima belas menit dia menunggu tapi pria yang ingin ia temui tak kunjung datang juga."Maaf lama, saya ada rapat sebentar tadi." Seorang pria datang menghampiri.Nindy mengangkat wajahnya dan tersenyum manis. Dia berdiri untuk menjabat tangan pria yang sangat ingin ia temui sejak tadi. "Nggak papa, Pak. Saya senang kalau Pak Doni mau meluangkan waktu untuk saya.""Jadi Nindy? Kenapa kamu temui saya?" Doni mulai membuka menu, "Kamu sudah pesan?" tanyanya lagi."
Hari telah berganti. Dengan wajah yang kaku, Nindy berjalan menuju pintu utama perusahaan Adhitama Design. Tangannya menggenggam erat ponsel yang menampilkan pesan singkat yang Raka kirim semalam ketika ia sudah tidur. Pesan singkat itu sangat membuat Nindy marah. Tidak, dia tidak marah jika Raka memecatnya. Dia justru marah karena pria itu memecatnya secara sepihak tanpa mau mendengarkan penjelasannya sedikit pun."Mbak Nindy!" Satpam berusaha mengejar Nindy yang berjalan dengan cepat."Jangan tahan saya, Pak. Saya cuma mau ketemu Pak Raka sebentar."Satpam itu berhenti dan mengangguk pelan. Dia sudah mendengar masalah internal yang terjadi di perusahaan. Entah dari mana semua karyawan mendengar berita-berita aneh mengenai Nindy. Namun dapat Nindy pastikan jika semua itu adalah fitnah."Nindy?" panggil Daffa yang baru saja keluar dari ruangan Ilham. "Kamu di sini? Gimana keadaan kamu? Aku baru denge
Ekspresi datar dari wajah Raka tidak bisa disembunyikan. Tidak ada lagi senyum ramah untuk para pekerja yang menyapanya. Hanya senyum tipis tak sampai mata yang ia berikan. Sepertinya Raka sudah lupa bagaimana caranya untuk tersenyum.Raka menghela napas kasar saat melihat kendaraan berat yang melintas di hadapannya. Kendaraan yang mengangkut besi-besi itu membuatnya teringat pada seseorang. Seorang gadis ceroboh yang anehnya ia percayai menjadi asistennya. Raka tidak habis pikir kenapa dia bisa mempercayai Nindy sampai sebegitunya mengingat masa lalu mereka yang tidak baik. Namun tidak bisa dipungkiri jika kerja Nindy selama ini memang bagus sebelum kejadian kelam itu terjadi."Ka, jangan ngelamun." Maya menepuk pelan bahu Raka.Raka mengerjabkan matanya dan bergerak mundur, mencoba memberi jarak pada kendaraan berat yang lewat. Dia tidak ingin kembali masuk rumah sakit."Udah ketemu Pak Anton belum
Penyesalan memang selalu datang terakhir. Tidak ada hal lain yang Raka pikirkan saat ini selain Nindy. Semua kesalahpahaman ini membuatnya tampak seperti orang bodoh. Dia malu karena telah mengambil keputusan secara sepihak, tapi dia tidak malu untuk mengakui kesalahannya.Sampai saat ini Raka masih tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan Maya. Wanita itu sudah berubah. Dia berbeda dengan Maya yang dulu. Raka menyesal pernah berpikir jika wanita itu masih sama seperti dulu. Kekuasaan dan keserakahan telah menggelapkan hatinya. Raka tidak mengangka jika Maya bisa melakukan hal selicik itu.Mata Raka tidak beralih sedikitpun dari ponselnya. Dia masih berusaha untuk menghubungi Nindy. Sudah 30 menit dia menunggu di depan kost tapi gadis itu tak kunjung mengangkat panggilannya. Raka tahu jika Nindy marah, tapi apa yang bisa dia lakukan selain meminta maaf? Jika bisa, Raka ingin memutar waktu agar lebih mempercayai Nindy.
