Perjalanan dari kost membutuhkan waktu sekitar 10 menit dengan mengendarai motor. Namun sebelum kembali, Nindy memutuskan untuk ke pasar tradisional terlebih dahulu guna membeli beberapa kebutuhan dapur. Dia tahu jika tidak selamanya ia akan bergantung dengan masakan Arinda. Gadis itu juga memiliki nasib yang sama, yaitu berusaha untuk bertahan hidup dengan gaya seminimalis mungkin.
"Bang, cabe campur lima ribu ya."
"Cabe lagi mahal, Neng."
"Ayo lah, Bang." Nindy mendekat dan berbisik, "Khusus buat saya."
"Khusus buat Neng Gendis yang manis ini saya kasih, tapi jangan bilang ibu-ibu yang lain. Bisa rugi saya," balas penjual yang juga ikut berbisik.
Nindy terkekeh, "Aman, Bang. Tapi kasih saya bonus."
Penjual yang merupakan langganan Nindy dan Arinda itu mulai menatapnya pias. Ada saja tingkah anak kost yang membuatnya mengelus dada.
"Ayo lah, Bang. Itu tambahin tomatnya juga." Nindy dengan santainya mengambil dua buah tomat dan memasukkannya ke dalam kantung plastik, "Nanti saya mau buat sambel," ujarnya lagi sambil terkekeh.
Setelah memilih bahan makanan yang menurutnya cukup untuk beberapa hari ke depan, akhirnya Nindy menyudahi acara belanjanya. Saat akan menuju tempat parkir, Nindy mendengar suara ribut-ribut di sekitarnya. Matanya mengedar untuk mencari asal suara tersebut. Dia mengerutkan dahinya saat melihat banyak orang yang tengah mengelilingi sesuatu. Dengan penasaran, Nindy mendekat dan ikut mengintip.
"Ada apa, Pak?" tanyanya pada tukang ojek yang ada di sekitar kerumunan.
"Ada oranh yang minta makan, Neng."
"Hah?" Nindy tampak bingung. Apa istimewanya dari seseorang yang meminta makanan hingga menimbulkan kehebohan seperti ini?
"Nenek udah makan banyak, jadi harus bayar. Saya mau pulang soalnya." Suara penuh emosi itu terdengar keras di telinga Nindy.
"Wih, galak bener." Nindy masih penasaran sampai akhirnya dia bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi.
"Nanti saya bayar kalau cucu saya sudah datang, Pak. Bapak di sini aja dulu kalau nggak percaya," ucap nenek itu.
Mulut Nindy terbuka lebar saat melihat siapa yang tengah menjadi pusat perhatian saat ini. Matanya membulat dengan tidak percaya.
"Nggak bisa, Nek. Saya mau pulang." Penjual tetap meminta uang pada nenek tua itu.
Nindy dengan cepat menerobos dan berdiri di depan penjual, "Berapa, Pak?" tanyanya cepat.
"Mbak ini siapa?" Pria itu menatap Nindy bingung.
"Ini Nenek saya. Maaf ya, Pak." Nindy tersenyum tidak enak.
"Ternyata ini cucu yang ditunggu dari tadi? Ke mana aja sih, Mbak?"
"Maaf ya, Pak. Nenek saya habis berapa tadi?" Nindy mulai mengambil dompetnya.
"Lima puluh ribu, Mbak."
Mulut Nindy kembali terbuka, "Banyak banget, Pak."
"Gimana nggak banyak, orang dari tadi siang Nenek udah duduk di sini. Nenek juga bayarin pembeli yang lain, taunya malah dia yang nggak punya duit."
Nindy meringis dan mulai membuka dompetnya. Dengan lemas dia memberikan uang berwarna biru itu dengan pelan.
"Sekali lagi saya minta maaf ya, Pak."
"Iya, Mbak. Lain kali Neneknya dijaga ya?"
Nindy mengangguk dan tersenyum pelan. Setelah itu dia berbalik dan menatap Nenek Farah dengan senyuman tipis.
"Nenek Farah ilang lagi ya?"
Tanpa diduga Nenek Farah tersenyum mendengar itu, "Ini Nak Nindy kan ya?"
