Hari senin adalah hari yang dibenci oleh hampir semua orang. Mengawali minggu yang padat dan jauh dari kata akhir pekan memanglah menyebalkan. Banyak orang sudah bersiap untuk memenuhi jalan raya tapi tidak dengan gadis yang masih asik bergelung di bawah selimut.
Gendis Anindya Maharani, gadis berparas manis yang tengah berjuang di kerasnya ibu kota. Ia masih tertidur lelap, mengabaikan suara kendaraan yang menembus dinding kamarnya.
"Sayur!"
Suara tukang sayur yang terdengar setiap pagi seolah menjadi alarm rutin bagi Nindy. Perlahan dia muali membuka mata dan melihat langit-langit kamar. Matanya yang belum bisa terbuka sempurna membuatnya mendengkus. Perlahan dia bangkit dan meraih cermin dari atas meja. Seperti dugaannya, matanya sembab dan bengkak seperti dikeroyok warga.
Menangis setiap malam sudah menjadi kegiatan Nindy selama dua bulan terakhir. Dia tahu Tuhan sangat membenci orang yang suka mengeluh, tapi Nindy benar-benar sudah putus asa dengan kerasnya ibu kota.
Nindy pikir setelah lulus kuliah, dia akan segera mendapatkan pekerjaan, tapi kenyataan memang begitu pahit. Sudah hampir empat bulan dia mencari pekerjaan, melakukan wawancara, dan sebagainya tapi hingga saat ini belum ada panggilan kerja untuknya.
Apa dia sebodoh itu?
Getaran pada ponselnya membuat Nindy tersadar. Dia mengusap wajahnya kasar dan segera mengambil ponselnya. Ada pesan singkat dari ayahnya yang berada di kampung halaman.
"Udah bangun, Nduk? Sebelum berangkat kerja jangan lupa sarapan ya."
Nindy kembali menghempaskan tubuhnya di kasur dan mengerang kesal. Matanya kembali memanas membaca pesan yang ayahnya kirim setiap pagi. Nindy terpaksa berbohong selama ini. Dia memang berkata jika sudah mendapatkan pekerjaan agar tidak dipaksa pulang dan dinikahkan dengan anak kepala desa.
Konyol bukan?
Jika orang tuanya tahu kenyataan yang sebenarnya, bisa dipastikan Nindy akan diseret pulang. Dia tidak mau hal itu terjadi, setidaknya dia harus memanfaatkan gelar sarjananya untuk mencari uang.
"Iya, Pak."
Akhirnya Nindy berhasil membalas pesan ayahnya. Perlahan dia bangkit dari kasur dan membuka jendela kamar. Cahaya matahari langsung menerpa wajahnya. Dia harus bersiap untuk kembali mencari pekerjaan.
***
Nindy menyentuh perutnya yang mulai lapar. Dia memilih untuk menutup laptop yang ia gunakan dan bergegas keluar kamar. Kamar Arinda adalah tujuannya, gadis batak yang merupakan teman satu kostnya.
"Arinda?" panggil Nindy sambil mengetuk pintu, "Udah masak belum?" tanyanya.
"Bukannya tanya udah bangun apa belum malah tanya udah masak apa belum, dasar tetangga nggak tau diri!" balas Arinda dari dalam.
Jika sudah berteriak, berarti Arinda mempersilahkannya untuk masuk. Nindy terkekeh dan membuka pintu kamar dengan pelan. Di pelukannya sudah ada piring kosong yang akan ia gunakan untuk menampung makanan. Wangi makanan langsung tercium di hidung Nindy. Dia bersyukur mempunyai tetangga yang hobi memasak sehingga dia bisa membantu untuk menghabiskannya.
"Minta sarapan ya?" tanya Nindy dengan cengiran polosnya.
"Kau ya! Nanti kalau udah kerja harus bayar!" balas Arinda. Meskipun terlihat galak, tapi gadis itu sangatlah baik. Terbukti dengan Arinda yang mendorong masakannya mendekat meski dengan mencibir, "Ini cuma telur dadar ala korea, tapi rasa dijamin enak."
"Gimana? Udah ada panggilan belum?" tanya Nindy mulai memakan makanannya. Arinda adalah teman yang senasib. Dia juga tengah mencari pekerjaan setelah dipecat satu tahun yang lalu. Bedanya Arinda masih memiliki penghasilan dari hobi memasaknya. Berbeda dengan Nindy yang harus bertahan dengan pekerjaan serabutannya.