Bunyi ponsel yang berdering membuat Raka mengalihkan pandangannya. Dia kembali fokus menghabiskan air putihnya saat melihat nama Maya di sana. Tidak ada niatan sedikitpun di dalam hatinya untuk mengangkat panggilan itu. Hanya dalam waktu yang singkat, semua keadaan langsung berbalik. Yang awalnya ia mengabaikan panggilan Nindy, sekarang dia berubah mengabaikan panggilan Maya. Raka tidak suka dikhianati. Dia benci jika kepercayaan yang sudah ia berikan akan disalahgunakan. Dalam kasus ini, Maya adalah contohnya. Entah kenapa Raka baru sadar jika dia terlalu mengistimewakan wanita itu. Ucapan Ilham yang menohok membuatnya membuka mata lebar. Ponsel Raka berhenti berdering, tapi tak lama dia mendengar suara bel rumah yang berbunyi. Raka meletakkan gelasnya dan bergegas untuk
Rasa putus asa membuat Raka berbuat nekat. Sejak berada di dalam taksi hingga sampai di rumahnya, pria itu tidak mengalihkan sedikitpun pandangannya dari Nindy. Bahkan saat mengambil air minum pun, dia memaksa Nindy untuk ikut agar tidak kabur darinya. Raka benar-benar serius dengan ucapannya. Jika dengan menculik Nindy bisa membuatnya berbicara dengan leluasa maka dia akan melakukannya.Nindy menghela napas kasar dan berdiri dari duduknya. Dia ikut masuk ke dapur dan melihat isi kulkas. Dahinya berkerut saat tidak menemukan apapun di dalam sana."Seenggaknya kalau mau culik orang siapin makanan dong, Pak." Nindy menutup pintu kulkas dan bersandar di sana dengan lemas."Kamu laper?" tanya Raka geli.&
Telinga Nindy dengan aktif mendengarkan ucapan Raka. Dia langsung duduk tegap saat mendengar berita yang mengejutkan. Meskipun tidak bisa mendengar dengan jelas, tapiekspresi yang Raka tunjukkan saat ini seolah mewakili jika memang ada sesuatu yang terjadi.Raka menghela napas kasar dan memijat keningnya yang berdenyut, "Oke, Kakek jangan panik ya, tenang dulu. Aku bantu cari Nenek." Ucapnya mematikan panggilan."Kenapa, Pak?" tanya Nindy khawatir. Dia ingin memastikan apa yang ia dengar tadi."Nenek hilang."Benar dugaannya!"Kok bisa?" Nindy semakin khawat
Dua bulan kemudian.Suara berisik dari dapur terdengar ke seluruh penjuru rumah. Raka meringis saat tangannya tidak sengaja menyentuh wajah yang panas. Dengan cepat dia menyiram tangannya dengan air yang mengalir. Dari kejauhan, Bibi meringis dan terlihat khawatir. Namun lagi-lagi Raka meminta Bibi untuk menjauh dan tidak mengganggunya. Raka ingin membuat sarapan spesial untuk istrinya. Dia sangat berterima kasih pada Nindy karena sudah menyenangkan hatinya semalam."Mas, Mbok bantu ya?""Nggak usah, Mbok.""Mas itu telurnya kelamaan, cepet dibalik."Raka dengan cepat kembali ke kompor dan membalik telurnya. Dia mendesah kecewa saat telur setengah matang yang ia buat berubah menjadi matang sempurna. Tidak masalah, Nindy juga akan tetap menyukainya. Raka kembali berdecak saat minyak goreng mengenai kemeja kerjanya. Tidak masalah, dia juga bisa mengganti pakaiannya nanti.Setelah matang, Raka meletakkan telur itu di atas nasi goreng buatannya. Dia tersenyum puas melihat masakannya pagi