"Nenek masih inget sama saya?" tanya Nindy terkejut. Dia masih ingat dengan penjelasan kakek tentang penyakit nenek yang mudah lupa akan sesuatu.
"Inget, Nak." Nenek Farah tersenyum.
"Kenapa bisa ada di sini, Nek?" tanya Nindy, "Kakek di mana?"
"Nenek lupa, Nak."
"Nenek bawa HP?" tanya Nindy lagi.
Wanita tua itu menggeleng dengan polosnya. Hal itu membuat Nindy menghela napas sabar.
"Ya udah, gimana kalau kita ke taman aja? Siapa tau nanti Kakek jemput Nenek di sana." Nindy mencoba mencari jalan keluar. Tidak mungkin jika dia meninggalkan Nenek Farah sendiri dengan kondisi ingatannya yang seperti ini. Nindy tidak setega itu.
"Boleh, Nak."
Nindy dengan cepat membawa nenek ke tempat di mana motornya berada. "Nenek udah makan?" tanyanya.
Nenek Farah menggeleng, "Tapi Nenek udah makan gorengan tadi."
"Masih laper nggak?" tanya Nindy lagi.
"Nggak kok, tapi Nenek haus."
Nindy tersenyum, "Nanti kita beli minum di taman."
***
Langit sore telah berubah warna dan sepertinya malam akan segera tiba. Raka tampak tergesa berlari keluar dari pusat perbelanjaan. Sudah dua jam dia memutari mall untuk mencari keberadaan neneknya. Bahkan ia juga meminta bantuan keamanan untuk itu. Namun hasilnya nihil, neneknya masih belum ditemukan.
Raka berhenti melangkah saat melihat kondisi mobilnya yang tampak mengenaskan. Dia melihat ke sekitar untuk memastikan apa benar jika mobil yang ada di hadapannya saat ini adalah mobilnya? Perasaan Raka tidak pernah salah. Dia memang ingat telah memarkirkan mobilnya di tempat ini.
Raka mendekat untuk melihat keadaan mobilnya lebih jelas. Dengan pandangan jijik dia mengambil salah satu kertas yang kotor itu.
"Brosur?" gumam Raka, "Obat impoten?"
Beberapa detik kemudian dia tersadar dengan apa yang terjadi. Dia meremas kertas itu dengan kesal.
"Ini pasti cewek yang tadi," gumamnya sambil melihat ke sekitar, berharap akan menemukan gadis yang selalu membuatnya naik darah di setiap pertemuan.
"Dasar badung!" ucapnya dan berlalu masuk ke dalam mobil. Yang terpenting saat ini adalah keberadaan neneknya. Tidak ada waktu untuk memikirkan gadis itu. Jika Raka diberi kesempatan untuk kembali bertemu dengannya, maka ia tidak akan segan untuk melakukan pembalasan.
***
Keputusan Nindy kali ini tidak salah. Setelah menunggu selama satu jam lebih, akhirnya mobil mewah yang tak asing baginya mulai berhenti di depan mereka. Nindy tersenyum dan menuntun nenek untuk berdiri.
"Kakek udah dateng, Nek." Nindy tampak senang.
Seorang pria berumur mulai turun dari mobil dengn tergesa. Di belakangnya ada wanita paruh baya dengan seragamnya.
"Nek, kenapa tadi tiba-tiba ilang?" Wanita yang Nindy tebak sebagai perawat Nenek Farah itu terlihat khawatir.
"Kamu yang tiba-tiba ilang," balas nenek sedikit kesal.
"Nindy, kamu bantuin Nenek lagi, Nak?"
Nindy tersenyum pada kakek dan mengangguk pelan. Ini kedua kalinya mereka bertemu.
"Makasih ya karena udah nemenin Nenek lagi."
"Nggak papa kok, Kek."
"Tadi ketemu Nenek di mana?" tanya kakek penasaran.
"Saya tadi ketemu Nenek di depan pasar, Kek." Nindy menunjuk ke arah pasar.
Kakek menepuk dahinya pelan, "Kok bisa sih, Nek? Di ajak ke mall kok malah lari ke pasar?"