"Belum nih."
Nindy menghela napas lelah. Hidup di kota besar benar-benar kejam. Dia sampai putus asa karena belum mendapatkan pekerjaan tetap hingga saat ini. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
***
Siang hari, Nindy sudah berada di taman untuk membagiakan brosur. Ya, dia melakukan pekerjaan apapun agar bisa makan. Meskipun tidak setiap hari, setidaknya ada rupiah yang masuk ke dalam dompetnya.
"Silakan, Kak." Nindy tersenyum manis di bawah teriknya matahari. Dia memberikan kertas yang ia bawa pada setiap orang yang lewat.
Tenang, bukan brosur sedot WC yang ia bagikan, melainkan brosur pengobatan alternatif untuk impoten.
"Silakan, Buk." Nindy kembali menawari setiap orang yang melewatinya. Dengan bermodalkan senyum manis berlesung pipit, membuat banyak orang dengan senang hati menerima brosur pemberiannya.
"Aku udah ada di taman, Kek." Seorang pria berhenti tepat di hadapan Nindy, tampak sibuk dengan ponselnya.
"Brosurnya, Pak." Nindy memberikan brosurnya.
"Aku udah keliling tiga kali tapi belum ketemu juga," ucap pria itu mengabaikan Nindy.
"Pak?" panggil Nindy dengan hanya menggerakkan mulutnya..
Pria itu menatap Nindy tajam, "Nggak, terima kasih."
"Ambil aja, Pak. Siapa tau butuh." Nindy berusaha memberikan brosurnya karena dia ingin cepat selesai hari ini. Jujur saja, panasnya matahari membuatnya ingin pingsan.
"Saya bilang enggak. Kamu nggak liat saya sibuk?!" Ucapan menohok itu membuat Nindy terkejut. Dia tahu pria di hadapannya itu terlihat sibuk tapi apa susahnya tinggal menerima brosur yang ia beri dan pergi.
Tidak ingin membuat keributan, akhirnya Nindy memilih mundur dengan bibir yang maju.
"Galak banget," cibir Nindy saat pria itu berlalu pergi.
Tanpa disangka pria itu berhenti dan berbalik, "Kamu bilang apa?"
Siaga satu!
"Hah? Kenapa Pak?" Nindy terkejut sambil mengedipkan matanya berkali-kali, berusaha untuk terlihat biasa saja. Padahal di dalam hatinya dia sangat takut karena pria itu mendengar ucapannya.
"Kamu ngatain saya apa tadi?"
Nindy terkekeh dengan wajah yang masam, "Ngatain apa sih, Pak? Orang saya nggak bilang apa-apa."
Mata pria itu mulai terlihat marah. Dia tahu dan mendengar jelas apa yang Nindy ucapkan tadi.
"Ampun, Pak. Saya cuma bercanda."
"Lain kali jaga bicara kamu."
"Iya, Pak. Maaf." Nindy memilih untuk menunduk dan membiarkan pria itu pergi.
Setelah sudah aman, Nindy mengelus dadanya yang bergemuruh, "Gila, galak banget. PMS kali ya?"
Tidak ingin berlarut-larut dengan kekesalannya, Nindy memilih untuk kembali bekerja. Entah kenapa hari ini pekerjaannya terasa lebih lama. Bahkan kakinya sudah terasa kebas meminta untuk diistirahatkan. Beruntung tepat jam lima sore pekerjaannya sudah selesai.
Saat ini Nindy berada di salah satu bangku taman dengan sebotol minuman dingin. Setelah beberapa menit beristirahat, dia akan pulang. Tubuhnya benar-benar lelah dan dia juga lapar.
Nindy mulai membuka bungkus roti yang ia bawa sebagai bekal. Gerakan tangannya terhenti saat melihat wanita tua di sampingnya tengah menatapnya lekat.
Nindy melihat ke sekitarnya dengan bingung. Apa wanita tua itu sedang menatapnya?
"Nenek mau?" tanya Nindy hati-hati.
"Nggak usah, Nak."
Nindy masih ragu dan kembali berbicara, "Nenek laper ya? Ini buat Nenek aja."
"Tapi kamu juga keliatan laper, Nak."
