Ajisaka kebetulan melihat aksi dari istrinya yang sebenarnya mantan. Dia akan memberitahukan Bayu, agar sahabatnya itu tidak terkena tipu daya wanita licik itu. Memang seharusnya Bayu sudah mengenali Sabrina. Karena mereka dulu satu SMA. Namun, sepertinya Sabrina sendiri pangling dengan Bayu.
“Sorry baik gue telat,” ucap Ajisaka. Dia bersalaman dengan Bayu dan juga dengan Rara. Saat bersalaman dengan Rara, pandangannya fokus tertuju ke matanya. Sepertinya ada getaran berbeda antara mereka. Beberapa detik kemudian Bayu membuyarkan pandangan. Mereka saling melepaskan diri dengan satu deheman yang di lakukan Bayu.
“Terpesonanya nanti ya, Ji? Kita kerja dulu.” Aji melepaskan tangannya, kemudian duduk di sebelah sekertarisnya, Davina. Davina memulai presentasinya sedangkan Bayu mendengarkan dengan seksama. Sepanjang presentasi, Aji selalu memandang ke arah Rara sehingga membuat wanita itu salah tingkah. Hingga akhirn
Sabrina sangat kesal ketika tadi akan mengerjai Bayu tapi tidak jadi. Namun dalam otaknya, ada berbagai rencana. Pokoknya, dia akan meraih Bayu.“Tidak boleh gagal, Bayu yang dulu sangat dekil, sekarang begitu tampan dan menggairahkan. Sepertinya, saat di ranjang juga demikian. Dia akan sangat perkasa. Ah, sepertinya aku butuh pelampiaasan.” Sabrina memang termasuk yang hyper, hanya mendengar tentang berhubungan badan, atau membayangkan saja dia bisa terangsang. Dia mengambil mainan yang digunakan untuk bermain saat kepingin tapi tidak ada lawan.“Ah, sepertinya malam ini pake ini dulu.” Wanita itu mulai merasakan panas diseluruh tubuhnya. Dia seperti tersengat listrik tegangan tinggi. Keringat mulai memabanjirinya, seiring dengan mulutnya merancau nggak karuan. Desahan-desahan terdengar, membuat siapa yang mendengarnya pasti menyangka jika dia bermain dengan pasangan.“Uuhhhh, kasihan
Sabrian kalap, dia mmemberikan seluruh tubuh dan kenikmatannya kepada pria asing itu. Namun Satpam itu punya nyali juga. Lelaki itu melarikan diri dari rumah Sabrina. Wanita itu sudah gila, demikian pikir satpam itu. Dia lari tunggang langgang.“Ya Allah, gusti. Ada wanita begitu.” Dia ngos-ngosan setelah sampai di pos.“No, kamu kenapa?” Teman satpam itu kemudian menanyakan dengan menepuk bahunya. Seno yang baru saja lari tunggang langgang kaget dan terperanjat.“Ya Allah Amin, aku kaget. Hiii ….”“Kamu kenapa ketakutan?”“Nyonya Sabrina gila! Dia telanjang tadi.” Seno begidig.***Meyyis_GN***Ajisaka gencar mendekati Rara. Kali ini saja, dia sudah ada di depan rumahnya Rara. Ceritanya, dia mau apel. Dia mengetuk pintu rumah Rara.“Waalaikumsala
“Kamu benar, kebersamaan seperti ini sangat langka. Apalagi, Rara akhir-akhir ini meeting sampai larut.” Aji memandang ke arah Rara. Seakan dia meminta konfirmasi. Tapi Rara hanya mengembuskan napas saja. Sepertinya, memang Rara benar-benar sibuk. Ajisaka tidak lagi meminta konfirmasi. Embusan napas lelahnya, sudah membuktikan bahwa yang dia katakan memang benar.Di meja makan terhidang masakan Jawa kesukaan Handoyo. Namun, karena masakan banyak berlemak, lelaki sepuh itu tidak berani makan banyak. “Aku terkadang merasa kesepian.” Handoyo mengatakan sesekali terdengar bunyi dentang sendok. Yang menyapa piring warna putih itu. Setelah Rara bergabung dengan perusahaan, praktis memang dia jarang sekali menemani sang ayah.“Benarkah?Aku akan menemani Om malam ini. Kita main catur.” Rara memutar bola matanya. Sebenarnya, dia juga sudah mulai menyukai Ajisaka. Hanya saja, batinnya tidak mau men
“Saya minta maaf, Om.”“Tidak masalah.”“Maksudnya, saya menang.”“Hahaha ya,ya,ya anak muda yang cukup lihai dalam perhitungan.” Mereka terkekeh bersama.Ajisaka pamit pulang karena sudah malam. Rara mengantarkan sampai ke tempat parkir mobil Aji. Sedangkan Handoyo hanya mengintip dari celah horden.“Ra, tidak semua selesai hanya dengan diam. Terima kasih makan malamnya. Lain kali, aku undang kamu makan di rumah, sekaligus kenalan dengan Elsa. Semoga kamu menyukainya. Dia anakku, berumur enam tahun. Kau bersedia?” Rara hanya tersenyum. Ajisaka mengerti, bagi seorang gadis, apalagi semandiri Rara, tentu butuh pemikiran yang matang, untuk menerima ajakannya. Terutama, karena Aji sudah tidak lagi sendiri. Ada anak di sampingnya.“Baiklah, aku mengerti. Pamit pulang dulu, ya?” Ajisaka masuk