"Ya nggak tau," jawab Nenek Farah polos.
"Nak Nindy, terimakasih ya. Kakek nggak tau lagi gimana caranya bilang makasih sama kamu."
"Nggak papa kok, Kek." Nindy kembali tersenyum karena dia memang tidak merasa direpotkan. Nenek Farah juga mengobati rasa rindunya akan keluarganya di kampung halaman. Nindy seketika teringat dengan neneknya.
"Sebagai ucapan terimakasih, Kakek mau ajak kamu makan malam."
Nindy dengan cepat menggeleng. Dia tidak bisa berlama-lama karena harus kembali untuk memberikan bahan-bahan dapur yang ia beli pada Arinda.
"Nggak usah, Kek. Nggak papa kok. Saya harus pulang sekarang."
"Kalau begitu ini buat kamu." Kakek mulai membuka dompetnya, "Buat beli es krim."
"Kebanyakan kalau es krim, Kek." Nindy terlihat ragu karena kali ini uang yang diberikan berjumlah dua kali lipat dari sebelumnya.
"Nggak papa, ambil aja."
Nindy kembali menggeleng, "Nggak, Kek. Uang yang kemarin aja masih ada. Beneran, saya nggak papa."
Kakek tampak menyerah dan kembali membuka dompetnya lagi. Kali ini dia mengeluarkan sebuah kartu nama dan memberikannya pada Nindy, "Ini kartu nama kakek. Kalau kamu butuh sesuatu langsung hubungi Kakek ya?"
Nindy mengedipkan matanya berulang kali, "Butuh sesuatu, Kek?" tanyanya memastikan sesuatu.
"Iya, kamu lagi butuh sesuatu sekarang?"
"Saya butuh pekerjaan, Kek." Nindy menjawab dengan cepat. Tidak perlu sungkan karena ini berhubungan dengan kelangsungan hidupnya. Dia yakin jika kakek dan nenek bukanlah orang yang sembarangan. Nindy berharap jika kakek bisa memberikan pekerjaan untuknya.
"Kamu udah lulus sekolah, Nind?"
Nindy mengangguk cepat, "Saya sarjana, Kek."
Kakek tersenyum mendengar itu, "Oke, kalau begitu besok kamu langsung ke kantor cucu Kakek. Kamu bisa kerja di sana."
"Kantor?" Jantung Nindy mulai berdetak dengan cepat.
Apakah semudah ini?
"Iya, nanti alamatnya Kakek kirim ke nomor kamu."
"Kakek serius?" Nindy tidak bisa menahan diri. Matanya sudah berkaca-kaca sekarang.
"Iya. Biar Kakek yang bicara sama cucu Kakek nanti."
"Makasih, Kek! Makasih banget!" Nindy mencium tangan kakek dan bergumam terimakasih.
"Sama-sama, Nak. Kakek yakin kalau kamu itu anak yang baik makanya Kakek nggak ragu untuk kasih perkerjaan."
Nindy mengusap air matanya dan mengangguk senang. Lagi-lagi Tuhan memberikan jawaban akan kesabarannya selama ini. Mengeluh boleh, tapi jangan berlarut-larut. Roda kehidupan masih akan terus berputar dan selama masih berlangsung, Nindy tidak akan berhenti untuk berusaha.