Di tengah kesibukan kantor, Raka dan Nindy juga sibuk mempersiapkan pernikahan mereka. Tak jarang mereka mengeluh karena padatnya kegiatan. Bahkan di hari Sabtu seperti ini, mereka harus mengecek lokasi resepsi untuk yang terakhir kalinya. Besok adalah hari besar mereka, akad nikah dan resepsi akan dilaksanakan di hari yang sama."Capek, Pak." Nindy memijat kakinya setelah menghempaskan tubuhnya di sofa rumah Raka."Besok bakal lebih capek lagi, sabar ya." Raka mengelus kepala Nindy."Peluk." Nindy merentangkan tangannya dengan manja.Raka tersenyum dan mulai duduk di samping Nindy. Dengan segera dia menarik gadis itu untuk masuk ke dalam pelukannya. Di tengah kesibukan mereka, Raka sebisa mungkin tetap memberikan waktunya untuk Nindy. Entah sekedar makan bersama atau berbincang."Nginep di sini ya malam ini?""Mana bisa? Bapak sama Ibuk di kost bisa kesurupan reog liat anaknya nginep di rumah cowok.""Kan aku calon suami kamu. Lagian kamu juga sering nginep di sini.""Sstt, jangan bo
Dengan menggunakan batik, Raka terlihat semakin tampan berkali-kali lipat. Wajahnya yang tak pernah berenti tersenyum membuktikan jika ia menjadi manusia yang paling bahagia saat ini. Sama seperti gadis di hadapannya. Nindy tampak cantik dengan kebaya yang ia kenakan.Dengan cepat dan yakin, Raka mulai memasangkan cincin di tangan Nindy, begitu juga sebaliknya. Dari pemasangan cincin ini, Nindy sudah resmi menjadi calon istri Raka. Hanya tinggal satu langkah lagi sampai mereka akhirnya benar-benar akan bersama."Ndis! Liat sini," ucap Reina mulai memotret dirinya bersama Raka.Kebahagiaan Nindy menjadi berkali-kali lipat karena kedatangan sahabat-sahabatnya. Mereka rela jauh-jauh datang ke Jogja untuk menemaninya. Beruntung acara lamaran dilakukan di akhir pekan sehingga tidak mengganggu jam kerja banyak orang.Suara tepuk tangan terdengar sangat riuh. Keluarga besar Nindy berkumpul bersama hari ini. Sebagai cucu perempuan satu-satunya tentu tidak mudah untuk melepas Nindy. Semua kelu
Di dalam mobil, Nindy tidak bisa berhenti menatap cincin yang terpasang di jari manisnya. Cincin itu terlihat sederhana tapi juga mewah. Entah dari mana Raka tahu ukuran jarinya, yang pasti cincin itu benar-benar pas di tangannya.Makan malam mereka kali ini berjalan dengan romantis. Tidak ada perdebatan konyol di antara mereka. Dengan serius, Raka mengungkapkan keinginannya untuk menikahinya dan bertanya apa dia bersedia? Tentu saja Nindy bersedia. Dia telah jatuh cinta pada semua yang ada di diri Raka."Kamu seneng?" tanya Raka menarik tangan Nindy. Matanya masih fokus menyetir dengan tangan kiri yang menggenggam erat tangan Nindy."Seneng, Pak. Nggak sia-sia saya lembur buat selesain revisian kalau hadiahnya dilamar gini." Nindy terkekeh."Udah aku bilang panggil Raka, aku bukan Bapak kamu.""Tapi Bapak dari anak-anak aku.""Jangan mulai, Nind. Aku lagi nyetir."Nindy tertawa dan mencium tangan Raka yang masih menggenggamnya. Perjalanan ke kost kali ini berlangsung lama karena Raka
Nindy memejamkan matanya saat Raka kembali memarahinya. Lagi-lagi dia meringis melihat desain yang ia buat sudah tidak terlihat lagi rupa dan polanya. Jangan harap Nindy akan melihat sisi manis dari diri Raka saat di kantor, karena pria itu akan kembali menjadi Raka si Bos yang menyebalkan."Ini fungsinya apa, Nindy? Kenapa kamu hobi sekali memasukkan hal-hal yang nggak fungsional?"Nindy mengerucutkan bibirnya mendengar itu. Dia memilih diam karena menjelaskan pun akan percuma, Raka akan tetap membantahnya. Pria itu pasti lebih tahu bagaimana keinginan Pak Naru."Perbaiki lagi." Raka medorong kertasnya dan menatap Nindy lekat."Kamu udah telat dua hari dari
