Di dalam ruangan Raka, Nindy menatap maket di depannya dengan kagum. Maket itu baru saja datang dan dia yang menerimanya karena Raka tidak berada di kantor saat ini. Dia sedang pergi bersama Ilham ke lokasi proyek pembangunan.
Tangan Nindy terulur untuk menyentuh kaca yang melindungi maket tersebut. Dia kembali terperangah dan menggeleng tidak percaya. Saat maket yang berukuran cukup besar itu datang, Nindy tidak bisa berhenti untuk terpesona.
Maket concert hall itu dirancang dengan desain yang rumit dan unik, khas dari Adhitama Design. Apakah ini proyek Raka? Jika iya, maka Nindy tidak bisa mengelak jika pria itu memang memiliki otak yang jenius. Raka melakukan hal yang tidak pernah Nindy pikirkan sebelumnya dengan detail.
"Jenius sih, tapi sayang nyebelin. Jadi banyak minus-nya." Nindy mendengkus.
Dia berjalan berputar sambil melihat maket itu dengan teliti. Meskipun hanya asisten, tapi Nin
Menu kedua sudah datang. Setelah menghabiskan ketoprak, Nindy kembali memesan makanan. Kali ini dia memesan bubur ayam. Nindy memang lapar mengingat jika ia hanya makan mie instan semalam. Nindy mengangkat wajahnya saat melihat Raka yang berlari kecil melewatinya. Pria itu tidak menatapnya sama sekali dan terus berlari. Nindy mencibir saat melihat para wanita yang sengaja berlari pelan di belakangnya. "Dih, sok ganteng banget. Pasti dalem hati girang tuh," gumamnya. Raka sudah mengelilingi lapangan sebanyak lima kali dan sepertinya masih belum ingin berhenti. Dasar kaki besi. "Minumnya, Nek." Nindy memberikan botol air mineral pada nenek. Wanita itu sudah menghabiskan bubur aya
Perasaan Nindy terasa campur aduk sekarang, antara senang dan gelisah. Senang karena akhirnya bisa kembali bertemu dengan orang tuanya dan gelisah karena takut jika rahasianya akan terbongkar. Meskipun sudah meminta Raka untuk menutup mulut, tapi kegelisahan itu masih ada. Bukan satu-dua orang yang tahu jika Nindy baru bekerja sekarang. Dia belum mempersiapkan semuanya karena kedatangan orang tuanya yang mendadak. "Pak Raka pulang aja deh." Nindy berbalik dan menatap Raka yang bersandar pada mobilnya. "Kamu ngusir saya?" Nindy mengerucutkan bibirnya kesal, "Nggak gitu." Dia tampak bingung menjelaskan. "Terus?" Nindy berdecak, "Iya, saya ngusir Bapak!" Raka tersenyum miring dan berjalan mendekat, "Nggak
Tepat pukul delapan malam Raka masih betah berada di kantor. Saat ini dia sedang membicarakan hal yang serius dengan Ilham. Dia tidak menyangka jika kerja sama untuk proyek besar terancam gagal karena klien-nya juga pendapatkan penawaran dari perusahan arsitektur lain. Jika sudah seperti ini maka Raka harus berpikir ulang tentang keuntungan-keuntungan apa saja yang akan ia tawarkan agar kerja sama tetap terjadi. Proyek besar ini memiliki banyak keuntungan, tentu Raka akan berusaha untuk mendapatkannya. "Tau dari mana ya si Doni kalau Pak Naru mau bikin proyek besar?" tanya Ilham bingung. Raka menatap Ilham aneh. Kadang pria itu bisa sangat pintar dan juga bodoh di waktu-waktu tertentu. "Udah banyak beritanya kali, Ham. Kenapa masih tanya?" "Ya heran aja gitu, udah jelas-jelas Narutama Group mau pakai Adhitama Design, tapi
Di dalam mobil, Nindy tampak fokus dengan ponsel dan kertas di tangannya. Sedangkan Raka sedang sibuk menyetir. Jika dalam keadaan seperti ini, justru Raka yang terlihat sebagai asisten. Ini karena Nindy yang tidak bisa menyetir mobil. Tidak masalah bagi Raka, setidaknya keberadaan gadis itu sebagai asisten sedikit membantu pekerjaannya. "Gimana?" Nindy mengangguk dan membuka kembali ponselnya, "Kata Pak Yoseph pemasangan Tower Crane udah hampir selesai. Kayaknya hari ini bisa beres semua sih, Pak." "Bagus." Raka membelokkan mobilnya ke arah lokasi proyek pembangunan. Bangunan itu adalah salah satu proyek yang ia rundingkan dulu bersama karyawannya. Proyek apartemen mewah yang memakai desain dari Dodit. "Kamu ke Rudi sekarang, minta dua alat pelindung diri sebelum masuk ke area proyek. Saya mau ketemu Pak Yoseph dulu." "Oke, Bos."