***
TBC
Cahaya matahari belum sepenuhnya muncul tapi Nindy sudah bersiap untuk memulai harinya. Sedari tadi dia tidak berhenti untuk tersenyum. Hatinya terasa campur aduk sekarang, antara senang dan takut. Senang karena akhirnya mendapat pekerjaan dan takut karena ini adalah hari pertamanya. Nindy memang belum tahu pekerjaan apa yang kakek berikan tapi dia yakin apapun itu pasti tidak akan mengecewakannya. Nindy mengusap rambut basahnya dengan handuk sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Dia melirik ponselnya yang bergetar. Seperti biasa, ada ayahnya yang mengirimkan pesan setiap pagi. Kali ini Nindy tidak lagi bersedih. Dengan semangat dia langsung membalas pesan ayahnya. "Iya, Pak. Ini udah bangun, lagi siap-siap." Lega. Perasaan Nindy sedikit tenang karena tidak lagi berbohong kali ini. Nindy mendekat ke arah meja rias dan melihat kalender kecil di sana. Ada tanggal yang sudah ia lingkari den
Belum ada sehari tapi Nindy sudah ingin lari. Dia tidak tahu harus melakukan apa saat Raka meninggalkannya sendiri di dalam ruangan. Tidak ada peraturan atau masukan khusus untuknya agar bisa menjadi asisten yang baik. Nindy bingung, dari mana dia harus memulai semuanya? Tidak ingin membuat Raka kembali marah, akhirnya Nindy memilih untuk menemui Tomi. Sebagai mantan asisten Raka, pria itu pasti bisa membantunya. Bersyukur Nindy langsung melihat Tomi di depan ruangan. Dia berjalan mendekat dengan sesekali tersenyum pada karyawan yang menatapnya bingung. Mungkin mereka belummengenalnya. Ingin sekali Nindy mengakrabkan diri tapi keadaannya sangat terdesak saat ini. Dia harus segera menjalankan perintah Raka untuk membeli sarapan. Apa memang seperti ini tugas dari seorang asisten? "Mas Tomi?" panggil Nindy pelan. "Ya, Nind?" "Liat Pak Raka nggak?" Alis Tomi terangkat
Alarm yang terus berbunyi berusaha keras membangunkan Nindy yang masih terlelap. Mata gadis itu terlihat memerah dan meminta untuk kembali dipejamkan. Namun Nindy tidak bisa melakukannya, dia harus bersiap untuk bekerja sekarang. Pagi ini tidak sama seperti pagi sebelumnya. Jika kemarin Nindy sangat bersemangat tapi tidak untuk sekarang. Dia masih sangat berharap jika bosnya bukanlah Raka. Namun harapannya tentu akan sia-sia. Nindy mematikan alarm-nya dan melihat jam yang masih menunjukkan pukul empat pagi. Ya benar, Nindy bangun sepagi ini untuk berangkat bekerja. Jika tidak ingat pesan Raka semalam tentu dia tidak akan mengatur alarm sepagi ini. "Besok pagi jam setengah 6 kamu sudah harus ada di rumah saya. Alamatnya Perumahan Adhiwangsa no 01." Nindy menggosok giginya sambil mengingat kembali pesan Raka. Sesekali matanya terpejam karena tidak bisa menahan kantuk. Entah kenapa hari pertama
Hari ketiga sudah tiba. Seperti hari sebelumnya, Nindy berangkat dengan Raka lagi hari ini. Ini semua terjadi karena dengan liciknya pria itu membuatnya menjadi asisten di kantor sekaligus pribadi. Mau tidak mau, Nindy harus berada di rumah Raka di pagi buta dan pulang hingga larut malam. Nindy menghempaskan tubuhnya di kursi kerjanya. Setelah seharian bekerja di ruangan Raka kemarin, akhirnya dia memiliki mejanya sendiri. Tepat di sebelah Tomi dan berbaur dengan karyawan lainnya. "Masih pagi udah kusut wajahnya, Nind?" Tomi yang baru saja datang mulai duduk di kursinya. Nindy meletakkan kepalanya di atas dan bergumam, "Ngantuk, Mas." Tomi terkekeh, "Semalem pulang jam berapa?" "Jam delapan." Nindy mulai memejamkan matanya. "Nanti jangan lupa minta bonus sama Pak Bos." Nindy membuka matanya dan duduk dengan tegap, "Ya pasti