Tiga minggu telah berlalu. Hubungan Raka dan Nindy semakin membaik setiap harinya. Meskipun masih dibumbuhi dengan perdebatan konyol, tapi cinta mereka tumbuh semakin kuat. Bahkan semua penghuni kantor juga sudah mengetahui hubungan mereka. Sejak awal Raka memang tidak ingin menyembunyikan hubungan mereka, berbeda dengan Nindy yang selalu merasa sungkan dengan karyawan lain. Oleh karena itu Nindy selalu membatasi pergerakannya di kantor.Raka melepas dasinya dan merebahkan tubuhnya di kasur. Tak lama Nindy, Ilham, Tomi, dan Sisca masuk dengan wajah yang juga terlihat lelah. Seharian ini pekerjaan mereka memang padat. Mereka harus terbang ke Surabaya untuk melihat proyek Narutama. Mereka berlima adalah perwakilan kantor yang harus melihat lokasi secara langsung."Pak Ilham beli apa?" tanya T
Mobil Raka berhenti tepat di depan kost Nindy. Dia sudah terlambat 10 menit. Dengan tergesa dia keluar sambil menghubungi Nindy, bermaksud memberi kabar jika ia sudah sampai.Tidak ada waktu istirahat untuk Raka hari ini. Setelah pulang dari kantor, dia langsung membersihkan diri dan kembali berangkat untuk menjemput Nindy dan orang tuanya. Meskipun terlihat santai, tapi jantung Raka berdetak dengan cepat. Dia menarik napas dalam berkali-kali untuk menenangkan hatinya. Ini pengalaman pertamanya bertemu dengan orang tua kekasihnya. Dia tidak pernah bergerak sedekat dan senekat ini dengan mantan-mantan terdahulu."Pak!" Nindy tiba-tiba datang dengan tergesa. Dia tampak panik dengan keringat di dahinya."Kamu kenapa? Kok
Suasana masih terasa mencengkam. Bahkan setelah Maya pergi pun suasana tidak kunjung kembali tenang. Perasaan Raka sudah terlanjur buruk karena kedatangan wanita itu. Dengan beraninya Maya kembali muncul di hadapannya, bahkan di kantornya. Raka akui jika mental wanita itu sangat kuat karena tahan dengan tatapan sinis dari para karyawan.Sebenarnya tidak ada yang perlu dibicarakan lagi dalam pertemuan kali ini. Apapun usaha Maya dalam meminta maaf, keputusan Raka untuk membawa masalah ini ke jalur hukum sudah final. Entah apa yang membuat kakek memintanya untuk kembali berpikir. Mungkin mulut manis Maya sudah berhasil mempengaruhinya."Maaf ya, Nind. Kakek nggak nyangka kalau kamu akan ngalamin hal kayak gini di kantor. Andai kamu cerita sama Kake
Nindy menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan. Dia melakukannya berkali-kali untuk menenangkan hatinya. Untuk pertama kalinya setelah dipecat, Nindy kembali menginjakkan kakinya di kantor Adhitama Design. Dia tidak sabar untuk kembali menjalani kehidupannya di perusahaan ini."Kamu gugup?" tanya Raka yang berdiri di sampingnya.Nindy mengangguk, "Saya deg-degan, tapi juga seneng, Pak."Raka tersenyum dan semakin menggenggam erat tangan Nindy.Liftmasih berjalan sampai akhirnya berhenti di lantai tempat di mana mereka bekerja."Lepasin, Pak." Nindy menarik tangannya.