Di dalam ruangan yang berbau khas itu Nindy menunduk dengan takut. Dia memainkan tangannya yang basah dengan gelisah. Sedari tadi Nindy tidak berani untuk mengangkat kepalanya. Dia terlalu takut dengan tatapan tajam Raka yang baru saja sadar setelah melakukan operasi patah tulang kemarin. "Mau sampai kapan kamu nunduk?" tanya Raka dengan suara pelan. Masih dengan menunduk, Nindy menggeleng pelan. Sesekali dia mengelap cairan hidung yang ikut mengalir bersama air matanya. "Liat saya." Nindy kembali menggeleng. Dia akan semakin merasa bersalah jika melihat keadaan Raka. "Liat saya Nindy," ucap Raka tenang tapi penuh dengan penekanan. "Nggak mau, takut." Nindy berucap lirih. Raka menghela napas dan menyandarkan kepalanya di kepala ranjang. Pemulihannya terhitung cepat dan dia sudah bisa duduk sekarang meskipun tangannya masih s
Di pagi hari, Nindy sudah fokus dengan pekerjaannya. Dahinya berkerut mencoba untuk berkonsentrasi agar tidak melakukan kesalahan. Tidak ada kertas atau pensil di depannya kali ini, melainkan tangan Raka. Sudah satu minggu pria itu keluar dari rumah sakit dan selama itu pula pekerjaan Nindy menjadi berkali-kali lipat banyaknya. "Jangan dalem-dalem," ucap Raka menarik tangannya. Nindy berdecak dan kembali menarik tangan Raka, "Jangan banyak gerak deh, Pak. Saya potong juga nih jarinya." "Silakan, tapi kamu yang urusin saya seumur hidup." "Gabut banget saya ngurusin Bapak seumur hidup?" balas Nindy aneh. Dia masih fokus pada pekerjaannya, yaitu memotong kuku Raka. "Gimana tugas desain yang saya kasih?" tanya Raka sambil meminum kopinya. "Masih proses." "Sekarang kamu bawa nggak? Saya mau liat." Nindy men
Jam makan siang telah tiba. Suasana kantin kantor yang tidak terlalu ramai dipilih Nindy sebagai tempat untuk menenangkan diri. Semenjak Arinda sibuk dengan pekerjaannya, Nindy jarang menikmati masakan sahabatnya itu. Mau tidak mau dia harus membeli makan siang sendiri. Beruntung Nindy sudah bisa berbaur dengan karyawan lainnya. Mata Nindy mengedar ke segala arah. Dia tersenyum saat melihat Tomi dan Dodit yang tengah menikmati makan siang sambil berbincang. Dengan membawa gulungan kertas di tangannya, Nindy berjalan mendekat dan menghempaskan tubuhnya di kursi kosong. "Kusut banget wajahmu, Nind." "Kayaknya aku kena mental deh, Mas," ucapnya sambil menyandarkan kepalanya di atas meja. Tomi terkekeh mendengar itu. Semua karyawan tahu tentang tugas yang Raka berikan pada Nindy dan semua juga tahu jika Nindy baru saja mendapatkan semprot dan cacian indah dari atasannya itu.
Dengan bersenandung kecil, Nindy mengeluarkan beberapa buah dari lemari pendingin. Dia tampak senang hari ini. Meskipun jadwalnya padat karena harus mengurus Raka tapi pria itu jarang memanggilnya akhir-akhir ini. Itu karena keberadaan Maya di sampingnya. Keberadaan wanita itu sedikit membuat Nindy tenang karena Raka tidak lagi mengganggu ketenangannya. "Ngapain, Nind?" tanya Dodit yang masuk ke dapur kantor dan mulai mengambil cangkir. Sepertinya pria itu akan membuat kopi. "Potong buah, Mas. Buat sarapan Pak Raka." "Tumben, biasanya sarapan di rumah." "Tadi aku berangkat sendiri." Nindy mendekat dan berbisik, "Pak Raka berangkat sama Mbak Maya tadi," lanjutnya. "Mereka balikan?" Nindy mengangkat bahunya pelan, "Kayaknya iya, mereka lengket banget kayak upil sama tembok." Dodit tertawa, "Bagus deh kalau udah ada pawangnya.