Di dalam ruangan Raka, Nindy menatap maket di depannya dengan kagum. Maket itu baru saja datang dan dia yang menerimanya karena Raka tidak berada di kantor saat ini. Dia sedang pergi bersama Ilham ke lokasi proyek pembangunan. Tangan Nindy terulur untuk menyentuh kaca yang melindungi maket tersebut. Dia kembali terperangah dan menggeleng tidak percaya. Saat maket yang berukuran cukup besar itu datang, Nindy tidak bisa berhenti untuk terpesona. Maket concert hall itu dirancang dengan desain yang rumit dan unik, khas dari Adhitama Design. Apakah ini proyek Raka? Jika iya, maka Nindy tidak bisa mengelak jika pria itu memang memiliki otak yang jenius. Raka melakukan hal yang tidak pernah Nindy pikirkan sebelumnya dengan detail. "Jenius sih, tapi sayang nyebelin. Jadi banyak minus-nya." Nindy mendengkus. Dia berjalan berputar sambil melihat maket itu dengan teliti. Meskipun hanya asisten, tapi Nin
Menu kedua sudah datang. Setelah menghabiskan ketoprak, Nindy kembali memesan makanan. Kali ini dia memesan bubur ayam. Nindy memang lapar mengingat jika ia hanya makan mie instan semalam. Nindy mengangkat wajahnya saat melihat Raka yang berlari kecil melewatinya. Pria itu tidak menatapnya sama sekali dan terus berlari. Nindy mencibir saat melihat para wanita yang sengaja berlari pelan di belakangnya. "Dih, sok ganteng banget. Pasti dalem hati girang tuh," gumamnya. Raka sudah mengelilingi lapangan sebanyak lima kali dan sepertinya masih belum ingin berhenti. Dasar kaki besi. "Minumnya, Nek." Nindy memberikan botol air mineral pada nenek. Wanita itu sudah menghabiskan bubur aya
Perasaan Nindy terasa campur aduk sekarang, antara senang dan gelisah. Senang karena akhirnya bisa kembali bertemu dengan orang tuanya dan gelisah karena takut jika rahasianya akan terbongkar. Meskipun sudah meminta Raka untuk menutup mulut, tapi kegelisahan itu masih ada. Bukan satu-dua orang yang tahu jika Nindy baru bekerja sekarang. Dia belum mempersiapkan semuanya karena kedatangan orang tuanya yang mendadak. "Pak Raka pulang aja deh." Nindy berbalik dan menatap Raka yang bersandar pada mobilnya. "Kamu ngusir saya?" Nindy mengerucutkan bibirnya kesal, "Nggak gitu." Dia tampak bingung menjelaskan. "Terus?" Nindy berdecak, "Iya, saya ngusir Bapak!" Raka tersenyum miring dan berjalan mendekat, "Nggak
Tepat pukul delapan malam Raka masih betah berada di kantor. Saat ini dia sedang membicarakan hal yang serius dengan Ilham. Dia tidak menyangka jika kerja sama untuk proyek besar terancam gagal karena klien-nya juga pendapatkan penawaran dari perusahan arsitektur lain. Jika sudah seperti ini maka Raka harus berpikir ulang tentang keuntungan-keuntungan apa saja yang akan ia tawarkan agar kerja sama tetap terjadi. Proyek besar ini memiliki banyak keuntungan, tentu Raka akan berusaha untuk mendapatkannya. "Tau dari mana ya si Doni kalau Pak Naru mau bikin proyek besar?" tanya Ilham bingung. Raka menatap Ilham aneh. Kadang pria itu bisa sangat pintar dan juga bodoh di waktu-waktu tertentu. "Udah banyak beritanya kali, Ham. Kenapa masih tanya?" "Ya heran aja gitu, udah jelas-jelas Narutama Group mau pakai Adhitama Design, tapi