Ternyata benar jika wanita tua itu sedang menahan lapar.
Nindy tersenyum dan menggeleng, "Buat Nenek aja, saya nggak papa."
"Makasih ya, Nak."
Nindy lagi-lagi tersenyum melihat nenek di sampingnya yang terlihat senang. Nindy merasa tertampar melihat itu. Seharusnya dia tidak mudah putus asa karena masih banyak orang yang tak seberuntung dirinya di dunia ini.
"Nenek di sini sama siapa?" tanya Nindy.
"Nenek tadi jalan-jalan. Ini lagi nunggu cucu jemput."
Dahi Nindy berkerut mendengar itu. Bagaimana bisa seorang cucu membiarkan neneknya berkeliaran dalam keadaan lapar seperti ini?
"Kapan cucunya dateng, Nek?"
"Nggak tau, Nenek udah nunggu dari tadi tapi belum muncul," balasnya sambil memakan roti pemberian Nindy.
"Ya udah, saya temenin ya, Nek?"
Nenek itu mengangguk senang, "Panggil aja Nenek Farah."
"Oke, Nenek Farah." Nindy tersenyum manis. Dia tidak tega melihat wanita tua itu karena mengingatkannya dengan orang tuanya di desa. Sudah lama Nindy tidak bertemu dengan keluarga besarnya.
Saat masih asik mengbrol, Nindy dikejutkan dengan sebuah mobil mewah yang berhenti tepat di depannya. Nenek Farah berdiri dan tersenyum lebar.
"Itu, Nak. Suami Nenek udah dateng."
Menyadari apa yang ia lihat saat ini, Nindy terkejut dan membuka mulutnya lebar. Dia berdiri untuk memastikan jika apa yang terjadi saat ini bukanlah semata khayalan dari Nenek Farah.
Tak lama seorang pria tua, yang Nindy yakini seusia Nenek Farah turun dari mobil dan menghampiri mereka, "Kenapa nggak bilang kalau mau pergi, Nek? Raka khawatir loh."
"Tadi mau jalan-jalan, tapi lupa jalan pulang," jawab Nenek Farah lugu.
Nindy masih terdiam dengan bodoh. Dia tidak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Dia masih ingat saat Nenek Farah menatap rotinya dengan tatapan mendamba. Namun sekarang wanita itu dijemput oleh suaminya dengan menggunakan mobil mewah. Sangat jauh dari kata tidak mampu.
"Oh iya, ini Nak Nindy. Dia yang temenin Nenek tadi."
"Makasih ya udah temenin istri saya. Kalau enggak, mungkin Nenek udah jalan-jalan ke mana lagi tadi. Nenek memang ada masalah sama ingatannya, makanya suka lupa izin, lupa jalan pulang, lupa bawa HP, lupa bawa dompet juga."
"Iya, Kek. Nggak papa kok." Nindy tersenyum manis.
"Sekali lagi makasih ya, Nak Nindy." Pria tua itu membuka dompetnya dan memberikan beberapa lembar uang berwarna merah, "Ini buat beli es teh."
"Kebanyakan kalau buat beli es teh, Kek," jawab Nindy polos.
"Nggak papa, ambil aja. Kalau begitu kami pulang dulu ya," pamitnya.
Nindy hanya bisa mengangguk tanpa menjawab. Dia menatap uang di tangannya dengan bingung. Dia masih belum percaya dengan apa yang ia alami saat ini.
"Asik, dinner pake nasi padang." Nindy tersadar dan mulai tersenyum senang.
Sekarang dia benar-benar menyesal karena suka mengeluh. Tuhan pasti memiliki banyak jalan untuk hambanya. Seperti yang ia alami saat ini. Siapa yang sangka jika berawal dari sebuah roti bisa berubah menjadi lembaran uang yang menyenangkan hati?
