Di pagi hari, Nindy sudah fokus dengan pekerjaannya. Dahinya berkerut mencoba untuk berkonsentrasi agar tidak melakukan kesalahan. Tidak ada kertas atau pensil di depannya kali ini, melainkan tangan Raka. Sudah satu minggu pria itu keluar dari rumah sakit dan selama itu pula pekerjaan Nindy menjadi berkali-kali lipat banyaknya.
"Jangan dalem-dalem," ucap Raka menarik tangannya.
Nindy berdecak dan kembali menarik tangan Raka, "Jangan banyak gerak deh, Pak. Saya potong juga nih jarinya."
"Silakan, tapi kamu yang urusin saya seumur hidup."
"Gabut banget saya ngurusin Bapak seumur hidup?" balas Nindy aneh. Dia masih fokus pada pekerjaannya, yaitu memotong kuku Raka.
"Gimana tugas desain yang saya kasih?" tanya Raka sambil meminum kopinya.
"Masih proses."
"Sekarang kamu bawa nggak? Saya mau liat."
Nindy men
Jam makan siang telah tiba. Suasana kantin kantor yang tidak terlalu ramai dipilih Nindy sebagai tempat untuk menenangkan diri. Semenjak Arinda sibuk dengan pekerjaannya, Nindy jarang menikmati masakan sahabatnya itu. Mau tidak mau dia harus membeli makan siang sendiri. Beruntung Nindy sudah bisa berbaur dengan karyawan lainnya. Mata Nindy mengedar ke segala arah. Dia tersenyum saat melihat Tomi dan Dodit yang tengah menikmati makan siang sambil berbincang. Dengan membawa gulungan kertas di tangannya, Nindy berjalan mendekat dan menghempaskan tubuhnya di kursi kosong. "Kusut banget wajahmu, Nind." "Kayaknya aku kena mental deh, Mas," ucapnya sambil menyandarkan kepalanya di atas meja. Tomi terkekeh mendengar itu. Semua karyawan tahu tentang tugas yang Raka berikan pada Nindy dan semua juga tahu jika Nindy baru saja mendapatkan semprot dan cacian indah dari atasannya itu.
Dengan bersenandung kecil, Nindy mengeluarkan beberapa buah dari lemari pendingin. Dia tampak senang hari ini. Meskipun jadwalnya padat karena harus mengurus Raka tapi pria itu jarang memanggilnya akhir-akhir ini. Itu karena keberadaan Maya di sampingnya. Keberadaan wanita itu sedikit membuat Nindy tenang karena Raka tidak lagi mengganggu ketenangannya. "Ngapain, Nind?" tanya Dodit yang masuk ke dapur kantor dan mulai mengambil cangkir. Sepertinya pria itu akan membuat kopi. "Potong buah, Mas. Buat sarapan Pak Raka." "Tumben, biasanya sarapan di rumah." "Tadi aku berangkat sendiri." Nindy mendekat dan berbisik, "Pak Raka berangkat sama Mbak Maya tadi," lanjutnya. "Mereka balikan?" Nindy mengangkat bahunya pelan, "Kayaknya iya, mereka lengket banget kayak upil sama tembok." Dodit tertawa, "Bagus deh kalau udah ada pawangnya.
Cuaca malam ini tampak lebih bersahabat. Berbeda dengan hari sebelumnya yang mendung dan berangin. Hal ini dimanfaatkan Nindy untuk menagih janji Dodit yang bersedia membantunya. Kapan lagi dia mendapatkan mentor gratis dari orang yang ahli di bidangnya? Meskipun sering dimarahi Raka, kemampuan Dodit juga tidak bisa diremehkan. Terbukti jika ia berhasil dipercaya Raka untuk menangani salah satu proyek pembangunan apartemen. Meskipun peran Raka sebagai pemimpin perusahaan juga berpengaruh tapi tetap saja, Nindy akan lebih memilih Dodit yang baik hati dan tidak kesurupan setiap hari. Nindy memanfaatkan ruang tamu kostnya yang kosong. Bersyukur tidak ada pertandingan bola malam ini sehingga tidak ada acara nonton bersama. Nindy bisa belajar dengan leluasa. "Sebenarnya kalau dilihat-lihat desain kamu itu bagus, Nind." "Aku juga mikir gitu, Mas. Tap
Di kantin kantor, Nindy mengangguk paham setelah mendengar penjelasan dari Dodit. Dia sudah merevisi semua poin-poin yang Raka minta. Namun sebelum menunjukkannya pada pria itu, Nindy akan meminta pendapat dari Dodit terlebih dahulu."Untuk keseluruhan udah bagus. Aku suka desain kamu."Nindy tersenyum manis, "Makasih ya, Mas. Kayaknya cuma Mas Dodit yang muji desain aku.""Pak Raka juga bakal suka kok."Nindy mengibaskan tangannya, "Udah lah, aku nggak bakal berharap kalau sama Pak Bos.""Emang saya kenapa?"Suara itu membuat tubuh Nindy menegang. Reflek Dodit menunduk dan mengumpat dalam hati. Sepertinya kali ini dia akan kembali mendapatkan omelan dari Raka. Ingatkan Dodit untuk bekerja dengan baik mulai dari sekarang. Jika tidak, maka Raka akan memanfaatkan kesahalannya untuk meluapkan amarah.