Dua bulan kemudian.Suara berisik dari dapur terdengar ke seluruh penjuru rumah. Raka meringis saat tangannya tidak sengaja menyentuh wajah yang panas. Dengan cepat dia menyiram tangannya dengan air yang mengalir. Dari kejauhan, Bibi meringis dan terlihat khawatir. Namun lagi-lagi Raka meminta Bibi untuk menjauh dan tidak mengganggunya. Raka ingin membuat sarapan spesial untuk istrinya. Dia sangat berterima kasih pada Nindy karena sudah menyenangkan hatinya semalam."Mas, Mbok bantu ya?""Nggak usah, Mbok.""Mas itu telurnya kelamaan, cepet dibalik."Raka dengan cepat kembali ke kompor dan membalik telurnya. Dia mendesah kecewa saat telur setengah matang yang ia buat berubah menjadi matang sempurna. Tidak masalah, Nindy juga akan tetap menyukainya. Raka kembali berdecak saat minyak goreng mengenai kemeja kerjanya. Tidak masalah, dia juga bisa mengganti pakaiannya nanti.Setelah matang, Raka meletakkan telur itu di atas nasi goreng buatannya. Dia tersenyum puas melihat masakannya pagi
Di tengah kesibukan kantor, Raka dan Nindy juga sibuk mempersiapkan pernikahan mereka. Tak jarang mereka mengeluh karena padatnya kegiatan. Bahkan di hari Sabtu seperti ini, mereka harus mengecek lokasi resepsi untuk yang terakhir kalinya. Besok adalah hari besar mereka, akad nikah dan resepsi akan dilaksanakan di hari yang sama."Capek, Pak." Nindy memijat kakinya setelah menghempaskan tubuhnya di sofa rumah Raka."Besok bakal lebih capek lagi, sabar ya." Raka mengelus kepala Nindy."Peluk." Nindy merentangkan tangannya dengan manja.Raka tersenyum dan mulai duduk di samping Nindy. Dengan segera dia menarik gadis itu untuk masuk ke dalam pelukannya. Di tengah kesibukan mereka, Raka sebisa mungkin tetap memberikan waktunya untuk Nindy. Entah sekedar makan bersama atau berbincang."Nginep di sini ya malam ini?""Mana bisa? Bapak sama Ibuk di kost bisa kesurupan reog liat anaknya nginep di rumah cowok.""Kan aku calon suami kamu. Lagian kamu juga sering nginep di sini.""Sstt, jangan bo
Dengan menggunakan batik, Raka terlihat semakin tampan berkali-kali lipat. Wajahnya yang tak pernah berenti tersenyum membuktikan jika ia menjadi manusia yang paling bahagia saat ini. Sama seperti gadis di hadapannya. Nindy tampak cantik dengan kebaya yang ia kenakan.Dengan cepat dan yakin, Raka mulai memasangkan cincin di tangan Nindy, begitu juga sebaliknya. Dari pemasangan cincin ini, Nindy sudah resmi menjadi calon istri Raka. Hanya tinggal satu langkah lagi sampai mereka akhirnya benar-benar akan bersama."Ndis! Liat sini," ucap Reina mulai memotret dirinya bersama Raka.Kebahagiaan Nindy menjadi berkali-kali lipat karena kedatangan sahabat-sahabatnya. Mereka rela jauh-jauh datang ke Jogja untuk menemaninya. Beruntung acara lamaran dilakukan di akhir pekan sehingga tidak mengganggu jam kerja banyak orang.Suara tepuk tangan terdengar sangat riuh. Keluarga besar Nindy berkumpul bersama hari ini. Sebagai cucu perempuan satu-satunya tentu tidak mudah untuk melepas Nindy. Semua kelu
Di dalam mobil, Nindy tidak bisa berhenti menatap cincin yang terpasang di jari manisnya. Cincin itu terlihat sederhana tapi juga mewah. Entah dari mana Raka tahu ukuran jarinya, yang pasti cincin itu benar-benar pas di tangannya.Makan malam mereka kali ini berjalan dengan romantis. Tidak ada perdebatan konyol di antara mereka. Dengan serius, Raka mengungkapkan keinginannya untuk menikahinya dan bertanya apa dia bersedia? Tentu saja Nindy bersedia. Dia telah jatuh cinta pada semua yang ada di diri Raka."Kamu seneng?" tanya Raka menarik tangan Nindy. Matanya masih fokus menyetir dengan tangan kiri yang menggenggam erat tangan Nindy."Seneng, Pak. Nggak sia-sia saya lembur buat selesain revisian kalau hadiahnya dilamar gini." Nindy terkekeh."Udah aku bilang panggil Raka, aku bukan Bapak kamu.""Tapi Bapak dari anak-anak aku.""Jangan mulai, Nind. Aku lagi nyetir."Nindy tertawa dan mencium tangan Raka yang masih menggenggamnya. Perjalanan ke kost kali ini berlangsung lama karena Raka