***
TBC
Hidup memang tidak selamanya akan berjalan mulus. Ada roda kehidupan yang akan terus berputar secara terus-menerus. Sudah menjadi tugas manusia untuk tetap fokus, agar jalan yang dipilih tetaplah lurus. Agar tetap lurus... Nindy memegang teguh kalimat itu. Sesulit apapun kehidupannya, ia tidak akan melakukan hal gila untuk bertahan hidup. Dia percaya akan hasil dari kerja keras. Nindy yakin, suatu saat nanti dia akan merasakan hasilnya. "Makasih ya, Buk." Nindy menerima empat bungkus nasi padang yang ia beli dengan senang. Empat bungkus nasi padang itu bukan hanya untuk dirinya sendiri. Mendapatkan sedikit rezeki tidak membuat Nindy lupa dengan teman-temannya. Dia masih ingat jika Ela, teman satu kuliah sekaligus satu kostnya mengalami kecelakaan tadi siang. Nindy belum mengetahui keadaan gadis itu hingga saat ini. Semoga baik-baik saja karena jika tidak, maka dompetnya juga tidak akan baik-b
Perjalanan dari kost membutuhkan waktu sekitar 10 menit dengan mengendarai motor. Namun sebelum kembali, Nindy memutuskan untuk ke pasar tradisional terlebih dahulu guna membeli beberapa kebutuhan dapur. Dia tahu jika tidak selamanya ia akan bergantung dengan masakan Arinda. Gadis itu juga memiliki nasib yang sama, yaitu berusaha untuk bertahan hidup dengan gaya seminimalis mungkin. "Bang, cabe campur lima ribu ya." "Cabe lagi mahal, Neng." "Ayo lah, Bang." Nindy mendekat dan berbisik, "Khusus buat saya." "Khusus buat Neng Gendis yang manis ini saya kasih, tapi jangan bilang ibu-ibu yang lain. Bisa rugi saya," balas penjual yang juga ikut berbisik. Nindy terkekeh, "Aman, Bang. Tapi kasih saya bonus." Penjual yang merupakan langganan Nindy dan Arinda itu mulai menatapnya pias. Ada saja tingkah anak kost yang membuatnya mengelus dada.
Cahaya matahari belum sepenuhnya muncul tapi Nindy sudah bersiap untuk memulai harinya. Sedari tadi dia tidak berhenti untuk tersenyum. Hatinya terasa campur aduk sekarang, antara senang dan takut. Senang karena akhirnya mendapat pekerjaan dan takut karena ini adalah hari pertamanya. Nindy memang belum tahu pekerjaan apa yang kakek berikan tapi dia yakin apapun itu pasti tidak akan mengecewakannya. Nindy mengusap rambut basahnya dengan handuk sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Dia melirik ponselnya yang bergetar. Seperti biasa, ada ayahnya yang mengirimkan pesan setiap pagi. Kali ini Nindy tidak lagi bersedih. Dengan semangat dia langsung membalas pesan ayahnya. "Iya, Pak. Ini udah bangun, lagi siap-siap." Lega. Perasaan Nindy sedikit tenang karena tidak lagi berbohong kali ini. Nindy mendekat ke arah meja rias dan melihat kalender kecil di sana. Ada tanggal yang sudah ia lingkari den
Belum ada sehari tapi Nindy sudah ingin lari. Dia tidak tahu harus melakukan apa saat Raka meninggalkannya sendiri di dalam ruangan. Tidak ada peraturan atau masukan khusus untuknya agar bisa menjadi asisten yang baik. Nindy bingung, dari mana dia harus memulai semuanya? Tidak ingin membuat Raka kembali marah, akhirnya Nindy memilih untuk menemui Tomi. Sebagai mantan asisten Raka, pria itu pasti bisa membantunya. Bersyukur Nindy langsung melihat Tomi di depan ruangan. Dia berjalan mendekat dengan sesekali tersenyum pada karyawan yang menatapnya bingung. Mungkin mereka belummengenalnya. Ingin sekali Nindy mengakrabkan diri tapi keadaannya sangat terdesak saat ini. Dia harus segera menjalankan perintah Raka untuk membeli sarapan. Apa memang seperti ini tugas dari seorang asisten? "Mas Tomi?" panggil Nindy pelan. "Ya, Nind?" "Liat Pak Raka nggak?" Alis Tomi terangkat