Dua bulan kemudian.Suara berisik dari dapur terdengar ke seluruh penjuru rumah. Raka meringis saat tangannya tidak sengaja menyentuh wajah yang panas. Dengan cepat dia menyiram tangannya dengan air yang mengalir. Dari kejauhan, Bibi meringis dan terlihat khawatir. Namun lagi-lagi Raka meminta Bibi untuk menjauh dan tidak mengganggunya. Raka ingin membuat sarapan spesial untuk istrinya. Dia sangat berterima kasih pada Nindy karena sudah menyenangkan hatinya semalam."Mas, Mbok bantu ya?""Nggak usah, Mbok.""Mas itu telurnya kelamaan, cepet dibalik."Raka dengan cepat kembali ke kompor dan membalik telurnya. Dia mendesah kecewa saat telur setengah matang yang ia buat berubah menjadi matang sempurna. Tidak masalah, Nindy juga akan tetap menyukainya. Raka kembali berdecak saat minyak goreng mengenai kemeja kerjanya. Tidak masalah, dia juga bisa mengganti pakaiannya nanti.Setelah matang, Raka meletakkan telur itu di atas nasi goreng buatannya. Dia tersenyum puas melihat masakannya pagi
Di tengah kesibukan kantor, Raka dan Nindy juga sibuk mempersiapkan pernikahan mereka. Tak jarang mereka mengeluh karena padatnya kegiatan. Bahkan di hari Sabtu seperti ini, mereka harus mengecek lokasi resepsi untuk yang terakhir kalinya. Besok adalah hari besar mereka, akad nikah dan resepsi akan dilaksanakan di hari yang sama."Capek, Pak." Nindy memijat kakinya setelah menghempaskan tubuhnya di sofa rumah Raka."Besok bakal lebih capek lagi, sabar ya." Raka mengelus kepala Nindy."Peluk." Nindy merentangkan tangannya dengan manja.Raka tersenyum dan mulai duduk di samping Nindy. Dengan segera dia menarik gadis itu untuk masuk ke dalam pelukannya. Di tengah kesibukan mereka, Raka sebisa mungkin tetap memberikan waktunya untuk Nindy. Entah sekedar makan bersama atau berbincang."Nginep di sini ya malam ini?""Mana bisa? Bapak sama Ibuk di kost bisa kesurupan reog liat anaknya nginep di rumah cowok.""Kan aku calon suami kamu. Lagian kamu juga sering nginep di sini.""Sstt, jangan bo
Dengan menggunakan batik, Raka terlihat semakin tampan berkali-kali lipat. Wajahnya yang tak pernah berenti tersenyum membuktikan jika ia menjadi manusia yang paling bahagia saat ini. Sama seperti gadis di hadapannya. Nindy tampak cantik dengan kebaya yang ia kenakan.Dengan cepat dan yakin, Raka mulai memasangkan cincin di tangan Nindy, begitu juga sebaliknya. Dari pemasangan cincin ini, Nindy sudah resmi menjadi calon istri Raka. Hanya tinggal satu langkah lagi sampai mereka akhirnya benar-benar akan bersama."Ndis! Liat sini," ucap Reina mulai memotret dirinya bersama Raka.Kebahagiaan Nindy menjadi berkali-kali lipat karena kedatangan sahabat-sahabatnya. Mereka rela jauh-jauh datang ke Jogja untuk menemaninya. Beruntung acara lamaran dilakukan di akhir pekan sehingga tidak mengganggu jam kerja banyak orang.Suara tepuk tangan terdengar sangat riuh. Keluarga besar Nindy berkumpul bersama hari ini. Sebagai cucu perempuan satu-satunya tentu tidak mudah untuk melepas Nindy. Semua kelu
Di dalam mobil, Nindy tidak bisa berhenti menatap cincin yang terpasang di jari manisnya. Cincin itu terlihat sederhana tapi juga mewah. Entah dari mana Raka tahu ukuran jarinya, yang pasti cincin itu benar-benar pas di tangannya.Makan malam mereka kali ini berjalan dengan romantis. Tidak ada perdebatan konyol di antara mereka. Dengan serius, Raka mengungkapkan keinginannya untuk menikahinya dan bertanya apa dia bersedia? Tentu saja Nindy bersedia. Dia telah jatuh cinta pada semua yang ada di diri Raka."Kamu seneng?" tanya Raka menarik tangan Nindy. Matanya masih fokus menyetir dengan tangan kiri yang menggenggam erat tangan Nindy."Seneng, Pak. Nggak sia-sia saya lembur buat selesain revisian kalau hadiahnya dilamar gini." Nindy terkekeh."Udah aku bilang panggil Raka, aku bukan Bapak kamu.""Tapi Bapak dari anak-anak aku.""Jangan mulai, Nind. Aku lagi nyetir."Nindy tertawa dan mencium tangan Raka yang masih menggenggamnya. Perjalanan ke kost kali ini berlangsung lama karena Raka