Nindy memejamkan matanya saat Raka kembali memarahinya. Lagi-lagi dia meringis melihat desain yang ia buat sudah tidak terlihat lagi rupa dan polanya. Jangan harap Nindy akan melihat sisi manis dari diri Raka saat di kantor, karena pria itu akan kembali menjadi Raka si Bos yang menyebalkan."Ini fungsinya apa, Nindy? Kenapa kamu hobi sekali memasukkan hal-hal yang nggak fungsional?"Nindy mengerucutkan bibirnya mendengar itu. Dia memilih diam karena menjelaskan pun akan percuma, Raka akan tetap membantahnya. Pria itu pasti lebih tahu bagaimana keinginan Pak Naru."Perbaiki lagi." Raka medorong kertasnya dan menatap Nindy lekat."Kamu udah telat dua hari dari
Tiga minggu telah berlalu. Hubungan Raka dan Nindy semakin membaik setiap harinya. Meskipun masih dibumbuhi dengan perdebatan konyol, tapi cinta mereka tumbuh semakin kuat. Bahkan semua penghuni kantor juga sudah mengetahui hubungan mereka. Sejak awal Raka memang tidak ingin menyembunyikan hubungan mereka, berbeda dengan Nindy yang selalu merasa sungkan dengan karyawan lain. Oleh karena itu Nindy selalu membatasi pergerakannya di kantor.Raka melepas dasinya dan merebahkan tubuhnya di kasur. Tak lama Nindy, Ilham, Tomi, dan Sisca masuk dengan wajah yang juga terlihat lelah. Seharian ini pekerjaan mereka memang padat. Mereka harus terbang ke Surabaya untuk melihat proyek Narutama. Mereka berlima adalah perwakilan kantor yang harus melihat lokasi secara langsung."Pak Ilham beli apa?" tanya T
Mobil Raka berhenti tepat di depan kost Nindy. Dia sudah terlambat 10 menit. Dengan tergesa dia keluar sambil menghubungi Nindy, bermaksud memberi kabar jika ia sudah sampai.Tidak ada waktu istirahat untuk Raka hari ini. Setelah pulang dari kantor, dia langsung membersihkan diri dan kembali berangkat untuk menjemput Nindy dan orang tuanya. Meskipun terlihat santai, tapi jantung Raka berdetak dengan cepat. Dia menarik napas dalam berkali-kali untuk menenangkan hatinya. Ini pengalaman pertamanya bertemu dengan orang tua kekasihnya. Dia tidak pernah bergerak sedekat dan senekat ini dengan mantan-mantan terdahulu."Pak!" Nindy tiba-tiba datang dengan tergesa. Dia tampak panik dengan keringat di dahinya."Kamu kenapa? Kok
Suasana masih terasa mencengkam. Bahkan setelah Maya pergi pun suasana tidak kunjung kembali tenang. Perasaan Raka sudah terlanjur buruk karena kedatangan wanita itu. Dengan beraninya Maya kembali muncul di hadapannya, bahkan di kantornya. Raka akui jika mental wanita itu sangat kuat karena tahan dengan tatapan sinis dari para karyawan.Sebenarnya tidak ada yang perlu dibicarakan lagi dalam pertemuan kali ini. Apapun usaha Maya dalam meminta maaf, keputusan Raka untuk membawa masalah ini ke jalur hukum sudah final. Entah apa yang membuat kakek memintanya untuk kembali berpikir. Mungkin mulut manis Maya sudah berhasil mempengaruhinya."Maaf ya, Nind. Kakek nggak nyangka kalau kamu akan ngalamin hal kayak gini di kantor. Andai kamu cerita sama Kake
Nindy menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan. Dia melakukannya berkali-kali untuk menenangkan hatinya. Untuk pertama kalinya setelah dipecat, Nindy kembali menginjakkan kakinya di kantor Adhitama Design. Dia tidak sabar untuk kembali menjalani kehidupannya di perusahaan ini."Kamu gugup?" tanya Raka yang berdiri di sampingnya.Nindy mengangguk, "Saya deg-degan, tapi juga seneng, Pak."Raka tersenyum dan semakin menggenggam erat tangan Nindy.Liftmasih berjalan sampai akhirnya berhenti di lantai tempat di mana mereka bekerja."Lepasin, Pak." Nindy menarik tangannya.