Malam sabtu adalah malam yang paling Nindy sukai sejak dulu. Menurutnya, malam Sabtu adalah gerbang menuju kebahagiaan dan kebebasan. Setelah hari minggu tiba, maka keresahaan akan kembali ia rasakan. Hari senin bagaikan gerbang neraka yang membuatnya tertekan.Meskipun malas, tapi Nindy harus tetap bersiap-siap. Tidak ada waktu baginya untuk beristirahat. Setelah pulang kerja, dia langsung membersihkan diri dan bersiap untuk kembali ke rumah Raka. Seperti yang Nindy katakan kemarin, ia meminta pria itu untuk membantunya mengerjakan tugas yang diberikan. Hanya Raka sendiri yang mengetahui maksud dari keinginannya.Saat merapikan rambut, Nindy melirik kalender kecil yang berada di atas meja. Dahinya berkerut saat melihat tanggal hari ini. Perlahan senyum lebar muncul di wajahnya. Nindy meraih ponsel sambil berdoa. Dengan cepat dia membuka satu aplikasi dan mengecek sesuatu di sana. Detik berikutnya Nindy berteriak heboh saat melihat saldonya
Nindy mengintip ruang rapat yang terlihat sangat ramai. Dia menghela napas kasar dan memainkan tangannya gelisah. Apa yang sebenarnya Raka rencanakan? Nindy tidak tahu jika ia harus mempresentasikan desain yang ia buat di depan semua karyawan. Bayangkan saja, semua karyawan."Nind, semangat ya." Tomi menyemangatinya dan berlalu masuk ke ruangan.Nindy mendengkus dan berjalan ke sana-ke mari dengan gelisah. Dia hanya asisten dan karyawan baru di sini. Bagaimana bisa Raka meminta seluruh karyawan untuk melihatnya? Sepertinya Nindy tahu apa yang akan pria itu lakukan. Raka sengaja ingin mempermalukannya."Ngapain berdiri di sini?" Suara itu membuat Nindy berbalik."Pak, kenapa semua karyawan ikut rapat?!" Nindy bertanya dengan panik."Karena ini rapat penting," jawab Raka santai."Saya takut. Pak Raka ngerjain saya ya?"Raka melirik ruang ra
Siapa bilang menjadi dewasa itu mudah dan menyenangkan? Mungkin yang mengatakannya adalah orang-orang yang belum mengetahui realita hidup yang sebenarnya. Seperti yang Nindy alami saat ini. Dia terlalu naif jika berpikir orang-orang yang memperlakukannya baik akan selalu berbuat baik. Kenyataannya adalah tidak. Dia masih tidak percaya jika hanya dengan satu kejadian bisa membuat pandangan baiknya terhadap seseorang hancur seketika.Suara helaan napas kembali terdengar. Di dapur kantor, Nindy mengaduk kopinya dengan pelan. Matanya masih menatap dinding kaca dengan tatapan kosong. Entah sudah berapa lama Nindy berdiri di sana, dia sendiri tidak tahu. Dia hanya ingin menyendiri untuk menghindari tatapan kasihan dari karyawan.Tiga hari telah berlalu sejak Raka memberitahunya untuk menunggu sesuatu yang tidak pasti. Apa Nindy jahat jika berharap desain yang Maya buat akan gagal?"Nind?" Suara itu membuyarkan lamunannya
Hidup memang penuh kejutan. Namun kali ini Nindy mendapatkan kejutan yang luar biasa. Dia keluar dari ruang dapat dengan lemas. Mendadak dia sulit bernapas karena rasa sesak di dadanya. Bukan, ini bukan penyakit. Nindy merasa sesak setelah mendengar hasil rapat hari ini.Dua minggu telah berlalu dan Maya sudah menunjukkan desain yang ia buat. Rasa takut yang Nindy rasakan selama ini menjadi kenyataan. Saat mendengar pendapat para karyawan tadi, Nindy harus melapangkan dadanya. Bukan, dia tidak kalah. Hanya saja saat ini Adhitama Design memutuskan untuk maju dengan dua desain, yaitu miliknya dan milik Maya.Kecewa? Tentu saja. Nindy ingin bersikap egois dan meminta Raka untuk menggunakan desainnya saja, tapi lagi-lagi Nindy harus memikirkan para karyawan dan nasib perusahaan. Berhasil bekerja sama dengan Narutama Group bukan main untungnya. Nindy tidak mau jika rasa egoisnya akan merugikan satu perusahaan."Kamu nggak pap