Nindy memejamkan matanya saat Raka kembali memarahinya. Lagi-lagi dia meringis melihat desain yang ia buat sudah tidak terlihat lagi rupa dan polanya. Jangan harap Nindy akan melihat sisi manis dari diri Raka saat di kantor, karena pria itu akan kembali menjadi Raka si Bos yang menyebalkan."Ini fungsinya apa, Nindy? Kenapa kamu hobi sekali memasukkan hal-hal yang nggak fungsional?"Nindy mengerucutkan bibirnya mendengar itu. Dia memilih diam karena menjelaskan pun akan percuma, Raka akan tetap membantahnya. Pria itu pasti lebih tahu bagaimana keinginan Pak Naru."Perbaiki lagi." Raka medorong kertasnya dan menatap Nindy lekat."Kamu udah telat dua hari dari
Tiga minggu telah berlalu. Hubungan Raka dan Nindy semakin membaik setiap harinya. Meskipun masih dibumbuhi dengan perdebatan konyol, tapi cinta mereka tumbuh semakin kuat. Bahkan semua penghuni kantor juga sudah mengetahui hubungan mereka. Sejak awal Raka memang tidak ingin menyembunyikan hubungan mereka, berbeda dengan Nindy yang selalu merasa sungkan dengan karyawan lain. Oleh karena itu Nindy selalu membatasi pergerakannya di kantor.Raka melepas dasinya dan merebahkan tubuhnya di kasur. Tak lama Nindy, Ilham, Tomi, dan Sisca masuk dengan wajah yang juga terlihat lelah. Seharian ini pekerjaan mereka memang padat. Mereka harus terbang ke Surabaya untuk melihat proyek Narutama. Mereka berlima adalah perwakilan kantor yang harus melihat lokasi secara langsung."Pak Ilham beli apa?" tanya T
Mobil Raka berhenti tepat di depan kost Nindy. Dia sudah terlambat 10 menit. Dengan tergesa dia keluar sambil menghubungi Nindy, bermaksud memberi kabar jika ia sudah sampai.Tidak ada waktu istirahat untuk Raka hari ini. Setelah pulang dari kantor, dia langsung membersihkan diri dan kembali berangkat untuk menjemput Nindy dan orang tuanya. Meskipun terlihat santai, tapi jantung Raka berdetak dengan cepat. Dia menarik napas dalam berkali-kali untuk menenangkan hatinya. Ini pengalaman pertamanya bertemu dengan orang tua kekasihnya. Dia tidak pernah bergerak sedekat dan senekat ini dengan mantan-mantan terdahulu."Pak!" Nindy tiba-tiba datang dengan tergesa. Dia tampak panik dengan keringat di dahinya."Kamu kenapa? Kok
Suasana masih terasa mencengkam. Bahkan setelah Maya pergi pun suasana tidak kunjung kembali tenang. Perasaan Raka sudah terlanjur buruk karena kedatangan wanita itu. Dengan beraninya Maya kembali muncul di hadapannya, bahkan di kantornya. Raka akui jika mental wanita itu sangat kuat karena tahan dengan tatapan sinis dari para karyawan.Sebenarnya tidak ada yang perlu dibicarakan lagi dalam pertemuan kali ini. Apapun usaha Maya dalam meminta maaf, keputusan Raka untuk membawa masalah ini ke jalur hukum sudah final. Entah apa yang membuat kakek memintanya untuk kembali berpikir. Mungkin mulut manis Maya sudah berhasil mempengaruhinya."Maaf ya, Nind. Kakek nggak nyangka kalau kamu akan ngalamin hal kayak gini di kantor. Andai kamu cerita sama Kake
Nindy menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan. Dia melakukannya berkali-kali untuk menenangkan hatinya. Untuk pertama kalinya setelah dipecat, Nindy kembali menginjakkan kakinya di kantor Adhitama Design. Dia tidak sabar untuk kembali menjalani kehidupannya di perusahaan ini."Kamu gugup?" tanya Raka yang berdiri di sampingnya.Nindy mengangguk, "Saya deg-degan, tapi juga seneng, Pak."Raka tersenyum dan semakin menggenggam erat tangan Nindy.Liftmasih berjalan sampai akhirnya berhenti di lantai tempat di mana mereka bekerja."Lepasin, Pak." Nindy menarik tangannya.