Alarm yang terus berbunyi berusaha keras membangunkan Nindy yang masih terlelap. Mata gadis itu terlihat memerah dan meminta untuk kembali dipejamkan. Namun Nindy tidak bisa melakukannya, dia harus bersiap untuk bekerja sekarang. Pagi ini tidak sama seperti pagi sebelumnya. Jika kemarin Nindy sangat bersemangat tapi tidak untuk sekarang. Dia masih sangat berharap jika bosnya bukanlah Raka. Namun harapannya tentu akan sia-sia. Nindy mematikan alarm-nya dan melihat jam yang masih menunjukkan pukul empat pagi. Ya benar, Nindy bangun sepagi ini untuk berangkat bekerja. Jika tidak ingat pesan Raka semalam tentu dia tidak akan mengatur alarm sepagi ini. "Besok pagi jam setengah 6 kamu sudah harus ada di rumah saya. Alamatnya Perumahan Adhiwangsa no 01." Nindy menggosok giginya sambil mengingat kembali pesan Raka. Sesekali matanya terpejam karena tidak bisa menahan kantuk. Entah kenapa hari pertama
Hari ketiga sudah tiba. Seperti hari sebelumnya, Nindy berangkat dengan Raka lagi hari ini. Ini semua terjadi karena dengan liciknya pria itu membuatnya menjadi asisten di kantor sekaligus pribadi. Mau tidak mau, Nindy harus berada di rumah Raka di pagi buta dan pulang hingga larut malam. Nindy menghempaskan tubuhnya di kursi kerjanya. Setelah seharian bekerja di ruangan Raka kemarin, akhirnya dia memiliki mejanya sendiri. Tepat di sebelah Tomi dan berbaur dengan karyawan lainnya. "Masih pagi udah kusut wajahnya, Nind?" Tomi yang baru saja datang mulai duduk di kursinya. Nindy meletakkan kepalanya di atas dan bergumam, "Ngantuk, Mas." Tomi terkekeh, "Semalem pulang jam berapa?" "Jam delapan." Nindy mulai memejamkan matanya. "Nanti jangan lupa minta bonus sama Pak Bos." Nindy membuka matanya dan duduk dengan tegap, "Ya pasti
Di dalam ruangan Raka, Nindy menatap maket di depannya dengan kagum. Maket itu baru saja datang dan dia yang menerimanya karena Raka tidak berada di kantor saat ini. Dia sedang pergi bersama Ilham ke lokasi proyek pembangunan. Tangan Nindy terulur untuk menyentuh kaca yang melindungi maket tersebut. Dia kembali terperangah dan menggeleng tidak percaya. Saat maket yang berukuran cukup besar itu datang, Nindy tidak bisa berhenti untuk terpesona. Maket concert hall itu dirancang dengan desain yang rumit dan unik, khas dari Adhitama Design. Apakah ini proyek Raka? Jika iya, maka Nindy tidak bisa mengelak jika pria itu memang memiliki otak yang jenius. Raka melakukan hal yang tidak pernah Nindy pikirkan sebelumnya dengan detail. "Jenius sih, tapi sayang nyebelin. Jadi banyak minus-nya." Nindy mendengkus. Dia berjalan berputar sambil melihat maket itu dengan teliti. Meskipun hanya asisten, tapi Nin
Menu kedua sudah datang. Setelah menghabiskan ketoprak, Nindy kembali memesan makanan. Kali ini dia memesan bubur ayam. Nindy memang lapar mengingat jika ia hanya makan mie instan semalam. Nindy mengangkat wajahnya saat melihat Raka yang berlari kecil melewatinya. Pria itu tidak menatapnya sama sekali dan terus berlari. Nindy mencibir saat melihat para wanita yang sengaja berlari pelan di belakangnya. "Dih, sok ganteng banget. Pasti dalem hati girang tuh," gumamnya. Raka sudah mengelilingi lapangan sebanyak lima kali dan sepertinya masih belum ingin berhenti. Dasar kaki besi. "Minumnya, Nek." Nindy memberikan botol air mineral pada nenek. Wanita itu sudah menghabiskan bubur aya