Dua bulan kemudian.Suara berisik dari dapur terdengar ke seluruh penjuru rumah. Raka meringis saat tangannya tidak sengaja menyentuh wajah yang panas. Dengan cepat dia menyiram tangannya dengan air yang mengalir. Dari kejauhan, Bibi meringis dan terlihat khawatir. Namun lagi-lagi Raka meminta Bibi untuk menjauh dan tidak mengganggunya. Raka ingin membuat sarapan spesial untuk istrinya. Dia sangat berterima kasih pada Nindy karena sudah menyenangkan hatinya semalam."Mas, Mbok bantu ya?""Nggak usah, Mbok.""Mas itu telurnya kelamaan, cepet dibalik."Raka dengan cepat kembali ke kompor dan membalik telurnya. Dia mendesah kecewa saat telur setengah matang yang ia buat berubah menjadi matang sempurna. Tidak masalah, Nindy juga akan tetap menyukainya. Raka kembali berdecak saat minyak goreng mengenai kemeja kerjanya. Tidak masalah, dia juga bisa mengganti pakaiannya nanti.Setelah matang, Raka meletakkan telur itu di atas nasi goreng buatannya. Dia tersenyum puas melihat masakannya pagi
Di tengah kesibukan kantor, Raka dan Nindy juga sibuk mempersiapkan pernikahan mereka. Tak jarang mereka mengeluh karena padatnya kegiatan. Bahkan di hari Sabtu seperti ini, mereka harus mengecek lokasi resepsi untuk yang terakhir kalinya. Besok adalah hari besar mereka, akad nikah dan resepsi akan dilaksanakan di hari yang sama."Capek, Pak." Nindy memijat kakinya setelah menghempaskan tubuhnya di sofa rumah Raka."Besok bakal lebih capek lagi, sabar ya." Raka mengelus kepala Nindy."Peluk." Nindy merentangkan tangannya dengan manja.Raka tersenyum dan mulai duduk di samping Nindy. Dengan segera dia menarik gadis itu untuk masuk ke dalam pelukannya. Di tengah kesibukan mereka, Raka sebisa mungkin tetap memberikan waktunya untuk Nindy. Entah sekedar makan bersama atau berbincang."Nginep di sini ya malam ini?""Mana bisa? Bapak sama Ibuk di kost bisa kesurupan reog liat anaknya nginep di rumah cowok.""Kan aku calon suami kamu. Lagian kamu juga sering nginep di sini.""Sstt, jangan bo
Dengan menggunakan batik, Raka terlihat semakin tampan berkali-kali lipat. Wajahnya yang tak pernah berenti tersenyum membuktikan jika ia menjadi manusia yang paling bahagia saat ini. Sama seperti gadis di hadapannya. Nindy tampak cantik dengan kebaya yang ia kenakan.Dengan cepat dan yakin, Raka mulai memasangkan cincin di tangan Nindy, begitu juga sebaliknya. Dari pemasangan cincin ini, Nindy sudah resmi menjadi calon istri Raka. Hanya tinggal satu langkah lagi sampai mereka akhirnya benar-benar akan bersama."Ndis! Liat sini," ucap Reina mulai memotret dirinya bersama Raka.Kebahagiaan Nindy menjadi berkali-kali lipat karena kedatangan sahabat-sahabatnya. Mereka rela jauh-jauh datang ke Jogja untuk menemaninya. Beruntung acara lamaran dilakukan di akhir pekan sehingga tidak mengganggu jam kerja banyak orang.Suara tepuk tangan terdengar sangat riuh. Keluarga besar Nindy berkumpul bersama hari ini. Sebagai cucu perempuan satu-satunya tentu tidak mudah untuk melepas Nindy. Semua kelu
Di dalam mobil, Nindy tidak bisa berhenti menatap cincin yang terpasang di jari manisnya. Cincin itu terlihat sederhana tapi juga mewah. Entah dari mana Raka tahu ukuran jarinya, yang pasti cincin itu benar-benar pas di tangannya.Makan malam mereka kali ini berjalan dengan romantis. Tidak ada perdebatan konyol di antara mereka. Dengan serius, Raka mengungkapkan keinginannya untuk menikahinya dan bertanya apa dia bersedia? Tentu saja Nindy bersedia. Dia telah jatuh cinta pada semua yang ada di diri Raka."Kamu seneng?" tanya Raka menarik tangan Nindy. Matanya masih fokus menyetir dengan tangan kiri yang menggenggam erat tangan Nindy."Seneng, Pak. Nggak sia-sia saya lembur buat selesain revisian kalau hadiahnya dilamar gini." Nindy terkekeh."Udah aku bilang panggil Raka, aku bukan Bapak kamu.""Tapi Bapak dari anak-anak aku.""Jangan mulai, Nind. Aku lagi nyetir."Nindy tertawa dan mencium tangan Raka yang masih menggenggamnya. Perjalanan ke kost kali ini berlangsung lama karena Raka