“Kalau, ya? Memang kenapa? Dia lebih segalanya dari kamu, satu lagi, dia tidak pernah menjadikanku barang taruhan.” Rara menghempaskan tangan Rendi. Dia setengah berlari memasuki rumahnya. Gerbangnya belum dia kunci, karena masih ada Rendi. Dadanya penuh dengan sesak. Handoyo sudah melihat dan mendengar semua saat Rara dan Rendi berantem tadi. Jadi dia tidak menanyakan mengapa putrinya menangis.***Meyyis_GN***“Ra, Ra! Aku belum selesai ngomong, Ra. Aku akan menunggumu sampai kamu mau memaafkanku dan kita baikan.” Rara tidak menggubris ucapan Rendy. Dia menutup pintunya dengan dentuman, hingga hampir saja Rendi kejedot pintu tersebut. Dia masuk ke dalam rumahnya kemudian berlari menuju kamarnya. Dia menutup pintu kamarnya dan bersandar di pintu yang tertutup tersebut. Tumbuhnya merosot ke bawah, berguncang karena tangis yang semakin menguasai diri.“Memang sepertinya aku tidak boleh j
“Tidak masalah, kamu cukup pejamkan mata, maka netralkan semua pertengkaran hari ini. Selamat malam dan selamat tidur. Aku tutup dulu, ya? Assalamualaikum.” Rara menarik napas.“Waaalaikumsalam.”“Arghhh … ‘kan jadi ketahuan. Apa yang harus aku lakukan. Ck, aku malu ketahuan cerewet dan suka mengomel.” Rara bangkit, kemudian mondar-mandir. Dia tidak tahu lagi, pikirannya menemui kebuntuan.Rara dan Aji di tempat terpisah saling memikirkan. Rara mengingat kembali pertemuan mereka saat pertama kali. Hanya dengan senyum Ajisaka, membuat hatinya kebat-kebit tidak karuan. Dia langsung terpesona dengan duda tersebut, padahal dia tahu usia Aji juga jauh di atasnya. Selisih sekitar sepuluh tahunan. Dia membayangkan, garis rahangnya yang tegas, bibirnya yang tipis, hidungnya yang tidak terlalu mancung tapi pas pada porsinya. Dadanya yang bidang dan langkahnya yang jenjang mengisi k
“Terserah kamu, Pak Dokter.” Si kembar Devan dan Davin berlari dan keduanya menabrak meja acara, untung saja tidak memberantaki semuanya. Keduanya menangis tersedu-sedu. Bayu malah tertawa melihat kedua putranya menangis yang terkesan lucu.Ajisaka terbangun saat menyadari ada berisik di luar kamarnya. Dia kaget karena ternyata yang membuat berisik adalah Sabrina mantan istrinya yang dia ceraikan sebulan yang lalu. Dia menarik napas lelah. “Brin, Elsa sudah tidur! Pulanglah! Pak Seno! Usir dia kelauar. Tolong panggil taksi.” Ajisaka ingin kembali ke atas, tapi Sabrina memeluknya dari belakang.“Mas, tolong! Aku sudah hancur. Jangan mengabaikanku seperti ini.” Ajisaka tersenyum kecut.“Lepas Sabrina! Kita sudah bukan suami istri lagi. Jadi haram hukumnya untuk kita bersentuhan.” Ajisaka mencoba melepaskan Sabrina, tapi dia berulah dan hampir saja menciumnya. Tapi untung saja
“Ya Tuhan, kamu harus menerima kenyataan ini, Nak. Tapi satu hal yang perlu kamu ketahui, bukan ingin papa begini. Tapi mamamu sudah keterlaluan saat ini, papa tidak sanggup lagi,” batin Aji. Dia mengelus puncak kepala sang anak. Derita seakan luruh, melihat putri kecilnya. Pagi hari, Ajisaka sudah bangun untuk membersihkan gigi. Setelah itu, tentu saja mandi. Dia mengenakan stelan jas warna coklat, namun saat berkaca merasa tidak cocok. Setelah itu berganti dengan stelan jas warna abu-abu, masih tidak cocok juga. Sampai berkali-kali, tapi merasa tidak ada yang cocok.Hari ini, dia berencana ingin menghampiri Rara. Dia tersenyum sendiri melihat tingkahnya sendiri. Selama ini, tidak masalah dengan penampilannya. Namun, mengapa hari ini? Dia mengenakan dasi polos warna hitam. Setelah itu, siap untuk meluncur ke rumah Rara. Dia mengembangkan senyumnya, menggelengkan kepalanya dengan pelan, menyadari ada yang salah dengan diri