Dua bulan kemudian.Suara berisik dari dapur terdengar ke seluruh penjuru rumah. Raka meringis saat tangannya tidak sengaja menyentuh wajah yang panas. Dengan cepat dia menyiram tangannya dengan air yang mengalir. Dari kejauhan, Bibi meringis dan terlihat khawatir. Namun lagi-lagi Raka meminta Bibi untuk menjauh dan tidak mengganggunya. Raka ingin membuat sarapan spesial untuk istrinya. Dia sangat berterima kasih pada Nindy karena sudah menyenangkan hatinya semalam."Mas, Mbok bantu ya?""Nggak usah, Mbok.""Mas itu telurnya kelamaan, cepet dibalik."Raka dengan cepat kembali ke kompor dan membalik telurnya. Dia mendesah kecewa saat telur setengah matang yang ia buat berubah menjadi matang sempurna. Tidak masalah, Nindy juga akan tetap menyukainya. Raka kembali berdecak saat minyak goreng mengenai kemeja kerjanya. Tidak masalah, dia juga bisa mengganti pakaiannya nanti.Setelah matang, Raka meletakkan telur itu di atas nasi goreng buatannya. Dia tersenyum puas melihat masakannya pagi
Di tengah kesibukan kantor, Raka dan Nindy juga sibuk mempersiapkan pernikahan mereka. Tak jarang mereka mengeluh karena padatnya kegiatan. Bahkan di hari Sabtu seperti ini, mereka harus mengecek lokasi resepsi untuk yang terakhir kalinya. Besok adalah hari besar mereka, akad nikah dan resepsi akan dilaksanakan di hari yang sama."Capek, Pak." Nindy memijat kakinya setelah menghempaskan tubuhnya di sofa rumah Raka."Besok bakal lebih capek lagi, sabar ya." Raka mengelus kepala Nindy."Peluk." Nindy merentangkan tangannya dengan manja.Raka tersenyum dan mulai duduk di samping Nindy. Dengan segera dia menarik gadis itu untuk masuk ke dalam pelukannya. Di tengah kesibukan mereka, Raka sebisa mungkin tetap memberikan waktunya untuk Nindy. Entah sekedar makan bersama atau berbincang."Nginep di sini ya malam ini?""Mana bisa? Bapak sama Ibuk di kost bisa kesurupan reog liat anaknya nginep di rumah cowok.""Kan aku calon suami kamu. Lagian kamu juga sering nginep di sini.""Sstt, jangan bo
Dengan menggunakan batik, Raka terlihat semakin tampan berkali-kali lipat. Wajahnya yang tak pernah berenti tersenyum membuktikan jika ia menjadi manusia yang paling bahagia saat ini. Sama seperti gadis di hadapannya. Nindy tampak cantik dengan kebaya yang ia kenakan.Dengan cepat dan yakin, Raka mulai memasangkan cincin di tangan Nindy, begitu juga sebaliknya. Dari pemasangan cincin ini, Nindy sudah resmi menjadi calon istri Raka. Hanya tinggal satu langkah lagi sampai mereka akhirnya benar-benar akan bersama."Ndis! Liat sini," ucap Reina mulai memotret dirinya bersama Raka.Kebahagiaan Nindy menjadi berkali-kali lipat karena kedatangan sahabat-sahabatnya. Mereka rela jauh-jauh datang ke Jogja untuk menemaninya. Beruntung acara lamaran dilakukan di akhir pekan sehingga tidak mengganggu jam kerja banyak orang.Suara tepuk tangan terdengar sangat riuh. Keluarga besar Nindy berkumpul bersama hari ini. Sebagai cucu perempuan satu-satunya tentu tidak mudah untuk melepas Nindy. Semua kelu
Di dalam mobil, Nindy tidak bisa berhenti menatap cincin yang terpasang di jari manisnya. Cincin itu terlihat sederhana tapi juga mewah. Entah dari mana Raka tahu ukuran jarinya, yang pasti cincin itu benar-benar pas di tangannya.Makan malam mereka kali ini berjalan dengan romantis. Tidak ada perdebatan konyol di antara mereka. Dengan serius, Raka mengungkapkan keinginannya untuk menikahinya dan bertanya apa dia bersedia? Tentu saja Nindy bersedia. Dia telah jatuh cinta pada semua yang ada di diri Raka."Kamu seneng?" tanya Raka menarik tangan Nindy. Matanya masih fokus menyetir dengan tangan kiri yang menggenggam erat tangan Nindy."Seneng, Pak. Nggak sia-sia saya lembur buat selesain revisian kalau hadiahnya dilamar gini." Nindy terkekeh."Udah aku bilang panggil Raka, aku bukan Bapak kamu.""Tapi Bapak dari anak-anak aku.""Jangan mulai, Nind. Aku lagi nyetir."Nindy tertawa dan mencium tangan Raka yang masih menggenggamnya. Perjalanan ke kost kali ini berlangsung lama karena Raka