Nindy memejamkan matanya saat Raka kembali memarahinya. Lagi-lagi dia meringis melihat desain yang ia buat sudah tidak terlihat lagi rupa dan polanya. Jangan harap Nindy akan melihat sisi manis dari diri Raka saat di kantor, karena pria itu akan kembali menjadi Raka si Bos yang menyebalkan."Ini fungsinya apa, Nindy? Kenapa kamu hobi sekali memasukkan hal-hal yang nggak fungsional?"Nindy mengerucutkan bibirnya mendengar itu. Dia memilih diam karena menjelaskan pun akan percuma, Raka akan tetap membantahnya. Pria itu pasti lebih tahu bagaimana keinginan Pak Naru."Perbaiki lagi." Raka medorong kertasnya dan menatap Nindy lekat."Kamu udah telat dua hari dari
Tiga minggu telah berlalu. Hubungan Raka dan Nindy semakin membaik setiap harinya. Meskipun masih dibumbuhi dengan perdebatan konyol, tapi cinta mereka tumbuh semakin kuat. Bahkan semua penghuni kantor juga sudah mengetahui hubungan mereka. Sejak awal Raka memang tidak ingin menyembunyikan hubungan mereka, berbeda dengan Nindy yang selalu merasa sungkan dengan karyawan lain. Oleh karena itu Nindy selalu membatasi pergerakannya di kantor.Raka melepas dasinya dan merebahkan tubuhnya di kasur. Tak lama Nindy, Ilham, Tomi, dan Sisca masuk dengan wajah yang juga terlihat lelah. Seharian ini pekerjaan mereka memang padat. Mereka harus terbang ke Surabaya untuk melihat proyek Narutama. Mereka berlima adalah perwakilan kantor yang harus melihat lokasi secara langsung."Pak Ilham beli apa?" tanya T
Mobil Raka berhenti tepat di depan kost Nindy. Dia sudah terlambat 10 menit. Dengan tergesa dia keluar sambil menghubungi Nindy, bermaksud memberi kabar jika ia sudah sampai.Tidak ada waktu istirahat untuk Raka hari ini. Setelah pulang dari kantor, dia langsung membersihkan diri dan kembali berangkat untuk menjemput Nindy dan orang tuanya. Meskipun terlihat santai, tapi jantung Raka berdetak dengan cepat. Dia menarik napas dalam berkali-kali untuk menenangkan hatinya. Ini pengalaman pertamanya bertemu dengan orang tua kekasihnya. Dia tidak pernah bergerak sedekat dan senekat ini dengan mantan-mantan terdahulu."Pak!" Nindy tiba-tiba datang dengan tergesa. Dia tampak panik dengan keringat di dahinya."Kamu kenapa? Kok
Suasana masih terasa mencengkam. Bahkan setelah Maya pergi pun suasana tidak kunjung kembali tenang. Perasaan Raka sudah terlanjur buruk karena kedatangan wanita itu. Dengan beraninya Maya kembali muncul di hadapannya, bahkan di kantornya. Raka akui jika mental wanita itu sangat kuat karena tahan dengan tatapan sinis dari para karyawan.Sebenarnya tidak ada yang perlu dibicarakan lagi dalam pertemuan kali ini. Apapun usaha Maya dalam meminta maaf, keputusan Raka untuk membawa masalah ini ke jalur hukum sudah final. Entah apa yang membuat kakek memintanya untuk kembali berpikir. Mungkin mulut manis Maya sudah berhasil mempengaruhinya."Maaf ya, Nind. Kakek nggak nyangka kalau kamu akan ngalamin hal kayak gini di kantor. Andai kamu cerita sama Kake
Nindy menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan. Dia melakukannya berkali-kali untuk menenangkan hatinya. Untuk pertama kalinya setelah dipecat, Nindy kembali menginjakkan kakinya di kantor Adhitama Design. Dia tidak sabar untuk kembali menjalani kehidupannya di perusahaan ini."Kamu gugup?" tanya Raka yang berdiri di sampingnya.Nindy mengangguk, "Saya deg-degan, tapi juga seneng, Pak."Raka tersenyum dan semakin menggenggam erat tangan Nindy.Liftmasih berjalan sampai akhirnya berhenti di lantai tempat di mana mereka bekerja."Lepasin, Pak." Nindy menarik tangannya.