Nindy memejamkan matanya saat Raka kembali memarahinya. Lagi-lagi dia meringis melihat desain yang ia buat sudah tidak terlihat lagi rupa dan polanya. Jangan harap Nindy akan melihat sisi manis dari diri Raka saat di kantor, karena pria itu akan kembali menjadi Raka si Bos yang menyebalkan."Ini fungsinya apa, Nindy? Kenapa kamu hobi sekali memasukkan hal-hal yang nggak fungsional?"Nindy mengerucutkan bibirnya mendengar itu. Dia memilih diam karena menjelaskan pun akan percuma, Raka akan tetap membantahnya. Pria itu pasti lebih tahu bagaimana keinginan Pak Naru."Perbaiki lagi." Raka medorong kertasnya dan menatap Nindy lekat."Kamu udah telat dua hari dari
Tiga minggu telah berlalu. Hubungan Raka dan Nindy semakin membaik setiap harinya. Meskipun masih dibumbuhi dengan perdebatan konyol, tapi cinta mereka tumbuh semakin kuat. Bahkan semua penghuni kantor juga sudah mengetahui hubungan mereka. Sejak awal Raka memang tidak ingin menyembunyikan hubungan mereka, berbeda dengan Nindy yang selalu merasa sungkan dengan karyawan lain. Oleh karena itu Nindy selalu membatasi pergerakannya di kantor.Raka melepas dasinya dan merebahkan tubuhnya di kasur. Tak lama Nindy, Ilham, Tomi, dan Sisca masuk dengan wajah yang juga terlihat lelah. Seharian ini pekerjaan mereka memang padat. Mereka harus terbang ke Surabaya untuk melihat proyek Narutama. Mereka berlima adalah perwakilan kantor yang harus melihat lokasi secara langsung."Pak Ilham beli apa?" tanya T
Mobil Raka berhenti tepat di depan kost Nindy. Dia sudah terlambat 10 menit. Dengan tergesa dia keluar sambil menghubungi Nindy, bermaksud memberi kabar jika ia sudah sampai.Tidak ada waktu istirahat untuk Raka hari ini. Setelah pulang dari kantor, dia langsung membersihkan diri dan kembali berangkat untuk menjemput Nindy dan orang tuanya. Meskipun terlihat santai, tapi jantung Raka berdetak dengan cepat. Dia menarik napas dalam berkali-kali untuk menenangkan hatinya. Ini pengalaman pertamanya bertemu dengan orang tua kekasihnya. Dia tidak pernah bergerak sedekat dan senekat ini dengan mantan-mantan terdahulu."Pak!" Nindy tiba-tiba datang dengan tergesa. Dia tampak panik dengan keringat di dahinya."Kamu kenapa? Kok
Suasana masih terasa mencengkam. Bahkan setelah Maya pergi pun suasana tidak kunjung kembali tenang. Perasaan Raka sudah terlanjur buruk karena kedatangan wanita itu. Dengan beraninya Maya kembali muncul di hadapannya, bahkan di kantornya. Raka akui jika mental wanita itu sangat kuat karena tahan dengan tatapan sinis dari para karyawan.Sebenarnya tidak ada yang perlu dibicarakan lagi dalam pertemuan kali ini. Apapun usaha Maya dalam meminta maaf, keputusan Raka untuk membawa masalah ini ke jalur hukum sudah final. Entah apa yang membuat kakek memintanya untuk kembali berpikir. Mungkin mulut manis Maya sudah berhasil mempengaruhinya."Maaf ya, Nind. Kakek nggak nyangka kalau kamu akan ngalamin hal kayak gini di kantor. Andai kamu cerita sama Kake
Nindy menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan. Dia melakukannya berkali-kali untuk menenangkan hatinya. Untuk pertama kalinya setelah dipecat, Nindy kembali menginjakkan kakinya di kantor Adhitama Design. Dia tidak sabar untuk kembali menjalani kehidupannya di perusahaan ini."Kamu gugup?" tanya Raka yang berdiri di sampingnya.Nindy mengangguk, "Saya deg-degan, tapi juga seneng, Pak."Raka tersenyum dan semakin menggenggam erat tangan Nindy.Liftmasih berjalan sampai akhirnya berhenti di lantai tempat di mana mereka bekerja."Lepasin, Pak." Nindy menarik tangannya.